Skip to Content

Pentas Teater WN : PARADE MONOLOG – HASIL DIALOG

Foto Uki Bayu Sedjati
files/user/5899/WN-Sito-Paing.jpg
WN-Sito-Paing.jpg

Wanita bukanlah akronim dari “wani ditata” (berani ditertibkan). Apalagi jika dibandingkan dengan sebutan perempuan = per-empu-an yang menunjukkan kecenderungan besar menokohkan jenis kelamin ini sebagai “Empu” sepadan dengan ahli.

            Maka jadi penasaran ketika ada kelompok Teater dari Yogya yang menabalkan nama Wanita Ngunandika = wanita berbicara menghadirkan pementasan. Apa ada persoalan? Tentu tidak. Sebab, di era keterbukaan kurun waktu ini mempersoalkan jender sudah kadaluwarsa, dan karenanya “berbicara” bisa dijelajahi pemaknaannya, misalnya dinyatakan sebagai keberanian untuk bersuara, untuk tampil mengemuka, di manapun gagah bak singa betina di mimbar, dan sebagainya. Yang jelas pembicaraannya dapat meluas tentang berbagai aspek dan masalah kehidupan bermasyarakat, baik skala besar maupun skala kecil. Termasuk urusan keluarga, ketetanggaan, pribadi. Dari yang biasa-biasa saja, yang khusus, juga kasus-kasus.

            Satu di antaranya tentang “Celana Dalam.” Begitu pribadi, bahkan berselimut “rahasia umum” tapi dijadikan judul naskah cerita. Anda pernah membacanya? Jika Anda biasa mendengarkan (baca: nguping) “bisik-bisik tetangga,” termasuk kategori gosip = digosok makin sip atau pun isyu = isinya syuur, tentu tak perlu terkejut.

            Labibah Zain yang menulis cerita “Celana Dalam” itu. Pemain drama yang pernah bergabung di Teater EsKa, Sanggar Salahuddin, Teater Jiwa, dan sekarang dosen UIN Sunan Kalijaga, ini juga menyumbangkan 4 naskah lainnya: “Sepotong Wajah,””Ketika Awan Menangkap Rembulan,””Aina,” dan “”Perempuan Kedua,” untuk dipentaskan oleh Teater Wanita Ngunandika = WN, di Graha Bhakti Budaya, TIM, 12 Januari 2016..

 

Selingkuh

 

            Boleh jadi ketika naskah dibaca suasana dramatiknya berbeda dengan saat diperagakan. Itu yang mendorong Teater WN mengolah-garap naskah ke atas panggung. Kasus yang diangkat berbeda, warnanya ragam. Selain 5 naskah di atas, juga naskah “Ibu Doa Yang hilang” karya Bagas DB, dan “Tayu” tulisan Gati Andoko. Jadi, 7 naskah dimainkan oleh 7 wanita. Jika dilaksanakan bersama, dalam satu kanvas – wong senirupa menyebutnya: kolase - karena itu Teater WN mengangkat tema: Kolase dan 7 Jendela Kaca. Kita dipersilakan bercermin.

            Mengejutkan. Boleh disebut demikian ketika tentang selingkuh disorot oleh wanita. Intinya: jika pria berselingkuh dianggap biasa – ini kaitannya dengan asumsi bahwa dunia dikuasai lelaki - sementara jika wanita selingkuh dunia guncang terpana, oleh penulis dibalikkan. Kesetaraan jender menjadikan perempuan sama “hak”nya dengan pria, dan karenanya jika wanita berselingkuh harus dianggap biasa. Lebih tandas lagi, jika pria suka berpoligami, wanita pun bisa poliandri. Yang umumnya diawali dengan kenalan, pandangan mata, saling taksir-menaksir, menyinta antara 1 pria dengan dua wanita, hadirkan cemburu, balas dendam maka 1 wanita bercinta dengan 2 pria, kenapa tidak?

            Begitu isi cerita “Celana Dalam” yang ditampilkan secara monolog oleh  Sita Ratu dan dilanjutkan Rina Chaeri mainkan “Sepotong Wajah.” Sedangkan pentas “Ketika Awan Menangkap Rembulan” cerita tentang nasib TKW – yang setelah mengirimkan gaji untuk mensejahterakan orangtuanya, diruda-peksa oleh majikan dan dipulangkan ke tanah kelahiran di dalam kotak jenazah – dimainkan oleh Seneng Utami, yang pernah menjadi pekerja di Singapura dan Hongkong. Mengundang simpati, pasti. Pun penampilan Arofah mementaskan “Ibu Doa Yang Hilang.”

            Memang terasa ada kritik– lebih tepat disebut protes - dalam penceritaan. Penulids-penulis menggaris-bawahi pada nasib wanita di tengah maskulinitas. Kristal-kristal yang digali dari dalam kehidupan sehari-hari.. Jika setuju mengangguk, jika tak setuju menggeleng. Tapi, sudah jamannya protes tak hanya digambarkan dengan gerakan leher dan kepala, melainkan mesti, harus, wajib dinyatakan – disuarakan bahkan pun secara gamblang, blak-blak-an.

            Tentu ada beda antara menulis-baca naskah dengan mengolah-garapnya menjadi pertunjukkan. Untuk mampu menampilkan monolog – pemain tampil solo/sendiri - dibutuhkan persiapan jiwa raga setiap pemain melalui latihan-latihan dengan arahan sutradara. Karena ada 7 pemain maka dilakukan sesi membedah naskah, dialog dari hati ke hati, menghafalkan teks, saling membantu agar terciptanya suasana pengadeganan, juga didukung oleh ilustrasi musik. Untuk pentas kali ini Teater WN berkolaborasi          dengan 10 pemain musik, yang menyajikan nuansa keroncong – lengkap dengan senggak-annya.

 

            Bukan “Stand-Up”

 

            Menyimak dunia wanita yang sebagian realitasnya dalam lingkaran kekerasan memang menggugah seniman-seniwati untuk ikut mempersoalkan dan menyampaikannya ke ranah publik.           Lukisan kehidupan nyata dieksplorasi/jelajahi dan diwacanakan dengan kosa kata lugas. Dan, agar dapat diterima dengan renyah oleh penonton maka di sana-sini dilontarkan ucapan, , sindir-ejekan, juga pisuhan/makian, yang memancing geli – kadang mengundang tawa.

            Tapi, pentas parade monolog ini bukan “stand-up”(disingkat: SU) lho. Bedanya terletak pada penyajian tahapan dramatik naskah yang dimainkan. Pada penampilan SU – yang ternyata juga diawali dengan membuat naskah - minimal “pointers” - oleh pemain, disertai langkah-langkah untuk menyedot perhatian penonton, untuk kemudian diselingi dan ditutup dengan “punch-line” yang disengaja memancing tawa.

Sedangkan pada penampilan monolog – sebagian pihak ada yang menyebut “one man show,” yang menjadikan dekatnya pengertian SU dengan monolog – selain pada pengucapan juga mimik wajah dan gesture menggambarkan rasa suka-duka, sedih-gembira, dalam silang-sengkarut, sehingga penonton diajak masuk-keluar bahkan terlibat emosinya, sedemikian rupa. Bukan mustahil kadang menggugah rasa keberpihakan kepada peran, jika pemeran memainkannya tanpa cela. Meyakinkan.

            Sitoresmi Prabuningrat, mantan isteri WS Rendra – tokoh pendiri Bengkel Teater Yogya (BTY) – menampilkan “Aina” dengan apik. Bagi mereka yang pernah menonton pentas-pentas BTY dan menyaksikan permainannya, tentu merasa ada perubahan pada cara pengucapan dan gaya laku. Dulu mendayu, nyaris kenes maupun kemayu, sekarang pergumulan olah jiwa terasa matang terbaca pada ekspresinya.

            Penampilan Labibah Zain unik. Ia memainkan tokoh lelaki pada cerita “Perempuan Kedua” lengkap dengan tata rias berkumis, topi pet dan jaket tanpa lengan. Gerakan-gerakan besar serta olah vokal dan penghayatan peran yang bukan sekadarnya – boleh jadi karena ia sendiri yang menulis naskahnya – menunjukkan potensinya sebagai, sebutlah : monologer – pemain monolog, yang lumayan handal.

Juga penampil terakhir dari parade monolog Kolase & 7 Jendela Kaca ini. “Tayu” bukan naskah yang mudah untuk ditampilkan. Topeng dan selendang adalah dua properti yang mengharuskan pemain – siapapun dia - perlu olah-garap yang serius agar pemain dapat berperan secara prima. Yeni Eshape galibnya beroleh tepuk tangan. Menarik.

Senyatanya, dukungan supervisi Fajar Suharno, yang juga pernah bergabung dengan BTY, menjadikan pentas parade ini sumringah, lancar. Urun-rembug melalui dialog sesama penggiat di WN, juga memilih dan melatih pemain yang cocok, serta menyusun urutan tampil mesti diperhitungkan. Tergantung dari bobot naskah maupun kemampuan pemain, ada gradasi dari yang tampil keseharian berujung pada penampilan akting yang kuat. Juga menggarap blocking untuk menjembatani pergantian pemain supaya tak ada suasana “vacuum.

Memang prinsip dasar dari pentas teater adalah kuantitas dan kualitas latihan. Tentu banyak peminat dan penggemar pentas teater berharap agar WN terus berproduksi, agar benar-benar menjadi arena wanita berbicara. (penulis: Uki Bayu Sedjati. Foto: Dahlan Rabu Paing).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler