Skip to Content

Sebuah Catatan dari Puisi Nisa Amalia

Foto Arinda Risa Kamal

Sebuah Catatan dari Puisi Nisa Amalia

Oleh: Arinda Risa Kamal*

 

            Belum lama rasanya saya mengenal Nisa Amalia, seorang perempuan yang memilih menjadi mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Waktu itu kami sama-sama memulai untuk menjadi pengurus di salah satu organisasi internal jurusan di kampus. Saya sempat mendengar bahwa ia seorang anak yang cerdas. Ya, saya percaya. Sebab paling tidak, nilai IPK-nya menunjukan di atas tiga koma lima (itu pun jika harus percaya bahwa kecerdasan dapat diukur sebatas angka-angka saja). Sekarang ia duduk di semester empat, dua semester di bawah saya.

            Sebagai civitas academica yang berkutat dalam bahasa dan sastra Indonesia, puisi tentunya menjadi salah satu bagian dari berbagai hal yang kami kenali dan pelajari. Saya tahu bahwa semua mahasiswa satu jurusan pernah menulis puisi, karena menulis puisi memang diwajibkan dalam beberapa mata kuliah. Tetapi saya tidak pernah benar-benar merasa yakin bahwa mereka menulis puisi berdasar keterpanggilan yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri (meskipun saya sendiri sebenarnya belum merasa yakin apakah saya sudah menulis puisi berdasar keterpanggilan diri sendiri atau belum). Itu semua paling tidak bertitik tolak dari penilaian saya yang hanya melihat sepinya mading kampus, buletin internal kampus, atau media masa lokal di Tasikmalaya yang sama-sama sepi dari puisi teman-teman mahasiswa satu jurusan. Padahal beberapa waktu lalu, saya merasa bahagia bisa membaca puisinya Tri Wahyuni, Shinta Rosiana, Eva Nurhayati Asih, Deska Pratiwi, Feysur Bashit, Ricky Komara Putra, dan Beni Setiawan (ini hanya sederet nama yang puisinya pernah saya baca di media masa, mudah-mudahan masih banyak nama lain yang puisinya tidak terbaca oleh saya).

            Ketika pertama kali Nisa Amalia memperlihatkan puisinya kepada saya, saya merasa bahagia, terkejut, sekaligus teringat pada nama-nama perempuan yang puisinya pernah terbaca di media masa. Meskipun sebenarnya saya membaca puisi Tri Wahyuni, Shinta Rosiana, Eva Nurhayati Asih dan Deska Pratiwi hanya satu kali saja di media masa, tetapi saya merasa bahwa puisi-puisi mereka sendiri telah membuat saya yakin akan bakat puitik yang mereka miliki.

             Keteringatan saya akan puisi yang pernah ditulis teman-teman perempuan, disebabkan kerinduan saya akan puisi-puisi mereka. Karena selama ini, meskipun puisinya tergolong langka muncul di media masa, teman laki-laki yang selama ini memiliki ketertarikan dalam puisi, sering memperlihatkan bahkan membahas puisi mereka secara bersama-sama. Baik itu ketika perkuliahan berlangsung, atau ketika menikmati kopi di kamar kontrakan. Komunikasi yang terus dijalin teman laki-laki kadang-kadang membuat saya berpikir apakah hal serupa juga terjadi di kalangan perempuan, baik itu sekedar silaturahmi, diskusi, menonton film bersama, atau bahkan saling meminjam buku bacaan.

            Dari sekian banyak puisi yang pernah diperlihatkan Nisa (nama panggilan Nisa Amalia), beberapa puisi sudah mulai menunjukan usaha yang serius dari Nisa ketika menulis puisi. Meskipun dalam beberapa aspek masih terasa adanya kekakuan daya ungkap dalam mimilih metafor/idiom sebagai media puitiknya. Semua puisi Nisa yang saya baca ditulis di tahun 2011. Itu artinya selama ini Nisa kerap menulis puisi secara diam-diam. Puisi yang selama ini ditulis hanya disimpan di laci meja, dan baru beberapa bulan inilah Nisa mulai berani untuk memublikasikan puisinya di mading dan buletin kampus. Dengan kejujurannya ia mengatakan kepada saya bahwa selama ini ia memang menyukai puisi. Ia mulai membaca dan menulis puisi sejak beberapa tahun lalu, tetapi karena kebingungannya dalam hal mengomunikasikan karya, akhirnya ia memilih untuk menyimpan puisinya di laci meja belajar saja.

            Kejadian tersebut sedikit berbeda dengan teman laki-laki yang selama ini menyukai puisi, mereka kerap mengomunikasikan karyanya di antara teman laki-laki lainnya. Gairah kepenulisan yang terlihat tersekat gender tersebut kiranya memang beralasan, selain masih adanya unsur kerikuhan di antara laki-laki dan perempuan, komunikasi yang kurang baik di kalangan perempuan pun menjadi salah satu alasan lainnya. Sebab selama ini, Nisa selalu mengeluh pada saya, bahwa ia berharap kakak tingkat atau teman perempuan sejawatnya bisa melakukan kegiatan diskusi seperti halnya teman laki-laki.

***

RAPUH

 

Begitu cepat siang berganti malam

Meredupkan cahaya dalam kesunyian

Melangkahkan beban dalam asa, lalu tiada

Haruskah kupudarkan bahagia dan derita

 

Nafasku telah sesak termakan senja

Tapi belaian rasa tak pernah berbuah cinta

Hanya luka yang bergelimang

Dalam nada, dalam dada yang terluka

 

Kini tak ada suara lagi, tak ada apa-apa lagi

Bosan, benci, kecewa tiada henti

Hati pun tandus, termakan nasibnya sendiri

 

2011

 

                Secara keseluruhan puisi berjudul “Rapuh” yang ditulis Nisa berbicara tentang kekecewaan, keputusasaan, pesimis dan semacamnya. Dengan kelugasannya, Nisa mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa terlepas dari kebahagiaan dan penderitaan.

            Di bait pertama, secara sadar ia mengungkapakan bahwa sebenarnya waktu melesat dengan cepat dan begitu saja. Waktu sendiri pulalah yang membuatnya terus menjalani beban kehidupan dan harapan, sedang sebenarnya ia tahu bahwa kelak semuanya tiada (menemu takdir yang dipercayai sebagai sebuah akhir dari segalanya). Saat-saat seperti itu, ia kembali menegaskan bahwa sebenarnya kebahagiaan dan penderitaan adalah sesuatu yang samar dan sia-sia.

            Bait kedua dan ketiga lebih mempertegas kekecewaan dan keputusasaannya, secara pesimis ia mengakhiri puisinya dengan ungkapan bahwa sebenarnya takdir tidak dapat dipungkiri, seberapapun besar harapan dan usaha yang dilakukan.

            Meskipun pada dasarnya puisi ini mengarah pada kisah cinta yang membuatnya putus asa, tetapi melalui pendalamannya, Nisa mengungkapkan bahwa cinta yang dimaksudkannya masih memiliki kemungkinan lain, bisa cinta pada pada kekasih, orang tua, orang tersayang, atau bahkan tuhan. Ini kemungkinan disebabkan persepsinya akan kesemerawutan kehidupan yang dialami dan dilihatnya.

 

BERHENTI

 

Biarkan aku berlalu

Menjamah malam dalam sendu

 

Aku terpaku

Dalam senyummu

Yang memilukan hati

Pergi. Kembali. Pergi

 

Sementara kita hanya bosan

Sendiri, dan fana

 

2011

 

            Puisi kedua dengan judul “Berhenti” hampir memiliki nafas yang sama dengan puisi pertama, tentang kekecewaan. Puisi ini lebih terlihat sublimasinya terhadap cinta-kasih sepasang manusia. Ia mengungkapkan bahwa kejemuan pada dasarnya akan mendorong pemberontakan, seperti yang dipertegasnya pada bait pertama. Ketegasan itu terasa dengan gaya kepenulisan yang dicetak miring. Sedang pada kedua bait lainnya, ia menegaskan ihwal kekecewaan dan kesadarannya akan sesuatu yang dianggapnya fana. “Pergi. Kembali. Pergi” ungkapnya.

            Bagi saya, dua puisi Nisa di atas cukup membuat saya yakin akan keseriusannya ketika mengolah perasaan sebagai tema dengan menggunakan bahasa sebagai medium ungkapan puitiknya. Meskipun di beberapa bagian masih terasa ada beberapa hal yang masih harus digulatinya. Seperti diksi, metafor/idiom dan semacamnya. Selain itu, Nisa masih begitu betah dengan kejelasan pengungkapan, atau terlihat seperti terjebak idiom yang mendayu-dayu dan banyak bertebaran dalam ungkapan-ungkapan yang kesannya ‘seperti’ picisan.

            Tetapi saya yakin, jika Nisa memiliki minat serius dalam menulis puisi, itu bukan persoalan selagi ia mau menggauli puisi seperti menggauli dirinya sendiri. Ia akan menemukan dan mengerti seiring keseriusannya itu sendiri, seiring bacaannya itu sendiri. Sebab menulis puisi, tidak hanya cukup bermodal intuisi.

Dari banyaknya puisi yang diperlihatkan Nisa, bagi saya dua puisi di ataslah yang menarik untuk diapresiasi, tetapi hal tersebut bukan berarti puisi yang lain tidak menarik untuk diapresiasi. Ini lebih disebabkan supaya saya terfokus untuk mengapresiasi, sebab bagi saya, untuk mengapresiasi satu puisi saja rasanya membutuhkan stamina yang besar dan serius.

Untuk selanjutnya, selain terus membaca dan menulis puisi, mudah-mudahan Nisa mulai menyadari dan melupakan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti: Mengapa harus puisi yang saya tulis? Siapakah yang masih membutuhkan puisi? Apakah puisi dapat membuat nilai saya menjadi A? Apakah puisi dapat membuat saya menerima beasiswa? Apakah puisi dapat membuat saya terkenal? Mengapa sekarang puisi tidak mampu membuat seseorang jatuh hati? Apakah benar menulis puisi harus selalu jatuh hati dan patah hati? Berapa banyak puisi yang harus saya tulis untuk membiayai kehidupan saya selama satu bulan?  Apakah puisi mampu membuat saya menjadi kaya? Serta pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya.

***

            Selama ini, geliat kepenulisan di lingkungan program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia tidak bisa terlepas dari peranan Bode Riswandi, salah satu dosen yang juga penyair dengan pengalaman dan pengetahuan sastra yang luas. Dedikasinya dalam menyambut dan memberikan dorongan bagi geliat kepenulisan begitu terbuka. Kerap kali, ia bersedia memfasilitasi bacaan bagi mahasiswanya, dan itu sangat membantu para mahasiswa yang masih merasa membutuhkan bacaan, atau mengobati ketidakpuasan mahasiswa akan koleksi buku perpustakaan (perpustakaan kampus ataupun daerah) yang hanya menyediakan buku itu-itu saja.

             Meskipun pada kenyataannya, tidak banyak mahasiswa program sudi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia yang masih memiliki minat baca. Hal tersebut kadang-kadang membuat saya berpikir, berapa persenkah teman-teman satu jurusan yang mencintai bahasa dan sastra Indonesia? Apakah ini yang menjadi dasar pemikiran para kritikus sastra yang mengungkapkan bahwa sastra di kalangan akademisi hanya sebatas euforia saja? Padahal nantinya, ketika memiliki nasib menjadi seorang tenaga pengajar, sastra dan bahasa adalah hal mutlak yang akan diajarkan terhadap anak didiknya.

            Kenyataan lain bahwa teman-teman satu jurusan justru malah menggemari karya sastra ‘picisan’ dengan label-label best seller. Mereka lebih mengenal karya sastra seperti itu dibandingkan dengan karya-karya sastra karangan Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Putu wijaya, Seno Gumira Ajidarma,  Ahmad Tohari, serta nama-nama besar lainnya.

            Mudah-mudahan, Nisa Amalia adalah salah satu kalangan akademisi yang akan menjadi jembatan bagi bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu, mudah-mudahan kelak Nisa mampu belajar seperti penyair perempuan Tasikmalaya lainnya, semisal Anggie Sri Wilujeng, Nina Minareli, Ratna Ayu Budiarti, Ria Arista Budiarti, Qeis Surya Sangkala, atau Afrilia Utami. Mereka adalah sederet nama perempuan yang memiliki kepedulian dan mental yang baik terhadap puisi. Sebab, Nisa, seperti yang pernah saya ungkapkan, “puisi selalu memberikan kebahagiaan yang tidak bisa saya dapati dari hal lainnya, tidak dari nilai A, tidak dari beasiswa, tidak dari nominal angka-angka, tidak dari sebatas pengakuan belaka”. Maka, Nisa, kita tidak perlu heran dan kecewa jika selama ini banyak orang yang beruntung karena puisi. Sebab penyair ataupun mahasiswa, Nisa, memiliki keberuntungan dan kesialannya masing-masing.

            Dalam salah satu tulisannya, Saini K. M. pernah mengungkapkan, “dalam dunia kepenyairan sering terjadi ironi. Justru yang menghindarkan diri dari tantangan hakiki kepenyairan sering lebih dikenal masyarakat sebagai ‘penyair’. Mereka lebih terkenal bukan karena karya-karyanya, melainkan karena kegiatan-kegiatan di ‘wilayah pinggiran’ kepenyairan. Sementara itu, penyair yang sesungguhnya, yang bekerja dengan tabah seorang diri serta boleh jadi menghasilkan sedikit karya bermutu karena banyak membuang karya-karyanya yang gagal, terdesak ke luar perhatian pembaca dan masyarakat”. (*)



(Radar Tasikmalaya - Minggu, 24 Juni 2012)


*Arinda Risa Kamal, mahasiswa program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya yang masih meyakini bahwa puisi tidak kalah penting dari skripsi.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler