Skip to Content

Teater di Kalimantan Selatan: Kesepian di Keramaian

Foto Y.S. Agus Suseno

TEATER DI KALIMANTAN SELATAN:

KESEPIAN DI KERAMAIAN

 

Y.S. Agus Suseno*

 

            Selama hampir sepekan menyaksikan Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), 15-19 November 2008, kebanggaan dan keharuan bercampur aduk sekaligus. Meskipun di Kalimantan Selatan tidak ada sekolah tinggi kesenian (ISI atau STSI), potensi dan semangat berkesenian generasi muda luar biasa. Acara tahunan kerja sama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten HSS dengan Dewan Kesenian HSS ini berlangsung di musim hujan, tapi antusiasme peserta mengalahkan kendala cuaca dan minimnya dana.

            Lihatlah, ada kelompok yang datang dari jauh (berjumlah puluhan, sebagian besar perempuan), yang “nekat” datang dengan menumpang truk bak terbuka. Apa yang membuat komunitas teater kampus itu rela menempuh cuaca dan lalu lintas yang buruk di sepanjang perjalanan, dengan ongkos sewa truk yang didapat melalui urunan? Rasa cinta pada kesenian? Karena “kesenian sebagian dari iman”? Sapalihan, sambil baramian[1]?

            Apa pun alasannya, keikutsertaan delapan komunitas teater dari enam kabupaten/kota dalam festival bertema “refleksi religiusitas dan kesenian di masyarakat” itu mencerminkan daya pikat teater di kalangan generasi muda, namun pihak terkait (di kabupaten/kota asal peserta) tidak memandangnya sebagai aset dan potensi nyata dalam seni pertunjukan dan wisata budaya. Alih-alih memfasilitasi dana, apalagi dilepas dengan upacara resmi oleh bupati/walikota -- seperti kontingen olah raga dan kafilah acara bernuansa agama -- sebagian peserta datang dengan biaya sendiri.

            Keikutsertaan komunitas teater dari kabupaten/kota lain (selain peserta tuan rumah) itu, seperti halnya festival tahun lalu, merupakan kehormatan bagi Pemerintah Kabupaten HSS. Ironisnya, dalam acara ini, Bupati (atau Wakil Bupati, Sekda, sekurangnya Asisten) tidak hadir. Acara dibuka dan ditutup hanya oleh Kepala Disparbud HSS, termasuk dalam penyerahan hadiah kepada para pemenang[2]. Padahal, tema festival tahun ini relevan dengan visi HSS yang “ingin jadi kabupaten yang agropolitan dan religius[3], dengan pembangunan pertanian yang berbasis agroindustri dan keagamaan”; dengan misi “memantapkan Gerbang Perkotaan Banua Lima Plus Center, menuju kabupaten yang mandiri, unggul dan religius”.

            Anehnya, pariwisata, seni dan budaya tidak disebut. Di Kalimantan Selatan (bukan hanya di 6 kabupaten yang disebut sebagai wilayah Banua Anam), HSS unggul di bidang itu dan (di mancanegara) identik dengan Loksado, selain wisata sejarah dan kekayaan seni pertunjukan pedalamannya. Dengan menafikannya, berarti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten HSS 2008-2013 tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

            Pariwisata, seni dan budaya terkait langsung dengan masyarakat dalam menggerakkan roda perekonomian. Wisatawan Nusantara dan mancanegara datang ke event/obyek wisata dan mengeluarkan uangnya untuk transportasi, telekomunikasi, akomodasi dan konsumsi. Tidaklah elok jika demi politik pencitraan lalu bahimat memasang advertorial di koran, namun sektor yang potensial dikesampingkan.

            Di tengah cuaca yang mengkhawatirkan (dengan kemungkinan turunnya hujan), malam demi malam pertunjukan berlangsung penuh pengunjung. Digelar secara cuma-cuma di Panggung Seni Taman Darmansyah Zauhidie[4], penonton yang hadir beragam: pelajar, mahasiswa, guru, aktivis teater, penjual voucher, penjual pentol dan tukang becak, termasuk para preman Pasar Kandangan.

            Demikianlah, komunitas teater dari kabupaten/kota di Kalimantan Selatan satu per satu menggelar karyanya, dengan teknik bermain, tata rias, tata lampu dan dekorasi yang (coba) disesuaikan dengan kebutuhan cerita di panggung terbuka. Kalau banyak pemain[5] canggung dan demam panggung, mungkin karena beban cerita yang diangkat terlalu berat, waktu latihan yang terlalu singkat dan ketidakmampuan pemain dan sutradara menyiasati panggung. Peserta tahun ini memang tidak merepresentasikan wajah teater Kalimantan Selatan yang sesungguhnya.

            Di samping soal penggarapan dan teknik permainan, sebagian peserta gagap menafsirkan tema. Seperti festival tahun lalu (bertema “perjuangan rakyat Banjar melawan kolonialisme”), di festival ini pun panitia memperbolehkan peserta menggelar naskah karya sendiri (atau naskah orang lain, karya penulis lokal maupun nasional), jumlah pemain tidak dibatasi, dengan durasi maksimal 45 menit.

            Barangkali di situlah pungkala[6]-nya: naskah. Karena seni teater di Kalimantan Selatan lebih ramai oleh pertunjukan -- lebih banyak “pemain” dan “sutradara”, tapi sepi "penulis naskah" -- kegagapan pun merajalela.

            Bertolak dari ketentuan tema yang “religius”, (sebagian) peserta kemudian menggelar naskah tentang Fir’aun, dengan tata rias, kostum dan dekorasi Arab klasik -- lengkap dengan jubah, asesoris, properties, sorban, kumis dan jenggot buatan -- seakan kita masih di zaman jahiliyah di Timur Tengah. Nilai dan mutu pertunjukan pun merosot, jatuh sekadar menjadi “drama dakwah”, gagal mengartikulasikan kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat Islam terkini.

            Dalam pengantar dan evaluasi di panggung pertunjukan (sebelum pengumuman pemenang), saya mewacanakan pentingnya pembagian peran antara pemain, penulis naskah dan sutradara.

            Para peserta festival tak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka lebih merupakan “korban”: sekadar meneruskan “tradisi” yang diwariskan generasi (penulis naskah dan sutradara teater) terdahulu, yang menganggap tema religius identik dengan “drama dakwah” -- dan menjadikannya kebenaran yang tak bisa dibantah -- hingga yang hadir kemudian adalah naskah-naskah dengan kisah tentang Umar bin Khatab dan Fatimah, atau Fir’aun dan Masyitah.

            Depag (kini Kemenag) adalah intitusi yang (di masa lalu) berperan besar menciptakan kesalahkaprahan itu, melalui proyek “penyuluhan agama Islam”-nya yang, salah satunya, berbentuk “drama dakwah” itu. Melalui proyek bidang penyuluhan itu, sejumlah orang teater menulis (atau memesan) naskah “drama dakwah”, sekaligus menyutradarainya, dengan pemain para mahasiswa dari sekolah tinggi agama.

            Oleh sebab itu, Workshop Penulisan Naskah Teater oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kota Banjarmasin di Lembaga Pengabdian Mahasiswa (LPM), Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (29-30/11), penting. Inilah salah satu solusi nyata untuk meminimalisir “krisis” penulisan naskah teater di Kalimantan Selatan, yang sudah kian akut.

            Diikuti puluhan peserta, dari siswa SMP hingga mahasiswa S2, “Kegiatan ini bertujuan sebagai upaya untuk melahirkan dan membina para penulis muda, khususnya penulis naskah drama (teater) agar lebih jauh mengenal tentang dunia penulisan naskah, baik secara teknis maupun teoretis,” ujar Ketua Panitia Pelaksana, Ratih Ayuningrum[7].

            Adjim Arijadi, Burhanuddin Soebely dan Edi Sutardi menjadi narasumber utama kegiatan langka ini. Disebut langka, sebab sebelumnya tak ada kegiatan serupa. Selama ini, workshop teater oleh komunitas teater sekolah, teater kampus maupun sanggar teater lebih mengutamakan metode latihan untuk pergelaran: persiapan bagi calon aktor, pembentukan karakter peran, teknik bermain (akting, olah vokal, olah sukma, blocking, moving, setting, lighting), hukum panggung, pembentukan badan produksi pergelaran dan lain sebagainya; sementara naskah (beserta anatominya), yang menjadi “ruh” teater, diabaikan -- atau diperlakukan sekadar “pelengkap” pertunjukan belaka.

            Semua itu memang masih dalam kerangka teater realis konvensional (yang meniscayakan naskah sebagai syarat utama), bukan jenis teater kontemporer yang bertolak dari eksplorasi tubuh, dengan narasi-narasi besar yang ditubuhkan ke dalam pertunjukan, melalui “teks” (dan “antisastra”), seperti ditunjukkan Teater Kubur, Teater SAE, Teater Payung Hitam dan Teater Garasi.   

            Workshop KSI Kota Banjarmasin (dimotori Hajriansyah, M. Nahdiansyah Abdi, Edi Sutardi, Nailiya Nikmah, Rismiyana, Dewi Alfianti, Ratih Ayuningrum dan lain-lain) memang tidak bermaksud “melahirkan” penulis naskah teater. Penulis tak bisa dilahirkan, apalagi secara instan -- lebih mustahil lagi dalam dua hari kegiatan. Acara itu lebih dimaksudkan sebagai rangsangan, untuk mengenal metode dan dasar-dasar penulisan.

            Menyaksikan ketekunan peserta menyimak dan mencatat pemaparan narasumber, juga keingintahuan mereka yang besar tentang penulisan, mengharukan dan menumbuhkan harapan. Dari puluhan orang itu, tak usahlah semuanya menjadi penulis naskah teater. Beberapa orang pun, cukuplah. Di masa depan yang serba tak pasti, di Kalimantan Selatan yang sepi dari penulis naskah teater ini, mungkin kelak muncul orang-orang yang akan meneruskan jejak langkah Darmansyah Zauhidhie, Ajamuddin Tifani, Bakhtiar Sanderta, Bachtar Suryani, Adjim Arijadi, Burhanuddin Soebely...  

***

* pekerja seni, ketua Dewan Juri Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, 15-19 November 2008, tinggal di Banjarmasin.        

                    

 


[1] Sebagian, sambil rame-rame?

[2] susunan pemenang dapat dilihat di kolom Info di rubrik ini (23/11).

[3] cetak miring dari saya.

[4] satu-satunya di banua, panggung seni yang mengabadikan nama sastrawan.

[5] saya sengaja tidak menggunakan kata aktor (terkecuali dengan tanda kutip), karena sukar sekali  menemukannya dalam festival tahun ini.

[6] masalah/kendala.

[7] baca Workshop Penulisan Naskah Drama di kolom Kegiatan rubrik ini (30/11).

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler