Skip to Content

Tradisi Yang Diam

Foto Jafar Bin Ilyas

 Sebuah ide yang aku rasa unik namun belum dan semoga dengan dituangkannya tinta ini terwujudlah mimpi tersebut. Sebagai anak kost yang saban harinya mau tak mau dan mau harus bersosialisasi dengan masyarakat adalah menjadi sebuah hal yang biasa ketika saya mengetahui perkembangan berikut kebiasaan masyarakat setempat. Dimana menjadi semacam tradisi warga Cireunde, Ciputat ini berduyun-duyun mengunjungi pasar malam yang setiap minggunya digelar pada kamis malam jum’at seusai maghrib hingga pukul sebelas itu. Heranku, tak ada sedikitpun rasa bosan menghinggapi mereka mengunjungi acara tersebut yang secara tatanan adalah sama setiap minggunya. Penjual gorengan, kue pukis, harumanis, pakaian, game toy’s aksesoris hingga gelanggang permainan  berkumpul dan berhajatan di situ sekali dalam seminggunya.

Satu yang membuat acara tersebut seakan-akan hanya menjadi ajang konsumtifitas masyarakat Cireundeu saja. Bagaimana tidak, wong hampir setiap hitungan seminggu sekali mereka harus menuruti rengekan anak-anaknya mengunjungi pagelaran tersebut,tidak sedikit pastinya mereka harus merogoh uang dari kantong mereka. Aku mengklaimnya sebagai sample yang akurat untuk menggambarkan anggapan-anggapan negeri luar sana yang mengatakan Indonesia negeri yang kaya akan pangan namun tak sedikitnya warganya kelaparan. Negeri yang apriori dalam menyamaratakan tingkat kesejejahteraan penduduknya. Terang saja terjadi hal yang demikian kalau memang faktanya dari sekian juta penduduk Indonesia adalah terbiasa dengan pola hidup serba konsumtif, sedangkan daya produktifitasnya rendah. Berapa skala saja batu bara, tambang minyak kita dikuasai negara lain. Negeri kita hanya mampu memanfaatkannya dengan system kerja yang mekanik jauh equifalen dengan kecanggihan. Sementara negeri-negeri tetangga yang melirik harta karun sia-sia tak terjamah segera sigap mendatangi Indonesia, dengan bodohnya kita manggut-manggut saja ketika beberapa kontraktor asing menawarkan map teken kontrak pemberdayaan kawasan tambang tersebut. Begitu kronologis kemlaratan negeri kita.

Alangkah baiknya bila rutinitas mingguan tersebut sesekali dijadikan warga sekitar, pemuda-pemudi khususnya guna mempertahankan budaya nusantara yang kian dimakan masa. Katakana lah sesekali kepala kampung atau salah satu warga menginstruksikan ke tetangga/warga setempat untuk mengadakan pertunjukan wayang atau  layar tancep yang secara sistematika kurun waktu adalah tak lagi dilirik pemuda masa kini. Tak perlu mewah, menjulang tinggi, membutuhkan patungan duit banyak asalkan dalam pasar malam tersebut sedikit menyelipkan sisi positif selain memuaskan putra-putri mereka dan tidak melulu itu-itu saja. Di sisi lain, pemuda yang seharusnya memilih menghabiskan waktunya untuk nongkrong di kafe atau mall beralih lahan ke pasar malam tersebut yang nantinya menyuguhkan beberapa keunikan yang tidak monoton.Dengan begitu ADART yang tadinya ludes ditangan para penjual jajanan atau pakaian tersisihkan beberapa persen karena beberapa menit waktu berkunjung ke sana teralihkan kepada tontonan yang bernilai budaya tersebut. Sisi positif lainnya adalah kerukunan warga bisa-bisa makin erat. Dan tak ada lagi image Indonesia sebagai negeri konsumtif tertinggi ketimbang produktifitasnya tersandang pada negeri kita.

Semoga bermanfaat…

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler