Skip to Content

Lima Gunung Diguyur Puisi Mbeling

Foto indra
files/user/762/festival-lima-gunung.jpg
Penonton berkerumun menyaksikan pentas kesenian dalam Festival Lima Gunung (FLG) XI yang digelar di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Minggu (1/7/2012).

Tiga puisi mbeling anonim yang disuguhkan tiga penyair membuat "ger-geran" para penikmatnya yang berkumpul di Pendopo Padepokan Wargo Budoyo Gejayan di lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa malam.

Mereka adalah penyair Kota Magelang, Munir, Gepeng Nugroho, dan  Wicahyanti Rejeki, masing-masing membacakan puisi secara kolaboratif campur aduk berjudul "Bunga Hatiku Bunga Hatimu" (Buat gadisku tercinta), "Lebih Baik Merdeka daripada Tidak Merdeka" (Buat bapakku di kampung), dan "Aku Pedagang Telur" (Buat tetanggaku yang jual telur).

Semisal dalam tiga bait pertama ramuan pembacaan puisi itu. Munir membacakan jatah puisinya tentang cinta, "Waktu itu bulan purnama menerangi alam. Kau datang padaku sambil tersenyum manja. Kulihat samar-samar wajahmu tertimpa cahaya rembulan. Begitu cantik bagaikan..."

Gepeng pun segera menimpali dengan suara hentakan dalam pembacaan jatah puisinya tentang perjuangan, "Granat dan mortir berdesingan di tahun 45. Akulah pahlawan perjuangan bangsa Indonesia. Dengan semangat yang membara..... Aku tak pernah kenal istilah takut. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri, kusandang....."

Wicahyanti seketika menyaut dengan jatah pembacaan puisinya tentang nasib pedagang kecil, dalam dialek Batak, "Bakul telur. Kubawa berkeliling kampung setiap hari, demi sesuap nasi. Telur merupakan bagian hidupku. Semua kujual....Ada telur ayam.. telur bebek... maupun telur....."

Demikian seterusnya hingga mereka bertiga menyelesaikan puisi mbeling yang terdiri atas tiga halaman itu dengan urutan terakhir kalimat syair "Ayamku...." (Wicah), "Aku cinta padamu...." (Munir), "Sampai titik darah penghabisan..." (Gepeng), "Kau akhirnya... "(Munir), "Bertelur lagi...." (Wicah).

Penikmat pun tertawa hingga terkekeh-kekeh dan mereka juga bertepuk tangan menembus hawa dingin yang menyusup ke dalam pendopo tersebut.

"Puisi bisa juga tidak serius, humor, puisi juga bisa untuk membangun suasana main-main. Tetapi tetap malam ini kita bersastra," kata penyair yang juga pengemas "Malam Puisi Lima Gunung" itu Dorothea Rosa Herliany.

Agenda "Malam Puisi Lima Gunung" itu satu rangkaian Festival Lima Gunung XI/2012 di Gunung Merbabu Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang (4-15 Juli). Para pembaca puisi itu selain seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), juga beberapa penyair, seniman teater, dan penikmat seni budaya.

Belasan mereka membacakan puisi mbeling yang sebagian besar disiapkan Rosa Herliany, dengan mengambil karya-karya para penyair ternama dan karya anonim.

Mereka antara lain, Bagor Endrawan membaca puisi bertajuk Kesetiakawanan Asia Afrika, Sujono (Psikologi Upil), Noviana Ayomsari (Kesibukan Kata-Kata "M"), Endah Pertiwi (Einstein in Love), Ari Kusuma (Pantun Jenaka), Pangadi (Laki-Laki dan Toilet), Riyadi (Curhat Setan kepada Manusia).

Selain itu, Atika (Naluri Hayati Iwan dan Tuti), Supadi Haryono (Pantun Kentrung), Wisnu Putranto (Biarin), Safitri Widagdo (Segi-Segi Perjanjian), Dani Aronds (Puisi Paling Jorok Sedunia), Sarwo Edhi (Ngupadi Bayu Sejati), Damtoz Andreas (Surat Cinta Sutanto), Sih Agung (Dilema Sang Dalang), Musofik (Ning Nong Ning Gung), dan Bambang Eko Prasetyo performa geguritan "Renungan Perjalanan Bangsa".

Tarian tradisional "Gupolo Gunung" dan musik kontemporer "Truntung Gunung" juga disajikan oleh grup seniman petani Padepokan "Wargo Budoyo Gejayan" sebagai jeda pembacaan puisi yang berlangsung hingga tengah malam dengan ditonton terutama oleh ratusan warga lereng Gunung Merbabu dan belasan tamu dari luar desa itu.

Musofik membaca puisi "Ning Nong Ning Gung" diiringi tabuhan sejumlah perangkat gamelan oleh Gepeng dan Munir dari panggung padepokan itu, seakan mengajak audiens untuk merenungi perjalanan hidup manusia.

"Entah kenapa bahwa mendayung pakai sampan usang sulit untuk sampai. Bisakah naik di sampannya Nabi Nuh. Apakah juga tidak lebih baik naik di sampannya Kanjeng Rasul, yang masih tersimpan walau harus menunjukkan identitas. Tak peduli tereliminsi, hanya ingin diakui sebagai kawula. Ning nong ning gung kapal goyang sego jagung ora doyan. Gusti Gusti Allah. Serasa meneguk air laut terus mengering tenggorokan," demikian sepenggal puisi itu.

Lain lagi dengan penampilan Ari Kusuma melalui puisi "Pantun Jenaka". Ari yang pegiat Studio Mendut itu malah tersenyum-senyum sendiri sambil membaca puisi karya A. Slamet Widodo itu. Penonton pun juga merespons dengan suasana hangat atas pembacaan puisi itu.

"Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ringan sama dijinjing berat pikul sendiri. Karena nila setitik rusak susu sebelahnya. Berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu mati kemudian," demikian penggalan puisi mbeling itu.

Satu puisi berbahasa Jawa "Pantun Kentrung", koleksi almarhum Dr. Suripan Sadihutomo,  dibaca Supadi Haryono. Salah satu bait pantun itu antara lain seakan tentang kritik kepada para pemimpin masyarakat. Supadi yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung membacakan puisi itu dengan iringan musik gamelan yang telah direkam di telepon selulernya.

"Takibaratke lampune lilin. Mobat-mabit kesilir angin. Ora gampang dadi pemimpin. Dikoreksi rakyat sing miskin," demikian bait pertama puisi itu yang kira-kira terjemahannya, "Ibarat lampu lilin. Nyalanya tertiup angin. Tidak mudah menjadi pemimpin. Dikoreksi oleh rakyat yang miskin".

Puisi "Kesibukan Kota-Kota ’M’" yang dibaca Noviana Ayomsari yang juga mahasiswa Istitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta berisi tentang sudut lain berpikir atas hiruk pikuk kehidupan sejumlah kota di Indonesia yang huruf pertamanya "M".

"Ketika orang di Medan sibuk merumuskan budaya Batak, dan orang di Magelang sibuk mengurus museum pahlawan, dan  orang di Malang sibuk mengatur lintas ziarah, dan orang di Makasar sibuk meneliti sejarah bahari, dan orang di Merauke sibuk menggaris batas tanah-air, maka orang di Manado sibuk mencari nama baru untuk buburnya," demikian puisi karya Remy Sylado yang berdarah Manado, Provinsi Sulawesi Utara itu.

Beberapa puisi lainnya yang di sebagian besar barisan kalimatnya seakan memainkan nuansa sensual, namun menjadi pupus nuansa tabu itu ketika sampai baris-baris pamungkas, sehingga penonton pun terbahak-bahak. Seperti satu puisi lainnya karya Remy Sylado yang dibacakan malam itu oleh Bagor Endrawan, seorang seniman petani anggota Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan.

"Mei Hwa naik ranjang. Farouk naik ranjang. Lantas mereka tidurlah. Mei Hwa di Taipeh. Farouk di Kairo," demikian beberapa baris terakhir kalimat puisi mbeling berjudul "Kesetiakawanan Asia Afrika" itu.

Musofik yang seniman Grup Teater Godril, Kalibawang, Kabupaten Wonosobo menilai, "Malam Puisi Lima Gunung" yang diselenggarakan Komunitas Lima Gunung dalam rangkaian festival tahunan secara mandiri oleh seniman petani setempat itu sebagai peristiwa kebudayaan yang luar biasa. "Malam puisi ini melahirkan imajinasi dan inspirasi yang luar biasa," katanya.

Gepeng Nugroho yang juga pemimpin kelompok seni Sosialteatrikal Kota Magelang mengemukakan, dunia sastra yang dipersepsikan sebagai memiliki segmen khusus yakni kalangan masyarakat atas, ternyata menjadi cair ketika digarap Komunitas Lima Gunung untuk kalangan para seniman petani dusun dan gunung.

Kalimat-kalimat puisi yang menggunakan bahasa sehari-hari seperti belasan karya pilihan untuk sajian "Malam Puisi Lima Gunung" itu, katanya, tentunya pesannya lebih mudah ditangkap secara akrab oleh masyarakat biasa atau bahkan kalangan petani desa.

Selain itu, puisi mbeling sarat nuansa hiburan karena kental dengan humor yang segar untuk penyimaknya. "Seperti peristiwa malam puisi (10/7) ini. Masyarakat gunung dan desa bisa tertawa dan spontan langsung merespons ketika bersentuhan dengan karya-karya sastra itu, karena sarat humor. Mereka bisa memahami isi puisi karena memang tidak perlu berpikir berat," katanya.

Lewat puisi mbeling, barangkali memang lebih pas berbagai pesan tentang nilai kehidupan manusia diguyurkan kepada komunitas dusun dan gunung.


oase.kompas.com, Rabu, 11 Juli 2012 22:12 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler