Skip to Content

Kebermaknaan Perempuan dalam Maskumambang buat Ibu

Foto Irwan Wijaya

 

Kebermaknaan Perempuan dalam Maskumambang Buat Ibu

 

                                    Judul               : (Kumpulan Puisi Dua Bahasa:                                                             Maskumambang Buat Ibu)

                                    Penulis             : Nenden Lilis A.

                                    Cetakan           : Oktober, 2016

                                    Penerbit           : Rumput Merah, Bandung

                                    Tebal               : 117 halaman

                                    ISBN               : 978-602-60309-0-0

 

            Tahun baru, harapan dan impian senantiasa baru. Begitupun momentum pergantian tahun acapkali dijadikan momentum refleksi setahun lalu untuk perbaikan di masa mendatang. Inilah yang menjadi refleksi seorang penyair perempuan ulung, Nenden Lilis A. yang kembali meramaikan jagat perpuisian Indonesia dengan buku kumpulan puisi dua bahasanya, Maskumambang buat Ibu (Rumput Merah, 2016). Buku yang diterbitkan Oktober 2016 ini tersusun atas 117 halaman dengan 63 puisi (bahasa Indonesia dan Inggris).  Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul  Maskumambang für Mutterr

            Kumpulan puisi ini merupakan salah satu bentuk kontribusi penyair untuk kaum perempuan, khususnya ibu sebagai “rahim” kehidupan yang senantiasa dihormati dan disanjung.  Tampaknya, penyair kelahiran  Garut 1971 ini kembali menyuguhkan estetika segar dalam menyoroti persoalan ibu yang universal dalam pemikiran perempuan. Dari segi judulnya, penekanan itu kian tampak dengan penggunaan diksi “Maskumambang” yang identik dengan bentuk komposisi macapat (puisi yang dinyanyikan dalam tembang Jawa) yang difungsikan untuk melukiskan kisah sedih atau  keprihatinan yang mendalam (KBBI, 2016).

            Refleksi itu kian hangat ketika dipadankan kepada seseorang yang spesifik, yakni “buat Ibu”. Maskumambang buat Ibu menjadi semacam pengingat dari penyair terhadap kondisi kaum ibu yang seringkali mengalami ketidakadilan, kekerasan, ataupun diskriminasi lainnya.  Dalam hal ini, pemaknaan ibu tidak hanya mengacu pada konteks personal semata, tetapi tampaknya ada upaya penggalian yang mendalam.

            Ibu dalam pemikiran penyair mencapai kebermaknaan sebagai asosiasi dari tanah air, tempat berdukacita ataupun bersukacita, kecintaan pada alam semesta. Hal ini kita temui dalam beberapa puisinya, antara lain, “Pada Suatu Hari Teduh (One Shady Peaceful Day)”, “Pengungsi (Refugee)”, “Penawar Mantra (Neutraliser of Spell)”, “Cisarua (Cisarua)”, Kisah Sebatang Pohon (Story of a Tree)”, “Epilog (Epilogue)”, “Sungai Batu (River of Stone)”, “Banjarmasin, Suatu Hari (Banjarmasin One Day)”.  Kecintaan itu diramu dengan metafora alam seperti dalam penggalan bait pertama, sajak “Cisarua” berikut.

                        milikmu hanya sebuah kesegaran

                        bagai daun-daun kemuning

                        dan pucuk-pucuk teh

                        ringan bercandan dengan angin

                        ....(Lilis, 2016, hlm.)

 

            Persoalan tersebut juga diwarnai upaya penyair membangun makna “tanah air” dalam pengalaman empirik pada perjalanan dan pengembaraannya. Hal ini akan kita nikmati dalam beberapa sajaknya seperti sajak “Que Sera-Sera”, “Menuju Negeri Dingin (Heading for Cold Country)”, “Di Jembatan Mirabeuau (On Mirabeuau Bridge)”, “Di Negeri Pohon-pohon kastanya (In the Country of Kastanya Trees)”, “Alegori Penempuhan (Allegory of Travelling)”. Melalui sajaknya, penyair berupaya menapaki dunia yang luas. Hal ini tampak pada bait pertama sajak “Alegori Penempuhan”, kalau sudah pergi, pantang kembali/ kau dan aku berjalan dengan pedati, ada yang kita keja di ujung bumi/ lalu dipertegas dengan bait ketiga, tertinggal memang menyakitkan/ tapi, mari tanggalkan rasa nyeri itu/ meski terus menipuki seperti keletak batu pada gerigi//.

            Sejumlah puisi yang terhimpun dalam kumpulan puisi ini memang ada yang ditulis sekitar 1999 hingga 2005-an. Namun, istimewanya, puisi-puisi itu kini turut ditopang ke dalam terjemahan bahasa Inggris. Tampaknya, hal ini dilakukan sebagai upaya penyair agar karya-karyanya dapat lebih mendunia seperti halnya teman seangkatannya seperti Soni Farid ataupun Agus R. Sarjono.

            Penyair perempuan yang menerima anugerah Pusat Bahasa Award 2005 ini lagi-lagi mampu menorehkan prestasi dengan sajak-sajak yang penuh makna dalam buku kumpulan puisi ini. Setidaknya, kebremaknaan “Ibu” dalam arti tujuan hidup manusia yang universal menjadi penggungah nasionalisme, kepekaan manusia atas lingkungan sekitar dan keluarganya. Pemaknaan ibu sebagai ruang bernaung, berkeluh kesah, dan berlindung itu menjadi medan makna beberapa puisi yang mengindahkan rumah.

            Gagasan ini dapat kita temui dalam sajak “Rumah Kenangan (House of Memory)”. Dalam sajak ini, penyair memadukan unsur alam dan kenangan menjadi segar dan hidup. Selain itu, persoalan yang sama juga tampak pada sajak “Sajak Rumah 1”, “Sajak Rumah 2”, “Kepulangan (Returning)”.  Puncaknya, pemaknaan Ibu kian mendalam seperti tampak pada dua larik awal bait pertama sajak “Pulang (Going Home)”,  kau yang pulang adalah kau yang mengerti kerinduanku/ namun bagaimanakah aku pulang...//.

            Secara keseluruhan, buku puisi ini dapat mengugah kembali kesadaran dan kepekaan manusia atas tanah air, pengalaman, dan perjalanannya menapaki kehidupan yang luas. Meskipun dari segi teknisnya, buku ini belum dibuat tematik bagian-bagian babnya, tidak mengurangi penyampaian makna “ibu” yang esensial. Kebermaknaan itu kembali penyair suarakan dalam sajak-sajak pilihan yang dialihbahasakan untuk pembaca sastra Indonesia dan dunia.

            Oleh karena itu, puisi ini menjadi pengisi dahaga kesusastraan Indonesia, terutama dari tema-tema lokal yang mengajarkan kesederhanaan dan kebermanfaatan perjalanan sebagai bahan renungan untuk kembali pada pangkuan “ibu” sebagai tanah air dan rasa cinta. Seperti yang dikatakan penyair dalam sajak “Maskumambang Buat Ibu (Maskumambang for Mother)”, “...tetapi, bahkan tanah yang diinjak, tak pernah mendengar hempasan keluh, (ibu, menyadari semua itu hatiku bagai diparut darahnya tak surut-surut)”

 

Irwan Wijaya 1002593. lahir di Bandung, 14 Agustus 1991. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler