Skip to Content

Apresiasi Buku Antologi Puisi Kaki Waktu(2011)

Foto Ayano Rosie

Apresiasi Buku Antologi Puisi Kaki Waktu
By: Ayano Rosie


Maaf yang sebesar besarnya ku hanturkan pada saudariku para “Kaki Waktu”. Tak banyak yang bisa kuberikan, karena tak banyak aksara yang bisa ku temukan setelah melahap karya kalian. Mungkin telah mati, atau aksaraku terkunci mati di lembar kisahmu.  Dan maaf tak henti mengusung di dada, bukan karena apa, tapi tiba tiba saja jejak “cemburu” membekas disana. “cemburu” karena telah memberikanku banyak makna dalam larik larik sajak, sedang aku hanya mampu membisu. Juga rasa “iri”, bukan ingin memusuhi tapi karena rasa bangga, karena “kaki waktu” mu mengangkat hatiku di ambang bahagia. Sungguh, tak banyak yang dapat ku katakan, selain rasa bersalah saat tanganku membilang lembar demi lembar pesan yang terurai, dan tak dapat menuliskannya kembali.

masih lembut dalam ingatanku, saat malu malu kaki melangkah memasuki jejeran gedung putih, tempat berkumpul wanita Makassar yang elok. Senyum ramah dari Dalasari Pera, Olla, Atkah, dan sejejeran perempuan “kaki waktu” membunuh rasa ragu yang sejek tadi menghentak hentak di hulu.

waktu itu, hari baru akan merenda senja. Gendang gendang bertalu, pui pui mengalun menarikan tarian suka cita. Pertanda pembukaan segara di gelar. Satu per satu dari 12 perempuan “kaki waktu” melangkah dengan senyum terindah yang pernah ada mengejakan mananya. Dan hingga buku ini berpindah ke tangan, ada rasa bersalah kepada mu, seperti halanya kanda Husni Hamisi, saat akan mengganti jerih payah mu dengan sekeping lembar rupiah, aku pun berlaku sama, tapi tangan halus dan senyum menjabat erat niatku, dan akhirnya aku hanya mampu berucap terima kasih. (maaf kok larinya jadi curhat yach?? Hehehehe…)

***
Perjalan Waktu

Membaca “Kaki Waktu” seolah membawa kita pada lorong lorong waktu, dari semula mata belajar ‘tuk mengeja matahari hingga akhirnya mata tak lagi mampu bersenda gurau dengan senja. Semua tertata rapi dalam larik larik puisinya. Lompatan lompatan waktu yang terhurai benar benar membuka mata akan betapa luas dan jeda hidup yang sempit.

Aku kini menikmati waktu
Setelah perhitungan itu membuatku kalap
Dan melibatkanku dalam pertengkaran
lalu meninggalkanku dalam limbung dan kaku.
(Hujan, Beranda Pertemuan, dan L :55)

Petikan puisi dari Dhida Alwi, sengaja penulis mulakan untuk melangkahi waktu waktu yang terbentang dalam “Kaki Waktu” dari petikan tersebut, penulis dapat mereka reka waktu yang disampaikan adalah saat setelah kelahiran, kemudian pergumulan hidup dan akhirnya memasrahkan diri pada Sang waktu (meninggal). Waktu yang begitu sempit jika di pergunakan dengan sebaik mungkin akan melahirkan sesuatu yang istimewa. Dan jika keistimewaan itu dipelihara akan membingkai kenangan di hati setelah pelaku tak lagi bergumul dengan waktu. Bukan hanya itu pergulatan waktu juga sangat indah di urai oleh Andi Tenriola :

Satu persatu kuabaikan kenangan
meskipun mereka meninggalkan
jejak pahit. Tak butuh ( )
aku ingin diam.

Sebab
sesungguhnya tak akan ada lagi ( )
untuk memaknai kenangan
(Tanpa (waktu) : 14)

Mereka reka waktu sesuai dengan kesempatan yang diberikan, sangat jelas digambarkan penyair dalam untaian katanya, //meskipun mereka meninggalkan //jejak pahit. Tak butuh ( )//aku ingin diam.// dari bait ini penyair seolah hendak menerangkan bahwa waktu akan terus berjalan dan kita (manusia) cukup memberikan kesempatan untuk memberi dan memberi dan tak mengurusi yang bukan hal ikhwal urusan kita. //sebab// sesungguhnya  tak akan ada lagi( )//untuk memaknai kenangan// setelah waktu itu beranjak, laku hanya tinggal laku. Tak bisa lagi di kembalikan. Yang ada hanya kenangan bagi orang yang ditinggalkan.  Berbicara soal waktu, ke-12 penyair ini memang sangat piawai menerjemahkannya dalam kata demi kata.

Dari pergumulan waktu itu, mereka (12 perempuan “Kaki waktu”) mencoba mengurai hal hal yang sangat sederhana dari pergulatan rindu, orang tua, kekasih (lelaki), kegelisahan, pernikahan, dan terkaan terkaan mereka kepeda kerinduan kepadaNya.

Pergulatan Rindu

Dalam perjalanan hidup seseorang, cinta tak akan lepas dari yang namanya rindu. Karena rindu senyawa dengan cinta. Jika pernah mencintai berarti dengan otomatis memberikan ruang rindu dalam hati. Rindu di sini yang di maksud penulis bukan hanya kepada kekasih (pacar) tetapi kerinduan yang menyeluruh. Dan 12 perempuan kaki waktu sangat elegan menyampaikan rindu mereka lewat kata kata nan indah. Rindu pada kampung halaman, rindu kasih orang tua, rindu pada Sang pemilik jagad, sangat inspiratif dan beragam mereka gambarkan. Satu persatu rasa rindu mereka paparkan, sangat beragam tentunya. Juga sangat apik dalam rangkai kalimat perkalimatnya. Mari kita mulakan rindu mereka dalam syair yang berusaha di gambarkan oleh Madia Gadaffi berikut :

tapi bagaimana jika aku
tidak pulang?

apakah masih mau menuggu
hingga sudut petang hilang
di dakat Tugu Layar
Tanjung Bayang
(Tugu Layar Tanjung Bayang : 90)

Secara unik Madia Gadaffi mengungkapakan rasa rindunya pada kampung halaman, dengan mempergunakan kaliamat tanya yang di ajukan ke diri sendiri, bentuk rasa cinta dan rindu yang begitu menggebu hingga harus menanyakan ketakutannya pada diri. Penyair secara apik menggunakan logika terbalik untuk meyakinkan diri tentang Tanjung Bayang (Makassar) atau bisa di analogikan sebagai orang orang yang sedang menunggunya, tugu layar disini bisa saja dianggap sebagai dermaga tempat penantian, namun menurut penulis bukan sekedar tugu layar tapi tentang kecintaan penyair akan daerahnya, yang saat ini sedang melakonkan cita cita yang ia pancangkan dulu. Atau pada klimat // apakah masih mau menunggu// //hingga sudut petang hilang//, seat jelas penyair menantikan rindunya segera kan berpaut, hingga ia harus mengeja kebelakang tentang kenangan saat akan pergi dulu. Madia Gadaffi sangat elegan menyatakan rindunya lewat kalimat kaliamt logika terbalik yang jika direka mungkin akan berujar seprti ini, “apakah kau masih ingin menungguku, meski aku masih akan sangat lama di sana, dan apakah masih sama penantianmu sepertu kokohnya tugu layar di Tanjung Bayang?”

Rasa rindu juga sengat eksotis dipaparkan oleh Reni Purnama dalam “ Telegram Rindu, 1 dan 2 : 128”  dimana dalam telegram tersebut seolah ada dialog antara anak dan ibu.

Kepada anakku Samijun, segeralah pulang. Mata emak
telah rabun. Tak mampu lagi melihat rindu.

Kepada emak tercinta di kamuong. Minggu depan
Samijun pulang, membawa sepasang kacamata. Kita
membaca rindu bersama.

Reni mencoba tuk mereka reka gerangan kerinduan ibunda tercinta dan kerinduannya sendiri, rindu yang dimaksud pada kalimat cantik tersebut bisa kita analogikan sebagai “kabar berita” tentang anak yang tengah jauh, dan pesan rindu yang terurai dari sang ibu ternyata sama halnya dengan yang di rasakan oleh anaknya yang ingin segera bersua dan menceritakan segala kehidupan sang anak di tempatnya yang jauh. Pesan rindu yang indah jika di tuturkan dalam kalimat yang elok tak hanya akan menghasilkan dayuan dayuan yang cengeng tapi juga dengan kalimat yang tegas pasti hasilnya akan seelok kata kata para perempuan kaki waktu ini. Dan pesan rindu masih banyak yang tergurai dalam bait bait cantik akan lebih apik kita temui dalam karya tersebut.


Lelaki (Kekasih)

Selain berujar akan rindu, “kaki waktu” juga memilki khas yang unik mengurai cinta dan laki laki. Seperti halnya siang tak akan dikatakan siang jika tak berseberangan dengan malam, maka perempuan juga tak akan bermakna wanita jika tak disepasangkan oleh laki laki. dan tentunya tak akan habis kata tuk berbincang tentang laki laki, sebagaimana laki laki tak akan habis imajinya tuk mereka reka tentang wanita. Mungkin inilah hukum alam, laki laki akan selalu berdampingan dengan seorang wanita. Dan wanita membutuhkan laki laki sebagai penopang langkahnya. Mengurutkan cinta dan laki laki memang tak akan pernah lepas dari yang namanya rasa, entah itu sakit, benci, rindu ataupun kebimbangan.

Za,
Kau mencoba menerka nerka persaanku sendiri.
Mencari cari jejakmu—tetapi hatiku seperti pasir
pantai. Aku tak menemukannya. Aku mengingatmu.
Mengingat wajahmu sebelum tiba tiba bertukar  wajah  
lain. Dia hadir begitu saja di suatu senja berhujan. Dia
membawa perban, mengobati luka yang disebabkan
olehmu. Aku pernah membencinya, sangat
membencinya, karena menyelamatkanku.
(Masih Tentang Za : 37)

Kata akan selau indah jika diuraikan dengan segenap perasaan, meski itu hati sangat terluka, sama halnya saat penyair (Darmawati Majid) meguraikan rasa cintanya yang kandas, dengan indah ia ungkapkan dalam sebntuk diari pendek. Dengan lembut penyair mengisahkan hatinya melalui “Za” (kekasih), saat ia meninggalakan dirinya, yang saat itu sangat rapuh (hatiku seperti pasir pantai) bisa kita lihat pasir pantai jika disapu gelombang akan turut dan menghilangkan lobang yang di buat oleh anak anak di pantai. Hingga datang olehnya seorang kekasih (laki laki) yang lain yang akhirnya mampu memberiakan penawar dari rasa sakit yang ditinggalkan oleh kekasih sebelumnya. Perasaan penyair di sini benar benar bergejolak (bimbang), antara kesakitannya dan tawaran cinta tuk membungkus luka. Seperti itulah lelaki, di sisi lain akan sangat di benci teteapi di saat bersamaan dia pula lah yang akan diharapkan tuk menghapus rasa benci itu.

Jika Darmawati menguraikan lelaki melalui curhatnya pada Za, maka akan lain yang di kisahkan oleh Rahiwati Sanusi, yang menggambarkan laki laki dalam hujan. Hujan yang datang membawa kesejukan, hujan yang berkisah tentang romantisme air dan rinai, juga hujan yang mengembarakan rindu pada suatu pagi. Serta pertemuan pertemuan rahasia saat malam tiba. Dengan indah ia gambarkan dalam “hujan” dimana hujan disini bukan sekedar hujan dalam arti sesungguhnya tapi hujan kita bisa anggapkan sebagai laki laki (kekasih). Seperti pada penggalan larik berikut :

Malam ini ada teh, kubuat khusus untukmu
semoga kau hapus kenagan nuansa januari
tinggalah ia dalam memorabilia di ujung senja
hujan januari sungguh romantis
sebab itu aku menginginkanmu
mencicipi manisnya teh ini dari bibirku
(Hujan Januari, Cicipi Manisnya Teh dari Bibirku : 121)

Banyak hal yang dapat menginspirasi kita tuk mengurai lawan jenis, dari mulai hujan, angin, pesan atau banyak lain. Seprti itupulalah yang tergambar dalam “kaki waktu” begitu bnayak kata yang mereka uraikan dalam mengungkap perasaannya tentang laki laki. Karena hidup yak akan indah bagi seorang wanita tanpa sosok yang bernama laki laki. Sangat romantik juga kisah kisah mereka tentang laki laki, tapi juga sangat angkuh karena tak diuraikan dalam kalimat sendu yang menguras airmata seperti pada umumnya wanita yang hanya bisa mengurai lelaki lewat  airmata.

Gender dan Sosial

Selain cinta, yang paling saring dibicarakan dari perempuan adalah masalah kesetaraan gender dan masalah sosial, bagaimana eksistensi wanita yang selama ini marak di perbincangkan, masikah wanita dijajah pria ataukah perjuangan R.A. Kartini telah benar benar mengakar pada hati dan jiwa mereka?

Tak bisa dipungkiri memang bahwa laki laki masih mendominasi dalam ranah ranah sosial, hal ini di karenakan di dalam Al Qur’an telah jelas di katakan bahwa yang menjadi pemimpin itu adalah seorang laki laki. Tapi tak lantas hal itu menomor duakan yang namanya perempuan, bahkan baginda Rasulullah SAW. sendiri sangat menghargai wanita dan mengangkat derajat mereka layaknya laki laki. Dan selain itu sejarah banyak mengukir tentang beberapa wanita wanita tangguh yang memperjuangkan harkat dan martabat kaummnya. Bermulakan dari istri tercinta baginda Rasulullah Khadijah dan Aisyah, dimana Aisyah adalah salah satu perempuan tercerdas yang pernah ada sepanjang sejarah. Selain itu perjuangan sufi wanita Rabiatul Al Adawiyah.

Di belahan dunia sana masih banyak kita temui figure wanita yang tak kalah dari potensi seorang laki laki, sebut saja Marie Curie, seorang ahli fisika dan kimia yang berhasil menemukan polonium, pionis di budang radioaktif sekaligus orang pertama yang berhasil mendapatkan dua hadiah nobel untuk dua bidang yang berbeda dan professor wanita pertama di University of Paris.

Dari beberapa contoh di atas jelaslah bahwa perempuan menenpati jatah yang sama dengan laki laki di ranah sosial, berbeda jika porsi itu dibawa ke ranah domestik maka kodrat wanita adalah sebagai ma’mum dari laki laki. Dan penegasan yang paling kokoh yang di utarakan oleh Meike Lusye Karolus bahwa wanita bukanlah penduduk kelas dua dunia. Dalam sapanya ia berkata.

Hentikan panggilan manis perempuan
jika aku tak boleh jadi tuan
tak mau aku jadi budak
biarpun dibedaki rupa rupa boneka
(Nama Kami Perempuan : 108)

Dari pernyataan Meike di atas sangat jelas ia menolak perlakuan lawan jenis terhadap sosok perempuan jika tak salah (mudah mudahan benar) saya beranggapan pernyataan itu dapat di artikan seperti ini : “jangan hanya melihat kami sebagai perempuan yang lemah, kami juga mampu seperti saudara, kami tak ingin hanya berlindung di ketiak laki laki dan tak usah menganggap kami hanya sebagai boneka pajangan.” Kira kira seperti itu yang bisa saya ambil kesimpulannya, tapi bisa juga di artikan //hentikan panggilan manis perempuan// //jika aku tak boleh jadi tuan//, tak usah memanggil perempuan dengan seruan yang paling manis jika hanya untuk di pajang dan tak bisa bersaing secara sehat. //tak mau aku jadi budak// //biarpun dibedaki rupa rupa boneka//. Perempuan bukan lah boneka yang di pajang sebagai penghias dari mata laki laki. Dalam Al Qur’an laki laki dan perempuan tak diberi sekat dalam menjelajah di muka bumi. sedang dalam aplikasinya saat ini masih banyak dari kaum laki laki hanya meganggap wanita itu semacam DKR (Dapur, Kamar, Rumah). Ini yang mesti di sepahami bersama.

Selain berbincang tentang emansipasi wanita, kaki waktu juga sangat peduli dengan kondisi lingkungan disekitar mereka. Bagaimana kegelisahan mereka terhadap kondisi social kita yang semakin rakus meraup yang bukan lahan sendiri. Sealu saja merambah lahan lahan orang yang papah atau seribu macam alasan tuk menyuburkan perut penguasa. Seperti kegelisahan Handayani Utami dalam karyanya yang berjudul “Nurani” secara nyata ia paparkan tentang kesedihanannya terhadap keangkuhan yang hanya mampu ia tangisi karena tak ada lagi semacam nurani yang berderet di hati para penguasa. Atau teguran keras Eka Fitriani pada Santapan Serigala di Trotoar : 64

Auuung! Auuung! Auuung!
Keberingasannya kian menjadi jadi
Sepenggal daging yang ditemui
Dilahab tanpa basmalah
Lendir busuk berceceran dimana mana
Seolah tiada pensucian
Segalannya benar-benar telah berwujud setan

Teguran keras Eka membuktikan bahwa kondisi sosial kita sudah sangat memprihatinkan, tak berlahan pun tetap “disikat”, ampun benar negeri ini, tak berakal sedang nurani di kuburkan dalaim mulut serigala. Moral benar benar telah di pertaruhkan hingga untuk menguasai Tuhan di simpan pada labirin hati yang di tutup kelambu gelap. Na’uzubillah, janji jani di kibarkan tanpa paduli ditunaikan atau tidak, yang miskin di gusur serupa tak ada guna, yang kaya seantiasa memasang jerat jerat keserakahan penguasa.

Adat dan Penikahan

Tak dapat dipungkiri pernikahan adalah yang paling indah yang menjadi impian setiap wanita, namun tak semua yang di harapkan sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Sebut saja di masyarakat Bugis - Makassar yang memiliki tradisi tersendiri dalam hal pernikahan, mulai dari mahar adat keturunan dan sebgainya, hal ini juga yang menjadi momok bagi perempuan kaki waktu menyoal pernikahan yang terbelit oleh adat, yang mereka inginkan adalah kesakralan dari sebuah cinta yang suci. Selayaknya sepasang kekasih yang mengimpikan adanya ikatan yang suci, maka tak dapat pula di lepas tangankan yang namanya adat kebudayaan, yang bagi masyarakat Bugis adalah sesuatu yang wajib di laksanakan, adat adalah akar dari sebuah jati diri. Seperti halnya yang di utarakan oleh Dalasari Pera dalam puisinya berikut ini :

Melumat waktu bersama darah adalah nikmat
Bukan sejenak sahaja lamat lamat bibir merapal doa
Bila kutuliskan di atas lembaran
maka ribuanpun tak akan sanggup
menampung tinta dan kata yang berebutan makna
Karena doaku adalah pelaminan kita
dan pelaminan kita adalah doa
(Rupah dan Pernikahan : 28)

Dalasari mencoba menerjemahkan pernikahan yang ia harapkan tanpa harus termakan oleh adat yang melangit, adat yang hanya akan melelitkan nelangsa bagi yang tak sanggup memenuhi permintaan sang mempelai wanita. Mencoba menyederhanakan sebuah mantra pernikahan tanpa harus menguras rupiah yang melangit, dan akhirnya keindahan pernikahan yang diinginkan adalah tersematnya doa yang makbul (Aqad nikah) yang merupakan mantara atau doa paling sacral dalam adat pernikahan itu. Adat pernikahan yang juga coba di bisikan oleh Mariati Atkah adalah yang berkaitan dengan ritual ritual keselamatan dalam proses menjelang pernikahan semisal adat agar tak terkendala hujan, atau yang berkaitan dengan makanan. Menurut penulis adat semacam ini sangat beragam di kemajemukan budaya kita bangasa Indonesia, namun lebih spesifik yang menjadi pembahasan adalah tradisi dalam adat Bugis Makassar yakni tradisi mamppanini bosi: Memindahkan Hujan, tradisi  yang kerap kali dilakukan saat akan menggelar sebuah hajatan, utamanya pernikahan agar selama proses hingga acara berlangsung tak di halangi oleh hujan, yang sebenarnya tak aka nada manusiapun yang sanggup melawan hukum alam namuninilah adat kebiasaan kita. Maka serangkaian upacara dilakukan drengan berbagai macam mantra dan syarat.

…sehampir pesta dan sehampar upacara tak mau
menunggu. Mesti gelung mendung beranak pinak di
ceruk langit. Sepanggang batu asah ungsikan hujan ke
selatan. Tiga tangkai cabai berbaris tujuh diliuk api dari
masa lalu. Mantra bersambut Nabi Khaidir.
Memasung gerai air di gelak petir.    
(Mengungsikan Hujan : 105)

Tata cara tradisi Mappanini Bosi (meminunda hujan) dalam adat bugis adalah salah satu adat kebiasaan yang dilakukan saat akan menggelar sebuah hajatan terutama dalam pernikahan. Salah satu yang diutarakan/ digambarkan Mariati hanyalah sebagaian tata cara adat kebiasaan yang ada dalam kemajemukan suku kita. Dan masih banyak lagi adat kebiasaan masyarakat kita yang tersebar di penjuru Nusantara berkaiatan dengan adat pernikahan. Dan ini adalah warisan budaya yang meski kita jaga kelestariannya.

Kaki Waktu

Sesungguhnya masih sangat banyak yang ingin penulis tuturkan, tapi karena keterbatasan ilmu hingga hanya ini yang mampu terucap, sedang sehimpun puisi Kaki Waktu masih banyak menyimpan misteri yang sangat indah tuk dimaknai, bahkan cara mereka merindukan Tuhan sangat beragam dan tidak cengeng layaknya permohonan doa yang berlebih. Mereka memuja dan mengingat Tuhan dengan cara yang sederhana tapi sakral.

Dan akhirnya, kita tiba pada perjalanan Kaki waktu, Mariati Atkah telah menjelaskan siapa mereka, bagaimana pergulatan mereka hingga akhirnya menyatu, juga Reni Purnama yang menceritakan harapan mereka dalam perjalanannya Kelak. Meminjam kata bijak dari Aan Mansyur tentang “sejengkal Rawa” dalam langkah “kaki Waktu” menyatakan bahwa:

“kumpulan puisi ini, seperti ‘sejengkal rawa’ berisi puisi yang ‘berikan-ikan jenisnya’. Banyak persoalan yang diceritakan seperti ‘kangkung seakar-akarnya’.”

Dan menurut saya, kumpulan puisi ini memang seperti ‘sejengkal rawa’ yang berisi karakter masing masing penulisnya layaknya ‘berikan-ikan jenisnya’ dengan pengungkapan yang beragam dengan karya puisi seperti ‘kangkung seakar-akarnya’ yang meski memiliki karakter penulisan yang berbeda namun terikat pada niat yang tulus untuk membangun sastra terutama dalam menuangkan imajinasi sebagai aktualisasi dari sastra itu sendiri.

Akhir kata dari penulis hanya berharap kelak dalam perjalananmu (Kaki Waktu) tak terhenti sampai di sini melainkan tetap melangkah laksana kaki kaki waktu yang akan terus berjalan menyusuri lorong lorong waktu dari yang gelap perlahan menuju terang dan akhirnya bersinar laksana matahari pada waktu yang telah ditetapkan.



Strowbery Makassar,20110818

Komentar

Foto Darmawati majid

Kaki Waktu

Terima kasih Mbak Ayano Rosie yang sudah mengulas Kaki Waktu dengan bernas.Kami mohon doa semoga Kaki Waktu segera disusul oleh buku lainnya dari komunis Lego-Lego.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler