Skip to Content

Bahasa Sebagai Pembeda dan (sekaligus) Pemersatu

Foto Deni eko santoso

Menjadi sesuatu sebagai pembeda dan sekaligus pemersatu tampak ambigu, dan sedikit mustahil. Namun cobalah untuk berpikir ulang jika “bahasa” yang disematkan predikat seperti itu. Bahasa dapat digunakan sebagai ciri pembeda sekelompok orang, dan sekaligus dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang berbeda. Bahasa sebagai pembeda dan pemersatu berlaku secara uiversal, tak terkecuali bagi mahasiswa asal Bogor.

Ketika ciri visual tak bisa untuk mencirikan mahasiswa asal Bogor, maka bahasa yang akan melakukanya. Bahasa menjadi sesuatu yang bisa mencirikan mahasiswa asal Bogor dari mahasiswa asal daerah lain. Aksen mahasiswa asal Bogor saat mereka berbicara terdengar khas dan cukup kental dengan nuansa ke-sunda-an yang mereka bawa. Aksen sunda Bogor ini mirip secara pelafalan dengan aksen tatar Sunda lainya, seperti Bandung dan Ciamis, namun berbeda dalam pemilihan kata. Secara garis linguistik, penutur bahasa Sunda di Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Barat, Tengah, dan Timur.

Bagian Barat meliputi wilayah Bogor raya, Cianjur, Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Bagian tengah mencakup Bandung raya, Subang, Sumedang, Tasik dan Garut. Sedangkan bagian Timur terdiri dari Ciamis, Kuningan, Banjar, Pangandaran, dan sebagian Cilacap. Ketiganya secara penuturan lafal sama-sama mirip dan stereotip penutur Sunda, seperti nada yang meninggi ketika mengakhiri sebuah kalimat, substitusi fonem ‘f’ menjadi ‘p’, dan pengucapan latah, slang, dan salam khas Sunda seperti “gusti”, “duh”, “lur”, “sampurasun”, “kang-teh”, dan lain sebagainya.

Yang membedakan adalah “tingkat” bahasanya. Bahasa Sunda disepakati mengenal tiga tingkat bahasa berdasarkan tingkat kesopananya. Yang paling sopan adalah bahasa alus (halus) yang digunakan ketika lawan bicaranya adalah sosok yang lebih tua atau dituakan. Dibawah bahasa alus, ada bahasa sedeng (sedang) yang digunakan saat lawan bicaranya adalah sosok yang telah saling kenal. Terakhir, bahasa yang tingkatnya paling kasar adalah bahasa loma yang biasanya digunakan ketika emosi, atau ketika lawan bicaranya adalah sosok karib.

Wilayah barat garis linguistik sunda lebih sering menuturkan bahasa loma dan sedeng, sedangkan bahasa alus dituturkan di wilayah tengah dan timur, dengan bagian timur sering disisipi kosa kata Jawa karena berbatasan dengan Jawa Tengah. Maka, penuturan bahasa Sunda loma ini menjadi salah satu ciri khas mahasiswa asal Bogor yang dapat diamati. Tutur bahasa sunda loma ini sangat kentara apabila mereka bertemu dan berinteraksi sesamanya atau dengan penutur bahasa Sunda lainya. Sedangkan jika berinteraksi secara umum, mahasiswa asal Bogor telah terbiasa berbahasa Indonesia dengan sedikit aksen dan latah Sunda atau tidak sama sekali. Namun terkadang tetap kesulitan mengucapkan fonem “f”.

Meskipun sama-sama penutur bahasa Sunda, mahasiswa asal Bogor terkadang dipandang sebagai pribadi yang kasar dan keras oleh penutur bahasa Sunda lainya karena penggunaan bahasa loma yang intens. Bahasa Sunda loma, terutama oleh orang Bandung raya dan Ciamis dipandang sebagai bahasa yang  kasar dan tidak sopan, dan hanya digunakan ketika emosi. Maka ketika mereka mendengar mahasiswa Bogor menuturkan bahasa loma, kesan yang mereka tangkap adalah mahasiswa Bogor “sering emosi dan marah-marah”.

Jika ditelisik, ternyata tidak demikian adanya. Bagi orang Bogor, penggunaan bahasa loma menunjukan kehangatan, keakraban, dan kesamaan status sosial. Sekat-sekat kasta dan rasa segan diantara orang Bogor nyaris tidak ada. Hal ini tidak hanya dalam tutur bicara, dalam keseharian pun orang Bogor tidak mengenal budaya hinggil atau meninggikan seseorang karena derajat sosialnya. Contoh paling mudah adalah ketika makan, orang Bogor paling senang duduk diatas tikar bersama-sama, entah dia seorang demang, petinggi, atau petani. Kehangatan ini yang melatari penggunaan bahasa loma diantar orang-orang Bogor.

Apapun itu, hal ini memperkaya khazanah dan horizon kebudayaan. Akan menyenangkan apabila hal seperti ini dapat langgeng ditengah tergerusnya nilai-nilai lokal oleh arus globalisasi. Dan terakhir, perbedaan ini bukan berarti perpecahan, karena manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal, karena bahasa bisa menjadi pembeda sekaligus pemersatu.

Begitu bukan ?

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler