Skip to Content

SATU RUMPUN SATU WAJAH: Teater Tradisi Melayu Mendu, Dulmuluk, Makyong, dan Mamanda

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin*

 

Berbicara teater tradisi Melayu sebenarnya tidak terlepas dari pertumbuhan kebudayaan Indonesia yang terdiri dari berbagai suku-suku bangsa. Ia lahir dari kehidupan masyarakat dan berkembang akibat proses persinggungan dengan budaya luar seperti India, Timur Tengah, Cina, Portugis, Inggris, Belanda dan Thailand, sehingga teater tradisi ini berkembang dan menyebar menjadi bagian dari ekspresi seniman pendukungnya. Seperti teater tradisi Melayu Mendu, Makyong, Dulmuluk dan Mamanda adalah proses kreativitas kebersamaan yang lahir dari perubahan kultur masyarakat dimana perkembangan teater tradisi ini diawali dengan pertumbuhan bahasa Indonesia yang sejak beratus-ratus tahun telah menjadi lingua franca kepulauan.

Sebagai sebuah histori, Bahasa Indonesia telah menjadi identitas tradisi kesusasteraan yang dikembangkan oleh para penyair dalam kurun waktu yang panjang dari aspirasi kebangsaan dan negara di kawasan Asia Tenggara. Dimulai dari Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Perlak Malaka, Aceh, Sumatera sampai masuk ke pelosok negeri terjauh Indonesia. Aspirasi kebangsaan Melayu yang terbangun dalam satu rumpun dan satu wajah ini, adalah sebuah kekuatan dasar berkembangnya berbagai adat dan tradisi. Bahkan konon, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional adalah berinduk pada bahasa Melayu. Hal ini tak dapat dipungkiri. Kita bisa melihat lahirnya berbagai jenis puisi, syair dan pantun yang lekat dalam keseharian masyarakat Melayu merupakan bagian dari pola pikir yang berkembang dalam wilayah negeri seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Ambon, dan suku-suku lain yang menempati wilayah-wilayah pinggiran pesisir Indonesia.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia dalam budaya Melayu ini menjadi awal berkembangnya tradisi lisan ke tradisi tutur seperti pantun yang merupakan cikal bakal lahirnya jenis-jenis kesenian rumpun Melayu. Salah satu yang mendasari sebuah komunikasi dalam teater tradisi Melayu ini adalah bahasa yang secara umum menggunakan bahasa Melayu kuno sebagai pijakan utama. Sebagaimana kita sama-sama tahu, pantun adalah anak kandung bahasa paling tua yang bersumber pada upacara tradisi dan adat istiadat setempat. Dalam perkembangannya, pantun ini diadopsi oleh masyarakat sebagai sastra lisan. Pantun sebagaimana kita telusuri dalam sejarah kehidupan Melayu, mengambarkan penyebaran misi agama dan kisah perjuangan generasi sesudah perang kemerdekaan yang digambarkan melalui pendekatan antropologi, folklore dan sosial kemasyarakatan.

Pada titik ini perkembangan tradisi lisan ke tradisi tradisi tutur yang kemudian merambah pada tradisi berpantun menjadi awal perkembangan teater tradisi Melayu ini dan menjadi bagian dari sejarah produksi seni pertunjukan. Di sinilah kedudukan teater tradisi Melayu sebagai sebuah seni temporal, membentuk sebuah anasir dalam struktur kesejarahan, penyajian, perlambangan, maupun dalam spektakel kepentasannya. Berkait dengan penafsiran anasir kepentasan ini, maka masalah-masalah yang berkait dengan spektakel teater tradisi Melayu baik Mendu (Kepulauan Riau), Makyong (Riau Daratan), Dulmuluk (Palembang) dan Mamanda (kalimantan) coba dipetakan dalam struktur seni pertunjukan baik dalam aspek kesejarahan di satu sisi dan filosofi kedaerahan pada sisi yang lain.

Maka satu rumpun dan satu wajah pada ke empat teater tradisi Melayu ini dapat dipahami sebagai seni pertunjukan yang mengadopsi banyak unsur kesejarahan disamping keunikan-keunikan di dalamnya. Pertama, sastra sebagai kekuatan dasar yang menjadi aspek penghubung seluruh penyajian. Kedua, lakonan atau pemeranan yang biasa disebut dengan big gesture, yakni gerak yang dilebih-lebihkan melampaui gerak standar yang dicirikan dalam improvisasi dialog dengan lawan main. Ketiga, Lagu dan nyanyian yang biasa disebut extra turn yaitu sebagai penyeling hiburan watak-watak pemain. Ke empat, lagu dan nyanyian sebagai pukauan estetik hiburan pada masing-masing peran. Kelima, unsur musikal sebagai pengantar suasana dan pengiring setiap adegan ke adegan yang lain. Ke enam, kostum sebagai penguat penokohan yang membedakan watak satu ke watak lain. Ke tujuh, set dan properti sebagai sarana pendukung artistik dekorasi yang mengindahkan permainan. Ke delapan, silat sebagai media yang memperkuat ekspresivitas setiap adegan.

Dari beberapa anasir struktural pertunjukan ini, teater tradisi Melayu tidak lepas pada pengaruh kepercayaan yang berkembang dalam sebuah sistem masyarakat. Sifat teatrikal dalam teater tradisi ini dapat digali pada upacara-upacara agama Pra-Hindu yang masuk dalam gelombang agama India ke Indonesia yang menggambarkan sebuah kenyataan transedental di mana pengaruhnya memberi arti bagi tumbuh kembangnya agama dan kebudayaan. Dalam upacara tersebut dapat dijumpai berbagai peristiwa yang menghubungkan beberapa upacara adat berupa gerak, paduan suara, persembahan doa atau pun mantra-mantra dalam lingkup persembahan yang tengah berlangsung.

Seiring dengan masuknya berbagai pengaruh budaya asing dan gelombang kebudayaan dari kepulauan Nusantara dan berbagai belahan dunia, maka teater tradisi Melayu semakin menampakkan wujudnya sebagai sebuah kesenian Melayu yang menerima berbagai sentuhan perubahan seperti halnya pertunjukan Komedie Stamboel, rombongan-rombongan drama pecahan Komedi Stamboel, Sinar Bintang Hindia dan Opera Bangsawan, maka struktur upacara kerakyatan, lambat laun mulai bergeser dan berubah fungsi menjadi seni untuk hiburan.

Hadirnya bentuk-bentuk seni pertunjukan ini, yang menyebabkan semua kebudayaan Melayu juga ikut berubah. Hal ini terlihat pada sejarah etnik Melayu yang dimulai dari sebuah kerajaan di daerah Jambi yang ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Mo-lo-yue yang disebut-sebut sebagai kerajaan di Sumatera pada tahun 644 dan 645 Masehi menjadi saksi perjalanan budaya Melayu oleh seorang pendeta Budha yang mempelajari bahasa sansekerta selama enam bulan. Dalam rentang sejarah perjalanan itu, Melayu dengan asas peradabannya menjadi lingua franca yang membawa angin perubahan di seluruh pelosok negeri Indonesia.

Berkait dengan sejarah dan latar belakang Indonesia dan sejarah ke-Melayuan yang disebut di atas, Pada hakekatnya, teater tradisi Melayu mengisahkan pengalaman pola pikir berdasar nilai budaya sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam menyampaikan aspirasi pikiran dan perasaan dalam bentuk medium seni. Tradisi Melayu memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan. Ia berkembang menjadi sebuah sistem yang memiliki norma dan aturan bagi budaya masyarakatnya. Seperti munculnya tradisi pantun maupun bertutur dalam pesta hiburan dalam keluarga, secara maraton berkembang di tempat-tempat perkumpulan organisasi masyarakat. Seni pertunjukan dalam teater rakyat itu pun berlangsung secara terbuka, sebagai salah satu ekspresi komunal bagi masyarakat lingkungannya.

Kebudayaan Melayu dengan genre pantunnya inilah yang menjadi awal perkembangan tradisi lisan membentuk lapis-lapis-----meminjam istilah Bakdi Sumanto cultural layer------yang dimulai dari gelombang datangnya kebudayaan Hindu dan Budha dari India pada abad pertama, disusul datangnya Islam dan kebudayaan lain, tatkala orang-orang Eropa membawa peradabannya sambil memburu rempah-rempah. Pengaruh dari lapis-lapis kebudayaan tersebut menjadi awal terbentuknya kebudayaan baru yang mengantar teater tradisi Melayu memiliki ekspresi zaman yang holistik selaras dengan karakteristik dan watak manusia zamannya. Seperti munculnya hikayat dewa-dewi atawa munculnya mistisisme dengan kepercayaan bawaan animesme dan dinamisme Jawa.

Teater tradisional Melayu adalah seni kolektif sebuah masyarakat yang sifatnya luas sekali dan merupakan salah satu cabang seni pertunjukan yang menyatu dengan penontonnya. Hal ini bisa kita lihat pada bentuk visual yang meliputi seni peran, seni tari, seni musik bahkan unsur kerupaan yang menjadi penunjang di baliknya. Dalam budaya rakyat yang bersifat lokalitas ini, kontak-kontak komunikasi antar unsur masyarakat, tidak hanya terbatas pada genre masing-masing budaya, tapi menyangkut pada konsep general yang diwariskan secara bertahap dan turun menurun.

Dalam hal ini teater tradisional Melayu pada hakekatnya bersifat anonim, karena dikerjakan secara guyub dan berdasar keinginan masing-masing masyarakat pendukung. Fungsi teater tradisonal ini untuk mempererat hubungan solidaritas antar warga dengan masyarakat yang lain. Permainan ini bersifat terbuka oleh rakyat dan untuk rakyat sesuai dengan sistim masyarakatnya yang mendukung falsafah kebersamaan. Oleh sebab sifatnya yang cenderung terbuka, permainan rakyat ini mudah berubah dan berkembang. Hal yang demikian, bisa kita lihat pada ciri-ciri tertentu yang menandai teater tradisi ini. Pertama, bercerita yang biasa diucapkan dengan bertutur. Kedua, tradisi penyebaran yang diungkap dalam bentuk media kata. Ketiga, tradisi memainkan yang diungkap dalam pertunjukan di atas pentas. Masing-masing kedudukan dalam tahapan ini memiliki performanya sendiri. Itulah sebabnya bahasa yang digunakan nampak lebih formal dan terikat pada fungsi artistik dan teatrikalnya. Kalau tidak sepenuhnya berupa artistik, sastra dan unsur-unsur language dan parole yang memiliki kecenderungan puitik yang sangat kuat.

Pada sisi yang lain teater tradisi Melayu ini memiliki segi permainan antara lain. Pertama, semua pemain yang terlibat membawakannya dengan spontan. Kedua, dipentaskan di arena. Ketiga, semua unsur permainan disertai tarian dan nyanyian. Keempat, cerita yang dimainkan terkenal dikalangan rakyat. Kelima, dagelan dan lawakan amat dominan. Beberapa ciri permainan yang menandai di atas, merupakan bentuk penyajian yang bergerak dalam satu asas kebersamaan, karena teater tradisi Melayu ini sesungguhnya bertolak pada satu rumpun dan satu wajah yang sama dalam setiap penampilannya. Kebiasaan turun temurun dalam masyarakat tradisi ini yang memungkinkan penyajian teatrikalnya memiliki identitas yang khas terutama dalam penyampaian yang dituturkan dengan berpantun. Seperti berladun yang dilakukan dengan tarian, bermadah dilakukan dengan nyanyian begitu pula beremas dilakukan dengan suara ekspresi koor yang ke semuanya mempunyai makna dan artian yang sangat mendalam. Semua yang hadir dalam lapis-lapis kebudayaan ini, bisa kita lihat pada teater tradisi Melayu yang diukur---meminjam istilah Bakdi Sumanto---dengan parameter kepentingan upacara. Seperti hadirnya seorang syekh atau Bomo dalam wilayah kepentasan, merupakan bagian dari ciri-ciri teater tradisi Melayu yang sarat dan khas menyesuaikan dengan lingkup kebudayaannya.

Sebagai sebuah sistem yang terikat dalam kebersamaan, teater tradisional menggunakan pola-pola tertentu, antara lain bersifat spontan dan mengutamakan improvisasi lokal antara satu pemain dengan pemain lain. Dengan bebasnya teater rakyat ini bermain dalam gerak fisikal yang sangat tradisional, karena semua unsur-unsur di dalamnya merupakan bagian yang integral dari watak-watak tokoh streotip di samping sebagai bagian dari penciptaan ruang dan waktu dalam adegan dan suasana. Seperti yang terlihat pada lakonan, tarian dan unsur musikal yang bergerak serentak dan menyatu dengan lakonan.

Itulah sebabnya, teater tradisional Melayu sangat bersifat formal. Sifat formalitas ini merupakan sumbangan yang sangat besar bagi sifat teatrikal. Teatrikalisme dalam teater rakyat ini tidak mencoba untuk mendistorsi realitas kehidupan, tapi memberikan keselarasan, baik unsur visual, unsur-unsur bunyi maupun gerakan. Sebagai contoh adalah penggunaan unsur tari yang lebih besar, yakni masuk ke pentas dengan menari. Hal itu tidak realistis karena di dalam kehidupan keseharian tidak demikian adanya. Seperti berkata-kata kemudian diselipkan nyanyi dalam waktu yang bersama. Hal tersebut juga tidak selaras dengan kenyataan keseharian. Itulah sifat-sifat dari teatrikalisme dalam teater tradisi Melayu yang menunjukkan identitasnya sebagai seni pertunjukan.

Seperti juga kita bisa lihat pada pola pengadeganan yang tidak berorientasi kepada tokoh, tapi melainkan pada tempat. Dalam artian, teater tradisi Melayu tidak memandang pada satu kekuatan visual yang terbentuk dalam pentas, melainkan melihat pada kesepadanan dan penyetaraan nilai-nilai yang berkomune dengan lingkup keseniannya. Tokoh lebih dilihat sebagai indikasi yang membantu tercapainya visualitas peragaan dari seluruh rangkaian cerita. Sebagai salah satu konsekuensi keselarasan tradisi ini, ruang dan waktu adalah sebuah hukum relativitas yang berfungsi memadukan berbagai abstraksi dari seluruh adegan yang tergelar sepanjang tontonan. Semua merupakan ekspresi yang utuh dan menjadi kesatuan dengan yang lain, dimana lakuan dramatik hanya sekedar penggambaran dari cerita yang dimainkan. Jadi teater tradisi ini dilakukan dengan ringan karena akting yang dilakukan adalah ----meminjam istilah A. Kasim Ahmad---akting indikatif---yang dengan cepat berubah dari satu suasana ke suasana yang lain.

Bertolak dari beberapa uraian di atas, menjadi nyata bahwa kehadiran teater tradisional Melayu, lahir dalam sifat-sifatnya yang spontan. Dalam teater ini hanya dikenal plot dan garis besar yang biasa dipimpin oleh seorang khalifah yaitu seorang pimpinan yang membawahi semua tugas-tugas kepentasan. Sifat-sifat dasariah yang melekat pada tradisi Melayu ini kian tumbuh dan berkembang karena mengemban beberapa mediasi yang bersinambung dengan laju perkembangan masyarakatnya.

 

MENDU

Dalam sejarah asal usul, taater tradisi Mendu adalah sebuah permainan rakyat yang berbentuk lakonan, tarian,  nyanyian dan percakapan dialog yang tumbuh berurat berakar di kalangan masyarakat Pulau Laut, Bunguran, Pulau tujuh dalam kawasan Kepulauan Riau Natuna. Ia lahir dan berkembang di tengah masyarakat yang terdiri dari kaum Nelayan dan para petani pesisir. Kesenian tradisi ini menjadi primadona masyarakat setempat di samping karena sebagai alat pengembangan bahasa Indonesia juga mempunyai unsur pendidikan dan nilai hiburan untuk menghilangkan kepenatan sehabis kerja. Karena itu, kesenian tersebut tetap menjadi kesayangan orang-orang kampung. Begitu senangnya mereka dengan Mendu, di setiap keramaian atau pun hari-hari besar agama, seni lakon tersebut dimainkan. Tak heran ketika pertunjukan tersebut dimainkan semalam suntuk masih ada orang yang berkerumun. Kata Shahibul hikayat, permainan Mendu berasal dari Siam, Manora dan Thailand.

Hal ini terlihat dari sejarah gajah putih (baca : Siti Mahdewi) yang merupakan simbol dan lambang tragis kemanusiaan. Mendu merupakan kesenian maestrem Masyarakat Melayu yang dilambangkan sebagai kasih sekampung atawa menunggu dan merindu untuk mengisi kekosongan waktu senggang saat mereka usai melaut dan meladang. Kesenian ini tumbuh sangat sederhana sekali, spontan dan berdialog seadanya dalam susunan kata yang liris dan berirama. Isi percakakpan tergantung menurut kemampuan masing-masing pemain yang disesuaikan dengan kemahirannya, sejauh tidak keluar dari pola lakon yang telah dikisahkan oleh seorang syekh yang mengetuai pertunjukan ini. Adapun cerita yang dihidangkan sudah dikenal oleh para pemain maupun para penonton yang biasanya telah mendengar penuturan dari mulut ke mulut yang diwariskan dalam tradisi lisan.

Dalam pertunjukan Mendu tidak ada istilah dan syarat tertulis seseorang menjadi pimpinan. Proses penunjukan ini berdasar kepada kemampuan dan pengetahuannya yang luas. Biasanya memimpin ini diperoleh karena ia adalah keturunan atau pewaris terdahulu. Di samping itu karena pemimpin tersebut adalah seorang tokoh yang dikenal bijaksana dan jujur kepada semua para anggota terutama yang menyangkut keuangan, karena keuangan perkumpulan biasanya dipegang oleh pimpinan perkumpulan.

Salah satu fungsi pertunjukan Mendu adalah untuk memeriahkan pesta hajatan. Dengan demikian pertunjukan teater ini diharapkan dapat menarik sebanyak mungkin penonton yang secara tidak langsung juga akan memeriahkan pesta hajatan itu. Sehubungan dengan fungsi pertunjukan di atas, Mendu menggunakan cara-cara tertentu untuk menarik perhatian penonton, antara lain dengan menggunakan tata cara pentas yang menarik, seperti peralatan panggung dan dekorasi yang dihias dengan asesoris khas Melayu. Hiasan dan dekorasi ini menggambarkan tabiat dan kehidupan orang-orang Melayu tempatan yang egaliter, independen dan pragmatis dalam menghibur masyarakatnya dengan cara bermain.

 

DULMULUK

Teater tradisi dulmuluk adalah teater tradisional yang lahir dan berkembang di Sumatera Selatan dengan tingkat penyebaran ke berbagai daerah pulau sumatera. Terbentuknya teater ini melalui proses panjang yang dimulai kreativitas senimannya berdasarkan kemampuan spontanitas satu dengan pemain dengan yang lain. Teater ini pada mulanya merupakan cikal bakal yang bertolak dari pembacaan syair oleh seorang pedagang keliling dari Arab yang sering melakukan perjalanan ke Singapura, Negeri Johor Malaysia, Kepulauan Riau, Palembang dan Pulau Bangka. Syair ini dikarang oleh seorang wanita bernama Saleha adik perempuan Raja Ali Haji Ibn Raja Ahmad Ibn yang dipertuan Muda Raja Haji Fi Sabiilillah yang bertahta di negeri Riau Pulau Penyengat Indra Sakti pada abad ke 19.

Nama Dulmuluk berasal dari tokoh cerita yang terdapat dalam Hikayat Abdul Muluk. Jenis teater tradisional ini oleh masyarakat dikenal dengan nama Dul Muluk atau Dermuluk. Meskipun lakon yang dibawakan tidak selalu hikayat Abdul Muluk, tapi jenis teater ini tetap dinamakan Dulmuluk. Di beberapa tempat masyarakat Melayu, teater sejenis Dulmuluk ini disebut teater Indra Bangsawan. Bentuk pertunjukan Abdul Muluk tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, terutama teater rakyat yang ditopang dan didominasi oleh latar belakang Melayu. Pola penyajian dalam teater ini dimulai pembacaan pantun dan syair, peragaan teater tutur hingga menjadi teater utuh yang dielaborasi dalam konteks pertunjukan. Pada mulanya pantun atau syair disampaikan secara hafalan dan dikembangkan dalam bentuk bercerita yang intinya adalah untuk menghibur. Selain sebagai hiburan, teater ini juga merupakan media informasi dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan pembinaan masyarakat.

Awal mula terbentuknya teater ini adalah berupa pembacaan syair oleh Wan Bakar yang sering melakukan perjalanan berdagang ke Singapura, Negeri Johor Malaysia, Kepulauan Riau dan Pulau Bangka. Selain barang dagangan, ia membawa juga kitab-kitab bacaan yang berisikan hikayat baik dalam bentuk syair maupun cerita biasa untuk keperluan sendiri atau untuk dihadiahkan kepada teman-temannya di Palembang sebagai oleh-oleh dari perantauan.

 

MAKYONG

Teater Makyong adalah teater tradisi yang berupa permainan gabungan dari berbagai versi seni, antara lain seni tari, seni suara dan seni gerak dalam elemen ritual yang merupakan suatu jenis teater kerakyatan yang tinggi mutunya dan halus gerak-geriknya. Kesenian teater rakyat ini bersifat religius yang menggambarkan liku-liku kehidupan di ladang, di laut dan penuh dengan kepercayaaan kosmik setempat. Pada mulanya, kesenian ini khusus diperuntukkan untuk menyambut tetamu dalam sebuah pesta kerajaan yang dimainkan oleh mayoritas pemain perempuan sebagai salah satu penarik tetamu. Pada awal mula, biasanya teater tradisional ini selalu dimainkan oleh para pemain pria. Namun dalam perkembangannya, kemudian didominasi oleh pemain perempuan karena pemain perempuan dianggap lebih menarik dari pemain kaum pria. Dalam perkembangan kemudian, para pemain laki-laki hanya sebagai pemeran pembantu.

Hal ini terjadi karena kisah tentang istana menjadi lambang kemegahan para raja-raja kekaisaran, antara lain Sultan-Sultan Lingga, Kesultanan Malaka dan Istana Sultan Sri Indrapura. Tak ayal, kaum perempuan menjadi berharga sekali dan dijadikan promosi yang bisa menaikkan harga wilayah kerajaan. Pemain ini seluruhnya mengenakan topeng tokoh-tokoh dalam cerita melodrama sehingga hampir menyerupai opera. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu.

Pada mulanya kesenian Makyong tumbuh semacam tarian joged atau ronggeng yang dalam perkembangannya kemudian dimainkan dalam bentuk lakon, namun masih tetap merupakan permainan rakyat di kalangan suku bangsa Melayu. Kesenian ini sangat disenangi oleh kaum bangsawan atau keluarga raja-raja, sehingga kemudian menjadi kesenian istana. Tapi walaupun kesenian sudah menjadi milik istana, para pemain Makyong dari kalangan rakyat jelata juga ikut memainkannya, karena kesenian rakyat ini berfungsi sebagai alat penghibur atau pelipur lara. Biasanya kesenian rakyat ini dimainkan pada perayaan hari-hari perkawinan dan hari-hari besar lainnya. Di samping hidup dalam masyarakat, ia juga pernah hidup dalam meriahnya istana para Raja di Pulau Indra Sakti di Kepulauan Penyengat. Dalam setiap upacara resmi seperti pernikahan, acara rutinan di halaman rumah pengantin perempuan semenjak "menggantung" sampai pada acara pengantin turun yang biasa disebut dengan "mandi bersimbah".

 

MAMANDA

Teater tradisi Mamanda adalah teater rakyat yang bertolak dari sastra lisan berkisar tentang tema-tema kerajaan yang diselaraskan dengan cerita rakyat lokal. Jenis teater rakyat ini merupakan pengembangan Komedi Bangsawan dan teater tradisi lokal Melayu, semisal Mendu, Makyong dan Dulmuluk. Sebagian cerita, plot dan gaya penyajian teater ini merujuk pada Komedi Indra Bangsawan yaitu sebuah teater rakyat yang juga dikenal dengan Abdoel Moelok. Petilasan dan asal muasal sejarahnya ini dapat ditelusuri pada tahun 1897 ketika rombongan tersebut datang ke Banjarmasin. Pada awal mula, komedi Indra Bangsawan ini pengaruhnya sangat besar dan sangat meluas khususnya di Kalimantan Selatan, karena disamping ceritanya menarik juga mengandung tentang nilai-nilai moral dan pendidikan. A. Kasim Ahmad (2006:128-129) menyebutkan bahwa :cerita yang dituturkan dalam Mamanda ini pada mulanya berbentuk syair-ayair yang sangat populer dan tertulis dalam sebuah buku berlafal Arab Melayu Johor, di mana jejak-jejak kreativitasnya meluas dan beredar dalam kawasan daerah Margasari sampai ke daerah Periuk Margasari Ilir. Di kedua tempat inilah cikal bakal Ba Abdoel Moeloek mulai berpengaruh pada masyarakat Banjar dan kemudian berubah dengan sebutan Mamanda.

 

Seiring dengan perkembangannya, Mamanda menjadi sebuh ikon baru yang disebut-sebut sebagai jenis teater tradisi Banjar. Perpaduan Ba Abdoel Moeloek dengan pengaruh bangsawan menjadi sebab-sebab berkembangnya Mamanda dalam khazanah tradisi tempatan. Dengan kepekatan syairnya, Ba Abdoel Moeloek dan hikayat-hikayat lama seperti Si Miskin, Marakarma, Hikayat Cindera Hasan dan Hikayat Seribu Satu Malam, mampu dengan mudah beradaptasi dengan Mamanda karena keduanya bertolak pada cerita-cerita seputar kerajaan dan selaras dengan cerita rakyat setempat.

Sebagai seni rakyat, Mamanda kerap menonjolkan pada sifatnya yang spontan karena jenis kesenian ini memiliki bentuk komunikasi yang akrab dengan penontonnya yang teramu dalam Balalaguan (bernyanyi), Batatarian (Menari) dan Bapandung (bercerita dengan lucu). Oleh karena itu dalam cerita Mamanda selalu ada tokoh dan peran antara lain, Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Panglima Perang, Wazir, Harapan I dan Harapan II, Permaisuri, Khadam ditambah dengan peran lain seperti  Puteri, Anak Raja, Anak Muda, Dayang, Perampok, dan Jin.

Dari keempat rangkaian struktural yang terbentuk alam pembahasan di atas, maka satu rumpun dan satu wajah dalam teater tradisi Melayu merupakan konsep seni pertunjukan yang lazim dan menetap dan tidak berubah. Hal ini hampir dilakukan oleh semua teater tradisi Melayu yang terwariskan sampai kini yang harus dilakukan menurut tata cara yang berlaku. Karena mereka berpedoman pada sebuah aturan bahwa menyalahi tradisi sama halnya menyalahi aturan dan sistim adat. Sebagai seni pertunjukan yang bersifat temporal hukum dan ketetapan dalam tradisi ini sangat dijaga dan bahkan sudah menjadi bagian dari peristiwa kemasyarakatan.

Di sinilah letak kekuatan dasar yang dimiliki teater tradisi Melayu dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang sampai kini terus dilestarikan. Hal ini merupakan sesuatu yang jamak, karena sifat dari seni pertunjukan itu sendiri sarat dengan kesederhanaan sebagai---meminjam istilah Edi Sedyawati---- sarana peningkatan nilai keindahan di samping tetap menjadi sarana peneguh tradisi. Demikianlah, seni pertunjukan ini menjadi saksi dalam merekam peristiwa sebagai bentuk ekspresi multikultur yang paling asasi dalam lingkup sosial masyarakat, baik dalam tradisi adat serta hubungannya dengan kehidupan.

 


DAFTAR BACAAN


A. Navis, A.  Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: PT Temprin, 1986.

Achmad, A. Kasim, Pengaruh Teater Tradisional pada Teater Indonesia, dalam Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema, Tommy F. Awuy (ed.), Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1999.

________________, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2006.

Bahar, Mahdi (ed.), Bunga Rampai “Seni Tradisi Menantang Perubahan” STSI: Padang Panjang Press, 2004.

Bujang, Rahmang HJ, Seni bangsawan baru, Kuala Lumpur: Fakulti Sastera Dan Sains Social Universiti Malaya Malaysia, 1992.

Danandjaya, James, Foklor Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Kartomi, Margaret J, The Nurturing Revival And Abandonment Of The Banjarese Performing Art In South Kalimantan With Special Reference To Mamanda And Wayang Kulit Theatre, Departemen of Music Monash Universiti Australia, 1992.

Kayam, Umar, Seni Tradisi Masyarakat,  Jakarta, PT Djaya Pirusa, 1981.

Kesejahteraan Rakyat, Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat II Kepulauan Riau, Mendu Seni PentasTradisional Melayu Riau Kepulauan, Riau, 1994.  

Loir, Henri-Chambert, Hikayat Dewa Mendu, Paris: Orient,1980.   

Malaon,Tuti Indra. (ed.), Menenggok Tradisi Sebuah Alernatif Bagi Teater Modern, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1986.

Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: PT Gramedia,             1984.

Saleh, Abdullah - R. Dalyono, Kesenian Tradisional Palembang Teater Dulmuluk, Palembang, Proyek Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Tradisional, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1996.

Sumardjo, Jakob, Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Bandung, Angkasa,           1986.

_____________, Arkeologi Budaya Indonesia (Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia), Yogyakarta: Qalam, 2002

Syamsudin, BM, Mendu Kesenian Pulau Natuna, Jakarta: Balai Pustaka, 1980.

_____________, Pekan Teater Tradisional Mendu, Kepulauan Riau, Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian, 1977.

Yudiaryani, Dra., M.A, Panggung Teater Dunia, Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli,         2002.

Sedyawati, Edi, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1981.

Bouvier, Helene, Lebur, Musik dan Pertunjukan dalam masyarakat Madura, Jakarta,Grafika, Mardi Yuana, Bogor, 1981.          

Saleh, Abdullah, Kesenian Tradisional Palembang Teater, 1981.

_____________, Dulmuluk, Palembang, Proyek pembinaan Dan Pengembangan Kesenian Tradisional Palembang, 1996.

Takari, Muhammad, Musik Melayu Akar Budaya  Akulturasi Perubahan dan Kontinuitas, Medan, Universitas Sumatera Utara Fakultas sastra Seminar, 1981. 

Padmodarmaya, Pramana, Tata dan Teknik Pentas, Jakarta: Balai Pustaka, 1981.

 

*Penulis adalah kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler