Skip to Content

Mulanya Penyair Taufiq Ismail Mencintai Sastra

Foto indra
files/user/762/penyair-taufiq-ismail-saat-berbincang-dengan-republika-di-rumahnya.jpg
Penyair Taufiq Ismail saat berbincang dengan Republika di rumahnya, Jalan Utan Kayu Raya, Jakarta, Rabu (24/4).

Penyair Taufiq Ismail menuturkan pengalamannya, awal persentuhan dengan dunia sastra

Usianya tak lagi muda, 83 tahun. Namun, kondisi fisik penyair senior Indonesia ini masih tampak prima. Taufiq Ismail menerima Republika.co.id dengan ramah di kediamannya, Jalan Utan Kayu Raya Nomor 66, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 25 Juni 1935 silam. Ayahnya, KH Abdul Gaffar Ismail, merupakan seorang ulama kharismatik sekaligus pejuang kemerdekaan nasional. Disebut “kiai” karena pendakwah kelahiran Jambu Air, Bukittinggi, itu puluhan tahun menyebarkan ilmu-ilmu agama di Pekalongan, Jawa Tengah. Bersama dengan sang istri tercinta—yakni ibunda Taufiq— Siti Nur Muhammad Nur (Tinur).

Sewaktu muda, Kiai Gaffar alumnus Sumatra Thawalib, seangkatan dengan Buya Hamka. Adapun Tinur termasuk angkatan pertama Diniyah Putri Padang Panjang. Keduanya aktivis muda Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), partai yang terbentuk tahun 1930 dengan ideologi modernisme Islam dan nasionalisme.

Pemerintah kolonial Belanda sangat tidak nyaman dengan aktivitas PERMI. Banyak tokoh senior partai ini yang dibuang ke Digul (Papua). Sebut saja, Mochtar Luthfi, Iljas Ja’coub, dan H Djalaluddin Thaib. Tak hanya para pria, tokoh-tokoh perempuan juga. Rasuna Said dan Rasimah Ismail (adik Kiai Gaffar) dipenjara di Semarang enam bulan lamanya.

“Kalau tokoh PERMI senior dibuang ke Digul, maka yang termuda, A Gaffar Ismail diusir ke luar Minangkabau. Sebutan (hukuman) ini, passen-stelsel. Pak Gaffar yang baru menikah dengan Bu Tinur memilih Pekalongan sebagai tempat pembuangan mereka. Keluarga muda ini lantas diterima baik masyarakat (Pekalongan) sejak datang tahun 1934,” tutur Taufiq Ismail.

 

Pertama Kali Namanya Masuk Koran

Taufiq Ismail menuturkan bagaimana persentuhannya pertama kali dengan kesusastraan. Sastra erat kaitannya dengan kebiasaan membaca dan menulis. Dua hal itu sudah diterapkan keluarganya.

Pada zaman Jepang, Taufiq menjelaskan, ayahnya bekerja sebagai wartawan di Semarang (Jawa Tengah) pada harian Sinar Baroe. Saat itu, keluarga A Gaffar tinggal di Redjosari, Gang I, Nomor 6. Taufiq mengenang, pada masa itu dia masih murid sekolah dasar (Sekolah Rakyat) di Bergota.

Taufiq biasa mendapati ayah dan ibunya sedang duduk tiap malam membaca buku-buku di ruang tengah.

“Ada kebiasaan sekali sebulan, ayah pergi ke toko buku di Pasar Djohar. Saya diboncengnya naik sepeda. Saya diperbolehkan mengambil dua buku untuk dibeli (dibawa) pulang. Tiap ke toko buku, saya ke bagian (buku-buku) anak-anak. Dua buku saya simpan, dua buku lainnya saya baca di tempat,” kenang Taufiq.

Di jajaran redaksi Sinar Baroe, Abdul Gaffar (ayahanda penyair Taufiq Ismail) bertugas sebagai pembuat tajuk rencana. Taufiq kecil suatu kali terkejut karena melihat nama ayahnya di halaman koran tersebut. Saat itu, dia berpikir polos, alangkah hebatnya bisa menulis di media massa. Dengan nama yang tercantum di sana, sudah pasti terkenal di mana-mana.

Taufiq kecil pun ingin coba-coba menulis di koran. Untuk tulisan sepanjang dan seserius tajuk rencana, tentu saja tidak berani. Bagaimana dengan karya sastra?

Waktu itu, ibunya juga pernah menerbitkan sejumlah pantun di rubrik khusus perempuan yang terbit tiap akhir pekan. Taufiq pun merasa berat harus membuat karya yang panjang-panjang. Pilihan terakhirnya hanya satu: menulis gurindam.

Berbeda dari pantun. Sebuah gurindam terdiri atas dua baris saja cukup. Berbekal keinginan melihat nama sendiri tercantum di halaman koran, Taufiq kecil bersemangat. Dia mau karyanya terbit di rubrik anak-anak Suara Baroe.

Selesai menulis, Taufiq menaruh naskah gurindam karyanya itu di atas meja, di ruangan redaksi kantor ayahnya. Naskah ini dilihat seorang wartawan muda, Gadis Rasjid, yang lantas bertanya, “Karya siapa ini, kok begini tulisannya?”

“Itu buatannya anaknya Pak Gaffar,” sahut seorang wartawan lain, Heitami, namanya. Demikian kenang Taufiq.

“Tentu saja karangan saya itu kemudian dimuat. Besoknya, saya lihat di koran, benar karya saya muncul dan ada nama saya juga. Rasanya waktu itu saya seperti terbang ke langit, gembira betul,” tutur suami Esiyati “Ati” Ismail itu.

“Saya tidak sabar rasanya (waktu itu) segera hari esok, untuk pergi ke sekolah. Paginya, saya bawa koran itu, lalu tunjukkan kepada teman-teman. Waduh… Kemudian saya dikerumuni.

Teman-teman heboh di kelas. Pecah kabar itu di sekolah. Saya tiba-tiba jadi selebriti, terkenal. Haha… Waktu itu, saya kelas dua SD, tahun 1943, masih zaman penjajahan Jepang,” jelasnya.

Taufiq ingat, seorang gurunya, Pak Darmo lantas membawanya menemui kepala sekolah pada jam istirahat. Di depan para guru, dia diberi ucapan selamat. Sesampainya di rumah, ayah dan ibunya juga menyampaikan nasihat.

“Nasihat dari ayah saya dan ibu saya, ‘Ya baguslah kamu Taufiq, tapi kamu jangan sombong, alhamdulillah, kamu sudah menulis dan dimuat di surat kabar. Sekarang, supaya makin banyak tulisanmu dimuat, rajin-rajinlah membaca.’ Itu pesannya,” ujar dia.

 

Taufiq Ismail sempat mengelola sebuah perpustakaan kecil

Taufiq Ismail menjalani masa kecil dengan berpindah-pindah tempat. Awalnya, dia bersekolah dasar di Solo, kemudian pindah ke berturut-turut Semarang, Salatiga, dan Yogyakarta. Pendidikan SMP ditempuhnya di Bukittinggi. Adapun SMA di Bogor, lalu Pekalongan, hingga berhasil meraih beasiswa ke Amerika Serikat.

Pada 1950-an, kakak dari Zuhaida “Ida” Ismail Nasution dan Rahmat Ismail itu duduk di kelas 1 SMP. Kegemarannya membaca tetap terpelihara. Sayangnya, tak ada fasilitas yang cukup bagus di sekolah, semisal perpustakaan.

Kebetulan, suatu kali Djawatan Pendidikan Masyarakat di Pekalongan mengajak tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mengelola perpustakaan kecil. Buku-bukunya mereka pasok, sehingga tiap rumah hanya perlu menyediakan tempat dan rak-rak. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) mendapatkan kesempatan itu. Taufiq menyebut, ada kira-kira tiga ratus buku yang disediakan.

Waktu itu, keluarga Kiai Gaffar sudah bermukim di rumah dengan halaman yang cukup lapang di Jalan Kejaksaan 52. Karena itu, para pengurus PII menggelar perpustakaan kecil itu di halaman rumahnya. Jadilah Taufiq muda dan seorang temannya dipercaya mengelola. Perpustakaan ala kadarnya itu buka tiap Ahad.

Kunci lemari-lemari buku dipegang Taufiq Ismail saat itu. Jadilah dia leluasa melahap buku-buku bacaan 24 jam sehari, 7 hari sepekan.

Di antara buku-buku favoritnya adalah serial petualangan Winnetou (karya Karl May); sajak-sajak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang; cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya; serta antologi karya Gema Tanah Air yang diasuh HB Jassin. Tak ketinggalan, novel-novel Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Roesli, dan sebagainya.

Berawal dari kesempatan mengelola perpustakaan kecil, Taufiq dan kawan-kawan SMA-nya berinisiatif mengadakan diskusi kecil. Mereka disatukan kegemaran membaca buku-buku sastra, termasuk majalah-majalah sastra semisal Mimbar Indonesia dan Kisah yang dipunggawai HB Jassin. Waktu itu, masing-masing mereka berlomba-lomba mengirimkan karya terbaiknya agar dimuat di dua terbitan itu.

Sajak-sajak Taufiq Ismail mulai tembus sehingga dimuat di sana. Demikian pula dengan lima orang kawannya, yakni Muhsin Djalaluddin Zuhdy, Hadi Utomo, Sukamto AG, dan SN Ratmana. Menurut Taufiq, ada beberapa hikmah dari klub bacaan seperti itu.

Anak-anak SMA menjadi ter-stimulus untuk gemar membaca dan berlatih menulis, meski tanpa bimbingan guru.

Taufiq menyebut, generasinya terbiasa dengan cara-cara mandiri demikian saat usia SMA. Bahkan, beberapa nama besar sastra Indonesia, semisal Ajip Rosidi dan Motinggo Busye sudah mulai menulis dan terbit karyanya di koran-koran sejak SMP.

 

Taufiq Ismail terkesan dengan keluarga, guru, dan cara pengajaran sastra di Amerika

Pada 1956, Taufiq Ismail memeroleh beasiswa dari American Field Service International Scholarships (AFSIS). Dengan itu, dia berkesempatan menempuh sekolah SMA satu tahun lamanya di Amerika Serikat.

Daerah tempatnya belajar di Negeri Paman Sam saat itu adalah Whitefish Bay, kota kecil tepian Danau Michigan.

Taufiq termasuk angkatan pertama penerima beasiswa ini. Dari Indonesia, ada sebanyak tujuh orang. Mereka berangkat ke Amerika Serikat (AS) tidak dengan pesawat udara, melainkan kapal laut. Dari Jakarta, melewati Samudra Hindia, tembus ke Laut Mediterania, berlabuh di Italia, hingga mengarungi Samudra Atlantika—sebulan lamanya.

Keluarga yang mengasuh Taufiq selama di Whitefish Bay adalah pasangan Archie dan Helen. Sang suami merupakan keturunan Swiss, sedangkan istrinya masih berdarah Irlandia. Taufiq mengenang, keluarga ini amat ramah. Mama Helen gemar membaca buku-buku sastra.

Dari sinilah, tekad kuat Taufiq Ismail menjadi seorang sastrawan bermula.

Salah satu pelajaran bagi anak-anak SMA di sana ialah kewajiban membaca karya sastra, mendiskusikannya, dan menulis karangan tentangnya.

Bagi Taufiq saat itu, tugas menulis dan membaca cukup berat. Beruntung, Mama Helen selalu siap mendampinginya belajar di rumah. Bila ada tugas membaca novel, ibu angkatnya itu duduk di sebelahnya—siap ditanya tentang kata-kata yang sulit di dalam karya itu serta maknanya.

“Dia seperti kamus hidup. Tugas saya jadi lebih cepat diselesaikan karena saya lekas memahaminya dari dia,” kenang Taufiq.

Lingkungan sekolah juga amat menyenangkan. Tak seperti SMA di Tanah Air. Taufiq mengaku saat itu terkesima dengan banyaknya koleksi perpustakaan sekolah di Whitefish Bay. Ada sekira 100 ribu judul buku.

Perpustakaan selalu ramai pengunjung, baik siswa maupun guru-guru yang datang dengan tertib, tanpa gaduh. Buku-buku sastra yang wajib dibaca, disediakan oleh perpustakaan ini. Tiap murid juga dapat meminjamnya, membawanya pulang ke sekolah. Keadaan ini bak oasis baginya.

Satu sosok lain yang begitu mengesankannya adalah Bu Clara Czarkowski. Dialah guru sastra di sekolah SMA Whitefish Bay. Menurut Taufiq, cara mengajar gurunya itu sangat efektif dalam menumbuhkan kecintaan terhadap membaca buku dan menulis karangan.

Bu Clara membimbing para murid dalam membaca karya-karya sastra. Semisal, novel-novel John Steinbeck, Ernest Hemingway, Hemran Merville; kemudian sajak-sajak karya Edgar Allan Poe, Walt Whitman, Emily Dickinson, dan seterusnya.

Ada pula sesi penayangan film-film yang terinsipirasi dari karya-karya sastra. Kemudian, para murid juga disuguhkan dokumenter tentang sejumlah pengarang yang melahirkan karya-karya kanon sastra Amerika.

Bagi Taufiq, metode pengajaran dan para guru sendiri di sana memikat para siswa untuk mencintai sastra. “Dari sanalah saya bertekad, ingin menjadi sastrawan,” ujarnya. ***


Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler