Skip to Content

SASTRA MEMULIHKAN STIGMA BANGSA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: SUDARYANTO

 

Buku merupakan bagian penting dalam penciptaan dialog antarbangsa. Bukan hanya buku berjenis nonfiksi, tetapi juga fiksi atau karya sastra. Setiap karya sastra yang ditulis, pada umumnya berkisah tentang kehidupan suatu bangsa. Tentu saja, di sana kita akan temukan perbedaan budaya, keyakinan, dan nilai. Akan tetapi, yang juga menarik adalah perbedaan kreativitas pengarangnya dalam menuliskan kehidupan itu.

Tengoklah, pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya Pram dinilai kaya dengan berbagai persoalan bangsa. Melalui karya-karyanya yang tergolong roman sejarah, Pram sangat peka terhadap kekalahan bangsanya yang bertitik tolak dari kelemahan bangsa sendiri. Karya-karya Pram merupakan refleksi tentang segala keunggulan dan kelemahan manusia Indonesia dalam menghadapi realitas hidup masa kininya.

Dalam Korupsi (1954), Pram menyampaikan kritik atas mentalitas manusia Indonesia yang koruptif. Bahkan, secara terang- terangan, ia juga menuding sumber kebobrokan moral (korupsi) bersumber pada dua hal: uang dan kekuasaan. Meski, kata A Teeuw (1997), Pram terlalu bersikap melodramatis dan berlebih-lebihan dalam mengungkapkan mentalitas korupsi, tetapi tetap saja roman itu menarik untuk dibaca.

Di samping itu, jelaslah kenyataan karya sastra dapat berperan bukan hanya sebagai informasi tentang mentalitas sebuah masyarakat/bangsa, tetapi juga informasi tersebut dapat berperan sebagai alat untuk berdialog dengan bangsa lain. Dalam hal ini, karya-karya Pram banyak dijadikan bahan penelitian para pengamat Indonesia di berbagai bidang, tidak hanya sastra, tetapi juga sejarah, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Seperti Prof Dr Koh Young Hun dari Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Seoul, Korea Selatan, yang secara khusus mengkaji karya-karya Pram dari sudut kultural. Pengkajian yang tentu membuka peluang dialog di antara budaya kedua bangsa.

Di luar Pram, tentu masih banyak karya-karya sastrawan Indonesia yang juga sama menariknya untuk dibahas, diteliti, dan dijadikan bahan dialog antarbangsa. Akan tetapi, jumlah karya sastra Indonesia yang dapat diakses memang sangatlah sedikit. Bagi Peter Ripken (2007), hal tersebut terjadi lantaran banyak karya sastra berbahasa Indonesia yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa asing, sekurangnya dalam bahasa Inggris.

 

Ketertinggalan kita

Menurut Ripken, di pasaran buku di Jerman terdapat sekitar 125.000 judul fiksi yang dicetak, hanya 40 persen di antaranya merupakan terjemahan. Namun, hingga akhir 2006 hanya terdapat 20 buku fiksi terjemahan dari Indonesia, 6 dari Thailand, dan 3 dari Malaysia. Sementara negara Asia Tenggara lainnya, seperti Brunei, Laos, Filipina, dan Timor Leste nyaris tidak ada. Akibatnya, karya-karya penulis Asia Tenggara kurang dikenal di pasaran negara-negara Barat.

Sementara di bagian lain, terutama dari China dan India, cukup banyak karya sastrawan lokalnya yang terwakilkan.

Selain faktor pengarang, langkanya buku-buku atau karya sastra Indonesia di pasar buku internasional juga akibat masih terbatasnya tenaga penerjemah yang cukup baik.

Faktor berikutnya adalah penerbit lokal, yang juga (nyaris) tidak ada yang fokus untuk menerbitkan dan mendistribusikan karya-karya Indonesia khusus ke pasaran internasional.

 

Melenyapkan stigma

Kondisi ini semakin tidak mudah dipecahkan karena pemerintah semestinya tidak peduli. Pemerintah tampaknya tidak memiliki kepercayaan pada produk-produk kesenian sebagai salah satu kekuatan diplomasi yang sangat tangguh.

Berbeda dengan apa yang terjadi di banyak negeri lain. Hampir semua negara Barat dan maju (seperti Jepang) yang sangat menyadari posisi dan peran diplomasi kebudayaan sebagai dasar yang kukuh untuk diplomasi dalam bentuk lainnya.

Betapa menarik, apabila, misalnya, bangsa lain mengenal kita lewat bacaan-bacaan, katakanlah, yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmad Tohari, Afrizal Malna, Putu Wijaya, Rendra, dan sebagainya. Mereka yang dalam tataran dunia sebenarnya juga termasuk sebagai pembaru, atau sekurangnya menjadi alternatif bagi keragaman bentuk dan gaya yang sudah ada di dunia. Akan tetapi, dunia tidak tahu. Pasalnya, tidak ada yang memberi tahu.

Kerja sama semua pihak menjadi penting untuk mengenalkan bahwa Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang hanya ahli korupsi dan melakukan kekerasan atau teror. Akan tetapi, juga memiliki kebudayaan tinggi sebagaimana yang ditunjukkan oleh karya-karya sastranya. Segeralah kita memulainya. Apakah harus menunggu pemerintah yang bebal itu menyadarinya? Atau kita sendiri bergerak lebih dulu? Kita juga yang menentukan.

 

SUDARYANTO Mahasiswa Magister Linguistik Terapan Universitas Negeri Yogyakarta

sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/08/03/04094353/sastra.memulihkan.stigma.bangsa

Komentar

Foto Rangga wijaya

Apa yang dibahas dalam teks

Apa yang dibahas dalam teks tersebut..?

Foto Rangga wijaya

S t r u k t u r n y a a p a

S t r u k t u r n y a a p a

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler