Skip to Content

Roedjito Di Mata Seniman: Pancaran Mistis Sang Maestro

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin

[Alumnus Pascasarjana Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta]

 

Walaupun sang skenografer seperti Roedjito telah lama berkalang tanah, semoga Tuhan memberkatinya, tapi semangat yang diteteskan kepada generasi muda tidak berkarat dan luntur. Karya sketsa dan garis jejak penanya senantiasa menancap dalam prasasti batin kita; seolah-olah hadir kembali mengisi ruang-ruang komunikasi dalam jarak yang tak berhingga. Apa yang telah dilakukan Roedjito dalam karya gambarnya merupakan ziarah; semacam silaturrahmi yang bisa menyambungkan semangat egaliter terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hal ini mengingatkan pada ungkapan guru-guru seni tradisi kita di masa lalu bahwa bagaimanapun sejarah manusia tidak terlepas dari proses pengalaman dan penghayatannya akan kehidupan. Ia hidup dan dibicarakan oleh banyak orang karena hasil karya-karya yang dihasilkan. Hampir dalam seluruh karir kesenimanannya, Roedjito selalu bekerja dan berada dalam kesadaran total untuk menghasilkan kreativitas produksi yang dinawaitukan untuk kehidupan dan kemanusiaan. Hal ini yang menarik dari sikap pribadi Roedjito untuk ditelaah sebagai sebuah medan kajian bahwa hanya dengan keterlibatan penuh atas karya dan kreativitas seseorang bisa survive dan bertahan.       

Melalui tulisan ini kita bisa melakukan perjalanan kilas balik tentang seorang tokoh sejarah tata pentas dan tata cahaya Indonesia yang luas pengalaman dan tajam analisanya dengan komunitas para seniman, aktor-aktris maupun penari dalam berbagai peristiwa kebudayaan. Hal ini yang menjadi tengara mengapa sosok penata panggung ini selalu menjadi perbincangan di setiap efen-efen kebudayaan sampai di pojokan warung seniman. Di mata setiap persona, mungkin keunikan dan kesederhanaan karya-karya Roedjito yang menarik dituliskan karena perjalanan sebagai penata panggung telah menyumbang benih subur dan makna mendalam bagi perkembangan seni pertunjukan Indonesia. “Benih yang baik akan menghasilkan buah yang baik”. Demikian orang bijak mengatakan; bahwa ketika seniman besar seperti Roedjito telah tiada maka karya-karyanya berbicara di hamparan kenangan kita lalu membekas dan menjadi penerang bagi kehidupan.

Spirit inilah yang sampai sekarang tetap menjadi pusaka bertuah dan memberikan pengalaman berharga bahwa Roedjito dengan kekurangan dan kelebihannya adalah sosok pribadi yang memang layak diapresiasi dan diteladani---meskipun di balik itu semua, beliau memang pantas menyandang gelar sebagai ahlulilmi; pemangku ilmu yang dengan segenap jiwa raga dan pengalaman spritualnya mampu memberikan efek secara langsung kepada penonton maupun kepada pelakunya. Sikap totalitas dan kesetiaan pada profesinya sebagai penata rupa inilah yang menempatkan Roedjito sebagai seniman sekaligus tokoh yang menginspirasi jutaan seniman-seniman di Indonesia.

Roedjito lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 21 Juni 1932, Roedjito belajar melukis sejak 1956. Ia membidani lahirnya Jurusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta bersama Oesman Effendi, Zaini, dan Nashar. Ia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI (1954-1959), dan di tahun 1970 belajar di East West Centre, Hawai. Dalam perjalanan berkesenian di beberapa kantong kebudayaan Indonesia, Roedjito mengalami masa-masa  bertuah paling tidak dari sejak tahun 1967 sampai ajal menjemput tahun 2003 memahat berbagai cakrawala dan kreasi pemanggungan----- khas Roedjito---- yang menurut Yasraf Amir Piliang (2007-37) disebut dengan “semiotika ketakberhinggaan”. Menurutnya “bagaimana membaca sebuah gambar yang hanya terdiri dari titik, garis, dan bidang; tidak ada figure, tidak ada sosok, tidak ada ikon? Apakah titik, garis dan bidang itu dapat menjadi tanda? Apakah titik, garis dan bidang itu an sich bermakna? Apakah makna itu bersifat individual atau kolektif? Apakah ada semacam aturan main, konvensi atau kode tertentu di balik kombinasi unsur-unsur gambar itu, sehingga mampu memproduksi “makna” tertentu yang bersifat kolektif dan sosial?

Penjelasan Yasraf Amir Piliang ini menurut penulis menjadi sebuah tanda dan petanda dalam kehidupan Roedjito itu sendiri yang membungkus sebuah pertanyaan dan rasa penasaran. Ya itulah Roedjito, dengan segala pernak pernik kehidupannya menarik dilukiskan dan digambarkan. Ia bersifat mistis namun anggun, ia bersikap gagah namun kaya dengan spritualitas yang memancarkan sikap nasionalisme dan kebersamaan.

 Dalam aktivitas berkesenian, kita bisa melihat, Roedjito banyak berkiprah dan terlibat dalam lapangan pertunjukan dan kebudayaan seperti teater, tari, musik, seni rupa bahkan film. Dari bidang-bidang kesenimanan tersebut, hampir tak ada teater modern Indonesia yang panggungnya tidak disentuh tangan dingin Roedjito. Rendra dalam berbagai pertunjukan modern dengan Bengkel Teaternya selalu meminta Roedjito sebagai penata artistiknya untuk mengorganisasi suatu ruang total lewat coretan, goresan sketsa atawa penataan pemanggungannya; sebuah karya instalasi yang akrab yang kalau boleh saya sebut senyawa dengan Richard Schechner penggagas teater lingkungan yang menggabungkan antara teater dan antropologi. Konsep teater lingkungan ini dikenal dengan Performing Art yang merupakan basis teater invironmental; yang mana seluruh ruang secara aktif dilibatkan dalam seluruh dampak pertunjukannya. Dalam hal ini, Roedjito (2007:133) menyebutkan istilah invironmental adalah kegunaannya memberi batasan suatu pendekatan estetik untuk pementasan yang menetapkan suatu kondisi yang sangat terkontrol sehingga transaksi yang mempertunjukkan, ruang dan ide dapat berkembang secara organik.

Dalam pertunjukan Rendra yang bersifat teatrikal misalnya---biasa disebut teater mini kata---menggunakan kata secara minim---merupakan seni pentas pertunjukan yang fleksibel dengan improvisasi-inprovisasi gerak pemainnya terhadap ruang. Artinya responsi pemain tergantung pada jarak ruang dan jarak waktu yang menyentuh seluruh area di mana penonton hadir dan berada atau pemain yang berpentas. Roedjito sebagai skenografer sangat paham apa yang menjadi keinginan Rendra dalam pertunjukan pertamanya; seperti pada judul “Bip-Bop” dan “Menunggu Godot” pada tahun 1969 yang merupakan langkah awal dari Bengkel Teater melakukan revitalisasi dan reinvensi serta pembaharuan dalam pemikiran teater Indonesia modern.

Begitu juga halnya Putu Wijaya ketika mengenal Roedjito pada awal-awal di Bengkel Teater saat pertunjukan “Oedipus Sang Raja”. Putu mempunyai kesan mendalam yang nyaris sama dengan Rendra atas kebaruan dan keunikan sudut pandangnya----meminjam istilah Muji Sutrisno---Mata Lukis----yang memberi nyawa terhadap pertunjukannya. Putu Wijaya sebagai dramawan kala itu mengaku kepiawaian Roedjito sebagai penata artistik yang sangat inspiratif seperti yang dikatakan Putu Wijaya (2007;17) bahwa dalam pertunjukan Indonesia modern, Roedjito selalu menggunakan properti sederhana seperti pada penggunaan level, kotak-kotak, bambu, dolken, kain-kain, umbul-umbul, tali-tali, tikar, serta janur dan sebagainya. Menurut Putu apa yang dilakukan dengan benda-benda murah dan sederhana----bukan murahan----setidak-tidaknya kalau bukan diciptakan, telah digalakkan oleh Roedjito; tanpa mengurangi andil dari para penata artistik dan sutradara-sutradara yang waktu itu memulai sebuah “tradisi baru” yang kini bisa dijadikan referensi bagi langkah teater Indonesia modern berikutnya. Roedjito menurut Putu----telah ikut membawa dan mendorong teater tidak lagi kepada pertunjukan yang bertele-tele, tetapi cepat, sigap, praktis, dan membumi.   

Dalam pertunjukan Putu Wijaya dengan Teater Mandiri---memiliki ciri-ciri pertunjukan yang lebih mengutamakan improvisasi yang lentur dan luwes dari para pemainnya. Ada efek-efek artistikal yang hendak disampaikan dalam gerak dan properti yang dimainkan; seperti penggunaan dolken-dolken bekas, kain dekor atau tali tamali yang dililitkan dalam bidang-bidang pentas pertunjukan. Putu mengaku bahwa apa yang digarap dalam pertunjukan bersama teater Mandiri terinspirasi dari apa yang dilakukan  Roedjito. Seperti pada penonjolan set sampah layar---menjadi bidang-bidang di dalam set yang sangat kaya dan imajinatif sehingga menurutnya---tercapai imaji-imaji yang ramah dan fantastik dengan biaya yang sangat murah.

Begitu juga Roedjito terlibat dalam karya pertunjukan Arifin C Noer, Teater Koma Nano Riantiarno, Satu Merah Panggung Ratna Sarumpaet, Teater SAE Budi S Otong, Teater Kubur Rachman Sabur, pementasan tari Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Gusmiati Suid, Farida Utoyo, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ibu Dewi penari Topeng Cirebon hingga Mimi Rasinah yang pernah dipersiapkan Roedjito dengan sebuah penataan pentas yang ramah dan dengan seluruh sense kreativitas dan penginderaannya. Ini adalah salah satu upaya Roedjito dalam ajang silaturrahminya dengan beberapa kolega seni yang ia raba dengan baik dengan tetap mempertahankan ideologi berkesenian serta mempertaruhkan idealisme kepentasannya. Silaturrahmi yang dibudidayakan Roedjito dalam karya-karya artistiknya merupakan sebuah peninggalan dan warisan yang sampai sekarang sering tampil sebagai ikon; sebagai gaya instalatif yang jejak-jejak mata airnya diteruskan oleh pengagum-pengagumnya.

Bisa dikatakan apa yang digarap Roedjito dengan tata artistiknya memberi makna komunikasi---meminjam istilah Roedjito----sebagai sebuah roh dalam pikiran, sebagai sebuah badan dalam alam dan sebagai jiwa dalam perasaan. Dalam hal ini, Roedjito jelas bukan bekerja tanpa proses. Dari tiga tahun keberpulangannya ke alam tak berhingga, ia tetap memiliki kesan sebagai manusia yang memiliki stamina muda untuk berhijrah menapaktilasi ziarah panjang luas kebudayaannya. Selain sebagai penata panggung, Roedjito adalah seorang pemikir yang kaya dengan wawasan berkat dunia bacaannya yang luas. Tiada hari tanpa membaca. Begitu motto Roedjito yang selalu diucapkan kepada mahasiwa-mahasiswanya di IKJ di sela-sela mengajar. Meskipun ia telaten dengan dunia bacaan, Roedjito tetap memilih diam sebagai seorang pertapa dan pemikir sejati yang selalu merayap di kesenyapan dan tidak ada kehendak menonjolkan diri.

Mbah Djito sapaan akrabnya, merupakan empu sekaligus guru yang akrab di kenal di lingkungan kampus Institut Kesenian Jakarta; dalam sosoknya sebagai ayah dan sahabat yang tak banyak bicara namun terbukti menghasilkan sketsa-sketsa hitam putih yang mengesankan; hal itu terlihat dari hasil sketsa pada kertas-kertas kecil yang dilukisnya yang tidak hendak menggurui. Salah satu yang paling mengesankan penulis ketika berkunjung ke rumahnya di bilangan Cikini Jakarta; waktu itu ada tugas pelajaran artistik dari dosen Sonny Sumarsono; sebuah deskripsi miniatur tata pemanggungan naskah “Motinggo Busye” dengan judul “Malam Jahanam”. Beliau berujar dengan gaya diplomasi seorang pertapa bahwa “dalam menggarap sebuah pentas tidak terlepas dengan gagasan mise en scene; yaitu sebuah aksi yang hidup dalam ruang dan waktu. Dalam proses penggaparan mise en scene pertama yang harus dipikirkan adalah menyusun dan menggarap sebuah struktur penataan yang mencakup bahasa, gerak, action, warna, cahaya dan segala aspek-aspek spektakel yang menetap dalam sebuah karya. Di dalam struktur permainan, seorang pemain akan menemukan sebuah gerak improvisasi yang didasarkan atas kondisi ragawi, keruangan dan kejiwaan yang langsung.

Berangkat dari penjelasan mengenai struktur pertunjukan ini terlihat kepada kita bahwa Roedjito mempunyai horison dan cakrawala bacaan yang sangat luas setebal kacamata dan buku-buku literaturnya. Hampir di setiap sisi pintu dan jendelanya kala itu penuh dengan tumpukan buku-buku bermutu yang tersusun menggunung; menurut informasi sudah dihibahkan sebagian ke perpustakaan Institut Kesenian Jakarta. Kita bisa bayangkan bagaimana cara Mbah Djito menggulati dunia bacaannya sehingga beliau fasih menjelaskan dari hal-hal yang kecil dan besar. Sejatinya, ia sangat taktis dan selalu mencari alasan dan peluang dalam mendeskripsikan semua gagasan artistiknya; yang tentu saja menjadi logis. Sepintas apa yang digambarkan Roedjito dalam diskusinya nampak samar dan datar namun banyak sekali mutiara dan hikmah dari kalimatnya yang jujur dan bermutu---sebagaimana istilah orang asing mengatakan dengan “perpustakaan yang berjalan”.

 

Efek Visual Yang Menyeluruh

Membaca Roedjito dalam karya-karya visual pertunjukan memperlihatkan sebuah pribadi dan karakter sederhana; hitam dan putih. Kendati hitam dan putih yang menonjol dalam setiap karya-karyanya tapi memperlihatkan kesamaan dari segi penggunaan warna yang konsisten dengan bidang putih; sehingga apa yang kita lihat terasa sebuah pemandangan mistis dengan perpaduan hitam putih yang menggelitik. Efek-efek kerupaan yang digambarkan Roedjito dalam seni pertunjukan mengorganisasi sebuah performa visual yang tamat dan menyeluruh. Organisasi visual dalam setiap skenari dikerjakan dengan susunan; suatu sense pertunjukan yang digubah dari hubungan yang utuh dengan gerak dan maknanya.

Berkait dengan susunan dan struktur pentas pertunjukan ini Roedjito (2007:122) berpendapat bahwa “pentas merupakan pusat dari pertunjukannya. Di dalam dunia yang tumbuh dan terpisah ini ada lagi dunia yang terpisah lainnya, ke mana mata dan telinga diarahkan, yaitu pentas yang merupakan pusat dari teaternya. Kemampuan daya resapnya tak terhingga dengan suhu tinggi dari apa yang mau dipergelarkan. Dia mentransmit kekuatan dan bentuk kesenian secara simultan. Ini merupakan potensi yang inner dari pertunjukannya. Bentuk pertunjukan di sini ditentukan oleh hubungan antara penonton dengan ruang pentasnya”.    

Dari analisa di atas ini Roedjito hendak memaparkan kepada kita bahwa efek-efek visual yang tergelar sepanjang tontonan haruslah mempunyai visi dan tujuan ke mana para aktor dan aktris bergerak yang seyogyanya diselaraskan dengan gerak dan motivasi bermain. Dalam hal ini, Roedjito memaknai skenari pentas dalam pertunjukannya dengan sesuatu yang memberi efek; sebuah gradasi yang menyebabkan pertunjukan menjadi kaya dan hidup. Hal tersebut terletak pada bagaimana seorang pemain menstransformir ruang dan pola-pola gerak yang dipentaskan. Mengenai efek-efek visual ini, Roedjito berpendapat bahwa “suatu jangkauan gerak yang kaya, bisa dicapai dan bisa dimanfaatkan bila dituntut dalam pertunjukan. Bagi pemain, tidak ada posisi yang penting atau tidak penting, aksi dan reaksi sama pentingnya; pemain yang mendengarkan sama pentingnya dengan pembicaranya”. 

Dalam hal ini kita bisa melihat betapa praktis dan sederhananya Roedjito memaparkan sebuah konsep seni pertunjukan dalam setting-setting skenografinya. Proses penggarapan skenari, setting dan tata cahaya yang ditransformasikan ke dalam pentas menggambarkan filosofi yang sangat mendalam---meminjam istilah Herry Dim----estetika bersama semesta----mempresentasikan sebuah sketsa dan gambar yang utuh, menyeluruh dan berpadu dalam bingkai-bingkai pertunjukannya.

Kita bisa melihat cara sederhana ia mendesain sebuah properti seperti medium pelepah pisang yang berpadu dengan sketsa skenografinya yang hitam putih; sederhana namun mendasarkan pada kesadaran kosmik; mengintegrasikan diri dengan bentuk dasar alam semesta sebagai daya pacunya. Hitam dan putih sebagai sebuah karakter merupakan efek yang memberi kekuatan pada terang gelap; sebuah efek visual pertunjukan menyeluruh ketika pertunjukan dimulai dan diakhiri. Seperti juga yang diurai oleh Roedjito bahwa hidup manusia berkisar di sekitar peredaran gelap terang kehidupan sehari-hari. Gelap memiliki suatu pengaruh yang kuat dan pekat atas sadar dan rasa bawah sadar manusia.

Berkait dengan efek visual ini, bagaimanapun tata cahaya dalam seni pertunjukan merupakan pengungkap sebuah kehadiran bentuk yang tidak tanpak kemudian mewujud pancaran sinar dari titik-titik tertentu dari sebuah komposisi. Menurut Roedjito (2006) tata cahaya merupakan rangsangan utama terhadap otak manusia dan manusia sangat peka akan setiap ransangannya. Setiap perubahan hanya ada pada cahaya yang melahirkan kualitas (nada warna) dari suasana di seputarnya. Artinya, segala perubahan dan perbedaan pada cahaya yang memancar, dimaksudkan untuk melahirkan kualitas dari pada yang dipancarinya.

Dalam film “Daun Di atas Bantal” garapan Garin Nugroho (sutradara film), (Sumber: Majalah Tempo Interaktif Tgl 29 September 2003), Roedjito yang menjadi skenografer sebagai art director berupaya secara kreatif merekam sudut-sudut kota Malioboro dengan sketsa kehidupan anak jalanan; menggambarkan hubungan antar ruang dan waktu dan membangun sebuah unsur terkecil artistik yang dibangun dan merepresentasikan sebuah kompleksitas kehidupan manusia urban yang sarat dengan problematikanya. Dalam proses kerjanya, Roedjito dengan gayanya bak pertapa nyaris tidak bersuara. Tapi beliau ada dan selalu menunjukkan sikap kreatif dan cenderung filosofis dalam melakoni semua pekerjaannya. Sebagaimana yang dicatat Garin Nugroho bahwa “Roedjito kerap tak tercatat dan tak terdefinisikan ruang kerjanya. Tapi ia selalu ada dan mengada. Ya…begitulah Roedjito dengan segala sifat dan sikap serta  karakter yang melekat dalam jiwanya tidak bisa dipungkiri bahwa ia senantiasa sebagai seorang pejalan budaya yang berjalan dengan kesadarannya dan menemukan sebuah trade mark yang mampu mempertemukan tradisi budaya barat dan timur dalam karya skenografinya.

 

Sebuah Pengabdian

Kalau kita analisa lebih jauh tentang tentang karya-karya Roedjito dalam aspek kerupaan, kita melihat bahwa aspek kekaryaannya memiliki kecenderungan kuat untuk berdialog dengan alam dan penciptanya. Seperti yang terlihat dalam karya religiusnya seperti bentuk masjid, orang beribadah, atau kaligrafi arab yang mengutip kalimat-kalimat Al-Quran adalah sikap kesufiannya untuk selalu berada dalam bingkai ibadah. Pengolahan gambar, sketsa atawa titik dan garis kecil pada bagian-bagian bidang komposisinya; baik dalam bentuk, gaya, corak, lambang, bahasa, warna dan gaya menyeru menengadah kepada kemahaesaan Allah sebagai pemilik alam semesta yang Maha Tunggal.

Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa seluruh aktivitas kekaryaan dan performa keseharian Roedjito sama besar dengan penghayatan dan pengalamannya terhadap kehidupan. Tanpak ia benar-benar seorang muslim sejati yang berupaya dengan sadar bahwa aspek kekaryaannya tidak terlepas dengan spirit-spirit keislaman yang berupa uraian-uraian bersahaja dan cerminan keikhlasan dalam menjalani masa-masa kesenimanannya.

Dalam hal ini, Roedjito berusaha menyelaraskan proses berkeseniannya dengan seni islam. Ia berupaya dalam setiap proses berkesenian bertujuan untuk kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Ukuran kesalehan sebagaimana yang dikatakan Sobari (2007:39) diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial. Dalam agama, dua kesalehan itu merupakan wajah sebuah kemestian yang tak usah ditawar. Secara normatif, keduanya haruslah merupakan bagian hidup tiap-tiap hamba. Pendeknya, secara ritual kita saleh, secara sosial pun kita mestinya saleh juga.

Kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam bingkai karyanya, semata-mata ditujuan untuk mensejajarkan hubungan vital penghambaan antara hubungan Hablumminannas dengan manusia dan hubungan hablumminallah dengan Allah. Salah satu cara untuk membina kesalehan sosial ini, Roedjito selalu memberikan ruang kepada yang muda-muda dalam bentuk workshop di Komplek Taman Ismail Marzuki; sebuah usaha yang menurut penulis nilai sebagai sebuah pengabdian tanpa balas jasa yang diperuntukkan untuk sebuah kebenaran total dan kebenaran orisinil yang memancar dalam pribadi kesenimanannya. Dalam hal ini Roedjito mengharapkan kepada generasi-generasi para seniman bahwa senantiasa bertindak dan bersikap kreatif terhadap segala situasi yang melingkupi. Menurutnya orang kreatif adalah yang peka terhadap dunia di mana dia hidup. Menanggapi dengan kesadaran penuh terhadap rupa, bunyi, tekstur, bau dan pikiran serta perasaan orang lain. Selalu belajar melihat, mendengar dan merasakan guna mempertajam kepekaaan serta membangun suatu ketulusan untuk menerima dunia di seputarnya dunia masyarakat, alam, dan ihwal dimana lingkungan ia berada.

Di titik inilah kita mengenang pada kesenimanan Roedjito yang bukan sekedar tukang tetapi guru keindahan yang dengan dedikasinya tanpa lelah berjaga sampai akhir dipanggil Sang Pencipta. Dalam titik ini pula kita sulit lagi menemukan sosok Roedjito yang mistis dan pendiam namun brilian dengan gagasan yang menjadi inspirasi pikiran banyak orang. Kini sang pendekar bayangan (meminjam istilah Garin Nugroho) atau meminjam istilah Rendra (sosok Religius) atau juga disebut Herry Dim (seorang Sufi) telah pergi meninggalkan kita semua. Namun karya-karya mewujud dan membumi. Rendra (katalog pameran Roedjito;135) menyatakan : Kepada Allah Mas Roedjito bersujud, menjadi garis. Garis menari, meruang. Ruang bercahaya. Mewarna. Merona. Mas Roedijto bersujud mewaktu.

 

Roedjito karyawan Tuhan. Seniman sufi yang setia kepada risalah tauhid  dengan mendekatkan dan mengabdikan diri di lembaga tanpa pamrih semata-mata Lillaahi Ta’ala.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agus Arya Dipayana, Wariasan Roedjito sang Maestro Tata Panggung Perihal Teater dan Sejumlah Aspeknya, Djakarta Dewan Kesenian Jakarta: 2004.

Garin Nugroho, Film: Daun Di atas Bantal, Majalah Tempo Interaktif, Jakarta: 2003.

Majalah Mata Air, Jakarta: 2007.

Edi Haryono, Rendra dan teater modern Indonesia: kajian memahami Rendra melalui tulisan kritikus seni, Universitas Michigan, Kepel Press, 2000.

Umar Kayam, Seni Tradisi Masyarakat, Sinar Harapan, Jakarta: 1981.

Yudiar Yani, Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi (Yogyakarta: Pustaka GondhoSuli), 1999.

 

 

Pengalaman Studi :

1991   :  Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura.

1992 :   Alumni Padepokan Seni Bagong Kussudihardjo Yogyakarta.

1993 :  Magang teater di Bengkel Teater Rendra Cipayung Depok.

2007    :Alumni Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta.

2011 :  Alumni Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Pengalaman Mengajar

1992      : Mengajar kesenian di Pondok Pesantren Al-Irsyad Bondowoso.

1993      : Mengajar kesenian di Pesantren Daarul Muhlisin Pulo Gebang Jakarta.

1994      : Mengajar teater dan tari di SMA Muttahhari Kiara Condong Bandung.

1995      : Mengajar kesenian di Pesantren Al-Ibrahimy Pekalangan Bondowoso.

1996      : Mengajar kesenian di Pesantren al-Amien Prenduan Sumenep Madura

1999    : Mengajar kesenian di Pesantren Bali Bina Insani Meliling Tabanan Bali.

Pengalaman Pentas :

1996 : Menjadi Koreografer dalam lakon “Pohon Suara” bersama komunitas Sanggar Dzikir Prenduan Sumenep Madura di Studio RCTI Kebun Jeruk Jakarta.

1996 : Menjadi Sutradara dalam lakon “Sujud” bersama komunitas Dzikir kerjasama dengan RCTI dalam Lomba Pemahaman Al-Qur’an Tiga Bahasa di Pesantren Al-Amien Sumenep Madura

1997 : Menjadi Koreografer dalam Lomba Koreografi Tingkat Nasional dalam judul “Temaram” di Gedung Kesenian Jakarta.

1999 :  Menjadi Koreografer dalam Lomba Koreografi Tingkat Nasional dengan judul “Tahta” kerjasama dengan komunitas Pesantren La Rayba Tabanan Bali di Gedung Kesenian Jakarta

2000 :   Menjadi Sutradara “Pesta Seni” di Gedung Mario Tabanan Bali

1996 : Menjadi Sutradara dalam lakon “Geliat Gumam Musafir Sketsa Tiga Wajah” dalam rangka Kesyukuran Setengah Abad Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura.

2002 :     Menjadi pemain naskah Indonesia dan Eropa studi pemeranan di Gedung Teater Luwes IKJ seperti Fajar Sadik (Emil Sanosa), Kucing Hitam (Edgar Allan Poe), Perjalanan Kehilangan, Badai Sampai Sore dan lain-lain.

2005 : Menjadi Asisten Sutradara dengan lakon “Montserat” dengan arahan sutradara Josep Ginting di Gedung Kesenian Jakarta.

2006 : Menjadi Pemain teater dengan lakon “Perkawinan” dengan arahan sutradara Junian Ucok Siregar Produksi Teater Aristokrat Jakarta.

2005 :     Menjadi Pemain dalam lakon “Mentang-Mentang dari New York” bersama Teater Getapri arahan Tatik di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta.

2005 :     Menjadi sutradara dalam acara Rampak Beduk di Jana Praya Lombok Tengah.

2006 : Menjadi Pemain teater “Akal Bulus Scapin” bersama Teater Café sutradara Suryadi Sanubari di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta.

2006 :  Menjadi Sutradara dengan lakon “La Hila” bersama Teater Getapri di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta.

2006 :   Menjadi Sutradara dan peneliti dalam lakon “Hikayat Mendu” di Sedanau   Bunguran Barat Kepulauan Riau.

2007 :     Menjadi Penari dalam lakon “Poligami” di Komnas HAM Tebet Jakarta bersama Sanggar Kipas.

2007 :     Instruktur pentas Teater Tradisi Mendu dalam Gelar Budaya Melayu Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan sutradara Ahmadiah Zulman.

2011:      Menjadi koreografer/sutradara pada Festival Musik Perkusi Lontar di Arek lancor Pamekasan Madura

 

Pengalaman Menulis :

1997     : Menulis skenario panggung “ Pengadilan Nurani ”

1991     : Menulis panduan estetika gerak untuk sanggar dan sekolah.

1992     : Menulis skenario film Bintang kecil di Atas Kubah

1993     : Menulis syair dan lagu kelompok musik Ababil

2007   : Menulis buku Teater Tradisi Melayu

2007   : Menulis buku Teater tradisi Mendu Melayu Natuna

2008  : Menulis buku Monolog ”Upaya Memaknai Pesan Edgar Allan Poe Dalam Studi Keaktoran

2008   : Menulis buku Teater tradisi Nusantara (dalam proses)

2008   : Menulis buku Sejarah Teater Asia (dalam proses)

2008    Pengucapan Teater Tutur : Sebuah Ekspresi Teateral Dalam pedalangan Jurnal Pohon Hayat IKJ (2008)

2009    Resensi  buku karya Marco Kusuma Wijaya “Upaya Memaknai Pesan Marco Kusuma Wijaya dalam Jendela “KOTARUMAHKITA” proses penerbitan jurnal Pohon Hayat IKJ. (2009)

 

Kegiatan ilmiah yang Pernah Diikuti         :

1.    Seminar (Semiloka) Seni Urban dan Industri Budaya Auditorium JCC Jakarta (2008)

2.    Seminar IDF Graha Bhakti Budaya TIM (2008)

3.    Seminar Seni Urban Pascasarjana IKJ di Gallery Seni Rupa Hadi Pranajaya Jakarta (2008)  

4.    Seminar Seni Urban Pascasarjana IKJ di Gallery Seni Rupa Edwin’s Gallery Jakarta (2008)

 

           Ketertarikan pada seni tradisi telah mengantarkan dirinya bersilaturrahmi pada lawatan ke beberapa daerah dalam acara workshop dan penelitian seni tradisi seperti Tabanan, Karang Asem, Lombok Praya, Sumenep Madura, Bondowoso, Lumajang, Bunguran Barat Natuna Kepulauan Riau dan Ubud Bona Bali. Saat ini mengajar di almamaternya Institut Kesenian Jakarta Fakultas Seni Pertunjukan pada Teater Nusantara dan Teater Asia. Saat ini tengah melanjutkan studi Pascasarjana S2 di Institut Kesenian Jakarta dalam minat seni Penciptaan ” Seni Urban dan Industri Budaya”.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler