Skip to Content

Sinkretisasi : Implisit Warna Syayidin dan Energi Gerak Adung Abdulgani

Foto Ucha Zelebour

Warna adalah kode yang mampu memberikan kesan dan identitas di samping merupakan subjek meditasi filosofis. Warna adalah manifestasi spektrum yang me-representatif-kan fungsi psikologis, simbolik, estetis, dan konvensi tertentu. Warna dalam seni rupa merupakan salah-satu unsur yang menguatkan corak bagi karya seni itu sendiri.

Sementara gesture bukan semata perubahan posisi, tapi lebih pada aktualitas, potensi dan energi di mana keduanya memiliki relativitas ruang dan waktu. Gerak dalam seni rupa adalah perwujudan lain dari ekspresi, efek dari pencahayaan dan kekuatan menempatkan goresan kuas (irama) dan mengolah dimensi sehingga memiliki teknik memunculkan kesan.

 

Berpikir Positif Adalah Kredo Bagi Syayidin

“Mengapa cenderung menggambar hal-ikhwal yang tidak baik selagi masih banyak sesuatu yang lebih baik” (Syayidin, 2009).

Banyak faktor yang memengaruhi perjalanan Syayidin sebagai pelukis. Seperti memasuki sebuah labirin yang tanpa keberanian mencoba semua arah dan menetapkan keyakinannya, niscaya tidak akan menemukan jalan keluar. Terjebak! Demikian Syayidin setelah mengeksplorasi berbagai aliran pada akhirnya memutuskan untuk mensinkretisasikan antara ekspresionisme dan impresionisme sepanjang intenitasnya.

Dan bukan tanpa alasan ketika predisposisi itu ditorehkan sebagai sikap mengakhiri-mengawali. Sebagaimana kecenderungan ekspresionisme yang menampilkan emosional dan atau kebebasan distorsi bentuk dan warna, serta karakteristik impresionisme yang condong pada warna-warna cerah dan kekuatan goresan kuas, cukup mendutakan kondisi pemikirannya yang selalu menganggap sesuatu apa pun bersifat positif dan itikadnya yang energik.

Penyertaan warna hangat dan ritme dalam setiap lukisannya tak lain merupakan analog bagaimana ia mengurai pengalaman empirisnya merupakan perspektif yang selalu bergerak maju. Warna hangat atau terang adalah motivasi, spirit dan dinamika sekaligus kode kultural untuk menyatakan optimisme kedaerahannya; Indramayu.

Penempatan warna yang dipadu-padankan dengan ritme (pengulangan, perubahan dan gerakan mengalunnya kuas) menjadi satu-kesatuan yang eksplisit sebagai penunjang dalam kemampuannya mengurai keindahan dengan tanpa rumusan tertentu. Namun demikian konsepsi Syayidin tidak lantas beku pada persoalan warna dan ritme semata. Terdapat tema dalam lukisan Syayidin.

Senyampang tema itu bukan merupakan unsur rupa (garis, raut, warna, tekstur, ruang dan gelap terang), tapi bagi Syayidin tema itu adalah unsur lain yang memperkuat gagasan intrinsik sebagaimana “akunya” merasuki bentuk lukisannya. Bukankah karya seni merupakan representasi dari si pembuatnya?

Selain warna, ritme, kemampuan mengurai tema adalah jiwa Syayidin yang kerap berpikir positif dalam menyikapi segala gejala sosial maupun kultural. Itulah mengapa sebagian besar lukisan Syayidin cenderung bertemakan afektif positif, seperti; kegembiraan, keriangan, syukur, dan atau fleksibilitas sesuatu yang dianggap kaku. Leksikal terakhir dicerminkan pada lukisannya yang bertitel; “Sajian Untuk Presiden; Sintren Indramayu” dengan subjek folkart sintren berlatar belakang Istana Merdeka.

Ada “akunya” Syayidin di situ. Aku yang negasi perspektif istana yang angkuh, eksklusif, dan kekulturan formalitas. Kerangka berpikir positif Syayidin menganggap bahwa istana merupakan kode dari emanasi kultural yang memiliki nilai kultural sesungguhnya, bukan depresiasi yang disebabkan atas dasar pemikiran sekelompok orang yang membutakan nilai kultural tersebut. Sinkretisasi antara sintren dengan istana kepresidenan menjadi lebih memiliki nilai estetis sebagai gambar.

“Akunya” Syayidin didominasi oleh pesona nusantara dalam pijakan kultural plural. Dari sebagian besar subjek dan tema bahasa gambarnya (penari, suasana panen, pasar tradisional, musik, dan lanskap hingga asmaraloka bersumber legenda) merupakan ikonitas dari keragaman dan kekayaan nusantara. Sepertinya Syayidin ingin menyerukan bahwa akulah Indonesia, apa yang disebut kemudian sebagai peristilahan local genius dalam konteks menjawab era globalisasi.

Meskipun ada lukisan Syayidin yang mengapresiasikan lanskap negeri China dan musik Eropa, itu tidak cukup mewakili bahwa Syayidin tidaklah pagan dengan konsep local geniusnya itu, tetapi lebih diartikan bagaimana dirinya memandang China dalam konteks hubungan emosional dari hasil pengalaman empiris dan musik Eropa dalam kerangka akulturasi budaya. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi dari kesemuanya lukisan Syayidin selalu menunjukkan positive thinkingnya Syayidin.

Tidak ada lukisan Syayidin yang murung. Demikianlah implisitas warna Syayidin, warna dalam arti unsur rupa dan warna sebagai fungsi psikologis dan optimisme kode. Syayidin adalah WARNA itu sendiri! **

 

Energi Gerak Dalam Dwi Matra Adung Abdulgani

Seperti seniornya (Syayidin) sebelum menapaki fase eklektisasi, Adung Abdulgani telah melakukan pengembaraan empiris sebelum kemudian memutuskan satu aliran, apa yang disebutnya adalah aliran realis kontemporer; satu domain yang memadukan dua aliran, atau satu aliran yang mengalami pengembangan dan perubahan sehingga terasa biner, namun memiliki alasan kesejajaran dialektika.

Ada gerak dalam dwi matra Adung. Eksplorasi gerak dalam ranah rupa memang sudah dilakukan oleh pelukis-pelukis lain jauh sebelum Adung berkiprah. Seperti halnya Duchamp yang terinspirasi ide-ide kubisme tentang dekonstruksi bentuk, Pollock dengan teknik ciprat, jentik, tetes bahkan menumpahkan. Atau Andrea Pozzo yang mengembangkan unsur illusionistic imajninernya—yang kesemuanya menghasilkan warna lain, yaitu ekspresi artistik.

Adung adalah generasi berikutnya yang mengafirmasikan elemen gerak dengan kekuatan ruang, irama, fungsi bidang dan sifat bidang, efek cahaya dan keseimbangan anatomi bahkan sesekali menggunakan teknik nirmana. Subjek lukisan Adung tidak bukan adalah manusia dengan eksplorasi kinetiknya.

Ada gerak dalam dwi matra Adung. Lukisan-lukisan yang bertitle Achieve for Love, Fly Away, Scratch Line of Life, This One, atau lukisan seri Flamenco semuanya mengandung elemen gerak (ekspresi artistik). Gesture dalam Achieve for Love dikonfigurasikan dalam subjek lelaki bertopeng Klana menarik selendang warna merah. Titik “tarik selendang” itulah gerak. Fly Away, subjek lelaki (juga memakai topeng Klana) dengan gesture menggapai ujung kaki (perempuan) yang melayang dengan teknik pencahayaan (mengingatkan tampilan lukisan era rennaisance) meresidu protasis gerak antara ujung tangan dengan sebidang kaki yang melayang. 

Dengan kekentalan realisnya (kemampuan skala anatomi) Adung sepertinya telah memahami habitus kinetik sehingga gambar-gambarnya memiliki komponen entitas (satuan berwujud) yang ekpresif, bahkan cenderung mengalami transformasi gerak aktualitas.

Ada gerak dalam dwi matra Adung. Gerak bagi Adung bukan sekadar representatif atau perwujudan ekpresi yang dituangkan dalam kanvas semata, tetapi gerak baginya merupakan harkat yang mendorong dirinya untuk “melakukan sesuatu-menghasilkan sesuatu” dalam koridor sublimasinya.

Sinkretisasi bahasa gambar Adung adalah dengan cara memadukan antara kode tradisi (lokal) dan kode Eropa dalam eksposisi gerak seperti dalam seri Flamenconya. Apa jadinya jika upaya konfrontir antara budaya gipsi (flamenco) yang telah mengalami evolusi itu dengan topeng Cirebon-Indramayu (khususnya topeng Panji dan Klana )? Ini yang kemudian meletiskan paradoks.

Perspektif sebagain orang tentang topeng Cirebon-Indramayu adalah sesuatu yang sakral. Dikarenakan selain merupakan produk kultural, kode dan sifat ontologis buah hasil pemikiran yang  memiliki makna falsafah, seperti misalnya Panji yang  merupakan manifestasi dari Sang Hyiang Tunggal.

Panji merupakan simbolik manusia yang baru lahir—tentunya dalam keadaan polos, bersih, suci, lugu dan tanpa ambigu juga sekaligus menyimbolkan manusia yang dewasa, dalam arti dewasa pikir, sehingga dalam tingkah lakunya selalu bermuara pada suatu sikap yang bijaksana. Sedangkan Klana merupakan pancaran atau emanasi dari Panji tersebut yang memiliki unsur negatif atau keangkara-murkaan. Alasan demikian sehingga upaya Adung memadukan dua produk kebudayaan dalam kerangka estetika tersebut dianggap sedang mendisakralisasikan sesuatu untuk tujuan sensasi.

Menyikapi apriori terhadap gagasannya bahwa Adung tidak ujug-ujug menghadirkan topeng dalam dwi matranya secara faktitius. Kehadiran topeng bukanlah bersifat transfigurasi. Tapi lebih pada penggunaan esensi dan fisiognomi topeng sehingga menambah greget selain untuk pencapaian estetika imajinatif dan estetika akulturasi juga upayanya menghadirkan kode.

Baginya, budaya yang luhur semestinya dijauhkan dari sifat paganisme konservatif. Budaya luhur adalah budaya yang memiliki makna universal. Terlebih bila menilik kembali makna falsafah dari tiap-tiap jenis topeng Cirebon-Indramayu (Panji, Klana, Rumyang, Pamindo dan Tumenggung) tidaklah dimaknai secara sempit. Karakteristik di balik makna tiap-tiap topeng itu merupakan manifestasi dari karakteristik manusia, bukan manusia Cirebon maupun Indramayu, melainkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini.

Ada gerak dalam dwi matra Adung. Kehadiran flamenco dan Topeng Cirebon yang tidak secara tiba-tiba atau faktitius itulah yang mengantarkannya pada perpaduan aliran realis-kontemporer.

Antara Syayidin dan Adung Abdulgani adalah biner; dua aliran, dua warna (corak), dua generasi, dua ontologis, satu tujuan; mencapai estetika imajinatif. *****

 

Komentar

Foto geejhon

Sedang berguru kpd

Sedang berguru kpd keduany.... Memang dahsyat mski berbeda aliran

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler