Skip to Content

HANAFI MODERN

Foto usman hasan

HANAFI  MODERN

 

Oleh : Usman Hasan

 

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda membutuhkan tenaga administratif bagi perusahaan swasta dan pemerintahan . maka  diberikan kesempatan kepada segelintir kaum  Bumiputra bersekolah di sekolah-sekolah Belanda.

 

Hanafi sebagai anak orang  terpandang di kampungnya (Minangkabau, Sumatera Selatan) mendapat keuntungan mengenyam pendidikan HIS kemudian melanjutkan di HBS, sesudah itu bekerja di pemerintahan Belanda. Tujuan orang tua dan keluarga besar menyekolahkan Hanafi tentu agar dapat menjadi tumpuan harapan keluarga dalam membangun masyarakatnya .

 

Apa boleh buat, cita-cita kadang tak sama dengan kenyataan. Hanafi justru menjadi sosok yang menghina adat istiadatnya sendiri, memandang rendah bangsanya sendiri serta menampik nilai-nilai luhur  dan  budi pekerti yang dipegang teguh nenek moyangnya.

 

Saphiah anak pamannya yang dijodohkan orang tuanya ditampik oleh Hanafi. Dia jatuh cinta kepada Cory anak seorang arsitek keturunan Perancis  yang menjadi pegawai tinggi pemerintah Kolonial Belanda. Perjodohan yang diatur orang tua dianggap kuno, tidak sesuai dengan perkembangan  zaman.”

 

Semua adat istiadat yang luhur dibelakangi oleh Hanafi – pokoknya apa pun nilai dari Barat itu baik dan apa pun yang dari Timur itu adalah peradaban “kegelapan”. Itu  yang diyakini oleh Hanafi muda.

 

 Demikian yang saya pahami setelah membaca sebuah Novel berjudul Salah Asuhan karangan Abdul Muis seorang penulis terkenal, wartawan, pejuang kemerdekaan yang  mendapat anugerah sebagai  Pahlawan Nasional pada tahun Mengapa saya menulis dengan memulai dari cerita pengarang 80 tahun silam itu, karena apa yang ditulis oleh Abdul Muis yang namanya diabadikan sebagai nama jalan hampir di seluruh kota di Indonesia adalah sebuah karya besar yang diakui oleh para kritikus sastra.

 

Kemudian, - sebuah novel, mungkin bersifat cerita fiksi.Tapi sebuah fiksi tidak lah semata-mata rekaan, bualan yang tak memiliki dasar. Setidaknya, seorang pengarang akan menulis dengan berdasarkan basis sosial ketika sang pengarang itu hidup.

 

Yang mencengangkan, sebab novel tersebut seakan menjadi gambaran dan ramalan kondisi masyarakat Indonesia, bukan saja pada sekitar zaman pergerakan di tahun 1928, bahkan melampaui batas waktu – sampai 80 tahun kemudian.  Bukankah dalam realitas sehari-hari banyak kita menemukan “Hanafi modern” ada dimana-mana sekarang ini..

 

Berpakaian yang memamerkan pusar dibilang modern, memakai kerudung dianggap kuno. Minum bier dikatakan orang maju, kalau minum teh botol ketinggalan zaman.

 

Perjodohan atas pilihan orang tua sekalipun yang dipilih adalah orang yang ideal dianggap melecehkan keagungan cinta , padahal sudah terbukti perkawinan  yang berdasarkan pilihan dari orang tua seperti banyak dipraktekan orang-orang tua kita dahulu ternyata langgeng dan bahagia sampai tua. ***

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler