Hasan Aspahani
Hasan Aspahani (lahir di Sei Raden, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, 9 Maret 1971; umur 45 tahun), adalah seorang penyair Indonesia, yang berasal dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Aspahani lahir pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa.[1] Dia bersekolah di SMAN 2 Balikpapan, sambil bekerja sebagai kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung (Sekarang [[Surat Kabar Harian Kaltim Post). Setelah lulus SMA melanjutkan kuliah melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat Keahlian (PMDK) di Universitas Pertanian Bogor (IPB). Sambil kuliah dia terus menulis puisi.
Setelah lulus dan menjadi sarjana pertanian, dia sempat bekerja di beberapa perusahaan. Kemudian dia bekerja sebagai wartawan hingga menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksidi Surat Kabar Harian Batam Pos. Istrinya bernama Dhiana, yang biasa disapanya Na' dan dan dua orang anak, Shiela dan Ikra.
Beberapa puisinya pernah terbit di Surat Kabar Jawa Pos (Surabaya), Surat Kabar Riau Pos (Pekanbaru), Surat Kabar Batam Pos (Batam), Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 200) Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian Sastro for President 2 #Reloaded (AKY, Yogyakarta, 2003). Puisi Huruf-huruf Hattater dipilih sebagai salah satu dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005). Hasan Aspahani juga menjadi kartunis koran post metro yakni sebuah kartun strip komik dengan tokoh utama "si Jeko" tukang ojek dengan kelucuannya. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Puisi Puisi Hasan Aspahani di antaranya bisa kita nikmati di bawah ini :
Ia Menulis di Linimasa
PADA usia ke-40 dan beberapa dentang kemudian,
ia menulis di linimasanya, hidup yang baik telah
memberi satu hal: aku telah mampu untuk lupa.
Lupa, adalah gudang tanpa pintu, dan di situ,
sejumlah peristiwa terperangkap, berhenti,
bersama beberapa nama, dan segenap perannya.
Di gudang itu, tak apa-apa, bila sesekali ia kembali,
misalnya ketika ia perlu satu alasan sangat sepele
mengenang apa saja yang tak memaksa dikenang.
Itu bisa ada pada sepotong foto yang terlipat, lengket
Atau bisa pada jam bekas, berhenti berdetak pada 3.50!
Atau pada tumpukan acak majalah berita mingguan
yang sebagaian besar halamannya tak sempat dibaca.
*
PADA usia ke-40 dan beberapa dentang kemudian
ia menulis di linimasanya, hidup yang baik tetap
memberi satu hal: aku masih mampu untuk ingat.
Itu sebabnya ia masih menulis puisi: yang dengan
caranya ajaib, pada bait-bait selentur kantung karet,
memberi tempat pada segala yang hendak dilupa,
dan segala yang menerus-terus hendak diingat.
Yang Sembunyi di Dalam Mataku
Yang sembunyi di dalam mataku
Menatap pada tebing punggungmu
Karena ia terbuka, maka aku mengira
kau tantang aku berani menebaknya
Yang mengarang di tungku diriku
Mengapi tersebab tebas betismu
Karena langkahmu semakin tajam
Aku menjelaga, lekat ke silam sepi
Yang memelangi di dinding langitku
Cahaya ragu dari kembang gaunmu
Karena aku hidup yang tak bermusim
Aku tinggal ladang tak bertanaman
Aku Tak Akan Menyalahkannya
CINTAKU adalah rasa asin pada lautmu. Matahari mengira ia bisa
menguapkan aku dari engkau, mengawankanku dari langit yang asing.
Ia keliru, tapi biar saja, aku tak mau menyalahkannya.
Cintaku adalah hara menyebati di tanah kebunmu. Matahari mengira
hanya ia yang menumbuhkan engkau dan memekarkan bunga
bungamu. Ia salah, tapi bisa saja, aku tak akan menyalahkannya.
Romantisme Badut
APAKAH tangis? Tangis adalah tawa yang jujur. Dan tawa? Tawa adalah tangis yang
berpura-pura. Aku tahu sebab aku badut yang kau larang melucu.
Padahal sejak dahulu, aku hanya ingin menjadi badut bagimu, menjadi diri yang janggal, dan
kau tak lagi perlu payah mengerti aku, lau kau tertawa saja dan padamu semua sesal selesai.
*
HIDUP bukan cuma bagi singgah iseng di tenda sirkus. Kau menolak ajakanku, lalu
pergi sendiri, membelu ketegangan dari tubuh-tubuh yang terampil mempermainkan bahaya.
Lalu muncullah aku dengan topi yang tak muat, dan hidung merah tomat, di sela-sela tepuk
tanganmu, melemparkan bola-bola yang tak cukup di dua tangan, lalu kau tertawa dan
padaku segala kesal dimulai.
Ulat yang Rakus dan Embun yang Santun
AKU daun dan kau ulat yang rakus. Aku sudah tak ada, ketika kau
menjelma menjadi kupu-kupu, mengembangkan warna sayapmu.
Aku malah dan kau embun yang santun. Aku sudah tak ada ketika di
ujung daun, pagi dan matahari mencemerlangkanmu.
Gambar untuk Sebuah Petang
KITA memang tak pernah benar-benar siap,
Waktu, dengan tangannya, kita terperangkap.
Kita murid di kelas tujuh, dengan pelajaran
terlambat, atau belum saatnya diberikan.
Ada selembar fotografi, gugus geometri, yang
kau curi, dari perempuan lain yang mengelincir,
pada mimpi warna tua, yang miring-licin.
Tubuhmu, harus kumengerti sebagai rumus
sudut-sudut siku. Rumit, dengan angka-angka
berbaris lama, panjang di belakang nol & koma.
Tentang Ular yang Berdiam di Dalam Apel
ADA seekor ular berdiam dalam tiap
buah apel yang dulu kita yang menanam.
Ini sudah musim panen, di kebun liar
kita. Kita masygul, kenapa semakin lebat
kecemasan?
Kita tak berani memetik.
Juga tak berani memungut yang jatuh.
karena tak ada lagi, di tangan, tempat
untuk sakit yang lain. Jejak sepasang
taring jadi luka-luka. Tak akan kering.
Hati akan jadi keranjang kosong
yang kita seret pulang. Kita sepasang
petani, berselisih jalan di jalan ke rumah
yang berbeda alamat dan arah.
Kita tak berani pergi lebih jauh lagi.
Mengatakan Aku, Mengakukan Kata
Hanya kata. Tapi awal jadi dari segalanya
Hati kubuka dengan kata. Hati bersembunyi dalam kata
*
Aku ingin bebas dari kata, tapi aku menjadi kata
Aku ingin bebas dari aku, dibebaskan oleh kata
Hasan Aspahani lahir di Sei Raden, Kalimantan Timur,
dan kini bermukin di Batam. Buku puisinya antara lain
Telimpuh (2009) dan Luka Mata (2010)
Komentar
sastrawan Indonesia asal
sastrawan Indonesia asal Kalimantan Timur
Tulis komentar baru