Skip to Content

TAFSIR PINGGIR PERLAWANAN TANPA AKHIR

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/TRIYANTO_TRIWIKROMO2.jpg
TRIYANTO_TRIWIKROMO2.jpg

Oleh: TRIYANTO TRIWIKROMO

 

/1/

 SETIAP puisi sesederhana apa pun pada hakikatnya adalah sebuah labirin. Karena itu berada dalam ruang bahasa yang penuh dengan badai bunyi dan hutan kata yang kadang-kadang tak tepermanai, siapa pun tak terhindarkan harus berhadapan dengan aneka teka-teki, aneka enigma. Menghadapi selubung rahasia yang bertebaran di dalam puisi, para penafsir bisa saja tersesat, bisa saja tak beranjak ke mana-mana. Akan tetapi mungkin akan ada juga yang seperti Hermes, utusan Yupiter untuk mengirimkan pesan-pesan kepada manusia, berada dalam lintasan makna[1], berada di jalan yang agak benar untuk menemukan interpretasi.

Karena itulah, menurut Teeuw[2], “Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan.’’

Yang tidak boleh dilupakan, paling tidak menurut Teeuw, “Sajak yang baik merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia dengan segala pengalaman suka dukanya; oleh karena itu sajak memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total pula dari pihak pembaca yang bertanggung jawab sebagai pemberi makna pada sajak itu.”[3].

Hanya harus segera dipahami, lewat “Terbangnya Burung” Sapardi Djoko Damono mengingatkan: terbangnya burung/hanya bisa dijelaskan/dengan bahasa batu/bahkan cericitnya/yang rajin memanggil fajar/yang suka menyapa hujan/...hanya bisa disadur dalam bahasa batu/yang tak berkosa kata/dan tak bernahu//.

Teks ini menjelaskan kepada kita betapa kita tidak boleh sembarangan berhadapan dengan puisi. Puisi memiliki sebuah dunia lain, dunia “nun jauh di sana” yang tak sembarang penafsir bisa mendekati dengan ilmu tafsir macam apa pun. Setidak-tidaknya jika kita percaya pada asumsi aku lirik Sapardi, puisi memang kemudian harus dipahami sebagai sesuatu yang didefamiliarisasi dari realitas peristiwa dan bahasa. Ia adalah sesuatu yang diasingkan dari “bahasa yang dimengerti” ke “bahasa batu”, dari “kesederhanaan peristiwa” (terbangnya burung) ke “perumitan teks” yang penuh labirin (hanya bisa dijelaskan dengan bahasa batu).

Karena itulah tidak mengherankan jika penyair yang kerap menyebut puisi sebagai sesuatu untuk “bilang begini maksudnya begitu”[4] itu menyatakan, membaca puisi modern adalah semacam permainan kejar-mengejar antara sajak dan pembaca: sajak mengelak, mengejut, menyesatkan, meragu-ragukan si pembaca, tetapi yang terakhir tak henti-henti berusaha menangkap sajak, mengembalikan pada sesuatu yang dikenal, dipahami, menjadikannya “wajar”, koheren dan bermakna.[5] Pemahaman Goenawan Mohamad terhadap pemaknaan sebuah sajak juga setali tiga uang. Lewat “Kesusastraan, Pasemon’’, dia menyatakan, penyair menunjukkan makna (sajak) itu seakan-akan sesuatu yang hanya bisa muncul dalam suatu konteks, dalam suatu perbandingan dengan suatu keadaan, termasuk keadaan diri kita, atau dengan suatu ekspresi yang lain yang pernah ada. ― Makna yang muncul itu pun tak pernah final. Ada unsur permainan di sana, tetapi sekaligus ada unsur berjaga-jaga untuk mengelak, dari setiap terkaman. Perumusan yang mematikan.’’

Di bagian lain, Goenawan menyatakan, pengalaman membawa kita untuk mengenal sifat yang seperti itu dalam kesusastraan: permainan dan ketegangan yang menghanyutkan dan mencekam, pengelakan dan penundaan yang tak habis-habis untuk menemukan makna, pertemuan dengan makna yang muncul menghilang dalam kebebasan dan kesendirian.”[6]

 /2/

 PUISI-PUISI Sitok Srengenge–yang tak jarang merupakan deskripsi dari mimpi sebagaimana tampak dalam “Panorama Senjakala” (1997): seekor lembu jantan terbang ke tenggara — juga telah dengan gamblang berada dalam posisi yang semacam itu. Dalam “Gembala Waktu” (1994) aku lirik bilang: Mimpi memang musykil dibaca kembali/ satu cerita seribu arti/ alur yang simpang-siur/stasi demi stasi meluncur/dan gugur.

Akan tetapi kita harus buru-buru percaya teka-teki dan enigma dalam sebuah puisi selalu dibuat untuk sebuah permainan. Karena itu tak ada teka-teki atau enigma tanpa kunci jawaban. Tak ada teka-teki yang tak menepati janji.[7] Teka-teki atau rahasia itu dalam teks “Malin Kundang” (1994) muncul sebagai sesuatu yang amat sedikit bicara, namun banyak bercerita/... Seperti bayangan yang denganmu tak pernah jauh/tak asing, namun mungkin tak kaukenal sungguh. Jika tidak berhati-hati mengungkap rahasia, puisi cuma akan jadi basa-basi. Sebagaimana terungkap dalam “Generasi Hutan Ranjang” (1990), basa-basi lebih berarti sebagai alasan percakapan/tetapi makna terlanjur gaib di balik susunan kata/seperti udara ringan nyelinap ke wilayah hening/kasur dan bantal//. Itu akan menyebabkan Bahasa menjelma bayang-bayang/mengancam mulut dan telinga. Dengan kata lain puisi adalah hal-hal yang semula sebagai sesuatu yang sangat akrab, sesuatu yang dijadikan teka-teki atau permainan, dan pada akhirnya dicari kembali kemungkinan-kemungkinan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam sebuah enigma.

Bagaimana mencari kunci jawaban? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita membaca Octavio Paz. Kata Paz, Puisi-puisi Rimbaud adalah Rimbaud itu sendiri, seorang remaja yang membentengi dirinya dengan hujatan yang menyilaukan, kendatipun semua orang berusaha mengubahnya jadi semacam binatang yang kerasukan kata-kata. Tidak, penyair dan kata-katanya adalah satu. Itulah semboyan para penyair terbesar dari peradaban kita sepanjang ratusan tahun silam.’’[8] Jika demikian, tidak terhindarkan salah satu cara memahami puisi-puisi Sitok adalah dengan mencari teori-teori pemaknaan yang bertolak dari kata-kata atau puisi-puisi Sitok sendiri. Cara ini, saya ingin menyebutnya sebagai tafsir pinggir, tafsir di luar pemahaman arus utama, dijamin lebih menyelamatkan penafsiran yang sesesat apa pun karena serumit-rumit penyair mengonstruksi puisinya, dia tetap ingin memfungsikan puisi sebagai media berkomunikasi dengan liyan. Liyan yang ada dalam diri ketika sang pengarang telah mati. Liyan yang dibayangkan sebagai pembaca. Untuk kepentingan komunikasi itulah, alam bawah sadar penyair menyediakan rambu-rambu pemaknaan mungkin lewat esai, mungkin lewat puisi-puisi yang disertakan dalam sebuah antologi.

 /3/

 BAGAIMANA puisi-puisi Sitok memberikan teori pemaknaan dalam Anak Badai dan Amsal Puisi Banal ini? Pertanyaan ini bisa diganti, apakah puisi menurut puisi-puisi Sitok? Dalam “Kata yang Menakutkan” (1995), aku lirik yang bisa dimaknai sebagai puisi meminta: Baca aku sebagai jejak di tanah berdebu/.../Dengar aku sebagai igauan huruf-huruf gagu/.../aku adalah kata-kata cinta yang menakutkan/baca, catat, dengar, sebelum dihapus dari ingatan//. Itu berarti sajak adalah sesuatu yang fana, gampang menghilang jika tidak segera direbut maknanya. Sajak-sajak yang tidak bisa direbut maknanya itu dalam “Tamsil Pohon Kantil” (1994) akan hadir tanpa pembaca dan terpuruk di rak-rak buku perpustakaan kota. Tak membiarkan terpuruk, puisi ini terpaksa membuka selubung rahasia pemaknaan. Jika tak percaya, silakan baca bait berikut:

 

Ketika kemarau berlarut-larut

pohon kantil dan orang kecil sama kecut

Pohon kantil khusyuk sembahyang

memohon perubahan musim

Orang kecil sibuk menggantang bayang

mengharap pergantian rezim

 

Sajak lain yang juga menunjukkan aku lirik yang tak sabar menunggu pemaknaan dari penafsir adalah “Tentang Anak yang Menggambar” (1991). Sajak ini bertahun sama dengan puisi “Obituari Bulan” yang juga bercerita tentang kisah anak menggambar yang tidak segera dipahami oleh sang guru. Coba kita simak puisi berikut:

 

TENTANG ANAK YANG MENGGAMBAR

 

Bukan, Kekasihku, anak itu cuma

menggambar wajah bapaknya

yang tak pernah pulang dari kerja

sejak ia tujuh bulan dalam rahim ibunya

 

Bukan, bukan! Ia menggambar

pada bungkus kacang yang tak utuh selembar

 

Ya. Kata orang-orang, Kekasihku

kata orang-orang gambar itu persis bapaknya

justru karena tidak berbentuk wajah manusia

(1991)

 

Puisi ini tidak bisa menunggu penafsir membuka selubung rahasia karena aku lirik sangat paham tak mungkin lagi menyembunyikan pemaknaan. Atau dalam “Tamsil Pohon Kantil” aku lirik tidak bisa lagi menyembunyikan perlawanan. Karena itulah wajar jika dalam “Habitat Gergasi” (1993) ada teriakan yang diulang-ulang: Membuka mulut mengapa ditunda?

Ya, aku lirik harus berteriak-teriak semacam itu karena dalam situasi kehidupan yang tidak memerlukan terlalu banyak perumpamaan atau tamsil, apa boleh buat penyair harus juga bersikap menjadi juru penerang.

Kadang-kadang sikap aku lirik juga berimpit dengan sikap aku biografis sehingga tak terlalu banyak selubung yang muncul dalam pesan-pesan penyair kepada khalayak. Puisi “Lulabi Matahari” (1990) saya kira merupakan sajak yang memiliki kecenderungan mengimpitkan kepentingan puisi dan kepentingan pengarang. Ungkapan aku lirik ―Lalu biarkan mereka memelukmu bergantian/sebagai titisan puisi yang pernah hilang/pundakmu akan basah oleh air mata mereka/dan cintaku kepadamu yang tertunda/saat itu akan kautemu/: sempurna//” bukan tidak mungkin merupakan ungkapan aku biografis juga.

Akan tetapi meskipun puisi Sitok “genap gramatika dan semantik”[9] tak semuanya terburu-buru membuka selubung rahasia ke hadapan pembaca. Sebagian besar puisi-puisinya justru berada dalam selimut teka-teki yang meminjam ungkapan dalam “Morfem Tak Bebas” (1993) sebagai dicipta atau dibikin sirna/dianggap berguna atau muspra/kapan saja bisa/terserah penguasa bahasa. Karena itu aku lirik tak canggung berkata, ― Dan puisi gagu/yang kutulis dan kukirim kepadamu/adalah anak batinku.” Puisi semacam itu harus diajak bicara dan dipahami. Mungkin berat karena barangkali tak sungguh kaukenali. Karena itu coba dengar suaranya yang sumir/atau mungkin sekadar desir. Mengapa puisi harus berada dalam situasi demikian? Pertama, karena sejak awal aku lirik dalam semua puisi yang mengonsepkan pengertian puisi selalu menyatakan diri sebagai sosok yang gagu. Dalam “Takbir Para Penyair” (1992) dia menyatakan “gagu menggubah madah debu” dan “paling banal”. Juga dalam “Memo Perempuan Demonstran” (1987), aku lirik dipersepsikan oleh orang lain sebagai sosok yang menganggit “sajak protes yang liar”. Kita tahu kebanalan dan keliaran selalu bersekutu dengan kekasaran, menolak menjadi istimewa dan dengan demikian menampik berhalus-halus kata, atau semata-mata berada dalam kubangan rima. Mengamsalkan diri sebagai puisi banal berarti aku lirik memilih tidak necis dalam aturan puisi dan sudah barang tentu juga tidak tertib dalam tafsir. Dia tidak ingin menyeragamkan pemaknaan pembaca meskipun tak menampik juga ketika ditafsirkan sebagai apa saja. Dalam “Catatan Kecil tentang Aktor Besar” (1991), aku lirik bahkan pasrah ketika ditafsirkan secara lain. Kata dia: Hidup layaknya kalimat tanpa tanda baca/meski maknanya senantiasa luput kita terka/kau telah begitu bebas menafsirnya//.

Dia berteriak “aku puisi banal” karena meskipun oleh Maha Penyair yang mencipta semesta ini dianggap sebagai puisi sejati, tetap saja gagu menggubah madah debu. Kegaguan bukanlah semata-mata akibat dari ketegangan relasi antara penganggit dan penafsir, tetapi lebih karena aku lirik memilih untuk pergi-pulang terus menerus ke gua pengasingan bahasa dan ke diri yang ingin dimaknai, dimengerti. Meskipun jauh-jauh sebelumnya sebagaimana angin dalam “Penghuni Angin” (1992), tulus tak pernah jemu/ tak butuh tahu apakah pesannya sampai ke nuranimu.

Kedua, aku lirik sangat menyadari betapa pembaca bukanlah sosok yang bersih dari singgungan teks lain. Dalam ungkapan Julia Kristeva, pembaca menyimpan sebuah ruang yang berisi aneka teks. Pembaca adalah ruang bagi intertekstualitas. Ruang itu berisi kutipan-kutipan yang tidak pernah menjadikan dirinya sebagai entitas tunggal. Ia selalu bersifat plural. Ia bukanlah sebaris kata-kata yang menampilkan sebuah makna teologis tunggal (pesan pengarang atau Tuhan) melainkan sebuah ruang multidimensi yang di dalamnya beraneka ragam tulisan, tak satu pun darinya yang orisinal, bercampur aduk, dan saling berbenturan. Teks dalam benak pembaca, dengan demikian, adalah sebuah jaringan kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhingga banyaknya.[10]

Karena itulah aku lirik menyarankan saat siapa pun — juga penyair mana pun — mengguritkan berjuta kata, beribu frasa/...jangan kelewat bermimpi bahwa/anak-cucu kita nanti akan membacanya.../Mereka bakal sibuk merumuskan bahasa sendiri//.[11] Ketiga, selalu saja ada kegentingan tafsir antara pembaca dan penganggit yang tidak pernah bertemu. Kegentingan terjadi karena makna niatan penyair tidak sama dengan makna muatan yang diperoleh oleh pembaca. Horizon keinginan penganggit tidak sama dengan horizon pemahaman penafsir. Aku lirik dalam sajak-sajak Sitok sesungguhnya sangat memahami hal itu. Kegentingan pemahaman para penafsir itu bahkan menjadi inspirasi indah dalam puisi “Obituari Bulan”.

 

OBITUARI BULAN

 

Anakku tidur menduga-duga bulan

dan di kelas matanya masih menyimpan malam

ketika ibu guru mengajari matahari

 

Anakku lalu menggambar cakrawala, lautan

perahu layar tanpa nakhoda, dan

rok ibu guru dipermainkan ombak pasang

ibu gurunya dimakan ikan

 

Di tempat tidur anakku menangis

air matanya tetes ke buku tulis

penuh coretan: merah, jingga

kuning, hijau, biru, nila, ungu

Ia bilang itu kolam!

Ia ingin menolong ibu guru

lantas ia gambar seorang bocah memancing

sambil memandang bulan di atas kolam itu

Dan sesudahnya, ikan di bait pertama

menjadi santapan anjing ibu guru

 

Anakku kembali tidur

sembari menduga-duga bulan

berpendar di dalam matanya yang menyimpan malam

tapi anjing itu melolong panjang minta ikan

 

Anakku segera menggambar ikan

di dalam matanya yang menyimpan lautan

tapi ikan itu tersedu minta ibu guru

Anakku lekas menggambar ibu guru

di dalam matanya yang menyimpan sekolah

tapi ibu guru kembali mengajari matahari

Anakku mengulang gambar cakrawala, lautan

perahu layar tanpa nakhoda ...

di dalam matanya yang menyimpan dunia

tapi ibu guru tidak suka

dan memberinya angka lima

 

Hari-hari berikutnya

anakku tak berani menggambar lagi

kecuali mengenang bocah di bait kedua

yang kesepian, kehilangan bulan

di atas kolam

(1991)  

 

Kegentingan tafsir berulang-ulang muncul, sehingga berakibat fatal bagi pemaknaan. Secara radikal aku lirik dalam “Patung Aphrodite” (1991) menunjukkan betapa kesalahan pemaknaan akan mengakibatkan Caecar ditikam Brutus dari belakang/Sita didusta Rama dengan api menyala/dan Judas bukan orang yang setia pada Isa.

Tragik kegentingan penafsiran dengan demikian adalah tragik yang tak terhindarkan sebagaimana manusia tidak bisa menghindar dari Tragik Menara Babel, tragik yang memungkinkan manusia mengalami keretakan komunikasi dan kehancuran berelasi. Akan tetapi apa boleh buat kegentingan tafsir itu selalu melekat dalam puisi yang paling sederhana sekalipun.

Sesungguhnya aku lirik puisi Sitok berusaha berkali-kali berada dalam keintiman komunikasi. Dia bahkan rela, misalnya, untuk tidak disebut penyair. Dia juga rela hanya membuat liputan dalam “Sekelumit Liputan yang Luput” (1991) tetapi tetap saja segala yang dianggit tidak dipahami. Karena tak terpahami, dalam kehidupan nyata bisa saja terjadi pembunuhan dan penculikan dan dalam kehidupan puisi ada sesuatu yang terus terlepas dari genggaman. Hilang. Muspra. Moksa.

Akan tetapi percayalah, kegentingan penafsiran akan mengurang jika kita kian paham pada apa yang dikehendaki oleh penyair kepada puisi-puisinya. Salah satu jalan terbaik adalah membaca “Kata Puisi” (1986). Teks ini merupakan puisi tentang puisi yang sangat mungkin memudahkan penafsir asyik masyuk ke ceruk-meruk puisi dan berjuang keras untuk menafsirkannya.

 

KATA PUISI

 

Layang-layang limbung dalam angin

angin lalu lalai dalam angan

barangkali abadi dalam puisi

 

Tapi puisi bukan limbung layang-layang

bukan angan lalai ataupun angin lalu

Puisi leluasa hinggap atau terbang

kata-kata punya sayap dan pijakan

 

Gamang di kegelapan

tergenang bayang-bayang

bayang-bayang jadi halusinasi

mungkin imaji dalam puisi

 

Tapi puisi bukan kegelapan

bukan remang bayang-bayang

Puisi bisa samar atau benderang

kata-kata punya mata dan cahaya

 

Batu-batu beku berlumut

lumut lumat dalam mulut berkabut

boleh jadi inspirasi bagi puisi

 

Tapi puisi tak bisu karena takut

tak kabur ketika kalbu kalut

Puisi berani nyanyi atau marah

kata-kata punya nyali, urat dan darah

(I986)

 

Jelas sekarang aku lirik memosikan puisinya sebagai nyanyian yang menggugat, amarah tak terhindarkan, dan ungkapan-ungkapan yang menjauhkan diri dari kehalusan, serta keindahan rima. Dalam puisi-puisi Sitok memang badai rima begitu mendera, akan tetapi itu tidak menjadikan puisi-puisinya sebagai gelembung-gelembung keindahan yang memabukkan. Rima hanyalah semacam sihir untuk menusukkan amarah dan gugatan, perlawanan. Karena itulah puisi harus berani nyanyi atau marah. Ia harus merupakan kata-kata punya nyali, urat, dan darah.

Puisi semacam itu tentu tidak lahir dari ruang vakum sejarah. Puisi yang melabrak dusta, pasti lahir dari penyair yang dalam “Takbir Para Penyair” ingin berjuang menerangi gua ruhani/yang dalam jiwanya berkobar 6666 matahari//.

Persoalannya kemudian: siapa penyair menurut puisi Sitok? Puisi Sitok tak dengan gamblang mendefinisikan siapakah penyair. Akan tetapi dalam “Soliloqui Penyair” (1986), ada ungkapan “takdir penyair tegak di pinggir”. Ini menjelaskan kepada kita dalam berbagai peristiwa yang terjadi, aku lirik tidak memosisikan diri di pusat. Dia tidak ingin dianggap sebagai sesuatu yang penting. Berada di pinggir lebih memungkinkan penyair menjadi “batas laut dan daratan, di mana rindu akhir berdesir”.

Pinggir dalam puisi ini lebih bisa dimaknai sebagai ruang teduh setelah badai, ruang sunyi setelah riuh, ruang khusyuk setelah amuk. Penyair dalam pemahaman puisi Sitok dengan demikian lebih merupakan demarkasi, ruang gencatan senjata dari perang antara aku lirik dan puisi, ruang jeda antara segala yang berlawanan, segala paradoks.

Tentu para penafsir juga harus memahami bagaimana penyair menggunakan metafora sebagai strategi penciptaan puisi. Sebab tanpa metafora, puisi hanya akan jadi gebalau pidato atau sekadar rayuan iklan. Yang jadi persoalan, karena metafora tak lain dan tak bukan merupakan pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, ia selalu membutuhkan tafsir yang lebih nggethu atau total dari para penafsir.

Metafora, dengan demikian, sangat ilusif. Karena ilusif itulah, ia menjadi roh puisi. Ia adalah sihir yang tak bisa diabaikan oleh para penyair. Sebagai dunia alternatif, ia tak pernah tinggal di ruang yang statis. Dalam bahasa Sarup[12], metafora adalah istilah bagi perubahan. Ia adalah ancaman bagi bahasa yang teratur dan memunculkan keragaman makna. Bahkan, tak salah jika kita menganggap metafora adalah politik atau strategi untuk memasuki dunia puisi. Ia adalah semacam prosedur yang harus dilalui penyair untuk menuliskan puisi-puisi yang menjadi. Untuk itu para penyair memang harus dengan sangat ketat mencari apa pun yang berada di balik bahasa, realitas, atau teks (beyond the text). Gayatri Spivak[13] punya anjuran menarik mengenai hal itu. Kata dia, “Jika dalam proses pemahaman teks secara tradisional, kita menjumpai kata yang tampaknya mengandung kontradiksi yang tidak dapat didamaikan, dan karena makna ganda ini, kata digunakan dengan satu cara dan kadang dengan cara yang lain, dan dengan demikian, kata tersebut tidak menunjukkan adanya makna yang menyatu, kita harus memperhatikan kata itu secara khusus. Jika metafora menekan implikasi yang ditimbulkannya, kita harus memperhatikan metafora tersebut secara cermat. Kita harus mengikuti petualangan kata atau metafora tersebut melalui proses penyingkapan teks sebagai struktur persembunyiannya, dengan menyingkap transgresi diri, ketidakdapatdipastikannya kata atau metafora tersebut.”

Penyingkapan teks itu perlu dilakukan terus menerus sebab dengan penyair memilih menenggelamkan diri dalam aneka metafora, maka suara penyair bisa saja akan tenggelam ke dalam palung obskurantisme, ke dalam kegelapan. Situasi semacam itu sesungguhnya sangat disadari oleh aku lirik — terutama dalam “Penghuni Angin” (1992).[14] Kata aku lirik puisi Sitok: Aku tahu, suaraku akan ditelan/gemuruh topan atau gemerisik daunan/namun bisik hati yang bebas lebih indah/tinimbang teriakan lantang karena titah//.[15] Akan tetapi tentu penyair selalu menolak jadi batu yang tak terpahami oleh khalayak. Karena itulah setelah memilih sembunyi dalam metafora, lewat aku lirik, dia akan senantiasa memberikan ruang bagi pembaca untuk memberikan pemaknaan. Karena itulah dia bilang: ... Barangkali aku bisa belajar dari angin lirih yang selalu santun menyapa reranting ringkih atau keteguhan batu yang enggan beringsut agar kerakap dan lumut punya tempat berpaut Lewat sirip daun-daun tak dikenal angin terus mewartakan segala ihwal tulus tak jemu, tak butuh tahu apakah pesannya sampai ke nuranimu ... Akan tetapi kita tahu metafora bukanlah rangkaian kata yang begitu mudah dipungut dari semesta bahasa. Metafora adalah “dunia alternatif” yang harus terus-menerus diperjuangkan. Penyair yang baik adalah mereka yang sepanjang waktu bergelut dengan metafora. Untuk itu dia harus selalu mengembara, asyik masyuk dengan alam, merasakan denyut kehidupan, dan tak henti-henti memungut bahasa apa pun yang tumbuh dari alam dan kehidupan.

Dalam Il Postino karya Antonio Skarmeta, Mario Jimenez sang tukang pos, belajar menulis puisi pada Pablo Neruda. Neruda tidak memberi pelajaran mengenai realitas dan peristiwa apa saja yang bisa ditulis sebagai puisi. Neruda juga tak meminta Jimenez membaca sejarah puisi para pendahulu. Ia hanya mengajak si tukang pos gila puisi itu berjalan-jalan di pantai, menatap ketam, menyaruk-nyaruk pasir, dan hanya menganjurkan Jimenez berjuang sepanjang hidup untuk membuat metafora.

Tindakan itu senada dengan yang dilakukan oleh aku lirik puisi Sitok dalam “Sajadah Madah” (1992) yang terus bersekutu dengan alam dan kehidupan (menyusur dari timur berabad-abad ke barat/pantang berpaling ke utara dan selatan) sehingga dia sampai pada simpulan: air mengajari mengalir/gunung mengajari aku merenung/lembah mengajari aku merendah tabah//.[16] Jelas sekarang betapa aku lirik puisi Sitok mendapatkan “metafora konkret” (berdasar fakta bahkan mungkin data) dan bukan sekadar memperoleh “metafora akrobat bahasa” karena dia menyelam ke kehidupan, karena tahu pahit getir derita alam dan derita sosial, karena dia tahu pada akhirnya pengembaraan ke segala metafora itu hanya akan berakhir pada keindahan tak berwujud, ke hu nang ning nang ning. Untuk melihat bagaimana metafora beroperasi dalam puisi-puisi Sitok, ada baiknya kita simak puisi “Takbir Para Penyair”. Puisi ini dipilih karena metafora yang termaktub di dalamnya cukup lengkap. Ada yang digunakan untuk mengganti keadaan gelap (gua ruhani) dan keadaan yang terang benderang (6666 matahari). Ada yang digunakan untuk mengganti Allah (Yang Mahaapi, Cahaya, Kerajaan Junjungannya). Bahkan dalam salah satu bait, metafora begitu mendominasi, sehingga para penafsir harus bekerja keras membuka selubung metafor itu terlebih dulu sebelum melangkah memasuki labirin bait-bait selanjutnya. Coba simak teks berikut: Dengan menyandang jubah khalifah sejarah aku gores atas tanah merah sebab tintaku darah Hutan diranggas nafsu jadi batu Kali pekat ditikam syahwat Udara menuba disergap dusta Aku, manusia: dosa

Sekalipun nyaris tidak ada bahasa yang tidak kita mengerti, tetap saja ia adalah sebuah dunia rekaan yang hanya bisa termaknai setelah kita singkap selubung-selubung majas atau kiasnya. Tentu saja agar kita yakin berada di dalam “medan makna” puisi Sitok, mobilitas metafora yang menjelajah hingga ke ruang gelap pemaknaan harus kita kuntit terus-menerus. Tak ada cara lain kecuali membaca, membaca, dan membaca teks-teks yang penuh metafor itu. Sebab sebagaimana pernah diungkapkan Teeuw,[17] sangat mungkin penafsir salah paham terhadap teks-teks yang dibacanya. Teks hanya dicari maknanya (meaning) bukan makna hakikinya (meaning of meaning). Fungsi metafora dalam puisi ini juga sangat beragam. Bisa dipakai untuk mendahsyatkan (6666 matahari), memperjelas sifat Allah (Cahaya), memperjelas sifat air yang terus mengalir (musafir) memuji untuk menggambarkan kemahatinggian Allah (Juri Tertinggi), menyangatkan fungsi pohonan (kakinya murni nancap di bumi), mendeklarasikan posisi (aku puisi paling banal), menajamkan makna (kerak waktu), dan untuk menyatakan kepada Allah betapa upaya menyusun puisi bisa dimetaforakan dengan ibadah (tahajud). Tentu selain menggunakan metafora sebagai strategi penciptaan puisi, Sitok menggunakan alat pembangun puisi yang lain, misalnya, personifikasi. Dengan mendayagunakan gaya bahasa personifikasi — antara lain puisi berjuang menerangi gua ruhani dan bumi yang tabah — menjadikan puisi “Takbir Para Penyair” bisa dipakai untuk menjelaskan betapa untuk memburu makna puisi para penafsir harus memahami bagaimana penyair menyusun politik metafora, strategi gaya bahasa, dan rambu-rambu pemaknaan di dalam puisi-puisinya. Sampai di sini pemahaman yang memadai mengenai puisi dan penyair menurut puisi-puisi Sitok, saya kira sudah bisa digunakan untuk memahami puisi-puisi yang oleh penyairnya disebut sebagai “puisi banal” itu.

/4/

 

“SASTRA bukanlah wahyu yang diturunkan dari langit, sekalipun pengarangnya barangkali telah digerakkan oleh suatu inspirasi yang sangat kuat,” ungkap Ignas Kleden.[18] Karena itu Kleden menegaskan, “Sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan, sekalipun seorang pengarang dengan sengaja berusaha mengambil jarak dan bahkan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah budaya yang ada di sekitarnya.” Puisi-puisi Sitok juga berada dalam ruang yang tidak vakum dari situasi derita sosial masyarakat. Bahkan lewat “Negeri Surga” (1993), aku lirik menjelaskan di negeri mana kejadian semua teks dalam puisi berlangsung. Meskipun kawasan itu diberi nama “Negeri Surga”, dengan sangat mudah orang akan tahu negeri mana yang dimaksud. Coba simak dengan cermat paradoks yang dipaparkan oleh aku lirik berikut ini:

 

NEGERI SURGA

 

Kami hidup di Negeri Surga

negeri makmur dan kaya raya

kebebasan dimiliki semua warga

 

Kami bebas menanam

kami bebas memanen

orang lain bebas menikmati buah terbaik

kami bebas menelan remahnya

 

Kami bebas bekerja

kami bebas menerima upah murah

orang kaya bebas tambah berlimpah

kami bebas untuk lebih sengsara

 

Kami bebas bicara

kami bebas berkarya

penguasa bebas memberangus

kami bebas menyensor diri sendiri

kami bebas jadi pengkhianat nurani

 

Kami bebas mencintai bangsa kami

kami bebas melindungi tanah air kami

orang lain bebas menganiaya para pekerja

bebas menjual kekayaan negara ke lain negara

kami bebas meratapinya

 

Kami bebas menghirup udara

pengusaha bebas berkomplot dengan pejabat

penguasa bebas menindas rakyat

kami bebas menontonnya

 

Kami bebas beragama

sesuai keyakinan dan kepercayaan kami

penguasa bebas menutup tempat ibadah

orang lain bebas menyesatkan agama lain

bebas merasa paling benar dan suci

kami bebas berdiam diri

 

Kami hidup di Negeri Surga

ketika manusia dan setan tinggal bersama

di sekeliling kami tak ada jeruji penjara

kami bebas melakukan apa saja

kami bebas tak berbuat apa-apa

 

Negeri kami Negeri Surga

tapi para setan yang mengelola

kami bebas hidup menderita

serasa di neraka

1993

 

Negeri Surga yang begitu chaos ini tentu sangat memengaruhi segala apa pun yang akan dilakukan oleh manusia-manusia yang berada di dalamnya. Orang-orang di negeri itu mungkin bisa menyepakati ajakan para penguasa untuk diam saja. Sebab sebagaimana tampak dalam “Diam” (1986): Diam adalah emas/begitu muslihat para tiran/agar kita tidak melawan//. Atau bisa saja memilih melawan dengan menyatakan, ―Bicara adalah senjata bagi kita/bicara bisa bahaya/bagi mereka//Ayo kita bicara/sebelum waktu diam tiba.

Memilih diam atau bicara menjadi sangat penting, karena jika yang dipilih diam, bisa saja orang-orang akan hilang. Karena hilang, mereka bisa tidak melakukan apa pun. Mereka tak melukis/tak menyanyi/tak menulis/bahkan/tak berangan-angan// (“Hilang”). Ini sangat bahaya karena perlawanan akan padam jika bahkan berangan-angan pun dilarang.

Tentu jangan pernah membayangkan aku lirik di tiap sajak adalah aku lirik, persona, atau narator yang sama. Mereka bisa saja merupakan massa atau kerumunan yang menyusup ke dalam suara aku lirik atau suara penyair. Mereka bisa saja merupakan gebalau suara yang bersama-sama melawan dusta (“Dusta”, 1997), senjata (“Panorama Senjakala”, 1997), pemilik podium yang disepuh dusta (“Ritus Agustus”, 1996), ketakutan (“Kata yang Menakutkan”, 1995), institusi-institusi yang melahirkan kecemasan (“Institusi Kecemasan”, 1994), klaim kepahlawanan dan pengatur atas segala kehidupan (“Catatan Kecil tentang Aktor Besar”, 1991), serdadu yang mendobrak pintu (“Sekelumit Liputan yang Luput”, 1990-1991), orang-orang yang memburu (“Air Pelimbahan”, 1990), bahasa yang menyerupai desis ular (“Deru Angin Lalu”, 1990), mesin raksasa yang senantiasa menggiling (“Peradaban Logam”, 1990), pemerkosa kehidupan (“Replika Suara Hutan”, 1990), penutup segala kemungkinan (“Testimoni Pohon Tanpa Akar”, 1990), sesuatu yang dibayangkan sebagai hantu (“Parade Piatu”, 1988), sebagai berjuta serigala (“Nyanyian Urban”, 1987), dan kawasan yang disindir sebagai Negeri Surga (“Negeri Surga”, 1993).

Melawan musuh-musuh yang memiliki kekuatan beragam pada waktu yang digambarkan dalam “Peradaban Logam” sebagai masa yang udara-(nya) telah jadi lempengan logam, melingkar-lingkar merobek dinding ususku yang sempurna lapar tidaklah mudah. Karena itu, puisi-puisi Sitok memberikan solusi. Para narator di berbagai puisi bahkan menyusun premis-premis untuk meneguhkan posisinya sebagai pemberontak atau pelawan sejati.

Dalam berbagai teks, selain aku lirik memosisikan diri sebagai puisi banal, dia juga mendeklarasikan sebagai anak jadah yang pongah (“Kesasar ke Lapar”, 1990). Namun penjelasan radikal posisi aku lirik terdapat dalam “Testimoni Pohon Tanpa Akar” (1990). Simak sepenuhnya puisi itu:

 

TESTIMONI POHON TANPA AKAR

 

Aku pohon tanpa akar

tertebas dari masa silam dan masa datang

bermula air kelamin zaman serba dadakan

aku lahir sebagai bayi jadah peradaban

hasil persetubuhan budaya

tanpa kesiapan mental masyarakatnya

 

Bayi jadah yang gagal menjadi manusia

adalah hantu pikiran yang menggiriskan

berdiri menghadang di tiap perempatan

dan sudut-sudut gang yang temaram

menebar jaring-jaring kesesatan

bagi perjalanan hidupmu

 

Aku tak bisa mati

bahkan lahir dan lahir lagi

di kamar mandi ketika kau onani

di depan layar TV-mu saat kauputar film biru

di hotel di kolong jembatan dan tepi kali kotamu

di barak borok birahi, juga di kamar tidurmu sendiri

saat pasangan resmimu kautinggal pergi

 

Jumlahku yang tidak terbilang

akan memenuhi semua ruangan

memadati impian dan kenyataan

 

Dengan tulangku genderang perut kutabuh

mencipta bebunyian gaduh

dan kutarikan gerak lucu

yang kauanggap tabu

untuk mengusik ketenanganmu

 

Malam hari aku menjelma bola api

mengertap di bubungan atap lalu menghisap

darah, sumsum, dan otak anak-anakmu

 

Ketika kau sepi sendiri

menunggu di ranjang beku

aku menjelma istri atau suamimu

yang sebagaimana biasa

: mengajakmu sanggama

mencetak bayi-bayi jadah baru

yang tak sepenuhnya bersifat manusia

 

Bayi jadah yang gagal menjadi manusia

yang kaututup pintu-pintu kemungkinannya

adalah dirimu juga

(1990)

 

Akan tetapi mendapatkan posisi semacam itu bukan tindakan mudah. Posisi itu dalam “Hikayat Pasir” (1991), misalnya, direbut saat sang lawan terlena. Mereka bergerak di dalam gelap bak klandestin atau hantu. Mereka menyamar sebagai hantu karena yang dilawan juga hantu. Mereka — meskipun dipinggirkan hanya menjadi pasir yang dihempaskan sampai kandas — bakal kekal menaklukkan lawan. Perlawanan harus digelorakan karena lawan kian menganggap orang-orang yang dililit kemiskinan sebagai hewan bantaian (“Memeri Sepi”, 19910), disebratkan dari impian masa depan (“Air Pelimbahan”, 1990) dan tanda abadi luka (“Kesasar ke Lapar”, 1990).

Hanya harus buru-buru dipahami meskipun dalam “Sekelompok Kata” (1988) puisi-puisi Sitok hadir ke hadapan kekuasaan seperti derap kaki para demonstran, akan tetapi perlawanan itu tidak seterbuka dan seriuh pemberontakan Rendra. Rendra dalam “Sajak Joki Tobing untuk Widuri”[19], misalnya, dengan bahasa yang minim selubung begitu keras menghajar sesuatu yang dibayangkan sebagai lawan. Metafora-metaforanya, misalnya padang pengangguran, tidak rumit, malah cenderung konvensional agar mudah dipahami pembaca. Puisi ini bahkan tampak antipuisi, mirip teriakan seorang remaja kepada sang pacar. Selubung-selubung puisi — rima yang atraktif yang sangat melodius dalam Balada Orang-Orang Tercinta sangat dihindari. Jika di “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, kita masih mendengar irama manis dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi, di “Sajak Joki Tobing” kita digugat lewat cerocosan kasar Dengan latar belakang gubug-gubuk karton. Perlawanan puisi-puisi Sitok lebih sunyi dan masih menggunakan selubung bahasa dan metafora kreatif, serta masih menggunakan sesuatu yang disebut Rendra sebagai renda-renda kesenian. Aku lirik puisi Sitok bahkan menjadi satu barisan dengan mereka yang bicara tentang gunung kesunyian. Karena itu tidak perlu terkejut jika gebalau perlawanan itu dalam “Rimba Kesunyian” (1994) digambarkan sebagai suara keberanian yang cuma gema dan bayang-bayang. Bagaimana hasil perlawanan semacam itu? Karena bahasa musuh dan bahasa aku lirik — juga hal-hal lain — bertentangan, mereka dalam hampir seluruh sajak senantiasa berhadap-hadapan. Aku lirik lebih sering menganggap lawan sebagai “kau” atau “kamu”. Dalam “Deru Angin Lalu” bahasa penguasa didefinisikan sebagai sesuatu yang tak terpahami: Bahasa apa yang kauuarkan itu/desis ular tanah jaman prasejarah/atau gelegar langit didentur guntur bertalu/Ditelinga terdengar merdu/meski maknanya tidak kutahu. Bahasa lawan hadir seperti sihir tetapi melukai.

Aku lirik yang mengungkapkan pernyataan retoris itu sesungguhnya sedang berupaya memahami bahasa lawan. Akan tetapi tetap saja hasilnya berupa kegentingan komunikasi. Ada upaya menyamakan bahasa hingga lupa bahasa sendiri. Akan tetapi, kata sang pemberontak sejati: ...bagaimana kita berkomunikasi/ jika bahasamu tak kunjung kumengerti.

Tentu saja sebagai Sisifus, aku lirik-aku lirik puisi Sitok tak berhenti melawan. Tetap saja di berbagai ruang dan waktu — masa lalu dan masa depan — tetap ingin memahami bahasa lawan, kadang-kadang dengan bahasa yang tidak berbeda. Kadang-kadang dalam kepasrahan mereka meragukan bahasa sendiri, meragukan perlawanan. Kadang-kadang merasa kehilangan. Kadang-kadang tidak memiliki sesuatu yang layak digelorakan sebagai bahasa perlawanan. Kadang-kadang diimpit frustrasi — setidaknya sebagaimana tergambar dalam “Mosaik Jalan Raya” — perlawanan itu hanya menjelma ...makian dengan coretan cakar ayam/pada tembok dan papan iklan. Perlawanan semacam itu bahkan menjadi semacam simulakrum. Perlawanan yang seakan-akan.

Ada mimpi-mimpi untuk menang. Ada gambaran mirip nubuat bahwa pada suatu massa lawan akan digiling oleh mesin raksasa para pemberontak. Akan tetapi kapan semua itu bakal terjadi. Kita tak tahu karena nubuat itu muncul dalam “Peradaban Logam” yang bertarikh 1990.

Ada ancaman kepada lawan yang sangat mengejutkan karena ternyata mereka identik dengan pemberontak. Tak ada identitas pembeda antara aku lirik-aku lirik dengan musuh. Sebab: bayi jadah yang gagal menjadi manusia/yang kaututup pintu-pintu kemungkinannya, adalah dirimu juga//. (“Testimoni Pohon Tanpa Akar”). Akan tetapi lawan — kau bisa menyebut rezim Orde Baru atau kekuasaan yang lebih besar dari itu — tetap saja tak tertaklukkan saat itu. Penindasan kekuasaan terhadap orang-orang yang kian teraniaya makin buas.

Dalam situasi semacam itu orang-orang, sebagaimana tampak dalam “Daya Hidup Cinta” (1989) memang tinggal memiliki cinta. Hanya dengan cinta, aku lirik tak gigrik melawan penindasan. Kata dia: Mentang-mentang berkuasa/ia kira bisa menyekap cinta dalam penjara.

Apakah penguasa gigrik? Tidak juga. Akhir dari puisi ini justru tragis: ...Ia seret paksa cinta/disiksa dengan berbagai macam cara/ditenggelamkan ke dasar lautan/dilempar ke curam jurang/diumpankan kawanan buaya/diledakkan di udara/dijadikan sasaran peluru regu pembunuh//. Hanya yang perlu dimengerti, di dalam keriuhrendahan kekalahan itu, ketika begitu banyak korban jatuh, ada yang tidak disadari penguasa, si pendusta itu, betapa cinta tetap tak mati.

 

/5/

 

Sampai di sini, perjuangan aku lirik untuk menumbangkan kekuasaan sang pendusta memang belum berakhir. Demikian juga perjuangan puisi agar dipahami oleh khalayak juga jauh dari usai. Amsal dari situasi ini ditunjukkan dengan sangat tepat oleh puisi “Yang Berjalan Sendirian” (1986). Setelah melakukan pengembaraan dan perlawanan tiada henti, betapa ia jadi paham: dirinya senantiasa berjalan sendirian/dan tak satu pun dijumpainya perhentian/Betapa ia terpesona pada kerlip-kerlip lampu bahtera/yang tergantung di langit utara//.

Keterpesonaan — juga kepada lampu-lampu bahtera — inilah yang mungkin menjadi perlawanan pada pengembaraan selanjutnya. Pengembaraan yang memungkinkan pada suatu hari sang aku lirik menjadi “anak badai” yang lebih melawan dengan puisi-puisi yang kian banal. Anak badai, dengan demikian, adalah awal perlawanan baru. Ia adalah metafora baru — yang dalam puisi-puisi Sitok sesungguhnya lebih dipenuhi oleh idiom-idiom pedesaan dan kota-kota tanpa gemuruh gelombang, tanpa gemuruh laut.

Dan untuk menjadi anak badai, tentu aku lirik harus menjemput takdir kapujanggan yang menanti di pantai, di pinggir, di batas awal dan akhir.

Semarang, 7 Juni 2013

 

[1]       Ungkapan mengenai lintasan makna ini bisa kita dapatkan dalam hermeneutik. Dalam Hermeneutik Transedental (2003) karya Ahmala, hermeneutik didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna, sedangkan dalam Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (2000) karya Hasan Sutanto hermeneutik adalah teori tentang operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks. Dalam aneka buku itu ada ungkapan hermeneuin (menafsirkan) dan hermenia (interpretasi)

[2]       A. Teeuw, Tergantung pada Kata, Sepuluh Sajak Indonesia, cetakan kedua (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983).

[3]       A. Teeuw, Tergantung pada Kata, Sepuluh Sajak Indonesia, cetakan kedua (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983)

[4]       Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta: Pustaka Firdaus)

[5]       Silakan simak “Semacam Rambu-Rambu Kecil untuk Membaca Sajak-Sajak Goenawan Mohamad” karya Triyanto Triwikromo dalam Menjadikannya Abadi, Katalog Pameran Respons atas Sajak-Sajak Goenawan Mohamad, Galeri Semarang.

[6]       Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993)

[7]       Meminjam ungkapan Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak (1981) terutama dalam baris ―...batu jarum/batu bisu/kaukah itu/teka/teki/yang/tak menepati janji//...”

[8]       Silakan baca Octavio Paz: Puisi dan Esai Terpilih yang ditulis oleh Arif B Prasetyo

[9]       Meminjam ungkapan Nirwan Dewanto dalam “Titik Tengah” (Membaca Sapardi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010).

[10]     Roland Barthes, Image, Music, Text yang dikutip oleh Yasraf Amir Piliang dalam Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna  

[11]     Simak “Catatan Kecil tentang Aktor Besar” dalam Anak Badai dan Amsal Puisi Banal.

[12]     Silakan simak Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme (terjemahan Medhy Aginta Hidayat), Yogyakarta, Jendela, 2004.

[13]     Silakan simak Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme (terjemahan Medhy Aginta Hidayat), Yogyakarta, Jendela, 2004.

[14]     Judul puisi mengingatkan saya pada ungkapan “kabur kanginan”. Pada 1989-1991 saya tinggal bersama Sitok di Depok dan menggagas komunitas yang kami sebut sebagai “Penyair Kabur Kanginan”. Kami mencoba membuat kredo bagi gerakan itu. Intinya penyair itu tidak berumah dan tidak berarah. Ia tinggal di angin dan mengikuti angin ke mana angin pergi. Akan tetapi mungkin saja aku lirik puisi Sitok terpesona pada ungkapan Rendra saat menerima penghargaan dari Akademi Jakarta (silakan simak dalam Rendra: Mempertimbangkan Tradisi). Dengan metaforis, Rendra saat itu menyatakan penyair memang sudah semestinya tinggal di angin.

[15]     Teks semacam ini bisa saja kita maknai sebagai pelanjutan tradisi pemberontakan ala Rustam Effendi yang dalam “Bukan Beta Bijak Berperi” bilang: ...untai rangkaian seloka lama/beta buang beta singkiri/sebab laguku menurut sukma.

[16]     Aku lirik puisi Rendra dalam “Pamplet Cinta” (1978) juga melakukan hal sama. Dia tidak hanya berdiam saja di kamar. Akan tetapi kata dia: Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur/Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung/Perutku sobek di jalan raya yang lengang.../Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian/Aku menulis sajak di bordes kereta api/Aku bertualang di dalam udara yang berdebu//Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar/aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu//.

[17]     Lewat “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” (Membaca dan Menilai Sastra, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991), Teeuw mengingatkan penafsir bisa salah paham ketika berhadapan dengan apa pun yang tak sepenuhnya dimengerti. Waktu menafsir salah satu bait puisi Goenawan Mohamad berjudul “Z”: Di bawah bulan Marly/dan pohon musim panas// ada mahasiswa yang menganggap Marly sebagai akronim Maret-July. Mahasiswa tidak melihat kemungkinan lain betapa Marly juga nama sebuah tempat di dekat Paris, Prancis

[18]     Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, PT Pustaka Utama Grafiti dan Freedom Institute, Jakarta, 2004.

[19]     Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, Cetakan Keempat, Burung Merak Press, Jakarta, Agustus 2008


Triyanto Triwikromo, cerpenis pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa dan esais, dosen Penulisan Kreatif, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler