Skip to Content

Bakhtiar Sanderta (1939-2008): Maestro Seni Tradisi Banjar

Foto Y.S. Agus Suseno

BAKHTIAR SANDERTA (1939-2008):

MAESTRO SENI TRADISI BANJAR

 Y.S. Agus Suseno

 

Balayar kapal, sayang

balayar kapal Naga Salimburan

Lapas palinggam

lapas palinggam tangah lautan

Subarang sana pulau harapan

handak ka situ arah tujuan

 

Hidup, mati, rajaki, judu

Maha Cahaya manantuakan

 

Hidupkah mati, sayang

Hidupkah mati kita sakalian

Ada rajaki, ada rajaki diamparakan

Ada pun judu jua disarahakan

Maha Cahaya manantuakan[i]

 

            Setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Anshari Saleh (19/2/2008) dan menjalani operasi pengambilan batu empedu, Senin (3/3/2008), Bakhtiar Sanderta (BS) akhirnya meninggal dunia di ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin, Banjarmasin, Kamis (6/3/2008), Pukul 20.00 Wita.

            Dan Indonesia (bukan hanya Kalimantan Selatan) kehilangan salah seorang di antara 27 maestro seni tradisi yang, oleh pemerintah, baru dinobatkan. Dalam Laporan Akhir Tahun Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta (28/12/2007), nama-nama maestro yang dipilih dengan seleksi ketat itu diumumkan Dr. Mukhlis Paeni, dari Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata  (sebelum diubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Mereka diberi anugerah dan penghargaan sebagai pelaku seni tradisi yang hampir punah. Untuk BS, anugerah dan penghargaan itu diberikan berkat kegigihan dan ketekunannya menjaga, memelihara dan mewariskan teater tradisi Banjar, wayang gung dan mamanda.

            Awalnya, sukar bagi saya menulis obituari ini tanpa bias yang berlebihan, mengingat kedekatan dan hubungan emosional dengan mendiang beserta keluarganya. Lebih-lebih, saya sempat mendonorkan darah untuknya sebelum dioperasi. Tidak mudah mengungkapkan pikiran dan perasaan.  Kalimat dan kata-kata seakan tidak cukup untuk menggambarkan “wali penjaga dan pemelihara seni tradisi Banjar” yang dilahirkan di Awayan, Kabupaten Balangan, 4 Juli 1939 ini.       

            Bukan hanya menginventarisasi, merevitalisasi dan mempopulerkan lagi mamanda (yang dipelajarinya dengan berguru di Gambah Dalam, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan wayang gung (yang dipelajarinya dengan menjadi anak buah dalang wayang kulit Banjar legendaris, Tulur, di Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah) kepada generasi terkini, semasa menjadi Kepala Taman Budaya Kalimantan Selatan (TBKS) mendiang mempergelarkan lagi seni pertunjukan rakyat yang, bagi sebagian kalangan, sudah “asing”: lamut, tantayungan, dalang tuping, bapantulan, babagungan, damarulan, bapandung, kuda gipang carita, japin carita, dan lain-lain.

            Tanpa bermaksud mengecilkan peranan yang lain, harus diakui TBKS paling semarak semasa di bawah kepemimpinan BS. Mungkin juga karena saat itu (sebelum Otonomi Daerah, yang lebih banyak menganaktirikan seniman dan kesenian dalam alokasi dana di APBD), TBKS menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud, sebelum dilikuidasi).

            Namun, alasan itu barangkali tidak sepenuhnya benar. Maraknya kegiatan, acara kesenian, pertunjukan, penelitian, pendokumentasian, pameran, diskusi dan sarasehan di TBKS mungkin lebih dikarenakan faktor BS yang lebih seorang seniman ketimbang birokrat. Walaupun seorang kepala Taman Budaya tidak harus seniman, tapi gaya kepemimpinan BS yang nyeniman dan familiar terbukti ampuh untuk merangkul seniman yang dikenal ngalih digaduh (sulit diurus) itu.

            Sebagai orang yang sejak TBKS berdiri  (1982) sudah baulak[ii] dan maular tanah[iii] di situ, saya merasakan pasang-surut suasana semasa TBKS dipimpin A. Syaikhan (1982-1985), Yustan Aziddin (1985-1985), BS (1985-1996), Syarifuddin R. (1996-1998), lalu Syahrir WN, M. Yusran, Sirajul Huda, lalu Syarifuddin R. lagi (pelaksana tugas), Syafrullah, Akhmadi Soufyan (Enos Karli), Noor Hidayat Sultan, dan, kini, Sirajudin Dino.

            Memang, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sesuai dengan karakter, perilaku dan konsep manajemen yang diterapkan. Namun, satu hal yang saya amati, salah satu kunci keberhasilan kepala TBKS terletak pada kemampuannya mengayomi seniman seluruh bidang kesenian (tradisional maupun modern), tanpa kecuali. Satu hal lagi (dan ini yang terpenting): dalam tiap acara kesenian (di luar urusan kantor dan birokrasi), seorang kepala TBKS idealnya datang sungsung, bulik landung[iv]. Kalau sebaliknya (datang landung, bulik sungsung[v]), atau hanya duduk di belakang meja, percayalah: andika[vi] takkan berhasil merebut hati seniman, apalagi bila piragah paharatnya, paiyanya, pina musti[vii]. Mengurusi (dan berurusan dengan) seniman tidak sulit, asalkan tahu rumusnya, karena seniman juga manusia...

            “Rumus” itulah yang dipegang BS ketika menjadi kepala TBKS selama satu dasawarsa. Di malam hari, dengan mobil bututnya, tanpa sungkan ia mendatangi seniman seni tradisi (pawayangan[viii], pawayanggungan[ix], pamadihinan[x], palamutan[xi], panyarunan[xii], panupingan[xiii], pamandaan[xiv], panjapinan[xv]) yang sudah uzur, sakit-sakitan dan terpinggirkan oleh kesenian modern di era global ini, sambil membawakan gula, kopi, rokok atawa timbaku[xvi].

            Suatu ketika, dia setengah “memaksa” Ajamuddin Tifani (1951-2002) sekeluarga agar meninggalkan rumah yang disewanya di Jalan Pulau Laut, Banjarmasin (berdampingan dengan rumah sastrawan yang pernah menjadi Kakandepag Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kandangan, A. Rasyidi Umar), dan tinggal di gudang kosong belakang Bengkel Tari Gumilang Kaca TBKS. Hal itu dilakukannya dengan dua alasan: agar penyair itu tidak terbebani ongkos sewa rumah setiap bulan, dan, yang terpenting, agar BS sendiri mudah menemuinya setiap saat -- untuk bertukar pikiran dan gagasan guna membina dan mengembangkan kesenian di Kalimantan Selatan.  

            Setiap tahun, dalam program Duta Seni TBKS ke Taman Budaya provinsi lain di Indonesia, BS pun selalu mengikutsertakan seniman lain sebagai anggota tim (sebagai pemain  mamanda, wayang gung, atau baca puisi), bukan melulu seniman yang (kebetulan) PNS di TBKS (seperti yang berlangsung kemudian).  

            Sebagai “ensiklopedi berjalan khazanah seni tradisi Banjar”, tentu saja BS pun tak luput dari kelebihan dan kekurangan. Kalau seniman seni tradisi lain biasanya hanya mengandalkan improvisasi (seperti lazimnya teater tradisi), BS mampu menulis naskah -- tidak selalu naskah lengkap, seringkali dalam bentuk garis besarnya saja.

            Bukan hanya naskah mamanda, wayang gung dan japin carita, BS juga menulis puisi, cerita pendek, naskah teater modern (berbahasa Banjar maupun Indonesia), menciptakan lagu musik panting[xvii], menjadi pembicara dalam diskusi dan seminar seni pertunjukan, mengajar mata kuliah kesenian di PTS -- setelah pensiun sebagai kepala TBKS -- dan, yang terpenting, menjadi sutradara.

            Berlatih dan main teater dalam pengarahan BS sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Bukan cuma bagi saya, tapi juga bagi kawan-kawan lain. BS seorang yang multitalenta, perfeksionis, kompleks, sekaligus bersahaja. Seorang aktor teater modern (yang mengacu kepada teks, pertunjukan harus sesuai naskah dan tak boleh diubah) mungkin akan stres kalau disutradarai BS.

Barangkali karena BS seperti Gus Dur: orang yang (dalam kerja kreatif) berpikir melampaui zamannya, hingga orang bisa terkaget-kaget dengan idenya yang berubah-ubah dan terus bermunculan selama proses penggarapan hingga menjelang pertunjukan.

            Dia selalu tidak puas dengan pencapaian aktor-aktris arahannya. Hasil latihan malam ini bisa mendadak diubahnya dalam latihan esok pagi, padahal the show must go on. Bahkan, sesaat sebelum aktor-aktrisnya memasuki pentas, di belakang panggung dia masih membisikkan arahan yang, bagi orang yang tak mahir berimprovisasi (atawa lambat mangali[xviii]), akan membebani. Untungnya, dia mengarahkan tidak dengan marah-marah (apalagi dengan tegang dan mata melotot), tapi rileks. Sambil bercanda, dia sering mengatakan, “Bakasanian tu bumi = bungul tapi rami...[xix]

            BS piawai merevitalisasi seni pertunjukan seperti mamanda dan wayang gung dalam bentuk komedi satire dan parodi. Ketika tanah TBKS hendak diambil Gubernur Kalimantan Selatan (1992) untuk didirikan bangunan (sekarang menjadi Gedung Sultan Suriansyah), BS, bersama Ajamuddin Tifani dan Yustan Aziddin (1933-1995), melawan sekeras-kerasnya, secara diam-diam maupun terang-terangan.

            Perlawanannya yang dalam bentuk kesenian melahirkan Batu Gila, Batu Tatawa[xx], teater mamanda yang mendapat sambutan luar biasa saat ditampilkan di Banjarmasin dan pada Temu Taman Budaya dan Dewan Kesenian se-Indonesia di Makkasar, Sulawesi Selatan (1992). Umar Kayam, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri dan Idrus Tintin yang saat itu hadir menyampaikan salut. Bahkan, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (saat itu, Salim Said) merekomendasikan Batu Gila, Batu Tatawa (di sini Ajamuddin Tifani berperan sebagai “Jin Ifrit”) tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.          

            Bukan tema ceritanya benar (tentang gerombolan begal serakah yang mendapat tiga buah batu dengan tiga permintaan yang, apa pun permintaannya, akan dikabulkan jin pemilik batu itu) yang dinilai berhasil memparodikan situasi dan kondisi politik saat itu, tapi keberanian BS merombak struktur mamanda yang seakan sudah menjadi “pakem” pun menimbulkan kontroversi di kalangan pamandaan.

            Bubuhan[xxi] pamandaan di pahuluan[xxii] menilai, bahwa yang ditampilkan BS dengan Teater Banjarmasin (yang didirikannya 1969) itu bukan mamanda, tapi mamanda-mamandaan[xxiii]. Namun, BS berkilah bahwa seni tradisi tidak sakral dan bukan benda mati yang tak boleh direvitalisasi dan dimodifikasi. Bukan karena saat itu saya terlibat sebagai pemain (berperan sebagai anak buah Raja Begal) hingga kemudian mengamininya. Kalau seni tradisi tak bisa berenang mengikuti arus zaman, ia akan ditinggalkan -- itulah alasannya.

            Kecenderungan BS pada komedi satire tampak saat ia menggarap Abu Tamsil, Siluman Luk Naga, yang mewakili Kalimantan Selatan pada Festival Nasional Teater di Taman Budaya Jawa Barat dan STSI Bandung (1996). Bukan karena (kebetulan) sayalah yang berperan sebagai aktor utamanya, tapi satire atas larinya Edy Tansil (setelah mengorupsi uang negara Rp 1,3 triliun atas katebelece Sudomo) dari LP Cipinang itu secara halus menggambarkan sebuah negeri yang membusuk akibat korupsi.

            Pengalaman dan pergaulan dengan BS yang paling tak terlupakan adalah yang akan saya ceritakan di bawah ini. Ini adalah pengalaman pertama, satu-satunya, sekaligus yang terakhir (juga bagi kawan-kawan lain) main bersama mendiang.

            Bagi saya dan kawan-kawan lain, disutradarai BS sudah biasa (juga, sudah terbiasa dengan gaya penyutradaraannya yang “membingungkan” dan selalu “berubah-ubah” itu). Tetapi, main langsung bersama BS (sebagai pemain, penulis naskah, sekaligus sutradara) adalah peristiwa langka. Oleh karena itu, saya dan kawan-kawan lain nang kaya kaguguran indaru[xxiv], sekaligus harap-harap cemas. Soalnya, seringkali ia berkata mau main bersama, tapi (di saat terakhir) tiba-tiba membatalkannya. Kesempatan main bersama itu terjadi dalam Festival Nasional Kesenian (Sastra Nusantara) di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), 25-29 Juni 2007.

            Dalam kegiatan yang diselenggarakan Dirjen NBSF, Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata itu, di bawah pimpinan Drs. H. Syarifuddin R. (saat itu Kasubdin Kesenian di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Selatan), BS memvisualisasikan lamut[xxv], dengan lakon Sunduk Winata. Dalam petunjuk pelaksanaannya disebutkan, tiap provinsi diminta mengemas dan merevitalisasi sastra daerah yang hampir punah, durasi maksimal 20 menit, pemain maksimal 9 orang.

            Sebelum penggarapan, saya dan kawan-kawan pemain lainnya sempat bingung ketika BS memilih lamut (yang mengandung nilai literer) sebagai sandaran. Tidak terbayangkan sama sekali. Bagaimana memvisualisasikannya? Lamut adalah teater tutur Banjar yang sulit dipahami, dimainkan, termasuk diwariskan. Oleh karena itu, berbeda dengan madihin, pewarisan lamut kepada generasi sekarang takang[xxvi]. Dalam jenisnya, lamut seperti didong di Aceh, bakaba di Sumatera Barat, pantun Sunda di Jawa Barat, dalang jemblung di Banyumas (Jawa Tengah), cepung di Lombok (NTB), sinrili di Sulawesi Selatan, dan lain-lain.

            Lamut tergolong dalam dua jenis: lamut hajat (disajikan untuk memenuhi hajatan, umpama setelah seseorang sembuh dari sakit, dan sebagainya) dan lamut hiburan. Konon, lamut punya sembilan serial, tapi yang paling terkenal dan sering dimainkan palamutan (pemain lamut) adalah Putri Junjangmasari, Kasan Mandi Kulayang Mandi dan Bujang Malawala. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, antara lain, Lamut, Kasan Mandi, Labai, Anglung, Anggasina.

            Meskipun sempat dilanda keraguan, BS meyakinkan seluruh pemain, bahwa lamut dapat divisualisasikan ke dalam seni pertunjukan yang dimainkan secara kolektif -- tidak hanya dimainkan secara tunggal sebagaimana lazimnya. Lalu, naskah dipelajari, casting dibagi, latihan dimulai. Termasuk BS, yang berperan sebagai Sumbu Laung, tokoh yang menyelamatkan rombongan Lamut (yang saya perankan) yang hampir tenggelam dihantam badai dalam pelayaran ke negeri impian.

            Sunduk Winata, yang tampil di urutan ketiga (setelah Maluku Utara dan Lampung), di malam terakhir (Kamis, 28/6/2007, di Taman Budaya NTB, Mataram) itu mendapat sambutan meriah. Pengamat pertunjukan yang diminta panitia (N. Riantiarno, Korrie Layun Rampan, Sapardi Djoko Damono) memuji penampilan Kalimantan Selatan.

            Pertunjukan di Mataram itu mungkin menjadi salah satu sebab terpilihnya BS (satu-satunya dari Kalimantan) sebagai maestro seni tradisi, karena untuk orang seusianya masih terjun langsung dalam pergelaran -- bersama maestro dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Riau, Palembang, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan Papua.

            Kabarnya, Dewan Juri yang ditunjuk panitia (Sardono W. Kusumo, Sapardi Djoko Damono, N. Riantiarno, Mukhlis Paeni) sempat berdebat menentukan kriteria “maestro. Namun, akhirnya disepakati, “maestro ialah seniman yang berusia di atas 50 tahun dan minimal 20 tahun berturut-turut telah menekuni seni tradisi” (Media Indonesia, Minggu, 30/12/2007).       

            Rencananya, setiap maestro mendapat “tunjangan” Rp 1 juta per bulan, agar mereka bisa mentransfer pengetahuannya kepada generasi muda, secara formal maupun informal, dan itu berlaku sejak awal 2008. Sampai BS berpulang, hal itu tidak terlaksana. Kabarnya, saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat sibuk (sampai kurang tidur), sehingga surat yang harus ditekennya (untuk pencairan dana bagi para maestro itu, dan acara penyerahannya) masih di Sekretariat Negara. Wahyu Hidayat, Kepala Direktorat Pengembangan Karakter dan Budi Pekerti Bangsa, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Senin (10/3/2008) datang ke kediaman mendiang, menyerahkan piagam penghargaan, plakat dan uang santunan kepada ahli waris.

            Belum sempat menikmati “tunjangan” dana maestro itu, BS (yang memiliki satu istri, lima anak dan sembilan cucu -- anak, menantu dan cucu-cucunya juga aktif berkesenian) keburu pergi.

Diiringi ratusan seniman, kerabat dan handai tolan dari kabupaten/kota Kalimantan Selatan, jenazahnya dikebumikan dalam gerimis yang terus menerus turun sepanjang prosesi pemakamannya sehabis salat Jumat (7/3/2008) itu. Semesta alam raya, cuaca dan udara, beraroma duka. Semua seakan memanjatkan doa ketika jasadnya dikubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Guntung Lua... (*)

 

Intan jamrud nilam parimataku,  parimataku

Lamah limambut marasuk badanku, 2 x

 

Ikamlah bulan panarang malamku, panarang malamku

Kisah lah mimpi di dalam guringku, 2 x

 

Kuragap humbayang dalam jiwa sunyi

Kuharap ikam datang dalam cinta suci, 2 x

 

Cinta kasih sayang parimataku, parimataku

Datang baulit di dalam hidupku, 2 x

 

Ikamlah pajar panarang matahariku, matahariku

Ambun lah titik sukma ragaku, 2 x[xxvii]

 

[i] lirik lagu pergelaran sastra, “Sunduk Winata”,  Tim Kalimantan Selatan untuk Festival Nasional Kesenian (Sastra Nusantara),  Taman Budaya  Nusa Tenggara Barat (NTB), Mataram, 25-29 Juni 2007:

 

Berlayar kapal, sayang

berlayar kapal Naga Salimburan

Lepas palinggam

lepas palinggam di tengah lautan

Di seberang sana pulau harapan

akan ke sana arah tujuan

 

Hidup, mati, rezeki, jodoh

Maha Cahaya menentukan

 

Hidupkah mati, sayang

Hidupkah mati kita sekalian

Ada rezeki, ada rezeki dibagi-bagikan

Ada pun jodoh diserahkan

Maha Cahaya menentukan

 

 

[ii] bergelut.

[iii] beraktivitas.

[iv] datang pagi, pulang sore.

[v] datang siang, cepat pulang.

[vi] Anda.

[vii] merasa paling hebat, egois, sok tahu.

[viii] seniman wayang kulit.

[ix] seniman wayang orang.

[x] seniman sastra lisan madihin.

[xi] seniman teater tutur lamut.

[xii] seniman karawitan/gamelan/nayaga.

[xiii] penari topeng.

[xiv] seniman teater  tradisi mamanda.

[xv] penari japin.

[xvi] tembakau.

[xvii] musik tradisi Banjar.

[xviii] lambat berpikir.

[xix] “Berkesenian itu bumi = bodoh tapi rame...”

[xx] Batu Gila, Batu Tertawa.

[xxi] klan/golongan/kelompok.

[xxii] Hulu Sungai, kabupaten di Banua Anam, hunjuran Pegunungan Meratus, yang diduga sebagai cikal bakal munculnya teater mamanda.

[xxiii] mamanda tiruan, bukan mamanda “asli”.

[xxiv] seperti ketiban pulung.

[xxv] teater tutur tradisi Banjar.

[xxvi] stagnan.

[xxvii] “Parimata”, lirik lagu musik tradisi panting, ciptaan/aransemen Bakhtiar Sanderta:

 

Intan jamrud nilam permataku, permataku

Lemah lembut merasuk badanku, 2 x

Engkaulah bulan penerang malamku, penerang malamku

Kisahlah mimpi dalam tidurku, 2 x

 

Kudekap bayangan dalam jiwa sunyi

Kuharap engkau datang dalam cinta suci, 2 x

 

Cinta kasih sayang permataku, permataku

Datang bergelut dalam hidupku, 2 x

 

Engkaulah fajar  penerang matahariku

Embunlah titik sukma ragaku, 2 x

 

***

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler