Skip to Content

20 Perupa Muda Alih Kreasikan Puisi, Pameran Kata Rupa Seminar Internasional Sastra Indonesia 2019

Foto Hikmat
files/user/4/pengunjung-tengah-menyaksikan-karya-yang-ditampilkan-dalam-pameran-kata-rupa.jpg
KATARUPA – Pengunjung tengah menyaksikan karya yang ditampilkan dalam Pameran Kata Rupa di Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Bali, Minggu (13/10/2019).

Sejumlah 20 perupa muda mengalih kreasikan puisi ke dalam karya dua dimensi berupa lukisan, mural, grafiti, hingga seni grafis.

Karya-karya mereka dihadirkan serangkaian Seminar Internasional Sastra Indonesia 2019 bertema Sastra, Lingkungan, dan Kita, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Bali, sedari 10 Oktober hingga 17 Oktober 2019.

Mereka yang dinyatakan lolos setelah melalui serangkaian kurasi, yang mempertimbangkan unsur-unsur estetik dan perjalanan kesenimanan dalam eksibisi yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu di antaranya Zola Bari Permana, Triana, Degeha, I Wayan Dwima Adinatha, AA Gde Agung Candra, Dewa Made Johana, I Putu Nana Partha Wijaya, Muhammad Aqil Najih Reza, DXGO, I Gusti Putu Setiadi Ari Artawan, I Wayan Aris Sarmantha, I Wayan Bayu Mandira, I Wayan Krisnatha, Putu Dudik Ariawan, I Made Wahyu Friandana, Nia, Paramita, Angga, Lidia, Ni Luh Pangestu, dan Ngakan Putu Agus Arta Wijaya.

Mereka menafsirkan sajak-sajak para penyair Indonesia lintas generasi yakni Sutan Takdir Alisjahbana, Sitor Situmorang, WS Rendra, Frans Nadjira, Umbu Landu Paranggi, Sapardi Djoko Damono, Isma Sawitri, Hartojo Andangdjaja, Acep Zamzam Noor, dan Kirjomulyo.

Beberapa penyair Bali yang karyanya juga turut dialih kreasikan adalah I Made Sanggra, Ketut Suwidja, Reina Caesillia, Ni Wayan Sami, Nyoman Manda, dan I Wayan Arthawa.

Dewan kurator yang terdiri dari Putu Fajar Arcana, I Wayan Juniarta, dan Warih Wisatsana menyatakan bahwa sesungguhnya alih kreasi teks sastra menjadi karya visual sudah pasti bukan perkara baru.

Sejak ayat-ayat suci dan/atau mantra diwujudkan dalam gambar-gambar kaligrafi, para seniman telah bekerja dalam wilayah re(kreatif) yang mencengangkan.

Secara khusus dalam Kata Rupa, para perupa melakukan re(kreasi) terhadap puisi-puisi yang disodorkan kepadanya.

Dalam kasus ini istilah re(kreasi) lebih tepat dipergunakan ketimbang kata “ilustrasi”, yang cenderung menegasikan kreativitas para kreator.

Di tangan para perupa muda itu, terjadi re(kreasi), penciptaan ulang berdasarkan narasi pada teks puisi.

Misalkan saja karya berjudul “Pohon Filsuf” dari I Made Wahyu Friandana, mahasiswa ISI Yogyakarta, yang memvisualkan puisi karya penyair senior Bali I Nyoman Wirata berjudul “ Di Taman Kota, Sebatang Pohon Tak Kutahu Namanya”.

Para kurator menilai pohon pada kedua karya ini (puisi dan lukisan), memang hadir sebagai fenomena surealistik, ia tidak benar-benar dimaksud sebagai pohon.

Wahyu menangkapnya dengan gaya lukisannya yang surealistik, tetapi mencoretkan subject matter dalam bentuk realistik sebagaimana pula dikerjakan oleh Salvador Dalli.

“Pohon Filsuf” tidak mencoba menjelaskan makna dari puisi, tetapi justru memperkayanya dengan memasukkan unsur-unsur “baru”, yang hadir sebagai gagasan milik perupanya.

Warna cokelat kelam yang mendominasi kesuluruhan bidang gambar membuat karya ini menjadi semakin mistis.

Tiga unsur estetik: realistik, surealistik, dan mistis, digabungkan Wahyu dalam satu kanvas.

Pameran ini pun menjadi penting karena alih kreasi diyakini telah membangun kesadaran baru tentang seni penciptaan ulang atau re(kreasi) yang menelusuri “jalan sunyi” para penyair. Selain itu alih kreasi mampu melahirkan karya mandiri, tidak tergantung lagi dengan citraan-citraan seni asal-muasalnya.


Sumber: bali.tribunnews.com, Minggu, 13 Oktober 2019 22:43 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler