Skip to Content

sajak pelopor angkatan 45

Foto agathaduawogar
Daftar Singkatan: DCD= Deru Campur Debu

KT = Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus

NA= Naskah Asli

P= Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45

TMT = Tiga Menguak Takdir

 

1942

 

            NISAN

                        untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

Oktober 1942

            PENGHIDUPAN

Lautan maha dalam

Mukul denture selama

Nguji tenaga pematang kita

Mukul denture selama

Hinga hancur remuk redam

Kurnia Bahgia

Kecil setumpuk

Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk

Desember 1942

1943

TAK SEPADAN

Aku kira :

Beginilah nanti jadinya

Kau Kawin, beranak dan berbahgia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padani

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tingal rangka

Februari 1943

            SIA-SIA *

 

Penghabisan kali itu kau datang

membawa karangan kembang

Mawar merah dan melati putih :

darah dan suci

Kau tebarkan depanku

serta pandang yang memastikan : Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya : Apakah ini ?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah !

Hatiku yang tak mau member

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

*Versi Deru Campur Debu (Editor)

            SIA-SIA*

 

Penghabisan kali itu kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih

Darah dan Suci

Kau terbarkan depanku

Serta pandang yang memastikan :untukmu

Lalu kita sama termangu

Saling bertanya : apakah ini?

Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah!  Hatiku yang tak mau member

Mampus kau dikoyak-koyak sepi

Februari 1943

 

*Versi KT (Editor)

            AJAKAN*

 

Ida

Menembus sudah caya

Udara tebal kabut

Kaca hitam lumut

Pecah pencar sekarang

Di ruang legah lapang

Mari ria lagi

Tujuh belas tahun kembali

Bersepeda sama gandengan

Kita jalani ini jalan

Ria bahgia

Tak acuh apa-apa

Gembira-riang

C[Biar hujan Datang

Kita mandi-basahkan diri

Tahu pasti sebentar kering lagi.

Februari 1943

*Versi NA

 

SENDIRI

Hidup tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia mencekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Dalamketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu ?

Ah! Lemah lesu ia tersedu :Ibu ! Ibu!

Februari 1943

PELARIAN

I

Tak tertahan lagi

Remang miang sengketa disini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak terhingga

Hancur-lelah sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.

II

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

“Mau apa?Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungguh sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja “

Tak kuasa – terengkam

Ia dicengkam malam

Februari 1943

SUARA MALAM

Dunia badai dengan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”

Jadi ke mana?

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

Dengan ketengan selama bersatu

Mengatasi suka dan duka

Kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

Jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadap cahaya.

……………………………………………..

Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Februari 1943

AKU*

Kalau sampai waktuku

‘ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Lua dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

            Maret 1943

*)  Versi DCD

            SEMANGAT*

 

Kalau sampai waktuku

Kutahu tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalan

Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bisa kubawa lari

Berlari

Hingga hilang pedih dan peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

                                                Maret 1943

*) Versi KT

            HUKUM

 

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jernih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu

Pucat mukanya – Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pelik di angkasa : Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!

Maret 1943

            TAMAN

 

Taman punya kita berdua

Tak lebar luas, kecil saja

Satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

Halus lebut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

Dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

Aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

Maret 1943

LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan

Baru berkenalan. Cuma berpandangan

Sungguhpun samudera jiwa sudam selam berselam

Masih saja berpandangan

Dalam lakon pertama

Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa

Dan rumput kering terus menyala

Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi

Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”

Kuseret ia kesana….

Maret 1943

KUPU MALAM DAN BINIKU

Sambil berselisih lalu

Mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang

Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah terngaga

Melayang ingatan ke biniku

Lautan yang belum terduga

Biar lebih kami tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku

Ia menipuku.

Maret 1943

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hatu

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

            Maret 1943

KESABARAN

 

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suaru bertalu-talu

Disebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suarku hilang, tenaga terbang

Sudah! Tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba

Maret 1943

PERHITUNGAN

 

Banyak gores belum terputus saja

Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya….

Sudah itu tempatku tak tentu dimana

Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran

Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran

Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi …. !?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.

Maret 1943

KENANGAN

untuk Karinah Moordjono

Kadang

Diantara jeriji itu-itu saja

Mereksmi memberi warna

Benda using dilupa

Ah! Tercebar rasanya diri

Membubung tinggi atas kini

Sejenak

Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang

Hancur hilang belum dipegang

Terhentak

Kembali di itu – itu saja

Jiwa bertanya : Dari buah

Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?

Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia

19 April 1943

            RUMAHKU

Rumahku dari unggun – timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala Nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu

            27 April 1943

            HAMPA*

                                                Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan – mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat – mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

*) Versi DCD

HAMPA*)

 

Sepi di luar, sepi menekan-mendesak

Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak

Sepi memagut

Tak suatu kuasa berani melepas diri

Segala menanti. Menanti-menanti.

Sepi.

Dan ini memnanti penghabisan mencekik

Memberat-mencengkung punda

Udara bertuba

Rontok-gugur segala. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.

Maret 1943

            KAWANKU DAN AKU*

 

Kami sama perjalanan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata …?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya arti.

*) Versi DCD

KAWANKU DAN AKU *

Kepada L.K. Bohang

Kamu jalan sama. Sudah larut.

Menembus kabut.

Hujan mengucur badan.

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.

Darahku mengental-pekat, aku tumpat-pedat.

Siapa berkata?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga.

Dia bertanya jam berapa!

Sudah larut sekali

Hingga hilang segala makna

Dan gerak tak punya arti

5 Juni 1943

*) Versi KT

BERCERAI

 

Kita musti bercerai

Sebelum kicau murai berderai.

Terlalu kita minta pada malam ini.

Benar belum puas serah menyerah

Darah manis berbusah-busah.

Terlalu kit aminta pada mala mini.

Kita musti bercerai

Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai

Dua benua bakal bentur membentur.

Merah kesumba jadi putih kapur.

Bagaimana?

Kalau IDA, mau turut mengabur

Tidak samudra caya tempatmu menghambur.

AKU

Melangkahkan aku bukan tua menggelegak

Cumbu-buatan satu biduan

Kujauhi ahli agam serta lembing-katanya.

Aku hidup

Dalam hidup di mata tampak bergerak

Dengan cacar melebar, barah bernnah

Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahga.

8Juni 1943

            CERITA

Kepada Darmawidjaja

 

Di pasar baru mereka

Lalu mengada-menggaya.

Mengikat sudah kesal

Tak tahu apa dibuat

Jiwa satu teman lucu

Dalam hidup, dalam tuju.

Gundul diselimuti tebal

Sama segala berbuat-buat.

Tapi kadang pula dapat

Ini renggang terus terapat.

9 Juni 1943

DI MESJID

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya

Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang

Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasa

Satu mernista lain gila.

29 Mei 1943

SELAMAT TINGGAL*

                                                perempuan…

Aku berkaca

ini muka penuh luka

Siapa punya?

Kudengar seru menderu

— dalam hatiku ? –

Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah….!

Segala menebal, segela mengental

Segala tak kukenal

Selamat tinggal…!!

*Versi NA

SElAMAT TINGGAL*

Aku berkaca

Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka

Siapa punya?

Kudengar seru menderu

— dalam hatiku ? –

Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah….!

Segala menebal, segela mengental

Segala tak kukenal

Selamat tinggal…!!

*) Versi KT

MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU*

 

Mulutmu mencubit di mulutku

Menggelegak benci sejenak itu

Mengapa merihmu tak kucekik pula

Ketika halus-perih kau meluka??

22 Juli 1943

*) Semula sajak ini tanpa judul

            DENDAM

 

Berdiri tersentak

Dari mimpi aku bengis dielak

Aku tegak

Bulan bersinar sedikit tak Nampak

Tangan meraba ke bawah bantalku

Keris berkarat kugenggam di hulu

Bulan bersinar sedikit tak Nampak

Aku mencari

Mendadak mati kuhendak berbekas di jari

Aku mencari

Diri tercerai dari hati

Bulan bersinar sedikit tak Nampak

13 Juli 1943

            MERDEKA

Aku mau bebas dari segala

Merdeka

Juga dari ida

Pernah

Aku percaya pada sumaph dan cinta

Menjadi sumsum dan darah

Seharian kukunyah – kumamah

Sedang meradang

Segala kurenggut

Ikut baying

Tapi kini

Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai

Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai

Mengapa kalau beranjak dari sini

Kucoba dalam mati.

14 Juli 1943

KITA GUNYAH LEMAH*

 

Kita guyah lemah

Sekali tetak tentu rebah

Segala erang dan jeritan

Kita pendam dalam keseharian

Mari tegak merentak

Diri – sekeliling kita bentak

Ini malam purnama akan menembus awan.

22 Juli 1943

*) semula sajak ini tanpa judul

JANGAN KITA DI SINI BERHENTI*

 

Jngan kita di sini berhenti

Tuaknya tua, sedikit pula

Sedang kita mau berkendi-kendi

Terus, terus dulu…!!

Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris

Pelayannya kita dilayani gadis-gadis

O, bibir merah, selokan mati pertama

O, hidup, kau masih ketawa??

24 Juli 1943

1943

Racun berada di reguk pertama

Membusuk rabu terasa di dada

Tenggelam darah dalam nanah

Malam kelam-membelam

Jangan kaku-lurus. Putus

Candu.

Tumbang

Tanganku menadah patah

Luluh

Terbenam

Hilang

Lumpuh.

Lahir

Tegak

Berderak

Rubuh

Runtuh

Mengaum. Mengguruh

Menentang. Menyerang

Kuning

Merah

Hitam

Kering

Tandas

Rata

Rata

Rata

Dunia

Kau

Aku

Terpaku.

1943

            ISA

 

                        Kepada nasrani sejati

Itu Tubuh

Mengucur darah

Mengucur darah

Rubuh

Patah

Mendampar tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa

bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh

Mengucur darah

Mengucur darah

12 November 1943

DOA

 

                                    kepada pemilik teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

Mengingat kau penuh seleuruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip liling di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

dipintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

1944

DALAM KERETA

Dalam kereta.

Hujan menebal jendela

Semarang, Solo…, makin dekat saja

Menangkup senja

Menguak purnama.

Caya menyayat mulut dan mata.

Menjengking kereta. Menjengking jiwa

Sayatan terus ke dada.

15 Maret 1944

 

SIAP-SEDIA

           

                                    Kepada angkatanku

Tanganmu nanti tegang kaku,

Jantungmu nanti berdebar berhenti,

Tubuhmu nanti mengeras batu,

Tapi kami sederap mengganti,

Terus memahat ini Tugu,

Matamu nanti kaca saja,

Mulutmu nanti habis bicara,

Darahmu nanti mengalir berhenti,

Tapi kami sederap mengganti,

Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Suaramu nanti diam ditekan,

Namamu nanti terbang hilang,

Langkahmu nanti enggan ke depan,

Tapi kami sederap mengganti,

Bersatu maju, ke Kemenangan.

Darah kami panas selama,

Badan kami tertempa baja,

Jiwa kami gagah perkasa,

Kami akan mewarna di angkasa,

Kami pembawa ke bahgia nyata.

Kawan, kawan

Menepis segar angin terasa

Lalu menderu menyapu awan

Terus menembus surya cahaya

Memancar pencar ke penjuru segala

Riang menggelombang sawah dan hutan

Segala menyala!

Segala menyala!

Kawan, kawan

Dan kita bangkit dengan kesedaran

Mencucuk menerang hingga belulang.

Kawan,kawan

Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!

1944

1945

           

            KEPADA PENYAIR BOHANG

Suaramu bertanda derita laut tenang…

Si Mati ini padaku masih berbicara

            Karena dia cinta, dimulutnya membusah

            Dan rindu yang mau memerahi segala

            Si Mati ini matanya terus bertanya!

Kelana tidak bersejarah

Berjalan ka uterus!

Sehingga tidak gelisah

Begitu berlumuran darah.

Dan duka juga menengadah

Melihat gayamu melangkah

Mendayu suara patah:

“”Aku saksi!”

Bohang, jauh di dasar  jiwamu

Bertampu suatu dunia;

Menguyup rintik satu-satu

Kaca dari dirimu pula….

            1945

            LAGU SIUL

 

Laron pada mati

Terbakar di sumbu lampu

Aku juga menemu

Ajal di cerlang caya matamu

Heran! Ini badan yang selama berjaga

Habis hangus di api matamu

‘ku layak tidak tahu saja

II

Aku kira :

Beginilah nanti jadinya

Kau Kawin, beranak dan berbahgia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padani

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggan tingal rangka

25 November 1945

MALAM

 

Mulai kelam

Belum buntu malam,

Kami masih berjaga

– Thermopylae? –

– jagal tidak kenal? –

Tapi nanti

Sebelum siang membentang

Kami sudah tenggelam

Hilang….

1945

1946

SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

di luar hitungan: Kamar begini,

3 x 4 m, terlalu sempi buat meniup nyawa!

1946

KEPADA PELUKIS AFFANDI

Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi

berani memasuki rumah sendiri, terdiri

di ambang penuh kupak,

adalah karena kesementaraan segala

yang mencap tiada benda, lagi pula terasa

mati kan datang merusak.

Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,

Kecemasan derita, kecemasan mimpi;

Berilah aku tempat di menara tinggi,

Dimana kau sendiri menginggi

Atas keramaian dunia dan cedera,

Lagak lahir dan kelancungan cipta,

Kau memaling dan memuja

Dan gelap-tertutup jadi terbuka!

1946

DENGAN MIRAT*

Kamar ini jadi sarang penghabisa

Di malam yang hilang batas

Aku dan dia hanya menjengkau

rakit hitam.

‘kan terdamparkah

atau terserah

pada putaran pitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekepankah kami atau

mengikut juga bayangan itu?

8 Januari 1946

*) Dalam DCD sajak ini berjudul “Orang berdua”

            CATETAN TH. 1946

Ada tangaku, sekali akan jemu terkulai,

Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,

Dan suaru yang kucintai ‘kan berhenti membelai.

Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.

Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang

Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu

Keduanya harus dicaret, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu

Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu;

Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat.

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

1946

BUAT ALBUM DS.S

 

Seorang gadis lagi menyanyi

Lau derita doi pantai yang jauh,

Kelasi bersendiri di laut biru, dari

Mereka yang sudah lupa bersuka.

Suaranya pergi terus meninggi,

Kami yang mendengar melihat senja

Mencium belai si gadis dari pipi

Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.

Kami rasa bahagia tentu kan tiba,

Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan

Dan di negeri kelabu yang berhiba

Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.

Lagu merdu! Apa mengertikah adikku kecil yang menangis mengiris hati

Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,

Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?

1946

NUCTURNO

            (fragment)

 

……………………………………………………….

Aku menyeru – tapi tidak satu suara

membalas, hanya mati di beku udara.

Dalam diriku terbujur keinginan,

Juga tidak bernyawa.

Mimpi yang penghabisan minta tenaga,

Patah kapak, sia-sia berdaya,

Dalam cekikan hatiku

Terdapat… menginyam abu dan debu

Dari tinggalannya suatu lagu.

Ingatan pada Ajal yang menghantu.

Dan demam yang nanti membikin kaku…

…..,…………………………………..

Pena dan penyair keduanya mati,

Berpalingan!

1946

CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattiradjawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu.

Beta Pattiradjawane

Kikisan laut

Berdarah laut.

Beta Pattiradjawane

Ketika lahir dibawakan

Datu dayung sampan.

Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pula

Beta api di pantai. Siapa mendekat

Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari

Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi

Hidup sampai tiba.

Mari menari!

Mari beria!

Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah

Beta bikin pala mati, gadis kaku

Beta kirim datu-datu!

Beta ada di mala, ada di siang

Irama ganggang dan api membakar pulau…

Beta Pattiradjawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma Satu

1946

KABAR DARI LAUT

Aku memang benar tolol ketika itu,

Mau pula membikin hubungan dengan kau;

Lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,

Berunjuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,

Bertambah lebar juga, mengeluar darah,

di bekas dulu kau cium nafsu dan garang;

lagi aku pun sangat lemah menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.

Pembatasan cma tambah menyatukan tenang.

Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,

Atau diantara mereka juga terdampar,

Burung mati pagi hari di sisi sangkar?

1946

            SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dai pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

1946

            CINTAKU JAUH DI PULAU

 

Cintaku jauh di pulau,

Gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,

Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

Angin membantu, laut terang, tapi terasa

Aku tidak kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tunjukkan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!

Perahu yang bersama’kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

Kalau ku mati, dia mati isen sendiri.

1946

            “BETINA”-NYA AFFANDI

Betina, jika di barat nanti

Menjadi gelap

Turut tenggelam sama sekali

Juga yang mengendap,

Di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.

Matamu menentang – sebentar dulu! –

Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,

Sekarang senja gosong, tinggal abu…

Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran Perempuan dan Laki.

1946

SITUASI

 

………………………………………………

Tidak perempuan! Yang hidup dalam diri

masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,

bersikeras mencari kehijauan laut lain,

dan berada lagi di kapal dulu bertemu,

berlepas kemudi pada angin,

mata terpikat pada bintang yang menanti.

Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan

Tai Po dan rahasia laut Ambon

Begitulah perempuan! Hanya suatu garis kabur bila dituliskan

Dengan pelarian kebuntuan senyuman

Cirebon 1946

DARI DIA

buat K.

Jangan salahkan aku, kau kudekap

Bukan karena setia, lalu pergi gemerencing ketawa!

Sebab perempuan sudah mengatasi

Keterharuan penghidupan yang ‘kan dibawakan padanya….

Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke kamar

Yang kutandai lampu merah, kaktus di jendela,

Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar

Rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu kuhela

Sementara biarkan ‘kuhidup yang sudah

dijalinkan dalam rahasia….

Cirebon 1946

            KEPADA KAWAN

 

Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,

Mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,

Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,

Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,

Layar merah terkibar hilang dalam kelam,

Kawan, mari kita putuskan kini disini:

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.

Tidak minta ampun atas segala dosa,

Tidak member pamit pada siapa saja!

Jadi

Mari kita putuskan sekali lagi:

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!

30 November 1946

PEMBERIAN TAHU

 

Bukan maksudku mau berbagi nasib,

Nasib adalah kesunyian masing-masing.

Kupilih kau dari yang banyak, tapi

Sebentar kita sudah larut dalam sepi lagi terjaring.

Aku pernah ingin benar padamu,

Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Kita berpeluk ciuman tidak jemu,

Rasa tak sanggup kau kulepaskan.

Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,

Aku memang tidak bisa lama bersama

Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!

1946

 

1947

 

            SORGA

buat Basuki Resobowo

 

seperti ibu + nenekku juga

tambah tujuh keteurunan yang lalu

aku minta pula supaya sampai di sorga

yang kata Masyumi + Muhammadiah bersungai susu

dan bertabur bidari beribu

tapi ada suara menimbang dalam diriku,

nekat mencemooh: bisakah kiranya

berkering dari kuyup laut biru,

gamitan dari tiap pelabuhan gimana?

Lagi siapa bisa mengatakan pasti

Di situ memang memang ada bidari

Suaruanya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?

Malang, 25 Februari 1947

SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO

 

Adakah jauh dari perjalanan ini?

Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih

Lantas bagaimana?

Pada daun gugur tanya sendiri,

Dan sama lagu melembut jadi melodi!

Apa tinggal jadi tanda mata?

Lihat pada betina tidak lagi menengadah

Atau bayu sayu, bintang menghilang!

Lagi di jalan ini berapa lama?

Boleh seabad…aduh sekerdip saja!

Perjalanan karna apa?

Tanya rumah asal yang bisu!

Keturunanku yang beku disitu!

Ada yang menggamit?

Ada yang kehilangan?

Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan

28 Februari 1947

DUA SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO

            I

Adakah jauh dari perjalanan ini?

Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih

Lantas bagaimana?

Pada daun gugur tanya sendiri,

Dan sama lagu melembut jadi melodi!

Apa tinggal jadi tanda mata?

Lihat pada betina tidak lagi menengadah

Atau bayu sayu, bintang menghilang!

Lagi di jalan ini berapa lama?

Boleh seabad…aduh sekerdip saja!

Perjalanan karna apa?

Tanya rumah asal yang bisu!

Keturunanku yang beku disitu!

Ada yang menggamit?

Ada yang kehilangan?

Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan

II

seperti ibu + nenekku juga

tambah tujuh keteurunan yang lalu

aku minta pula supaya sampai di sorga

yang kata Masyumi + Muhammadiah bersungai susu

dan bertabur bidari beribu

tapi ada suara menimbang dalam diriku,

nekat mencemooh: bisakah kiranya

berkering dari kuyup laut biru,

gamitan dari tiap pelabuhan gimana?

Lagi siapa bisa mengatakan pasti

Di situ memang memang ada bidari

Suaruanya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?

Malang, 28 Februari 1947

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berfikir; Bulan inikah yang membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

TUTI ARTIC

 

Antara bagagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;

Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.

Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

– ketika kita bersepeda kuantar kau pulang-

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti + Greet + Amoi..hati terlantar

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

1947

 

1948

 

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

 

Ayo Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,

Dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tgl 17 agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

1948

 

            SUDAH DULU LAGI*

 

Sudah dulu lagi terjadi begini

Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil

Jangan yanya mengapa jari cari tempat di sini

Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi

Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan

Yang akan terima pusaka; kedamaian antara reruntuhan menara

Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi

Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.

1948

INA MIA

 

Terbaring di rangkuman pagi

– hari baru jadi –

Ina Mia mencari

Hati impi

Teraba Ina Mia

Kulit harapan belaka

Ina Mia

Menarik napas panjang

Di tepi jurang

Napsu

Yang sudah lepas terhembus,

Antara daun-daunan mengelabu

Kabut cinta lama, cinta hilang

Terasa gentar sejenak

Ina Mia enekan tapak di hijau rumput,

Angin ikut

– dayang penghabisan yang mengip[as –

Berpaling

Kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.

            1948

            PRAJURIT JAGA MALAM*

 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian

Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada nmereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

1948

*) Versi KT

            PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian

Ada di sisiku selama menjaga daerah yang mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada nmereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

1948

 

*)Versi TMT

PUNCAK

              Pondering,pondering, on you dear…

Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa.

Tambah penjoal dalam diri – diputar atau memudar –

Terasa tertekan; kita berbaring bulat telanjang

Sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang.

Berada 2000 m. jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan,

Jadi terserah pada perbandingan dengan

Cemarabersih hijau, kali yang bersih hijau

Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu

Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di balik rupa.

Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang

Masih mengandung kabut, dank au lihat di sana, bahwa antara

Cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya.

1948

            BUAT GADIS RASID

 

Antara

Daun-daun hijau

Padang lapang dan terang

Anak-anak kecil tidak bersalah, baur bisa lari-larian

Burung-burung merdu

Hujan segar dan menyebar

Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”

Dan

Angin tajam kering, tanah semata gersang

Pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi

Kita terapit, cintaku

– mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak

Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang

Mengenali gurung, sonder ketemu, sonder mendarat

– The only possible non-stop flight

Tidak mendapat.

1948

SELAMA BULAN MENYINARI DADANYA*

Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam

Ranjang padang putih tiada batas

Sepilah panggilan-panggilan

Antara aku dan mereka yang bertolak

Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan

Di hadapan berpuluh lorong dang an menimbang:

Ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”

Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam

Ranjang padang putih tiada batas

Sepilah pangilan-panggilan

Antara aku dan mereka yang bertolak

Juga ibnuku yang berjanji

Tidak meninggalkan sekoci.

Tilahtlah jingga luntur:

Dan aku yang pilih

Tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur

Rumah tersembunyi dalam cemara rindnang yang tinggi

Pada jendela kaca tiada baying datang mengambang

Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan

Aku sudah lebih dulu kaku.

1948

1949

 

MIRAT MUDA, CHAIRIL ANWAR

                                    di pegunungan 1943

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah.

Menatap lama ke dalam pandangnya

Coba memisah matanya menantang

Yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada

Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah

Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?

Mirat raba urut Chairil, raba dada

Dan tahulah di akini, bisa katakana

Dan tunjukkan dengan pasti di mana

Menghidap jiwa, menghembus nyawa

Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;

Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas

Hiduplah Miratdan Chairil dengan deras,

Menuntut tinggi tidak setapak berjarak

Dengan mati.

1949

            BUAT NYONYA N.

Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu.,

Dan kini dia turun ke rendahan datar.

Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,

Burung-burung asing bermain keliling kapalnya

Dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.

Sepanjang jalan dia terkenang akna jadi Satu

Atas puncak tinggi sendiri

Berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian

Tapi hawa tinggl hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu

Jalan yang dulu tidak akan ida tempuh lagi,

Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah pandan ganjil

Turun terus. Sepi.

Datar-lebar-tidak bertepi.

AKU BERKISAR ANTARA MEREKA

Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji
juga
Sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta
mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah cerita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku
pula.

1949

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS*

 

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

*) Versi NA

 

DERAI-DERAI CEMARA*

 

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

                                                            1949

AKU BERADA KEMBALI*

 

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang
guruh.

1949

*) semula sajak ini tanpa judul

SAJAK – SAJAK SADURAN

 

 

            KEPADA PEMINTA-MINTA

 

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kamu bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kaumelangkah

Mengerang tiap kaumemandang

Menetes dari suasana kaudatang

Sembarang kaumerebah

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segela dosa.

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku.

Juni 1943

KRAWANG-BEKASI

 

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

                                                            1948

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler