Skip to Content

Bagai Anak Tiri, Kian Tak Berdaya

Foto indra
files/user/762/chairil-anwar.jpeg
Seorang seniman membacakan puisi pada pementasan teater dan puisi untuk mengenang penyair pelopor angkatan 1945 Chairil Anwar. (ANTARA/Suwandy)

Sore itu, 28 Juni 1949, Chairil Anwar dikabarkan meninggal dunia. Kalangan sastra pun berkabung. Berpulangnya 'Si Binatang Jalang' dilanjutkan suasana krisis kepemimpinan pascapenyerahan kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Produktifitas sastrawan meredup. Krisis sastra terjadi.

Demikian penuturan Sudjatmoko dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi pada 1954. Menurutnya, sejak awal 1950-an, sastra hanya menghadirkan cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata.

Penilaian itu mendapat reaksi keras. Tokoh lain seperti Nugroho Notosusanto, SM Ardan dan Buyung Saleh, mengatakan sebaliknya, kesusastraan Indonesia justru tumbuh subur. Termasuk kritikus mashur HB Jassin, menegaskan, sastra tidak mengalami krisis.

Sanggahan itu diutarakan Jassin dalam sebuah simposium sastra di Universitas Indonesia pada tahun yang sama. Tentu disertai dokumen dan data-data valid yang menjadi gaya khasnya.

Sudjatmoko memang dibantah. Namun, penilaian tersebut tampaknya sangat tepat jika dimunculkan saat ini. Seperti yang diungkapkan Faiz Mansur dalam ulasannya, Ragam Kritik Sastra Indonesia pada 2014. Menurutnya, sastra seperti termarginalkan. Terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung dan televisi sekarang ini.

"Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari," ungkap Liza Wahyuninto dalam tulisannya di Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III tahun 2008.

Tak mutakhir

Awam mengenal sastra dari bangku sekolah. Sastra terkurasi dalam pelajaran Bahasa Indonesia, setidaknya hingga penghujung 1990-an. Lepas itu, bak anak tiri. Muatannya sedikit. Bahkan, pengajarnya sendiri dinilai banyak yang kurang mumpuni. Jadi, tidak mengherankan bila peserta didik kurang mengenal, apalagi memperoleh manfaat dari karya sastra.

Banyak kalangan menengarai situasi ini merupakan dampak tiadanya kritikus-kritikus berwibawa, yang bisa menjelaskan perkembangan sastra. Ini pula yang menjadi kerisauan bagi beberapa sastrawan.

“Paling tidak dulu ada HB Jassin dengan penilitian-penelitiannya. Setelah Jassin tiada, peran kritikus sangat minim,” ucap tokoh sastra Radhar Panca Dahana saat berbincang santai dengan Metrotvnews.com di Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis, 23 Februari 2017.

Menurut Liza bahkan hingga hari ini pun sastra miskin buku teori dan kritiknya. "Buku-buku teori yang ada, kebanyakan terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir," kata Liza.

Kehilangan posisi

Bila bicara sastra populer, boleh dikata produktifitasnya surplus. Banyak orang menulis, membuat sajak, dan lain-lain. Teknologi memberikan ruang untuk itu. Tapi bicara kualitas, memprihatinkan. Meski ada yang bermutu, paling hanya satu atau dua. Begitu kata Radhar.

"Dia (sastra) kehilangan posisi. Fungsinya semakin hancur. Tidak ada wibawa," ucap jebolan Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Perancis itu.

Sastra, Radhar menjelaskan, sejatinya memuliakan manusia. Bahkan bisa menghadirkan kebahagiaan. "Tapi, kini kebahagiaan dihitung dari deposito. Berapa jumlah kartu kredit, jumlah mobil, apartemen. Ukurannya itu." Ironisnya, hampir semua pelaku seni, budaya, termasuk sastrawan, turut terseret ke sana. Sastranya dihambakan.

"Bukan lagi menghamba kepada publik. Sebaliknya masyarakat malah dialienasi. Pada akhirnya masyarakat pun mengalienasi dia (sastra)," ujarnya.

Alhasil, masyarakat enggan mendatangi sastra, membeli, dan membacanya. Kecuali yang berbau gosip, sensasi, atau mendambakan orang dan selebratikal. Dari segi kualitas, tidak bakal tercatat.

Seperti sastra populer, yang tercatat penjualannya saja, berapa juta kopi, itu saja. “Tapi tidak pernah tercatat dalam sastra dunia. Mana ada dinominasikan nobel," ujar Radhar.

Artinya, posisi sastra di Indonesia saat ini tidak ada yang istimewa. Dari aspek konten, tidak banyak yang mempengaruhi pembaca. Belum lagi jumlah produksinya, kecil. “Dari buku yang diterbitkan, berapa persen sastra? Lalu, yang berkualitas berapa? Lantas, berperan apa? Sastra tidak punya posisi," kata Radhar.

Senada, istri mendiang penyair WS Rendra, Ken Zuraida, menilai bahwa sastra populer saat ini lebih banyak dibanding yang memiliki kandungan ruh yang kuat. Jumlah penyair yang banyak, ternyata tidak menjamin kekuatan sastra yang ada didalamnya.

"Yang agak ketat dan dalam tidak banyak muncul. Kajian soal sastra pun kian jarang," ujar Ken saat ditemui di Bengkel Teater Rendra (BTR), Cipayung, Depok, Jawa Barat, Rabu, 22 Februari 2017.

Topeng monyet

Dengan nada sinis, Radhar sampai berani menyimpulkan bahwa saat ini sastra Indonesia dalam keadaan terpuruk "di  tingkat yang paling nadir."

Perjuangan sastrawan-sastrawan besar sejak jaman Yunani atau Jawa kuno adalah dihargai di istana. Paling tidak, hingga era Chairil Anwar, sastra memiliki posisi tawar. Bisa bernegosiasi dengan pengambil kebijakan.

Sekarang, menurut Radhar, memang banyak sastrawan yang diundang berbicara di tengah para pengambil kebijakan, tetapi posisinya “di belakang”. Kadang dianggap sebagai hiburan semata. Tidak diperhitungkan.

"Budayawan, sastrawan, kalau yang nyaring saja banyak, tapi kualitas rendah. Akhirnya guyon saja, buat tertawaan. Persis topeng monyet," ujar Radhar.

Menurutnya, ini bukan soal kesombongan. Ini soal posisi tawar. "Sastrawan tidak bisa dihina seperti itu." Agar sastra bisa memiliki posisi yang kuat dalam kehidupan berbangsa, bahkan sampai ke tingkat individual.

Bila posisi itu sudah ada, dihormati, masyarakat akan memperhatikan sastra. "Dia (masyarakat) datang, membeli, ada di rak buku dan di dalam tasnya," kata Radhar. Sastrawan pun berkesempatan menciptakan kesejahteraan untuk dirinya sendiri."Tidak perlu melacur. Orang akan datang pada dia. Jangan jadikan jualan sastra kayak jualan eskrim," kata pendiri Perhimpunan Pengarang Indonesia itu.

Caranya, kata Radhar, sastra harus mewakilkan masyarakat dengan cara yang terbaik. "Tidak hanya pikiran saja diwakili. Hati dan imajinasinya juga."

Buktinya, dia melanjutkan, walaupun ada yang menghormati sastra saat ini, itu karena membicarakan WS Rendra atau Widji Tukul.


telusur.metrotvnews.com, Senin, 27 Februari 2017 14:32 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler