Skip to Content

DIBALIK KONTROVERSI '33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH' DITUDING BAYARAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Reporter: Laurencius Simanjuntak dan Mustiana Lestari,  Senin, 6 Januari 2014

 

Merdeka.com - Tim 8 bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin belum lama ini merilis buku '33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh'. Buku ini pun menuai kontroversi lantaran memasukkan Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra yang dimaksud. Padahal, Denny lebih dikenal publik sebagai konsultan politik.

Sastrawan asal Yogyakarta, Puthut Ea, mengaku tidak kaget dengan Denny JA yang masuk dalam kategori 33 tokoh sastra paling berpengaruh. 

"Ketika kasus Denny JA muncul lalu merebak di media sosial, bagi saya justru yang mengherankan adalah kenapa banyak orang yang merasa kaget? Seakan-akan persoalan Denny JA tidak mungkin terjadi di dalam kenyataan sosial kita. Ujug-ujug alias makjegagik (tiba-tiba)," kata Puthut seperti merdeka.com kutip dari catatan Facebooknya, Senin (6/1).

Puthut mengatakan, "Apa yang aneh kalau Denny JA yang berlebih uang itu menukar modal finansialnya dengan modal sosial?"

"Masih saja ada yang mencoba mengulik betapa lemahnya argumen yang menempatkan Denny ke dalam himpunan 33 tokoh yang berpengaruh di dunia sastra," kata Puthut dengan bahasa satire.

Puthut juga heran dengan mereka yang tidak habis pikir kenapa Sapardi Djoko Damono dan sastrawan lain menobatkan Denny JA menjadi sastrawan yang memiliki terobosan dalam bidang penulisan esai puisi. 

"Kok repot amat analisanya? Panitia atau kuratornya jelas dibayar (mahal). Soal teori atau himpunan itu dibuat-buat saja supaya di dalam pembaiatan tidak terlalu vulgar," ujar dia.

"Makanya tidak usah repot juga bertanya soal 33. Mau 33 kek, mau 50, mau 100 ya tidak apa-apa yang penting bagi Denny dan panitia: nama Denny masuk," tuding Puthut.

Seperti diberitakan, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin mengumumkan 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Denny JA, yang selama ini lebih dikenal sebagai konsultan politik dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

Tim Juri menjelaskan Denny JA terpilih karena ia melahirkan genre baru dalam puisi Indonesia yang disebut genre puisi esai. Jenis puisi ini kini menjadi salah satu tren sastra mutakhir yang sudah direkam dalam kurang lebih sepuluh buku.

"Genre puisi esai ini memancing perdebatan luas di kalangan sastrawan sendiri. Aneka perdebatan itu sudah pula dibukukan. Terlepas dari pro kontra pencapaian estetik dari puisi esai, pengaruh puisi esai dan penggagasnya Denny JA dalam dinamika sastra mutakhir tak mungkin diabaikan siapapun," kata Ketua Tim Juri, Jamal, seperti dikutip Antara.

Berikut 33 tokoh sastra tersebut:

1. Kwee Tek Hoay

2. Marah Roesli

3. Muhammad Yamin

4. HAMKA

5. Armijn Pane

6. Sutan Takdir Alisjahbana

7. Achdiat Karta Mihardja

8. Amir Hamzah

9. Trisno Sumardjo

10. H.B. Jassin

11. Idrus

12. Mochtar Lubis

13. Chairil Anwar

14. Pramoedya Ananta Toer

15. Iwan Simatupang

16. Ajip Rosidi

17. Taufik Ismail

18. Rendra

19. NH. Dini

20. Sapardi Djoko Damono

21. Arief Budiman

22. Arifin C. Noor

23. Sutardji Calzoum Bachri

24. Goenawan Mohammad

25. Putu wijaya

26. Remy Sylado

27. Abdul Hadi W.M.

28. Emha Ainun Nadjib

29. Afrizal Malna

30. Denny JA

31. Wowok Hesti Prabowo

32. Ayu Utami

33. Helvi Tiana Rosa

 

BENARKAH DENNY JA PENGGAGAS GENRE SASTRA BARU 'PUISI-ESAI'?

Merdeka.com - Denny JA, yang lebih dikenal sebagai konsultan politik, dinobatkan sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh oleh tim juri dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Nama Denny pun bertengger bersama nama-nama besar seperti Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer.

Tim juri memasukkan Denny karena pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dinilai telah melahirkan genre baru dalam puisi Indonesia: puisi-esai. Padahal, buku puisi-esai 'Atas Nama Cinta' atas nama Denny JA baru terbit pada 2012.

"Genre puisi esai ini memancing perdebatan luas di kalangan sastrawan sendiri. Aneka perdebatan itu sudah pula dibukukan. Terlepas dari pro kontra pencapaian estetik dari puisi esai, pengaruh puisi esai dan penggagasnya Denny JA dalam dinamika sastra mutakhir tak mungkin diabaikan siapapun," kata Ketua Tim 8 yang juga Ketua Tim Juri, Jamal, dalam peluncuran buku belum lama ini.

Namun, apakah benar Denny JA penggagas puisi-esai ini? 

Sastrawan asal Yogyakarta, Saut Situmorang, mengatakan puisi-esei adalah jenis puisi yang bersifat esei. "Bentuknya, bukan tipografinya di kertas! Puisi tapi isinya merupakan esei tentang suatu topik," kata Saut seperti dikutip dari laman facebook-nya, Senin (6/1).

Saut menjelaskan, puisi jenis ini sangat populer dalam kesusastraan Inggris abad 18, terutama seperti yang ditulis oleh sang maestro genre tersebut Alexander Pope. 'An Essay on Criticism' adalah puisi panjang Pope yang terkenal.

Lebih jauh, Saut menjelaskan puisi dan esai mempunyai pakemnya masing-masing. "Kalau memang mau nulis puisi, tulislah puisi; kalau mau nulis esai, tulislah esai. Pakem kedua genre itu yang kelak akan menentukan apakah benar sebuah puisi telah ditulis, atau sebuah esei berhasil dikarang," ujar Saut lewat blog 'boemipoetra' yang dikelolanya.

"Cuma para pemula yang gak tau diri yang ingin melahap semuanya, tanpa sedikit pun mau bersusah-payah untuk memahami dan menguasai keduanya terlebih dulu! Cuma biar dikira orang pembaharu!!!" cetus penulis buku 'Politik Sastra' ini.

Puisi-esai memang mempunyai ciri catatan kaki sebagaimana karya Denny. Namun, kata Saut, itu bukan hal yang utama.

"Kalau 'ke-esai-an' sebuah 'genre' bernama 'sajak-esai' cuma dibuktikan dari catatan kaki yang dimilikinya, kasihan amat tuh genre! Kasihan amat pula genre yang bernama 'esei' itu! Mosokesei cuma macam begitu hakekatnya! Bukannya lebih tepat kalau 'genre baru'-mu ini disebut 'sajak-skripsi' aja, hahaha!!! Atau 'sajak-yang-bercatatan-kaki'! LOL," tulis Saut.

 

TIM JURI LEBIH PILIH DENNY JA KETIMBANG SENO GUMIRA

Merdeka.com - Terpilihnya Denny JA sebagai sastrawan berpengaruh menuai polemik. Betapa tidak, Denny yang lebih dikenal sebagai 'tukang survei' mendadak dinobatkan sebagai sastrawan berpengaruh di Indonesia. Lewat puisi esainya, nama Denny bersanding dengan Chairil AnwarPramoedya Ananta Toer dan sederet nama sastrawan besar lainnya.

Yang mengherankan nama sekelas Seno Gumira Ajidarma tidak dipilih juri sebagai sastrawan berpengaruh. Tidak jelas mengapa pria brewok itu tidak dipilih. Padahal pengaruh karya Seno Gumira dinilai jauh lebih luas dampaknya ke masyarakat.

Seno Gumira Ajidarma adalah seorang cerpenis dan jurnalis. Pada era Soeharto, dia pernah menerbitkan buku 'Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara'. Di buku itu, Seno mencoba memberikan jalan keluar, bahwa sastra bisa menjadi alat untuk mengungkapkan fakta, ketika fakta ditabukan rezim Soeharto untuk disampaikan secara jurnalistik. 

Saut Situmorang, salah seorang yang membidani lahirnya manifesto Boemipoetra, juga tidak masuk sebagai tokoh sastra paling berpengaruh. Padahal, dia adalah salah satu sastrawan yang masih bertahan melawan otoritas kelompok sastra yang terlalu eksklusif. Dia juga menolak karyanya masuk dalam Khatulistiwa Literary Award, penghargaan sastra bergengsi.

Namun Tim 8 dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin lebih memilih Denny JA ketimbang dua sastrawan itu. Alasannya, karya 'Atas Nama cinta' milik Denny JA dianggap juri melahirkan genre baru dalam puisi Indonesia yang disebut genre puisi esai. 

Menurut juri, Jenis puisi ini kini menjadi salah satu tren sastra mutakhir yang sudah direkam dalam kurang lebih sepuluh buku.

"Genre puisi esai ini memancing perdebatan luas di kalangan sastrawan sendiri. Aneka perdebatan itu sudah pula dibukukan. Terlepas dari pro kontra pencapaian estetik dari puisi esai, pengaruh puisi esai dan penggagasnya Denny JA dalam dinamika sastra mutakhir tak mungkin diabaikan siapapun," kata Ketua Tim 8 yang juga Ketua Tim Juri, Jamal, seperti dikutip Antara.

Tim juri mengklaim 33 orang sastrawan tersebut memenuhi kriteria -kriteria sebagai berikut ; pengaruhnya berskala nasional, pengaruhnya relatif berkesinambungan, menepati posisi kunci, penting dan menentukan, menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang melahirkan pengikut, penentang dan melahirkan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Komentar

Foto Steven Sitohang

ingin sedikit berdiskusi. . . .

Horas lae !
Belakangan ini aku sedang mengekori berita di atas, dan baru setahun ini juga aku giat latihan lari cepat 100m untuk mengetahui dunia sastra lae, aku sadar hal ini dilakukan tergesa-gesa, tetapi di luar itu aku sedikit tahu ttg politik, baik dari pengalaman di jalan maupun dari buku-buku sastra itu sendiri. Aku pernah membaca artikel mengenai sepak terjang Denny JA, tetapi lebih banyak di rana “kursi” politik, dunia yang membesarkan namanya, dan aku pun tahu mengenai Yayasan Beliau (Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi) yang bertugas mempublikasi berbagai karya budaya seperti puisi, film, teater dll.
Singkatnya aku perihatin sekaligus jengkel dengan isi buku ini yang menobatkan nama dia sebagai tokoh sastra berpengaruh, bukankah kontroversi ini jelas dilihat mata telanjang sebagai batu loncatannya menjelang 2014 dan sekaligus “memperkosa” Dunia Satra Indonesia?.
Aku sependapat dengan Pak Goenawan Mohammad(GM) dalam wawancaranya terkait hal ini, bahwa menjadi tokoh sastra besar apalagi yang berpengaruh bukan sekedar mencetuskan “aliran” baru dalam dunia sastra tetapi utamanya dia harus mampu menjuarai lari maraton dan karena GM sendiri belum menjuarai maraton itu dia merasa tidak layak untuk masuk daftar, (Denny JA menggagas sastra baru “puisi-esai” pada 2012 dengan judul Atas Nama Cinta, dan itu pun masih dipertanyakan kebenarannya) sekaligus aku bertanya ke mana nama-nama seperti Seno Gumira dan Wiji Thukul dan nama lainnya yang menurut pandanganku jelas lebih berpengaruh kepada masyarakat luas terutama mahasiswa.
Keperihatinanku dengan nama Denny JA sebagai tokoh berpengaruh adalah tersisinya nama-nama tadi untuk generasi mendatang, mereka kelak pasti membutuhkan tokoh yang berpengalaman, yang telah membasahi seluruh tubuhnya dalam dunia sastra dan bukan seorang ahli politik. Bagaimana menurut kaca mata lae sendiri?

Foto SIHALOHOLISTICK

HORAS....

Inilah yang saya duga selama ini, bahwa dalam hal kebudayaan, sastra, dan kesenian, serta sejenisnya masih bermain juga praktik-praktik yang membuat kita muak. Saya malah semakin tertohok membaca beritanya ketika saya telusuri sejumlah sejarah kesusastraan Indonesia, penetapan Hari Sastra Nasional yang jatuh pada tanggal 3 Juli dicikal bakali dari tanggal lahirnya sastrawan besar Abdoel Moeis, dari sini saja (secara pemikiran primitif saja) nama Abdoel Moeis telah memberikan pengaruh yang sangat begitu besarnya sehingga tanggal lahirnya dijadikan sebagai patokan Hari Sastra Nasional, tapi apa yang kita lihat dari "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh", nama Abdoel Moeis malah tidak dimasukkan, kan terlalu ghalib memang.

Sekarang tinggal kita bagaimana menyikapi peluncuran buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" tersebut di tengah-tengah perkembangan kesusastraan Indonesia dewasa ini. Estafet kritik sastra memang harus kita lanjutkan, terlebih semua yang telah dirintis oleh Bapak HB. Jassin. Setelah kematian beliau, semua semakin morat-marit.

Mengingat nama Abdoel Moeis yang hari lahirnya dijadikan sebagai patokan Hari Sastra Nasional (tentulah, peranan beliau sangat begitu besarnya, hingga hal ini terjadi), saya dengan tegas menolak peluncuran buku "33 Tokoh sastra Paling Berpengaruh" itu.

=@Sihaloholistick=

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler