Skip to Content

Berpuisi Secara Wiji

Foto indra
files/user/762/wiji-thukul-istirahatlah-kata-kata.jpeg
Pengunjung menunggu waktu pemutaran film saat nonton bersama film "Istirahatlah Kata-Kata"

Nama penyair Wiji Thukul tak pernah mati. Ia menjelma sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Utamanya, melalui teriakan puisi dan karya sastra.

Kini, Wiji masih belum diketahui keberadaannya. Banyak yang meyakini Wiji menjadi korban kebengisan rezim Orde Baru (Orba). Ia diduga menjadi korban penghilangan paksa sejumlah aktivis pada 1998.

Lantas, bagaimana cara anak Wiji mengenang keberanian sang ayah? Bagaimana cara mereka merawat semangat menolak penindasan dan ketimpangan sosial? Fitri Nganthi Wani, putri sulung sang penyair kelahiran Surakarta 26 Agustus 1963 itu, menjawab pertanyaan tersebut setelah kami menyapanya pada Kamis, 23 Februari 2017. Berikut petikan wawancaranya:

Dalam 'Lagu Anak' yang dibawakan Mas Fajar Merah (Adik Fitri), ada bait menyebut 'Bapak seperti puisi, rumit dan singkat'. Nah, kalau Anda, bagaimana cara mendefinisikan bapak (Wiji Thukul)?

Bagi saya bapak adalah obyek kerinduan yang abadi. Ia adalah salah satu tokoh terpenting dalam hidup saya yang menjadikan munculnya banyak pertanyaan-pertanyaan tak berjawab di benak saya.

Bapak secara tak langsung mendidik saya untuk berani mencari tahu tentang kebenaran. Berani bertindak benar sesuai keyakinan hati saya.

Merindui bapak adalah sebuah perasaan yang istimewa. Karena kerinduan itu yang kemudian mengajarkan pada saya tentang "bahkan untuk sosok seorang ayah pun tidak bisa menjadi milik kita seutuhnya".

Dalam kasus bapak saya ini, tidak ada yang abadi di dunia ini selain kerinduan saya pada bapak.

Film 'Istirahatlah Kata-Kata' terkesan menampilkan Wiji Thukul dari sudut pandang berbeda. Ia sunyi, resah, cemas, dan manusiawi. Apa kabar kesan garang dan semangat perlawanan Wiji Thukul? Apakah perjuangan untuk mendapatkan kejelasan nasib penyair itu masih dilakukan?

Perihal film, saya tidak melihat ada hal yang dikurangi di sana. Itu hanya perihal durasi dan tujuan dari sudut pandang sutradaranya. Andai mampu diperpanjang durasinya atau dibuat sequel sekalian, mungkin akan bisa sampai pada sisi-sisi garangnya. Ini hanya pendapat saya saja, ya, saya tak menampik juga bahwa saya berharap Istirahatlah Kata-Kata akan ada sequelnya.

Bagaimanapun, Wiji Thukul juga manusia biasa. Ada kalanya ia tak harus selalu terlihat berapi-api. Namun, pada film itu saya menangkap ada kegeraman yang berusaha dipendamnya. Bagaimana ia harus mampu mengolah perasaan dan mengendalikan diri di tengah situasi yang memaksanya harus bertahan dalam diam dan kesunyian. Perasaan geram yang begitu berat, yang setara beratnya dengan rindu pada anak istri yang harus dengan terpaksa ditinggalkannya.

Sejujurnya, harapan tentang keadaan bapak yang sejelas-jelasnya kadang masih mengusik hati. Ada masanya saya benar-benar diserang sendu yang membuat menangis tak berdaya karena tak tahu harus berbuat apa lagi.

Sudah banyak upaya yang saya lakukan untuk mendapat kejelasan tentang nasib bapak saya yang tentu saja sangat menguras waktu, pikiran, tenaga dan kesehatan saya. Namun, hidup ini masih punya masa depan, bukan? Saya memiliki seorang anak yang harus diasuh, dididik, dan dilayakkan hidupnya oleh seorang ibu yang harus bertindak profesional. Saya tidak ingin keterlarutan pada perasaan sendu tentang di mana bapak saya berada akan mengganggu konsentrasi saya dalam merawat anak saya sekarang, yang sangat besar kemungkinan bapak saya juga pasti akan kecewa bila tahu saya menjadi tidak fokus dalam merawat cucunya itu.

Hal itulah yang kemudian menjadikan saya mampu sampai pada sikap berserah. Mampu memahami bahwa kemampuan manusia itu ada batasnya. Sehingga saya lebih baik memasrahkan ini semua pada Tuhan pemilik alam semesta ini. Mendoakan yang terbaik untuk bapak saya di manapun beliau berada sekarang.
Segala sesuatu yang terjadi di masa lampau itu sudah digariskan takdirnya, jikapun bapak saya ditakdirkan selayak martir, maka saya harus mampu menerima takdir itu, agar tidak mengganggu kelangsungan hidup saya di masa depan. Yang terpenting sekarang adalah berpikir untuk hari ini dan seterusnya. Maka dari itu, saya sangat berterima kasih dan selalu mendoakan yang terbaik pada orang-orang di luar sana yang dengan sukarela dan tanpa lelah mau membantu menyuarakan tentang kejelasan nasib bapak saya.

Apa kenangan yang paling terekam Anda dan keluarga terkait perjuangan bapak melawan rezim?

Terkait perjuangan bapak melawan rezim, kenangan yang paling terekam adalah ketika rumah kami digrebek polisi dan ketika melihat mata bapak diperban setelah unjuk rasa.

Saat penggrebekan itu saya sedang datang dari pulang sekolah, waktu itu saya masih TK, banyak buku-buku bapak dan karya anak-anak Sanggar Suka Banjir disita oleh aparat.

Ibu saya juga ditanyai bermacam-macam pertanyaan yang diulang-ulang. Saat mata bapak diperban itu kejadiannya setelah memimpin aksi unjuk rasa buruh, bapak dipopor sebelah matanya oleh tentara sampai menjadikan salah satu mata tersebut buta permanen.

Banyak yang bilang, penyair dan karya-karyanya hari ini tidak ada lagi yang bisa senyaring dan seruncing Wiji dalam menyuarakan perlawanan. Menurut Anda, bagaimana perkembangan di dunia sastra hari ini?

Tidak ada yang bisa disalahkan dari karya sastra siapapun, termasuk yang terkesan menye-menye. Karena sebuah karya terlahir dari proses kehidupan penulisnya, dari pengalaman hidup penulisnya, dari kondisi psikologi penulisnya. Namun, akan menjadi berbeda pembahasannya apabila seorang seniman, penulis, maupun penyair telah menjadi manusia yang matang pengalaman, telah mengalami begitu banyak proses dalam hidupnya, namun tetap membuat karya yang seolah menjadikan ia terkesan tutup mata atau hanya membuang-buang waktu.

Menjadi seniman, penulis dan penyair adalah sebuah kehormatan yang diberikan waktu untuk mengabadikannya. Akan sangat percuma dan kurang mendidik rasanya apabila sebuah eksistensi hanya dipergunakan untuk melahirkan karya-karya yang tidak mampu menggugah kesadaran serta tidak menginspirasi lingkungannya untuk berbuat yang semestinya.

Kecuali jika memang tujuannya hanya untuk selingan saja. Kadang kita butuh yang menye-menye, juga bukan? Asalkan tidak keseringan agar jiwa dan pikiran tidak tumpul secara permanen. Toh jika disadari, manusia selama hidupnya harus mampu mewariskan karya yang berguna untuk kelangsungan hidup generasi sesudahnya, bukan malah merusaknya.

Bagaimana cara Anda dan keluarga untuk tetap menyuarakan semangat perlawanan Wiji Thukul?

Bagi saya pada khususnya, bapak adalah inspirasi untuk tetap berjalan di jalan yang saya yakini benar.

Ada banyak hal-hal kecil di sekitar kita yang sebenarnya juga butuh keseriusan untuk diperbaiki. Dan sesungguhnya hal yang paling sulit dilawan adalah diri kita sendiri.

Terkadang kita bebal akan kenyataan buruk yang telah terjadi, seperti kerusakan alam yang disebabkan oleh lahan sawit misalnya, aksi yang paling dekat untuk saya lakukan, ya dengan tidak menggunakan produk olahan sawit tersebut. Atau ketika sebuah bank mendanai proyek yang sangat merusak lingkungan, sangat mengancam kesehatan generasi bangsa, kita ikut menyoraki, mengolok-olok, tapi kita juga masih menggunakan jasa pelayanannya dari bank tersebut dengan banyak sekali alasannya.

Sangat lucu rasanya bila di jalan kita ikut koar-koar berkata lawan, tapi di rumah kita masih memakai bahkan terlanjur tergantung pada produk mereka.

Bersikap melawan itu banyak caranya, tidak melulu harus dengan terang-terangan eksis. Intinya semua dimulai dari diri sendiri. Ketika kita mampu mendidik diri untuk mandiri, kita tidak akan pernah takut untuk melawan apapun.


telusur.metrotvnews.com, Senin, 27 Februari 2017 15:58 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler