Skip to Content

Leila Chudori Tampil di Festival Sastra Belanda

Foto indra
files/user/762/leila-chudori-festival-sastra-belanda.jpg
Leila Chudori (kedua kanan) di Festival Sastra Winternachten, Den Haag, Belanda (21/1). (Sumber: TEMPO/Ging Ginanjar)

Dinginnya udara tak menghalangi orang berduyun-duyun mendatangi festival sastra internasional Winternachten di Theatre aan het Spui, Den Haag, Belanda. Festival yang berlangsung empat hari, 19-22 Januari 2011, ini diisi beragam acara mulai dari pertunjukan film, musik, pembacaan puisi, hingga diskusi.

Puluhan pengarang dari berbagai bangsa hadir di acara itu, termasuk Leila S. Chudori dari Indonesia. Wartawan Tempo ini tampil dalam dua sesi. Pada Kamis lalu, penulis novel 9 dari Nadira itu muncul dalam sesi "Perempuan dan Seksualitas" bersama Bejan Matur, sastrawan perempuan Kurdi kelahiran Turki; Naema Tahir, sastrawan perempuan dan pegiat hak asasi manusia keturunan Pakistan; dan Kader Abdolah, sastrawan Iran yang eksil di Belanda.

Pada Sabtu malam Leila tampil dalam sesi bertema "Memaafkan atau Melupakan" bersama Kopano Matlwa, sastrawan perempuan Afrika Selatan, dan Adriaan van Dis, sastrawan Belanda yang hidup dan karyanya banyak berhubungan dengan Indonesia dan Afrika Selatan. Adapun moderatornya, Anil Ramdas, adalah wartawan Belanda-Suriname.

Para sastrawan berbagi cerita tentang tema-tema tersebut. Kopano Matlwa, misalnya, mengisahkan perjalanan negerinya yang sempat begitu terkenal lewat Nelson Mandela dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Matlwa memperoleh penghargaan Hadiah Buku Uni Eropa 2007 untuk karya pertamanya, Coconut (Kelapa). Kelapa mengisyaratkan pengertian khusus di Afrika Selatan. "Ini istilah yang menghina, khususnya untuk orang kulit hitam waktu itu," kata dia.

Pada sesi ini Leila membahas masalah Undang-Undang Antipornografi yang mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia. Menurut dia, yang paling terancam adalah film, televisi, dan seni rupa, khususnya seni rupa yang dipamerkan di ruang terbuka.

Adapun Bejan Matur dan Naema Tahir membicarakan bangkitnya ancaman dari kaum garis keras Islam terhadap kebebasan kreatif dan kebebasan sipil pada umumnya, termasuk di kalangan masyarakat Islam di Eropa.

Winternachten digelar sejak 1995. Pada mulanya festival ini digagas sebagai forum sastra Belanda-Indonesia. Menurut Direktur Festival Ton van de Langkruis, dari tahun ke tahun cakupan acaranya dikembangkan. "Diperlebar dengan melibatkan negara-negara bekas koloni Belanda seperti Suriname, Cape di Afrika Selatan, dan kawasan Antilles Belanda di Karibia, yang waktu itu masih merupakan koloni," kata dia.

Langkruis menjelaskan ia menjadikan festival internasional lebih terbuka. "Kendati tetap memberi porsi khusus pada Indonesia dan negara bekas jajahan Belanda lain," kata van de Langkruis.

Winternachten, kata dia, juga dikembangkan lebih lanjut, antara lain dengan program Writers Tour. Kali ini program itu melibatkan empat sastrawan yang tampil di Malaysia dan Indonesia dalam berbagai diskusi dan pembacaan karya. Winternachten juga pernah bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu  menyelengarakan Festival Sastra Internasional di Jakarta.


tempo.co, Selasa, 24 Januari 2012 16:45 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler