Skip to Content

SASTRA MUTAKHIR KITA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Budi Darma

Senin, 22 Juli 2013 12:42

 

DIMENSI MASA DEPAN

Karena waktu terus berjalan, makna "mutakhir" selalu bergeser. Makna "mutakhir" pada sastra Balai Pustaka tentu berbeda dengan makna "mutakhir" pada Angkatan 45, dan makna "mutakhir" pada Angkatan 45 juga berbeda dengan makna "mutakhir" pada perkembangan-perkembangan sastra selanjutnya. Makna "mutakhir," tentu saja, mengacu pada perkembangan terakhir.

Namun ingat, sastra mutakhir, kapan pun mutakhir itu, apakah pada masa lampau, masa kini, atau pun masa depan, pasti diancam oleh hukum survival of the fittest. Sastrawan yang tidak kuat, dan karena itu karya-karyanya tidak memiliki dimensi masa depan, pasti akan diganyang oleh perkembangan waktu. Dalam waktu hanya beberapa tahun, karya mereka gugur, dan karena itu karya mereka tidak lagi masuk dalam peta kekuatan sastra.

Karena itu, percayalah, bahwa pengetahuan kita mengenai sastra Balai Pustaka, sastra Pujangga Baru, sastra Angkatan 45, dan seterusnya, pasti berbeda dengan pengetahuan khalayak sastra pada saat sastra dalam periode-periode tersebut masih berjaya. Datanglah ke Pusat Dokumentasi H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta. Tengoklah arsip-arsip lama, dan kita akan sadar, bahwa kita akan menemukan karya-karya sastra yang pada masa lampau benar-benar berjaya, namun, ternyata, sekarang kejayaan karya-karya tersebut sudah gugur.

Lalu, berhadapan dengan kenyataan bahwa perkembangan waktu pasti membawa hukum kristalisasi dan hukum "the survival of the fittest," kita bisa bertanya: mengapa tidak semua karya sastra sanggup menghadapi dimensi masa depan? Ingat, kendati sastra adalah organisme hidup, sastra sama sekali bukan jasmani. Dalam berhadapan dengan jasmani, tentu kita mudah menjawab pertanyaan: mengapa orang-orang yang sekarang masih muda, kelak akan menjadi tua, dan akhirnya akan meninggal?

Masing-masing jasmani akan meninggal, tidak lain karena jasmani adalah jasmani, dan karena itu tentu tidak sanggup untuk terus-menerus berhadapan dengan dunia yang makin tua. Dan jasmani bukan hanya terbatas pada tubuh manusia dan hewan, namun juga segala sesuatu yang wujud: bangunan, tanaman, senjata, dan entah apa lagi.

Sastra, sebaliknya, bukan jasmani. Dari segi jasmani, karya sastra memang dapat dicetak-ulang, disunting, dan kalau perlu huruf-hurufnya pun dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dalam sastra dunia, misalnya, jasmani karya Shakespeare dulu berbeda dengan jasmani karya Shakespeare sekarang, dan dalam sastra kita, jasmani karya Chairil Anwar berbeda dengan jasmani karya Chairil Anwar pada waktu dia masih hidup.

Dalam konteks perkembangan waktu, tentu saja, titik berat karya sastra bukan jasmaninya, namun kemampuannya untuk menembus masa depan. Juga dalam konteks perkembangan waktu, ungkapan masa hidup seni lebih panjang daripada masa hidup manusia, dapat berlaku. Karena itu, simaklah sekian banyak sonet Shakespeare mengenai konfrontasi cinta dengan waktu. Orang yang bercinta dapat meninggal, namun, sekian banyak sonet Shakespeare yang mengungkapkan rasa cinta, ternyata, tidak lekang sampai sekarang.

Sebagai misal, lihat "Sonnet 65" karya Shakespeare. Setelah menyatakan bahwa segala sesuatu akan hancur, dengan tenang, melewati baris terakhir sonnet, speaker sonet berkata: "… in black ink my love … still shine bright" ["… dengan tinta hitam cinta saya … tetap bersinar terang."] Dan memang, sonet ini, sebagaimana halnya sonet-sonet lain Shakespeare, sampai sekarang masih dibicarakan, kendati tulisan jasmani aslinya, yakni tinta hitam, sudah musnah.

Lalu, simaklah petikan kata-kata Francis Bacon, dalam esai The Advancement of Learning (1605):

 

We see, then, how far the monuments of wit and learning are more durable than the monuments of power or of the hands. For have not the verses of Homer continued twenty-five hundred years or more, without the loss of a syllable or letter; during which time infinite palaces, temples, castles, cities, have been decayed and demolished?

[inti: buah pikiran manusia mempunyai usia yang jauh lebih panjang daripada monumen kekuasaan atau keperkasaan tangan. Lihatlah, sajak Homer, misalnya, tetap abadi, kendati sekian banyak bangunan dan kota sudah lama hancur-lebur.]1

 

Demikianlah, dari segi waktu, "mutakhir" membawakan simpul "paling akhir" atau "masa-masa terakhir." Padanan "mutakhir" dalam bahasa Inggris, sementara itu, adalah contemporary, dan comtemporary membawakan makna "sejaman." Baik "mutakhir" maupun "contemporary," dengan demikian, mengacu pada waktu, dan bukan pada mutu, dan juga bukan pada kemampuan menembus dimensi masa depan.

Namun ingat,  mutu atau kemampuan untuk menembus dimensi masa depan ternyata juga sangat nisbi. Karena sejarah sastra Indonesia relatif masih singkat, kenisbian mutu dan kemampuan menembus dimensi masa depan tidak nampak, atau belum nampak. Sebaliknya, dari sastra suatu bangsa yang sejarah sastranya sudah lama, kita dapat mengambil serangkain contoh.2

 

MODERN DAN MUTAKHIR

Jangan heran, manakala makna "mutakhir" dan makna "modern" dapat bertumpang-tindih, karena keduanya dapat mengacu pada waktu. Sesuatu yang sudah lama, dengan demikian, bisa dianggap sudah tidak lagi mutakhir, dan sudah tidak lagi modern. Karena itu, sebagaimana halnya makna "mutakhir," makna "mo-dern" pun dapat bergeser sesuai dengan perkembangan waktu.

Namun ingat, makna "modern," sebetulnya, tidak hanya mengacu pada waktu, namun juga pada sikap mental. Siapa pun juga, dan kapan pun juga, yang siap untuk menghadapi perubahan dengan sikap realistis dan terbuka, pada hakikatnya mempunyai sikap mental modern. Dengan demikian, siapa pun yang saat ini tidak siap menghadapi perubahan dengan sikap realistis dan terbuka, tidak dapat dianggap modern, kendati, sekali lagi, dia hidup pada saat ini.3

Sastra Indonesia Modern, berawal pada tahun 1920-an, juga lahir karena sikap mental. Sastrawan-sastrawan muda pada waktu itu siap untuk menulis dengan bahasa Melayu yang baik, yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Kendati sebagian mereka menulis sebelum Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yaitu sebelum diikrarkannya bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa bangsa Indonesia, mereka siap menerima perubahan. Mereka yakin, pada suatu saat kelak mereka akan merdeka, dan bahasa yang mereka pergunakan akan menjadi bahasa bangsa mereka. Sikap mental mereka mencerminkan jiwa modern, dan memang sejak saat itulah Sastra Indonesia Modern lahir.

Tentu, sejalan dengan sekian banyak perubahan, sastra kita sekarang benar-benar berbeda dengan sastra kita pada tahun 1920-an. Bukan hanya itu. Dengan sastra-sastra sesudahnya pun, katakanlah dengan sastra Jaman Pujangga Baru dan sastra Angkatan 45, sastra kita sekarang juga berbeda. Namun, sejak tahun 1920-an sampai sekarang, kita masih berada dalam ruang lingkup Sastra Indonesia Modern. Sastra kita sekarang dianggap sebagai sastra modern bukan semata karena sastra kita sekarang berjalan pada saat ini, dan bukan pada masa lampau, namun karena, pada hakikatnya, sastrawan-sastrawan sekarang memiliki sikap mental modern.

Karena makna "modern" dapat mengacu pada waktu dan dapat pula mengacu pada sikap mental, maka awal sastra modern kita berbeda dengan awal sastra modern bangsa-bangsa yang sejarah sastranya sudah panjang. Secara eksplisit, sikap mental modern dalam sastra pertama-tama dilancarkan di Jerman pada tahun 1880-an.4  Para sastrawan pada waktu itu memiliki sikap mental modern, dan benar-benar menginginkan adanya modernitas dalam sastra.

Demikianlah, dalam kurun waktu sastra modern, terdapat pula sastra mutakhir. Makna "mutakhir" dan makna "modern," sekali lagi, benar-benar dapat menjadi saudara-kembar-siam. Karena baik makna "mutakhir" maupun makna "modern," sekali lagi, dapat mengacu pada waktu, kemutakhiran dan kemoderan juga dapat bergeser mengikuti perkembangan waktu.

Justru karena makna "mutakhir" dan makna "modern" dapat menjadi saudara-kembar-siam, maka awal sebuah sastra mutakhir juga dapat dipertanyakan. Dalam hal ini, makna "mutakhir" tidak sekedar mengacu pada waktu, yaitu waktu terakhir, namun juga pada perubahan-perubahan jaman tertentu yang mau tidak mau menimbulkan sikap mental modern. Kita tahu, bahwa di antara sekian banyak perubahan, perubahan sebagai akibat adanya Perang Dunia II dianggap sebagai perubahan yang paling besar dan paling fundamental. Karena itulah, terdapat semacam konsensus, bahwa sastra mutakhir dalam sastra dunia berawal dari berakhirnya Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1950-an.5

Tentu saja, sejalan dengan perubahan-perubahan jaman, patokan tahun 1950-an juga dapat bergeser ke belakang. Bukan hanya itu. Ukuran perubahan besar untuk satu negara dengan negara lain, kendati hampir semua negara mengalami akibat Perang Dunia II, juga dapat berbeda.

 

POSMO

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, makna "posmo" banyak diperdebatkan di negara-negara Barat. Lalu, pada tahun 1980-an dan 1990-an, perdebatan yang sama merambat ke Indonesia. Dari sekian banyak perdebatan dapat disimpulkan, bahwa makna "posmo" mengacu pada dua hal, yaitu kurun waktu dan sikap mental.

Kalau makna "posmo" mengacu pada kurun waktu, maka dapat disimpulkan, bahwa dengan berakhirnya kurun waktu modern, lahirlah "posmo". Namun, kapan sebetulnya kurun waktu modern berakhir, jawaban yang tepat tidak pernah ada. Kurun waktu modern, pada dasarnya, akan terus berlanjut.

Namun, kalau makna "posmo" mengacu pada sikap mental, persoalannya menjadi lebih jelas. Adalah sudah jelas, bahwa aspirasi modernisme telah melahirkan kemapanan dan keterpusatan dalam sekian banyak segi kehidupan. Terhadap kemapanan dan keterpusatan inilah, sikap mental posmo menentang.

Aspirasi posmo berusaha untuk menciptakan iklim baru, dengan jalan mendongkel kemapanan dan keterpusatan dalam berbagai segi kehidupan. Kemapanan kebudayaan yang mengacu pada kepentingan laki-laki, hegemoni film Hollywood, standar estetika sastra yang selama ini dipegang oleh orang-orang Barat, dan lain-lain, oleh posmo ditentang. Karena itu, timbullah kemudian feminisme, industri-industri film non-Hollywood, acuan sastra ke dunia ketiga, dan lain-lain.6

Goyahnya kemapanan dalam berbagai segi kehidupan kemudian disusul pula oleh terpecah-pecahnya negara-negara heterogen menjadi negara-negara dengan orientasi etnik. Uni Sovyet pecah menjadi negara-negara baru, Yugoslavia menyusul, Cekoslowakia terpisah menjadi negara Ceko dan negara Slovakia, suku Kurdi dan suku Karen ingin mendirikan negara sendiri, dan lain-lain. Nasionalisme dengan acuan negara, dengan demikian, digeser menjadi nasionalisme dengan acuan etnik.7

 

SERBUAN KE INDONESIA

Masuknya posmo ke Indonesia pada tahun 1970-an juga telah membawakan perubahan-perubahan. Dunia wanita, jati-diri, standar estetika sastra, dunia akademi, media-massa, dan lain-lain, berubah. Semua perubahan itu membawa akibat terhadap perkembangan sastra.

Bahwa sastra pada tahun 1970-an berubah, dan sampai sekarang perubahan itu masih terasa, adalah benar. Sejak tahun 1970-an, memang, telah hadir sastra mutakhir Indonesia. Entah kapan sastra mutakhir kurun waktu sekarang berakhir, kita belum tahu.

Lalu, apakah sastra mutakhir kurun waktu sekarang akan memiliki dimensi masa depan atau tidak, kita belum tahu. Namun kita tahu, apa yang terjadi dalam sastra mutakhir kurun waktu sekarang akan mempunyai pengaruh terhadap sastra depan. Gejala-gejala yang terjadi pada sastra Indonesia mutakhir kurun-waktu sekarang pasti akan berkelanjutan, sebagaimana misalnya gejala-gejala yang dibentuk oleh dunia wanita, kebudayaan pop, dunia akademisi, dan lain-lain.

 

WANITA DAN SASTRA

Sejak tahun 1970-an wanita karier makin banyak, dan makin mampu menunjukkan prestasi yang hebat. Wanita, dengan demikian, memerlukan dunia sendiri, di mana mereka dapat mengekspresikan diri sendiri dan antar-wanita sendiri. Sebagai salah-satu akibatnya, majalah wanita tumbuh subur. Kebangkrutan sekian banyak majalah wanita sejak tahun 1998, sementara itu, lebih banyak disebabkan oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan bukan oleh kebangkrutan aspirasi. Begitu krisis ekonomi sembuh, pasti kita akan melihat kembali bermunculannya majalah-majalah wanita.

Kalau kita tidak percaya, cobalah kita datang ke toko-toko buku hotel-hotel besar di kota-kota besar. Wanita-wanita pengunjung toko-toko buku itu, tentu saja, mempunyai banyak uang, dan menguasai bahasa asing. Dan mereka memburu majalah-majalah wanita. Maka, wanita-wanita yang tidak memiliki keberuntungan sebagimana yang dimiliki oleh mereka yang mengunjungi hotel-hotel besar, akan menjadi konsumen yang baik bagi majalah-majalah wanita yang akan terbit setelah krisis ekonomi sembuh nanti.

Karena wanita ingin melihat dunia wanita dan mengadakan hubungan antar-wanita melalui bacaan, maka sastra wanita pun muncul ke permukaan. Jumlah wanita yang bekerja, dan juga yang mencapai kedudukan-kedudukan penting, pasti akan terus bertambah. Bahwa mereka akan bertambah nampak jelas, antara lain, dari bertambahnya jumlah wanita yang mengikuti pendidikan tinggi.

 

SASTRA POP

Sebagai sebuah genre, sastra pop sebenarnya tidak terikat oleh gender. Karena itu, baik laki-laki maupun wanita dapat terlibat dalam sastra pop. Ciri sastra pop adalah ringan, dan untuk khalayak kebanyakan enak dibaca. Sastra pop, karena itu, dimasukkan ke dalam kategori escape literature, yaitu sastra yang muncul karena pembaca menginginkan hiburan ringan untuk melarikan diri dari kebosanan dan rutinitas.8

Karena bacaan pop enak dibaca, sementara standar hidup makin naik dan karena itu tuntutan untuk bekerja keras juga makin naik, bacaan pop pun menyebar ke berbagai lapisan. Tuntutan untuk bekerja keras, dengan demikian, diimbangi  dengan tuntutan untuk memperoleh bacaan ringan.

Apabila tuntutan untuk bekerja keras di masa-masa mendatang makin besar, tuntutan akan kehadiran bacaan pop juga akan makin besar. Karena itu, sastra pop akan menjadi industri. Keberadaan sastra pop bukan menjadi sekedar keberadaan, namun menjadi sebuah kekuatan.

Sesuai dengan perkembangan jaman, baik pembaca maupun pengarang akan menjadi lebih terpelajar. Karena itu, sastra pop akan makin bermutu. Tema tetap sama, penggarapan tema makin canggih, dan daya tangkap pembaca pun akan makin canggih.

Kendati sastra pop akan makin bermutu, tuntutan estetika terhadap sastra pop dengan tuntutan estetika terhadap sastra serius tetap berbeda. Dengan mutunya yang makin meningkat, sastra pop tetap berada pada kawasan escape literature. Sebagaimana yang telah kita saksikan sekarang baik di Indonesia maupun di negara-negara lain khususnya di Barat, sastra pop tidak mempunyai dimensi masa depan.

 

MENGGESER SASTRA SERIUS

Bahwasanya sastra pop telah dan akan mengurangi minat terhadap sastra serius, tentu saja, tidak bisa dipisahkan dari sekian banyak simpul lain kebudayaan pop. Hiburan ringan yang telah divisualkan melalui alat-alat elektronik, sebagaimana misalnya film dan sinetron, menjadi kekuatan konkrit untuk menggeser kekuatan sastra serius. Sekarang kita telah menyaksikan penggeseran kekuatan sastra serius oleh sastra pop, dan di masa-masa mendatang kita akan tetap menyaksikannya.

Marilah kita sekarang menengok dua istilah yang pernah mendominasi dunia sastra, yaitu belles letters dan literature. Belles letters adalah sastra atau karya sastra yang indah dan bermutu tinggi, sedangkan literature adalah sastra atau karya sastra tanpa embel-embel "indah dan bermutu tinggi." Literature dapat pula berarti segala sesuatu yang tertulis. Pada tahun 1980-an, pernah ada usaha di Indonesia untuk membedakan kedua sastra atau karya sastra tersebut. Belles letters dipadankan dengan susatra, dan literature dengan sastra.

Kendati istilah belles letters di Barat dan istilah susastra di Indonesia sudah tidak atau jarang dipakai, dari segi konsep keduanya tetap ada. Karena itu, ada mainstream literature atau kanon sastra, ada pula sastra non-mainstream atau sastra non-kanon. Mainstream literature atau kanon sastra mewadahi sastra serius bermutu tinggi, dan sastra non-mainstream atau sastra non-kanon mewadahi sastra pop dan sastra serius yang tidak bermutu tinggi.

Namun dari segi praktik, jadi bukan dari segi konsep, ternyata persepsi mengenai sastra sudah berbeda. Dari segi praktek, dunia sastra memang lebih realistis: kalau sastra pop sudah menjadi kekuatan nyata, mengapa sastra pop tidak diakui sebagai sastra tanpa embel-embel ini-itu? Karena itu, jangan heran manakala sejak tahun 1980-an, sebagai akibat dari masa keemasan sastra pop sejak tahun 1970-an, sastra pop masuk ke kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sah untuk dijadikan bahan seminar, penulisan skripsi, disertasi, dan lain-lain.

Kendati sastra pop akan makin bermutu dan sebagai sebuah kekuatan akan bertambah kokoh, dunia sastra pop dengan dunia sastra serius tetap berbeda. Sastra pop akan tetap bergerak pada kepuasan-kepuasan sesaat. Karena itu, sastra pop akan tetap menjadi sastra yang enak dibaca dan tetap akan menjadi pelarian dari kejenuhan dan rutinitas. Sastra serius, sebaliknya, lebih banyak mengacu pada kepuasan yang tidak sesaat.

 

WANITA DAN SASTRA POP

Kendati sebenarnya sastra pop bukan sastra gender, dan karena itu baik pengarang maupun pembaca sastra pop boleh laki-laki dan boleh pula wanita, sastra pop diasosiasikan dengan sastra wanita. Dalam praktek, di negara-negara yang tradisi sastranya sudah kokoh, wanita memang memberi sumbangan besar terhadap pertumbuhan sastra pop.9

Sejak tahun 1970-an, sastra pop di Indonesia mulai memiliki kedudukan yang amat kuat. Sastra pop pada tahun 1970-an, dan kemudian disambung dengan dasawarsa-dasawarsa sesudahnya, adalah sastra yang didominasi oleh wanita. Adalah tidak berlebihan untuk dikatakan, dengan demikian, bahwa bacaan wanita, khususnya melalui majalah-majalah wanita, adalah awal sastra pop sebagai sebuah genre yang kokoh.

Jumlah wanita terdidik dan bekerja akan makin banyak. Kesibukan mereka juga akan makin bertambah. Jumlah bacaan wanita, lengkap dengan embel-embelnya, yaitu sastra pop, sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat, juga akan meningkat.

 

SASTRA NON-FEMINIS

Bahwa sastra pop menyajikan wanita-wanita tradisional, jangan heran. Dunia sastra pop tidak lain adalah dunia romantis, dunia di mana laki-laki dan wanita saling memerlukan dan saling menghormati. Laki-laki dan wanita dipasang sedemikian rupa bukan dalam kutup permusuhan, namun dalam kutup perdamaian.

Lihatlah, misalnya, novel-novel pop wanita pengarang pada tahun 1970-an, sebagaimana misalnya karya Marga T., Mira W., Ike Supomo, La Rose, V. Lestari, dan lain-lain. Mereka menyajikan wanita-wanita tradisional dan bukan wanita-wanita pemberontak, dan karena itu memerlukan cinta kasih laki-laki. Wanita-wanita pengarang ini masih terus menulis pada dasawarsa-dasawarsa sesudahnya, dengan model-model yang kurang-lebih sama, demikian pula wanita-wanita pengarang pop sesudah mereka.

Hubungan atas dasar saling memerlukan dan saling menghormati antara laki-laki dan wanita dalam sastra pop sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, namun memang sudah merupakan formula sastra pop pada umumnya. Tengoklah sastra pop karya wanita-wanita pengarang di negara-negara lain, khususnya di negara-negara Barat, yaitu negara-negara yang aspirasi feminismenya amat kuat. Sementara laki-laki dan wanita dalam sastra serius dihadapkan dalam dua dunia dikotomis, sastra pop memilih dunia perdamaian.

Tentu saja, penyimpangan di sana-sini selalu ada. Dalam novel wanita pengarang Marianne Katopo, Raumanen, misalnya, wanita menjadi korban keganasan laki-laki. Wanita ini, Raumanen namanya, terpaksa menderita penyakit sipilis, terpaksa mengandung tanpa dikawin, dan terpaksa bunuh-diri. Namun, ciri wanita tradisional tetap dipertahankan: wanita ini tetap mengalah, tidak menuntut ini-itu, dan karena itu kubu laki-laki tetap tidak dianggap sebagai kubu musuh.

Ingat, sastra pop produk wanita pengarang akan terus mengalir, dan akan terus membentuk kekuatan. Karena itu, sastra pop wanita di masa-masa yang akan datang akan tetap mewarnai kehidupan sastra. Mutu sastra pop wanita akan makin baik, namun, sastra pop, baik sastra pop wanita maupun sastra pop non-gender, akan tetap berada dalam kawasan escape literature.

 

DARI SASTRA FEMINIS KE SASTRA NON-FEMINIS

Feminisme sebagai sebuah ideologi dan gerakan muncul pada tahun 1960-an, kemudian menyebar ke seluruh dunia pada tahun 1970-an, termasuk ke Indonesia. Mengapa ada feminisme, tidak lain karena wanita telah mampu membuktikan diri sebagai gender yang sama derajat, dan mungkin lebih baik, dibanding dengan laki-laki. Wanita telah membuktikan diri sebagai gender yang berhasil dalam pendidikan, dalam pekerjaan, dan dalam segi-segi kehidupan bermasyarakat.

Karena feminisme mula-mula tumbuh dari kondisi sosial, maka feminisme mula-mula hanya termasuk dalam ilmu-ilmu sosial.10  Dalam feminisme timbullah, misalnya, masalah kesamaan hak untuk memperoleh pendidikan, masalah kesamaan hak untuk masuk ke lapangan kerja, masalah kesamaan hak untuk memperoleh upah sama, dan lain-lain. Apabila tidak ada kesamaan, kaum feminis berusaha untuk merombak atau mengganti sistem atau orang yang menghalangi kesamaan.

Kendati feminisme sebagai sebuah ideologi dan gerakan muncul pada tahun 1960-an, aspirasi feminisme, yaitu aspirasi untuk menaikkan status wanita, sudah ada jauh sebelumnya. Dan kendati feminisme berusaha untuk menaikkan status wanita kalau perlu dengan mengurangi hak-hak laki-laki, kaum feminis, dan juga orang-orang yang memiliki aspirasi feminis tidak selamanya wanita. Pemikir laki-laki John Stuart Mill dalam The Subjection of Women (1890), misalnya, juga memperjuangkan agar status wanita diperbaiki.11

Dalam perkembangan berikut, feminisme menyebar ke berbagai segi kehidupan, antara lain ke dalam sastra. Karena itu, sejak tahun 1970-an timbullah sastra feminis dan feminis dalam sastra. Tujuan sastra feminism sama, yaitu menggambarkan ketidak-adilan gender melalui karya sastra..

Sastra feminis juga berjuang agar wanita-wanita pengarang lebih dihargai daripada sebelumnya. Karena itu, wanita-wanita pengarang yang tidak masuk kanon sastra dan mainstream literature diusahakan agar masuk ke dalam jajaran pengarang-pengarang terkemuka. Studi mengenai sastra feminis pun, kemudian, menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.

Untuk mengetahui apa kiranya feminisme dalam sastra, mungkin kita dapat menyimak pengakuan Judy Chicago dan Miriam Saphiro, keduanya penulis drama feminis Amerika. Mereka bekerja sama dalam sebuah proyek drama feminisme, lalu, sebagian berdasarkan pengalamannya dalam kerjasamanya dengan Saphiro, Chicago menulis biografi, Through the Flower: My Struggle as a Woman Artist (1977). Dalam biografi ini Chicago menyatakan, bahwa drama bagi dia dan teman-teman sesama feminis "provided the most direct means of expressing anger" (menyediakan wahana yang paling langsung untuk mengungkapkan kemarahan). Lalu dia juga menyatakan, drama bagi dia dan teman-temannya "provided a release for debilitating, unexpressed anger" (menyediakan jalan keluar kemarahan yang selama ini dikerdilkan dan tidak mungkin diungkapkan).12  Kemarahan, yaitu kemarahan terhadap laki-laki, dan terhadap kebudayaan yang orientasinya adalah kepentingan laki-laki, rupanya merupakan salah-satu ciri pokok sastra feminisme. Sekian banyak kritikus menyatakan, bahwa sastra feminisme memang dipenuhi oleh nada Kemarahan tidak hanya terjadi dalam karya sastra, namun juga dalam kritik sastra.13

Kendati sastra feminis atau feminisme dalam sastra, sebagaimana halnya dalam ilmu-ilmu sosial, baru ada secara resmi pada tahun 1970-an, aspirasi sastra feminis sudah ada jauh sebelumnya. Juga, sebagaimana halnya dalam ilmu-ilmu sosial, lewat karya sastra, sastrawan laki-laki pun bisa memiliki aspirasi feminis. Penulis tragedi Yunani Purba, Sophocles, misalnya, dalam Medea jelas-jelas menyuarakan hasrat untuk menunjukkan, bahwa status wanita sebaiknya diperbaiki. Dalam sastra Inggris, penyair laki-laki John Milton pada awal abad ke-17 dan penyair Alexander Pope pada akhir abad ke-19, juga memperjuangkan hak-hak wanita lewat puisi. Sastra Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam novel Layar Terkembang pada tahun 1930-an, juga punya rasa peduli terhadap status wanita.

Sampai saat ini, mungkin Nh. Dini adalah satu-satunya wanita pengarang feminis. Dia sudah menulis sejak tahun 1960-an, dan sejak saat itu sampai sekarang, dan mungkin sampai nanti, karya-karyanya penuh dengan serangan terhadap laki-laki. Baik dalam cerpen dan novel, maupun dalam kisah-kisah biografisnya, laki-laki menjadi sasaran serangan.14

Pergulatan antara wanita dan laki-laki dalam sajak-sajak Toety Heraty sebetulnya juga ada, namun nadanya berbeda. Dari pihak wanita tidak ada kemarahan terhadap laki-laki, demikian pula sebaliknya. Pergulatan antara wanita dan laki-laki pada dasarnya tidak bersifat permusuhan, namun bersumber dari kebosanan. Wanita bosan terhadap laki-laki, demikian pula sebaliknya. Mungkin, kebosanan hubungan wanita dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari diluar sastra, memang demikian.15

Perkembangan setelah pertengahan tahun 1990-an, khususnya dalam prosa, ternyata sama. Lihatlah, misalnya, Harga Perempuan, kumpulan cerpen Sirikit Syah. Para wanita dalam kumpulan cerpen ini, dan juga dalam berbagai cerpen lain memang cenderung menampilkan wanita-wanita tradisional, kendati mereka sempat berpikir untuk menjadi wanita yang sama-sekali tidak tergantung pada laki-laki.16

Kalau memang sekian banyak wanita pengarang, kecuali Nh. Dini, ternyata tidak menyuarakan feminisme, maka sastra Indonesia memang tidak memiliki semangat besar feminisme. Bagaimana keadaan sastra Indonesia masa depan dalam masalah feminisme tentunya banyak tergantung pada aspirasi feminisme di masyarakat, dan aspirasi individu masing-masing pengarang. Kalau tetap berpegangan pada tradisi konvensional, di mana wanita dan laki-laki memang tidak bermusuhan, dan wanita tetap ingin menjalankan kodratnya sebagai wanita, aspirasi feminis dalam sastra pun akan tetap tipis.

Pengarang laki-laki juga berpijak pada dua landasan, yaitu tradisi dalam masyarakat dan aspirasi masing-masing individu. Namun, sebagaiamana halnya wanita pengarang, yaitu cenderung berpijak pada realitas masyarakat, pengarang laki-laki juga cenderung untuk menggambarkan wanita tradisional. Sastra yang ditulis oleh para pengarang laki-laki pun, lebih menonjolkan wanita tradisional.

Dalam novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya, Srintil, protagonis wanita, ingin bersuami dan mempunyai anak, serta tunduk pada suami. Srintil, pada dasarnya, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Tohari sendiri, sebenarnya adalah perempuan yang benar-benar ingin menjadi wanita somahan. Ciri wanita somahan, sementara itu, harus memenuhi lima ah: a). olah-olah (memasak), b). umbah-umbah (mencuci pakaian), c). ngopeni omah (merawat rumah), d). ngrumat bocah (mengurusi anak-anak), e). mlumah (tiduran terlentang).17  Bahwa dalam novel ini ternyata Srintil tidak bisa memenuhi keinginannya untuk menjadi wanita somahan, justru di sinilah letak tragedi dalam novel ini.18

Komentar Toety Heraty mengenai hubungan wanita dan laki-laki, sebagaimana yang tercermin dalam kumpulan cerpen wanita pengarang Sirikit Syah, Harga Perempuan, dan kumpulan cerpen pengarang laki-laki Seno Gumira Ajidarma, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, mungkin benar. Kata Toety Heraty, meski sosok wanita yang ditampilkan cenderung mengejar karier dan menikmati pekerjaannya, mereka juga ternyata mempunyai cita-cita lain, yakni untuk menjadi ibu rumah-tangga. Mungkin, tipe wanita demikian tidak hanya terdapat dalam kedua kumpulan cerpen ini, namun sudah merupakan gejala umum. Karena itu, Toety kemudian berkata, kalau memang demikian halnya, maka teori feminis akan selalu kandas.19

Novel Ayu Utami, Saman, muncul dari Lomba Penulisan Fiksi DKJ. (Dewan Kesenian Jakarta) tahun1998, pada dasarnya juga bukan novel feminis. Laki-laki dan wanita tidak dipertentangkan sebagai subyek dan obyek, tidak pula sebagai dua kutup yang bermusuhan. Hubungan laki-laki dan wanita adalah hubungan antar-mitra, dan karena itu baik laki-laki maupun wanita memiliki hak sama.

Laila memang membenci laki-laki, namun dalam konteks yang berbeda dengan kebencian wanita terhadap laki-laki dalam novel-novel Nh. Dini. Memang betul Laila membenci Sihar, namun, akhirnya, bagi Laila, Sihar hanyalah sekedar makhluk pengecut, yaitu makhluk pengecut yang kebetulan tidak lain adalah laki-laki. Perspektif gender, pada dasarnya, tidak ada.

Bukan hanya itu. Untuk menyatakan cintanya kepada Sihar, kendati Sihar sudah mempunyai istri dan anak, dengan gencar Laila merasa bebas untuk "menyerbu" Sihar. Laila bukanlah obyek, namun, dalam hal ini, dia bertindak sebagai subyek.

Shakuntala juga membenci ayah dan abangnya, karena, bagi dia, mereka adalah penindas. Namun, sebagaimana halnya kebencian Laila terhadap Sihar, akhirnya kebencian Shakuntala terhadap ayah dan abangnya tidak didominasi oleh pandangan gender. Ayah dan abangnya memang penindas, dan kebetulan mereka adalah laki-laki.

Dalam bercinta, laki-laki dan wanita juga mempunyai hak sama. Wanita juga mempunyai hak untuk "menyerbu" terlebih dahulu dan "meminta" terlebih dahulu. Ketika Shakuntala dan Cok bercinta, misalnya, mereka saling bertukar pengalaman mengenai percintaan-percitaan mereka sebelumnya.

Kecuali mempunya hak untuk "menyerbu" laki-laki, wanita, kalau perlu, sebagaimana halnya Shakuntala, juga mempunyai hak untuk "menyerbu" sesama wanita. Shakuntala memang ingin menjadi penari ulung. Salah-satu modal dasar penari adalah tubuh lengkap dengan gerakan-gerakannya. Main cinta, bagi dia, baik dengan laki-laki maupun dengan wanita, tidak lain mirip dengan gerak tubuh dalam menari. Dia bisa benar-benar bertindak sebagai subyek.

Kerena menampilkan laki-laki dan wanita sebagai mitra, sebagai pihak-pihak yang memiliki hak sama, pada dasarnya Saman adalah novel non-feminis. Dalam menulis, Ayu Utami, berbeda dengan Nh. Dini, tidak memarahi dan tidak memusuhi laki-laki. Saman, dengan demikian, tidak "menyediakan wahana yang paling langsung untuk mengungkapkan kemarahan."20

Kalau pun ada "kemarahan," "kemarahan" ini tidak ditujukan kepada laki-laki. Lihatlah, misalnya, apa dan siapa Saman sebenarnya. Saman tidak lain adalah bekas pastur Athanasius Wisanggeni. Dahulu, sebagai pastur, tentu saja dia "selibat," tidak boleh bercinta dengan perempuan. Lalu, "selibat" diplesetkan menjadi "sembelit," dan karena itu, setelah menjadi Saman, dia bebas untuk keluar dari ke-"sembelit"-annya.

 

SUB-KEBUDAYAAN: SASTRA DAN POLITIK

Aspirasi posmo untuk menentang kemapanan telah melahirkan desentralisasi di berbagai segi kehidupan. Industri film, baik dari kuantitas dan kualitas, tidak lagi terpusat di Hollywood, pusat informasi termasuk media-massa tidak lagi merupakan monopoli Jakarta, pengambilan keputusan-keputusan penting di berbagai segi kehidupan tidak lagi didominasi laki-laki, dan seterusnya. Kemajuan teknologi dan desentralisasi di berbagai segi kehidupan, sebagaimana yang telah kita saksikan, melahirkan globalisme.

Di satu pihak, globalisasi memacu aspirasi bangsa-bangsa di dunia dan individu-individu dalam masing-masing bangsa untuk menjadi warga dunia. Namun, di pihak lain, globalisasi telah memacu redefinisi jatidiri masing-masing bangsa dan masing-masing individu. Redefinisasi jatidiri, sebagaimana yang kita saksikan dalam satra Indonesia tahun 1970-an adalah masuknya unsur-unsur sub-bebudayaan ke dalam sastra.

Pada dasarnya, sastra sub-kebudayaan muncul sebagai perwujudan dari kerinduan pengarang untuk lepas dari aspirasi global mondial. Di satu pihak, kita menjadi manusia nasional dan internasional, namun, dalam fihak, kita menuntut untuk kembali ke masa kanak-kanak kita sendiri, ke kebudayaan kita sendiri. Karena itu, muncullah sastra Indonesia Jawa, sebagaimana misalnya karya Umar Kayam dan Mangunwijaya, sastra Indonesia Minangkabau, sebagaimana yang nampak dalam novel-novel Khairul Harun dan Darman Moenir, dan sastra Indonesia Dayak sebagaimana yang nampak dalam novel Korrie Layun Rampan.21

Kerinduan untuk lepas dari aspirasi global mondial juga nampak pada sajak-sajak sufinya Abdul Hadi W.M.. Sufi adalah bagian dari agama, dan agama juga merupakan perwujudan kebudayaan. Rasa rindu pada agama sendiri yang mungkin pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari tidak nampak, masuk kedalam sastra.22

Lalu, bagaimanakah mengenai sastra sub-kebudayaan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, cobalah tengok, misalnya, pernyataan Sapardi Djoko Damono: "…kalau ingin menulis kritik tentang Umar Kayam, Linus Suryadi AG, dan Mangunwijaya, harus mengetahui seluk-beluk kebudayaan Jawa terlebih dahulu." Lalu, kata dia pula, "Demikian juga untuk mengetahui karya A.A. Navis [tambahan saya: tidak semua karya Navis, tentunya], Chairul Harun, dan Wisran Hadi, harus menguasai kebudayaan Minang terlebih dahulu."23  Kita juga bisa mengingat kembali pernyataan seorang tokoh sastra dari suatu kawasan di Sumatra, ketika diadakan sebuah seminar di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, pada awal tahun 1990-an. Kata dia, "Bagaimana mungkin kita bisa membaca Linus Suryadi, sebab, bukankah dia itu buta bahasa Indonesia?"24

Ingat pula, sastra sub-kebudayaan dalam sastra Indonesia modern berbeda dengan sastra daerah. Pengarang sastra daerah, katakanlah sastra Sunda, mempergunakan bahasa Sunda. Sastra sub-kebudayaan, sebaliknya, ditulis dalam bahasa Indonesia. Maka, mungkin, sastra sub-kebudayaan kita mirip dengan sastra regional di Amerika, namun mungkin membawa muatan kebudayaan lokal yang lebih berat dibanding dengan sastra regional Amerika. Dengan demikian, mungkin, di masa yang akan datang, akan ada sastrawan nasional, yaitu sastrawan yang karyanya tidak memikirkan masalah kebudayaan lokal, dan ada juga sastrawan nasional yang regional. Mungkin, beberapa pengarang, sebagaimana misalnya Iwan Simatupang, cukup mendapat label "sastrawan nasional" atau "sastrawan Indonesia." Namun, pengarang yang karyanya banyak dimuati oleh sub-kebudayaan, sebagaimana misalnya Umar Kayam dan Linus Suryadi, akan menjadi "pengarang nasional atau pengarang Indonesia yang regional." Karya-karya mereka, dengan sendirinya, akan mendapat label yang sama pula.25

Novel sejarah, sebagaimana misalnya novel-novel Pramudya Ananta Toer dan YB Mangunwijaya, tidak lain juga merupakan nostalgia terhadap masa lampau.26  Dari sejarah sastra bangsa-bangsa lain, sementara itu, kita tahu bahwa sastra sejarah memang selalu ada. Sastra  Indonesia modern pun, katakanlah sejak jaman Pujangga Baru, sudah mengenal novel sejarah, sebagaimana yang tercermin dalam novel Nur Sutan Iskandar. Namun, sebagaimana halnya dalam sastra bangsa-bangsa lain, jumlah novel sejarah tidak pernah banyak.27

Kita tidak tahu bagaimana kira-kira perkembangan sastra sejarah dalam sastra Indonesia di masa-masa yang akan datang. Namun, dari sejarah sastra kita mungkin dapat memperkirakan, bahwa jumlah sastra sejarah tetap tidak akan banyak. Dan kita juga tahu, bahwa posmo memang telah berhasil melahirkan keanekaragaman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sastra. Sebab, kita juga tahu, posmo pulalah yang telah melahirkan nostalgia para pengarang terhadap masa kanak-kanak, masa lampau, dan sub-sub-kebudayaan. Sejarah sastra, sementara itu, menunjukkan, bahwa sastra sejarah akan lahir, manakala manusia tidak dapat menghindarkan diri dari rasa rindu, khususnya terhadap kebesaran jaman lampau.28  Dalam posmo, mungkin rasa rindu terhadap masa lampau bukan karena masa lampau adalah besar, tapi masa lampau tidak lain adalah asal-usul akar pengarang. Masalah akar, memang, memainkan peran penting dalam posmo.29

Sastra Indonesia yang menyuarakan kerinduan untuk kembali ke sub-sub kebudayaan masing-masing pengarang justru makin memperkuat kedudukan sastra Indonesia. Para pengarang sub-kebudayaan menulis untuk sastra Indonesia, dan karena itu memperkaya sastra Indonesia. Karya mereka bukan karya sastra etnik, sebagaimana misalnya sastra Bali, sastra Sunda, sastra Minang, dan sebagainya.

Gugatan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia, sejak Kongres Pemuda, 28 Oktober 1928, nampaknya tidak pernah ada. Sastra  Indonesia tetap satu, yaitu sastra berbahasa Indonesia. Sementara itu, sastra daerah dengan mempergunakan bahasa daerah hidup terus, kendati jumlah peminatnya makin menurun.

Sekarang, kita lihat keadaan politik. Pada tahun 1970-an, kita tahu, nasionalisme, persatuan, dan kesatuan Indonesia masih kuat. Tuntutan beberapa kawasan Indonesia untuk melepaskan diri dari Indonesia untuk menjadi negara lain baru muncul ke permukaan pada tahun 1990-an.

Bagaimana mengenai sastra? Pada saat-saat beberapa kawasan ingin melepaskan diri dari Indonesia muncul ke permukaan pada tahun 1990-an, tuntutan masing-masing kawasan untuk memiliki sastra nasional masing-masing belum pernah terdengar. Tuntutan untuk menjadi negara dan bangsa negara sendiri bisa saja diikuti oleh tuntutan untuk mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa kawasan masing-masing, bisa pula tidak. Bahasa nasional memang dapat dianggap sebagai bahasa sah sastra nasional, namun tidak mutlak. Sebagian sastra nasional India, misalnya, ditulis dalam bahasa Inggris.

 

GUGATAN TERHADAP ESTETIKA STANDAR JAKARTA

Cobalah kita tengok tahun 1950-an, semasa Motinggo Busye tinggal di Yogyakarta, semasa dia dan teman-temannya menulis karya-karya sastra serius di Yogyakarta. Dia dan teman-temannya menerbitkan karya mereka di media Yogyakarta, sebagaimana misalnya mingguan Minggu Pagi, koran Kedaulatan Rakyat, majalah Budaya. Di antara karya-karya mereka sebetulnya ada yang sama baik atau lebih baik dibanding dengan karya sastra para pengarang yang dimuat di majalah-majalah sastra di Jakarta suntingan H.B. Jassin.

Karena karya-karya Motinggo Busye dan teman-temannya tidak diterbitkan di Jakarta, apa lagi tidak berada di bawah naungan nama besar H.B. Jassin, maka karya-karya mereka berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Untuk ukuran pada waktu itu, sebetulnya, karya-karya mereka tidak buruk, dan karena itu, sebetulnya, mempunyai hak untuk dicatat dalam perkembangan sastra Indonesia. Karya-karya Motinggo Busye yang dikenal khalayak sastra, sementara itu, adalah karya-karya dia yang diterbitkan di media Jakarta.

Kisah Motinggo Busye dan teman-temannya di Yogyakarta sebetulnya terjadi juga pada pengarang-pengarang lain di kawasan-kawasan lain yang pada waktu itu tidak menerbitkan karya-karya mereka di Jakarta, khususnya di media di bawah bayang-bayang kebesaran nama H.B. Jassin. Dan kita dapat membayangkan, bagaimana seandainya Motinggo Busye tidak pernah menerbitkan karya-karyanya di Jakarta, dan drama-dramanya, sebagaimana misalnya Malam Jahanam, tidak pernah masuk ke dalam busa di Jakarta. Lepas dari apakah karya-karya Motinggo Busye dapat lolos dari proses hukum "the survival of the fittest," seandainya tidak pernah masuk ke dalam bursa di Jakarta, nama dia tentu tidak akan berbekas.

Jatuh dan bangunnya karya sastra, dengan demikian, ditentukan oleh satu kemapanan terpusat, yaitu Jakarta. Dan Jakarta, sementara itu, pernah pula ditentukan oleh satu kemapanan terpusat, yaitu Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin. Kemapanan terpusat, tidak lain, adalah kepanjangan tangan simpul modernisme.

Sebetulnya, jauh sebelum tahun 1970-an, ketidak-puasan terhadap Jakarta sebagai pusat standar estetika sastra telah muncul di berbagai kawasan. Di berbagai kawasan ada kelompok-kelompok sastrawan yang berusaha untuk menentukan standar estetika lepas dari standar Jakarta. Mereka menerbitkan karya-karya mereka di media lokal, atau, kalau perlu, menerbitkan karya-karya mereka sendiri dan mengedarkan karya-karya mereka di antara sesama mereka.

Pada tahun 1970-an, usaha para sastrawan di luar bursa di Jakarta untuk menggungat standar estetika sastra Jakarta nampaknya belum menunjukkan gema. Karya mereka hilang tanpa bekas. Namun, sejak tahun 1970-an, usaha mereka menjadi lebih gigih dan lebih terkoordinasi.

Sejak akhir tahun 1980-an, lahirlah komunitas-komunitas sastra. Semua komunitas sastra, pada hakikatnya, merupakan perwujudan kehendak untuk menggugat standar estetika yang mapan. Standar estetika baru musti diciptakan. Komunitas-komunitas tersebut menerbitkan karya-karya mereka sendiri, tentu saja dengan standar estetika mereka sendiri. Koordinasi dan jaringan antar-komunitas tidak jarang terpelihara dengan rapi.

Pada akhir tahun 1990-an terasa benar, bahwa komunitas-komunitas sastra telah memberi sumbangan yang baik terhadap perkembangan sastra. Sumbangan tersebut, pada umumnya, tidak berupa karya sastra, namun pemikiran-pemikiran sastra. Mereka lebih tertarik pada intelektualitas, dan bukan oleh kreativitas.

 

DUNIA AKADEMIS

Dalam sekian banyak segi kehidupan nampak, bahwasanya usaha untuk memanfaatkan pendidikan makin lama makin meningkat. Dengan demikian, dunia pendidikan juga makin tanggap untuk menghadapi keperluan-keperluan masyarakat. Dengan makin meningkatnya pemanfaatan dunia pendidikan terasa, seolah lahan untuk orang-orang "self-made men," yaitu orang-orang yang berhasil dalam bidangnya tanpa melalui pendidikan formal, makin tertutup.

Marilah, misalnya, kita ambil contoh dari dunia perfilman. Sutradara-sutradara tamatan perguruan tinggi di Amerika dan Eropa muncul mulai tahun 1970-an, di Cina mulai tahun 1980-an, dan di Asia Tenggara mucul pada tahun 1990-an.30  Indonesia, sementara itu, telah mengenal sutradara-sutradara film tamatan perguruan tinggi mulai tahun 1980-an.

Kepercayaan dunia drama kepada dunia pendidikan terjadi lebih awal, karena memang dunia teater lebih tua dibanding dengan dunia film. Orang-orang teater pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah tamatan akademi teater. Ketika di Indonesia ada iklan pertama kali di televisi pada awal tahun 1970-an dan karena itu memerlukan suara untuk melatar-belakangi iklan, para tamatan akademi inilah yang diambil suaranya.

Tentu saja, baik orang teater maupun orang film yang bukan tamatan perguruan tinggi dan kemudian menonjol juga banyak, namun nampak, bahwa makin lama kebutuhan akan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, makin meningkat. Dalam sastra juga nampak, bahwasanya orang-orang yang tidak mempunyai latar-belakang pendidikan sastra ternyata banyak juga yang sanggup memberi sumbangan besar terhadap perkembangan sastra. Namun, sebagaimana halnya dalam berbagai segi kehidupan lain termasuk drama dan film, dunia sastra makin lama juga makin memerlukan dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.

Sama halnya dengan di Indonesia, orang-orang non-pendidikan tinggi pun banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan sastra. Namun, sebenarnya, sudah sejak abad ke-19 sastra di Barat banyak diwarnai oleh sastrawan dan kritikus berpendidikan tinggi sastra. Karena menjadi sastrawan dan kritikus memerlukan bakat, minat, dan kemampuan tersendiri, keberhasilan mereka dalam sastra lebih banyak ditentukan oleh pribadi mereka, bukan oleh pendidikan sastra mereka.31

Di Indonesia, pendidikan tinggi sastra sudah berlangsung sejak lama. Sebelum tahun 1970-an, pendidikan tinggi sastra pada umumnya masih konvensional. Dalam pendidikan konvensional, sastra adalah obyek akal-sehat atau common sense. Studi sastra modern, yaitu studi sastra yang mengandalkan metodologi penelitian, teori, dan penalaran-penalaran akademis yang lain mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1970-an, khususnya lewat Prof. A. Teeuw. Akal sehat atau common sense seolah tidak dipercaya lagi, sebab sastra tidak lain adalah obyek penelitian.

Sebagai akibat dari perubahan dalam pendidikan tinggi sastra tahun kritik sastra seolah terpecah menjadi dua bagian, yaitu kritik sastra kreatif dan kritik sastra akademis.32  Titik-berat kritik sastra kreatif adalah akal-sehat atau common sense, sedangkan titik-berat kritik sastra akademis pemikiran akademis, lengkap dengan teori dan metodologinya. Namun ingat, pemikiran akademis, lengkap dengan teori dan metodologinya, belum tentu menjamin mutu suatu kritik sastra.33

 

KORAN DAN SAYEMBARA

Jangan dikira bahwa pada tahun 1970-an tidak ada perubahan dalam dunia pers. Ada, meskipun perubahan yang mencolok baru terasa pada tahun 1980-an. Mulai tahun 1970-an itu, dominasi pers Jakarta juga kena gugat. Daerah-daerah memerlukan pers sendiri. Maka, sejak awal tahun 1980-an pun, koran-koran daerah mulai menjadi kuat. Bagi pembaca, dulu, koran Jakarta merupakan kebutuhan mutlak. Sejak tahun 1970-an ketergantungan itu mereka pertanyakan, dan sejak awal tahun 1980-an, ketergantungan itu mereka buang.

Sekian banyak koran, sementara itu, merasa berkepentingan untuk memuat cerpen, khususnya pada hari Minggu. Beberapa koran, kecuali memuat cerpen, juga memiliki minat untuk memuat artikel mengenai sastra, berita mengenai sastra, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan sastra dan seni. Maka, sejak tahun 1970-an, dan kemudian diperkokoh pada tahun 1980-an, hadirlah apa yang dinamakan sastra koran.

Mau tidak mau, sastra koran menuntut ciri-ciri khas: tidak terlalu panjang, diikat oleh aktualitas, dan menekankan isyu-isyu. Maka lahirlah cerpen-cerpen koran, dengan ukuran tertentu, dan dengan aktualitas tertentu. Lahir pulalah esai-esai koran dengan ciri-ciri yang lebih-kurang sama dengan ciri-ciri sastra koran.34

Karena koran bukan hanya sekedar media informasi, namun juga media untuk menyampaikan isyu-isyu hangat, maka isyu-isyu mengenai sastra pun memberi warna pada sastra koran. Kehendak untuk menciptakan teori sastra,35  perbincangan mengenai gerakan baru dalam sastra,36   pendapat  para tokoh mengenai sastra,37 dan isyu-isyu lain lewat koran, mendominasi sastra Indonesia.

Novel dan drama penting sejak tahun 1970-an, sementara itu, juga lahir dari sayembara tahunan Dewan Kesenian Jakarta. Sebagaimana halnya koran, sayembara menuntut syarat-syarat tertentu. Novel, misalnya, hanya boleh sekitar seratus halaman ketik.

 

MENGACU PADA REALITA SOSIAL

Kenyataan bahwa kritikus lebih suka membaca pengakuan pengarang kemudian berlanjut pada gejala baru, yaitu kecenderungan untuk menghubungkan karya sastra dengan masyarakat. Dari segi ilmu, gejala ini juga dapat dilacak kembali ke tahun 1970-an, yaitu masuknya sosiologi sastra ke Indonesia. Karya sastra yang mula-mula diabaikan, sebagaimana misalnya novel-novel peranakan Cina dan peranakan Belanda pada tahun 1920-an dan 1930-an, atau mungkin jauh sebelum itu, mulai dibongkar-bongkar.

Kecenderungan untuk menghubungkan karya sastra dengan gejala sosial berlanjut terus sampai akhir 1990-an. Lihatlah, misalnya, sekian banyak diskusi dalam pertemuan HISKI (Himpunan Sarjana Sastra Indonesia) di Padang, Desember 1997. Karya sastra, bagi mereka, mau tidak mau merupakan pencerminan gejala sosial, dan karena itu penghayatan terhadap karya sastra tanpa penghayatan gejala sosial akan sia-sia belaka.

Namun, sebetulnya, bukan hanya khalayak dan kritikus yang tertarik untuk menghubungkan sastra dengan gejala sosial. Ternyata, para pengarang sendiri juga demikian. Karena itu, kalau perlu, mereka mengadakan penelitian lapangan sebelum menulis.

Sebagai salah-satu misal, kita dapat melihat hasil Lomba Penulisan Novel DKJ tahun 1998. Semua novel pemenang, mulai dari pemenang pertama sampai dengan pemenang harapan, mencerminkan hakikat novel lomba, yaitu dibatasi dengan jumlah halaman tertentu. Dan memang, sejak tahun 1970-an, novel Indonesia banyak ditentukan oleh kriteria lomba, sebab sejak saat itu, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan lomba penulisan novel secara berkala.

Semua novel erat kaitannya dengan realita sosial. Ayu Utami dalam Saman, misalnya, membawakan persoalan yang peka dalam masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Lalu, Ruslan Pe Amarinza dalam Dikalahkan Sang Sapurba dan Taufik Ikram Jamil dalam Hempasan Gelombang juga mengungkap masalah yang sama, yaitu perkebunan. Korrie Layun Rampan dalam Api Awan Asap mengungkap masalah yang mirip, yaitu hutan di Kalimantan. Zoya Herawati dalam novel Prosesi (kemudian diterbitkan Balai Pustaka, 1999), sementara  itu, mengungkapkan masalah hubungan keturunan Cina dengan para pejabat,38 masalah yang juga sangat peka dalam masyarakat.39

Kita ambil contoh konkret, yaitu Dikalahkan Sang Sapurba dan Prosesi. Nampak benar, bahwa pengarang kedua novel berusaha keras agar novel mereka mirip realitas. Segala deskripsi dalam Dikalahkan Sang Sapurba, mengenai keserakahan, kejulikan, dan kekejaman orang-orang Jakarta dalam mencaplok tanah rakyat di Riau, masuk ke detail-detail penting, sebab itulah realitas yang benar-benar pernah terjadi di Riau. Dahulu orang-orang Riau dikalahkan oleh Sang Sapurba, dan sekarang orang-orang Riau ditaklukkan oleh orang-orang penting dari Jakarta. Prosesi, sementara itu, mengenai kerusuhan terhadap orang-orang Cina di Surabaya, sebagai pembalasan terhadap tindakan pemerintah negara bagian Singapura untuk memancung dua orang KKO Indonesia pada jaman konfrontasi Indonesia-Malaysia. Waktu itu Singapura masih merupakan salah-satu negara bagian Malaysia, sebelum melepaskan diri dari Malaysia untuk menjadi negara sendiri, Republik Singapura. Untuk menulis Prosesi, pengarang merasa perlu untuk melakukan wawancara, agar novelnya benar-benar merupakan kepanjangan tangan realitas.

Apakah acuan pada realitas akan terus berlanjut, dengan sendirinya kita belum tahu. Namun, dalam genre lain, yaitu genre esai, ada kecenderungan bagi para esais pada umumnya untuk bersikap ilmiah akademis. Mereka memerlukan data dan teori untuk menunjang gagasan-gagasan mereka dalam esai mereka. Para pengarang pemenang sayembara di atas, sementara itu, nampaknya mengacu pada realitas bukan karena kredo atau ideologi tertentu, namun karena mereka ingin menulis dengan akurat. Karena itu, mereka memerlukan semacam data otentik, agar karya mereka dapat dipertanggungjawabkan sebagai saksi jaman. Dengan adanya sikap ilmiah dan akademis, sastra masa depan juga akan diwarnai oleh realitas sosial. ***

 

Surabaya, 25 Oktober 1999

 


Catatan Kaki

1. Michael H. Heart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terjemahan H. Mahbub Djunaidi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, h. 5

2. Masalah Kipling, Sir Walter Scott,  dan John Steinbeck, yaitu para pengarang yang mula-mula amat terkemuka kemudian cenderung dilupakan karena tidak dianggap penting lagi sudah sering saya kemukakan dalam berbagai makalah dan forum. Juga melalui berbagai makalah dan forum saya pernah menjelaskan mengenai Jane Austen: sewaktu  masih hidup dia dianggap sebagai pengarang tidak penting, namun sejak pertengahan abad ke-20 berubah menjadi sangat penting. Lihat pula artikel James Atlas, editor Lipper/Viking Penguin Lives Series dan pengarang biografi Saul Bellow, "Does the Nobel have a political agenda?," dimuat The New York Times, dikutip oleh The Strait Times, Singapura, 5 Oktober 1999. James Atlas menunjukkan banyak contoh mengenai pengarang yang dahulu dianggap terkemuka, namun ternyata dalam waktu singkat reputasinya turun. "You can joke about the obscurity of [Nobel] winners," tulisnya. Pada saat Gunter Grass menerima Hadiah Nobel untuk Sastra pada tahun 1999, kata James Atlas, sebetulnya karya-karya Gunter Grass sudah  kehilangan wibawa. "…his recent work has been widely derided as cartoonish and polemical," tulisnya.

3. Alex Inkeles, "The Modernization of Man," dalam Myron Weiner, (editor). Modernization: The Dynamics of Growth. 1966. Washington, D.C.: Voice of America Forum Lectures, h. 151-163

4. Bradbury, Malcolm & McFarlane, James. "The Name and Nature of Modernism." dalam Malcolm Bradbury and James McFarlane (editor). Modernism. 1976. London: Penguin Books, h. 19-55.

5. Darma, Budi. "Wajah-Wajah Jepang," dalam Djodjok Soepardjo & Wawan Setiawan, (editor). Budaya Jepang Masa Kini. 1999. Surabaya: IKIP Surabaya, h. 50.

6. Sudah pernah saya kemukakan dalam berbagai makalah dan forum

7. Saya jelaskan dalam sidang di BPPN (Badan Penasehat Pendidikan Nasional), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 15 Februari 1999 di Gedung BPPN, Gedung Balai Pustaka, Gunung Sahari, Jakarta.

8. Perrine, Laurence. Literature: Structure, Sound and Sense. 1974. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., h. 4.

9. Lihat, misalnya, perkembangan sastra Inggris. Salah-satu dorongan kuat bagi Jane Austen untuk menulis novel-novel serius pada abad ke-19 awal adalah kekecewaannya terhadap novel-novel pop, produk para pengarang wanita. Pada Jaman Victorian, yaitu jaman sesudah Jane Austen, wanita tetap mendominasi sastra pop.

10. a). Fakih, Mansour. "Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender"  dalam  Mansour Fakih (editor),.  Membincang Feminisme. 1996. Surabaya: Risalah Gusti. Hal. 45. b). Darma, Budi, "Sastra Kita: Menghadapi Masa Depan." 1999. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Hal. 61. Dalam menanggapi diskusi mengenai sastra wanita, HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia), Padang, 12 Desember 1997, Budi Darma antara lain menulis: "Gender, yaitu masalah perbedaan kelamin, sebetulnya masalah sosial, bukan masalah sastra [tapi kemudian masuk ke dalam sastra]."

11. Barry, Peter. Beginning Theory. 1995. Manchester: Manchester University Press, h.121-2.

12. Henry Sayre, "Performance," dalam Critical Terms for Literary Studies, (editor). Frank Lentricchia & Thomas McLaughlin. 1990. Chicago: Chicago University Press, h. 98.

13. a). Banyak data mengenai pendapat bahwa kritikus feminis cenderung marah tidak tersimpan; b). Selanjutnya, lihat pendapat Matthew Arnold, penyair dan kritikus Inggris Jaman Victorian. Dia berpendapat, kritik sastra yang baik berusaha untuk mencapai tahap disinterestedness, yaitu tahap yang betul-betul obyektif, tahap di mana kritikus dapat mengosongkan diri dari segala macam kepentingan, sehingga kritik terhadap objeknya dapat benar-benar objektif. Namun, sebetulnya, karena kritikus mau tidak mau adalah manusia, maka benar-benar sulit bagi kritikus untuk benar-benar berada pada tahap disinterestedness. Kesulitan untuk mencapai tahap disinterestedness akan bertambah berat, manakala kritikusnya adalah wanita dan bertolak dari pandangan feminis. Karena itulah, Elaine Showalter, salah-seorang pelopor dalam studi feminisme dalam sastra, menulis "Feminist Criticism in the Wilderness," yaitu bahwa kritik sastra feminis akhirnya akan masuk ke tahap wilderness, yaitu tahap 'belantara,' dan karena itu sulit untuk mencapai tahap disinterestedness. Showalter, Elaine. "Feminist Criticism in the Wilderness" dalam Robert Con Davis and Ronald Schleffer. (editor). Contemporary Literary Criticism. 1989. New York: Longman, h. 457-478; c). Masalah kemarahan kritik feminis secara tidak langsung saya kemukakan dalam "Sastra Kita Menjelang Akhir Abad." Horison. September-Oktober 1998. Hal. 14-25.

14. a). Darma, Budi. "Sastra Kita Menjelang Akhir Abad." Horison. September-Oktober 1998. Hal. 14-25; b). Darma, Budi. "Women in Indonesian Literature: Past and Future." EUROSEAS 98. Hamburg University, Hamburg, Germany. Binderstrasse #34. September 5, 1998.

15. Budi Darma. "Sosok Toety Heraty." Kata Pengantar kumpulan sajak Toety Heraty. Nostalgi=Transendensi. 1995. Jakarta: Grasindo, h. IX-XIX.

16. Perihal wanita tradisional dikemukakan pula oleh Toetry Heraty dalam membandingkan kumpulan cerpen Sirikit Syah, Harga Perempuan, dan kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Seminar HISKI, Padang, 14 Desember 1997.

17. Ahmad Tohari. "Srintil atawa Ani Kawasaki." Seminar "Wanita dan Sastra: Relevansi dan Persoalan Wanita Masa Kini." Universitas Airlangga, 10 Desember 1994.

18. Darma, Budi. "Sastra Kita Menjelang Akhir Abad." Horison. September-Oktober 1998. Hal. 14-25.

19. Seminar HISKI, Padang, 14 Desember 1997.

20. Henry Sayre, "Performance," dalam Critical Terms for Literary Studies, (editor). Frank Lentricchia & Thomas McLaughlin. 1990. Chicago: Chicago University Press, h. 98.

21. Budi Darma. " Novel Indonesia Sekarang, I, II, III." Basis. Oktober 1988, h. 382-394; Basis. November 1988, h. 425-433; Basis. Desember 1988, h. 458-465.

22. Ibid.

23. Sapardi Djoko Damono. "Apresiasi, Kritik dan Ilmu Sastra." Seminar Antarbangsa Kesusastraan Melayu: Penilaian Kembali." Universiti Brunei Darussalam, 13-15 November 1997.

24. Darma, Budi. "Sastra Kita Menjelang Akhir Abad." Horison. September-Oktober 1998. Hal. 14-25.

25. Ibid.

26. Budi Darma. "Novel Indonesia Sekarang I, II, III."

27. Ibid, 24.

28. Budi Darma. "Novel Indonesia Sekarang I, II, III."

29. Ibid, 24.

30. Garin Nugroho, "Sinema Milenium Baru: Perlawanan Setengah Matang?", Kompas, Minggu, 17 Oktober 1999, h. 5, laporan di Sinematek Universwal Studio, Hollywood, Agyst 99, seminar memperingati 100 tahun Alfred Hitchcock

31. Secara berkala PMLA (Publication of Modern Language Association), jurnal MLA (Modern Language Association), menerbitkan buletin antara lain mengenai status para tamatan fakultas sastra di masyarakat. Dari buletin demi buletin nampak, bahwa keberhasilan tamatan fakultas sastra banyak ditentukan oleh kepribadian tamatan sendiri. Pendidikan, dengan demikian, lebih banyak berfungsi sebagai penunjang.

32. Banyak dikemukakan oleh Rahmat Djoko Pradopo dalam berbagai makalah dan forum.

33. Darma, Budi. Solilokui. 1984. Jakarta: Gramedia. Tersebar dalam beberapa esai di dalamnya.

34. Pada tanggal 4-9 Oktober 1999, di kawasan Puncak, Bogor,  MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) mengadakan lokakarya penulisan esai, dengan penyelenggara Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. Dalam lokakarya ini nampak, bahwa model esai di Indonesia berbeda dengan model esai di Malaysia dan Brunei Darussalam.  Perbedaan model terjadi, karena penerbitan buku dan majalah di Malaysia dan Brunei Darussalam sangat mudah, sedangkan di Indonesia sangat sulit.  Di Indonesia, sebaliknya, koran sangat membantu penulisan esai. Sejak tahun 1980-an, koran juga mempunyai andil dalam menentukan corak cerpen.

35. Pada akhir tahun 1970-an ada ketidak-puasan terhadap ketidak-hadiran teori sastra khas Indonesia. Teori-teori Barat selalu dipergunakan, padahal belum tentu tepat untuk sastra Indonesia sendiri. Oleh Satyagraha Hoerip, melalui koran Kompas dikemukakan urgensinya untuk memiliki  teori sastra sendiri, teori sastra khas Indonesia. Gagasan Satyagraha Hoerip disambut dengan baik oleh khalayak sastra, dan karena itu  diskusi, seminar, dan ceramah mengenai  perlunya memiliki teori sastra sendiri sering diselenggarakan.

36.  Berbagai koran secara bertubi-tubi pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an sering menyiarkan tulisan mengenai "sastra pedalaman" atau "sastra pinggiran."

37. Koran Kompas pada tahun 1998,  misalnya, mengutip pernyataan Sapardi Djoko Damono mengenai pendapatnya, bahwa kritik sastra Indonesia tidak maju karena pengarangnya jauh lebih pandai daripada kritikusnya.

38. Ibid, 24.

39. a). "'Saman,' Generasi Baru Sastra Indonesia." Kompas, 5 April 1998. Dalam artikel mengenai Saman, dikatakan bahwa untuk menulis novel ini, Ayu Utami mengadakan penelitian lapangan terlebih dahulu. Sumber lain mengatakan, bahwa beberapa pengarang pemenang mengadakan wawancara langsung dengan orang-orang yang kemudian menjadi pelaku dalam novel-novel mereka

Sumber: http://horisononline.or.id/esai/sastra-mutakhir-kita

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler