Skip to Content

Ritus, Realitas dan Imajinasi ( Membaca Puisi-puisi Reinard L. Meo)

Foto Hans Ebang

Ritus, Realitas dan Imajinasi

( Membaca Puisi-puisi Reinard L. Meo)

Oleh Yohanes Berchemans Ebang

 

Tulisan ini merupakan hasil bacaan seorang penikmat puisi atas tiga puisi Reinard L. Meo (Kerinduan, Mata Laut, dan Kopi Wae Lengga). Ketiga puisi itu dimuat di media FLORESMUDA.COM (15/1/2016). Kaca mata yang dipakai unuk membaca puisi-puisi tersebut adalah teori analisis wacananya Foucault dan Litteljohn yang dikembangkan dari bahasan Aristoteles teantang Interpretatione dan teori kritik sastra impresionik. Teori analisis wacana atau interpretation memandang bahasa dalam komunikasi (termasuk sastra) tidak terbatas pada penggunaan kalimat dan fungsi ucapan tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan iheren (Zamroni: 2009). Sementara dalam teori kritik sastra impresionik memungkinkan seorang kritikus menggunakan kesan-kesan obyektif dan tidak harus dengan penelitian. Kedua kacamata ini (interpretasi dan impresionok) dipakai secara ‘bebas’ untuk membaca ketiga puisi Reinard.

Reinard sendiri adalah anak muda asal Bajawa, Flores, NTT mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, bergiat dalam Kelompok Teater Aletheia Ledalero. Beberapa puisinya dimuat dalam ‘Nyanyian Sasando’, Antologi Puisi Sastrawan NTT, 2015, dan tersebar di berbagai media. Sebelum menelisiknya lebih jauh, selengkapnya tentang ketiga puisi dimaksud adalah sebagai berikut:

 

KERINDUAN

tak ada hasil.
sawah yang tandus,
ladang yang hangus,
pun hewan yang kurus.
jika meminta satu yang paling kudus,
itu tentu,
: der Regen, hujan.

( _er el em_ Januari 2016)

 

MATA LAUT

Waktu mencium aroma laut Mbolata, puisi tiba-tiba mekar di pelupuk mata saya. Bukannya buta, saya malah melihat yang tak terlihat. Di sana, di sini, di situ, dan di dalam hatimu.

(er el em_ Januari 2016)

KOPI WAE LENGGA

Subuh lalu pagi, senja lalu malam menyambut. Semuanya ini adalah waktu terbaik bagi kopi dan kami. Kami menikmati kopi dan kopi menikmati kami. Kami saling meneguk dan berkisah, terus-menerus, begitu. Sampai kini, mereka di sana, saya di sini. Dan kopi adalah semacam jembatan atas rindu-rindu yang tak saling mendekap.
(er el em_ Januari 2016)

 

Dalam sejarah kesusastraan Jepang, bahasa lisan dalam upacara ritual magis yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu merupakan cikal bakal lahirnya kesustraan Jepang (puisi, prosa, dan drama). Dalam upacara ritual magis ada bahasa khusus (bahasa hare) yang dirafalkan dan dianggap memiliki kekuatan magis, beda dengan bahasa keseharian. Menurut penelitian yang mendalam tentang hal ini, ditemukan bahwa bahasa ritual magis (cikal bakan kesusastraan Jepang) dilatarbelakangi dua hal yaitu kerja (fisik: bertani) dan emosi (psikis: gairah/nafsu/keinginan). Sementara khusus puisi Jepang, selain berawal dari gambaran di atas, puisi-puisi Jepang turut dipengaruhi unsur lain di luar kebuyaan Jepang. Misalnya, Waka adalah puisi Yamato yang dibuat untuk mengimbangi puisi-puisi Cina. Kindaishi merupakan puisi Moder Jepang yang dipengaruhi oleh kesusastraan Eropa yang turut mengubah puisi Jepang dari puisi bersajak menjadi kogjiyushi, sebuah bentuk puisi yang lebih modern (bdk. Daimah Manda dkk. Dalam Pengantar Kesusastraan Jepang, Grasindo: 1992).

Kembali pada puisi Reinard , Mata Laut. Dalam kalimat pertama puisi tersebut tampaknya ada hal lain yang melatarbelakangi kelanjutan puisi tersebut dan kedua puisi yang lain. Hal lain tersebut saya beri nama ritual, realitas dan imajinasi.

 

Ritual

Prihal ritual hingga kelahiran puisi, selain bercermin dari sejarah kesusastraan Jepang di atas, saya semakin yakin akan kelahiran pusi dalam suatu ritual ketika saya membaca bukunya Cristologus Dhogo yang berjudul Su’i Uwi : Ritual Budaya Ngada dalam Perbandingan Dengan Perayaan Ekaristi. Sebelum membuat perbandingan sebagaimana judul buku, Dhogo menguraikan secara jelas dan terperinci terkait ritual atau upacara Su’i Uwi yang di dalamnya ada pendarasan doa atau mantera (Su’I Uwi) oleh ketua adat: soma atau mosalaki.

Lebih jauh dari itu, Su’i Uwi dalam reba tahunan Ngada merupakan bentuk ungkapan syukur dan terima kasih kepada yang ilahi sebagimana perayaan Ekaristi dalam agama Katolik. Kedua perayaan atau ritual ini sama-sama memiliki rumusan doa dan mantra yang dilantunkan dalam kekhusukan yang mendalam.

Reinard, selain sebagai orang Ngada yang sejauh pengamatan saya, memiliki lekatan dan ikatan yang kuat dengan reba dan Su’i Uwi, juga sekligus seorang biarawan dan calon imam yang sekitar lebih dari sepuluh tahun terakhir, Reinard secara intensif setiap hari mengikuti perayaan Ekaristi, mendaraskan mazmur-merafal doa, enta dalam perayaan bersama maupun doa-doa pribadi. Kedua ritual (budaya dan keagamaan) yang melekat dalam dirinya itulah yang oleh hemat saya berpengaruh besar terhadap kelahiran puisi Mata Laut, Kerinduan dan Kopi Wae Lengga.

Bahwa di balik aroma laut Mbolata ada satu ritus yang sedang dijalankan Reinard. Mungkin saja dalam keheningan yang mendalam (mediatasi) di pantai Mbolata, puisi-puisi itu mekar di matanya. Puisi-puisi itu tidak lain atau tidak bukan merupakn doa yang didaraskan Reinard dalam ritus magis pribadinya. Enta itu ritual budaya maupun ritual keagamaan. Intinya, puisi Mata Laut selanjutnya Kerinduan dan Kopi Wae Lengga merupakan jelmaan tersurat dari bahasa magis Reinard dalam ritual budaya dan keagamaannya.

Realitas

Dalam suatu pidato kebudayaan, Ignas Kleden mengatakan bahwa seni (termasuk puisi) berkembang dirungnya yang sangat privat. Walaupun demikian ada kemungkinan yang terbuka lebar, bahwa ruang yang privat itu berkontribusi untuk civil society (bdk.  Pidato Kebudayaan Ignas Kleden: SENI DAN CIVIL SOCIETY) . Atas kemungkinan itu, hemat saya, sebuah karya sastra termasuk puisi tidak dapat dilepaspisahkan dari realitas. Realitas kehidupan yang dimaksud meliputi alam serta kehidupan budaya, sosial dan politik masyarakat. Pertalian antara sastra (puisi) dan realitas dapat bersifat saling pengaruh. Saling mendahuluai dalam ruang dan waktu. Puisi dapat berpengaruh terhadap realitas (tanggung jawab dan fungsi sosialnya) dan sebaliknya, realitas berpengaruh pada puisi (kelahiran puisi). Dua sifat pertalian atau hubungan ini dapat ditemukan dalam ketiga puisi di atas.

Dalam puisi Kerinduan (empat baris pertama) misalnya, merupakan realitas yang turut mempengaruhi Reinard dalam kekhusukan ritual dan rafalan doa magisnya. Sawah yang tandus, ladang yang hangus, hewan piaraan yang kurus adalah realitas alam yang mangancam manusia. Perubahan iklim dan bencana alam lainnya adalah prahara yang menakutkan manusia. Tersirat bahwa doa meminta hujan dan kelahiran ketiga puisi Reinard, sangat dipengaruhi oleh realitas.

Selain realitas mempengaruhi kelahiran puisi, sebaliknya juga puisi mempengaruhi realitas. Pengaruh puisi terhadap realitas dapat termungkinkan dalam dua hal. Pertama, pengaruh langsung dari puisi sebagai teks atau bahasa yang otonom. Hal itu mungkin dan sekaligus menunjukan kemagisan, kekuatan dan kedasyatan puisi sebagai bahasa (mantra-magis). Kebebasan batin dan penyembuhan (katarsis) karena menulis, membaca atau mendegarkan puisi adalah bukti munkin yang lain. Selain itu, kekuatan bahasa (puisi) yang menjinakan binatang buas serta doa yang terkabul adalah bukti nayata sekaligus imanen dari puisi sebagai teks yang otonom (bdk. Wahyu Wibowo dalam Katarsis, 1984)

Kedua, pengaruh tidak langsung. Merupakan pengaruh puisi yang mengarah pada perubahan pola pikir dan laku serta perubahan sosial. Pengaruh ini dapat disimak dalam puisi Reinard. Rasa cinta yang erat sekaligus terbentangnya rindu yang maha dalam saat Reinard berpisah dengan alam dan masayarakat Wae Lengga dalam Kopi Wae Lengga menurut bacan saya merupakan rasa yang timbul akibat kedua puisi terdahulu (Kerinduan dan Mata Laut). Pengaruh sosial yang mungkin adalah ketika ketiga puisi itu dipublikasikan dan dibaca khalayak akan menjadi semacam berita yang menggerakan orang untuk menoleh sejenak ke Wae Lengga. Menikmati Wisata alamnya (aroma laut) atau pembaca dapat tergerak membantu sesama yang mungkin akan lapar akibat bencana kekeringan yang melanda. Pada titik ini, Reinard sebagai seorang biarawan dan calon imam misionrios Serikat Sabda Allah dengan caranya yang khas menghayati spiritualitas serikat dan amanat Kapitel Jendral; beripihak pada yang lemah, mengutamakan yang terakhir dan menjaga keutuhan ciptaan.

 Singkat kata, ketika membaca ketiga puisi di atas jiwa dan emosi kita seolah sedang mengembara, berdampingan bahkan menyatu dengan realitas, alam dan masyrakat Mbolata-Wae Lengga. Maka benar kalau Putu Arya Tirtawirya dalam salah stu esainya mengatakan banwa puisi merupak abstraksi dari realitas (AEKS: 1987 hal. 23).

Imajinasi

Tentang imajinasi, Wikipedia dengan mengutip pendapat Alfan Arrasuli (2001) memberikan rumusan yang cukup jelas. Imajinasi, menurut sumber tersebut, merupakan sebuah kerja akal dalam mengembangkan suatu pemikiran yang lebih luas dari apa yang pernah dilihat, didengar dan dirasakan.  Dengan imajinasi, manusia mengembangkan sesuatu dari kesederhanaan (alam dan realitas sosial manusia) menjadi lebih bernilai dalam pikiran. Selanjutnya pikiran-pikaran itu diolah dan dikembangkan untuk suatu hal yang lebih bermakna. Imajinasi merupakan peleburan kerja mental, pikiran dan perasan yang berpijak pada realitas.

Sementara imajinasi dalam sastra termasuk puisi merupakan keniscayaan, mesti, tidak boleh tidak. Sastrawan legendaris Gerson Poyk dalam seminar pada acara Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT di Ende, Oktober 2015 lalu, membahasakan imajinasi sebagai sensasi absurd yang timbul akibat debar psikologis dan filosofis dalam diri manusia (misalnya penyair atau sastrawan), ketika manusia berpengkolan dengan realitas kehidupannya. Menurut Gerson, dari imajinasi atau sensasi absurdlah lahir karya-karya sastra dan seni termasuk puisi.

Imajinasi dalam puisi merupakan imajinasi pribadi dari si penyair atau penulis puisi. Membaca puisi Kerinduan, Mata Laut dan Kopi Wae Lengga, saya tersentak akan kedasyatan imajinasi si penulis puisi, Reinard. Imajinasi yang merupakan jiwa dari ketika puisi itu tidak sebatas menerawang, melayang terbang layaknya suatu khayalan belaka tetapi merupakan hasil perjumpaan dan pergulatan yang akrab dan rekat antara penyair dan realitas.

Perjumpaan dan pergulatan itu bisa dalam bentuk ritual majis kebudayaan maupun keagamaan, meditasi dan kontemplasi yang dalamnya mantra dan doa terafal. Ritual, perjumpaan dan pergulatan antara penyair dan realitas dalam ritual dan upacara, doa yang khusuk mantara yang magis dari si penyair yang oleh Ignas Kleden disebut sebagai ruang privat itu, tidak berhenti dan terpatri di pikiran dan perasaan si penyair sendiri dan menjadi milik pribadinya semata tetapi menjelma ke ruang publik sebagai syair atau puisi. Dan itu Reinard buktikan dalam ketiga puisinya Kerinduan, Mata Laut dan Kopi Wae Lengga, bahwa puisi bukan tentang kata-kata yang terangkai indah, bukan sebatas struktur suatu pesan tetapi lebih tentang mata yang terbuka untuk melihat yang terlihat (di sana, di sini dan di situ), tentang hati yang merindu walau tak saling mendekap, tentang mantra dari bibir yang gemetar enta karena menangis atau karena senyum.***

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler