Rabu, 26 Desember 2007
“Menggugat Tuhan” disini merupakan satu judul buku yang ditulis oleh Rahardi, F seorang romo katolik yang cukup concern dengan persoalan sosial dalam hubungannya dengan fenomena keberagamaan. Judul “Menggugat Tuhan” ini sama sekali tak dimaksudkannya untuk memberi cap negatif pada entitas Tuhan dengan kata “gugat” itu sendiri. Karena itu prasangka buruk hendaknya dijauhkan terlebih dahulu. Esai kali ini pun bukan dimaksudkan sebagai sebuah resensi buku, tapi lebih kepada satu usaha untuk memetik kebenaran dengan beranjak dari uraian buku tersebut. Dalam buku “Menggugat Tuhan” penulisnya mencoba menguraikan bagaimana pengamatannya tentang fenomena ketuhanan dan sosio-religio walaupun dalam konteks terbatas, yaitu seputar pengalaman dan kehidupan beragama dimasanya. Buku itu merupakan suatu tuturan pengalaman pribadi seorang Jawa Katolik yang mau serius, banyak bertanya dan berusaha menghayati imannya secara bebas dan personal dalam konteks sosial, budaya dan sejarah bangsanya.
Yang seterusnya lantas dia refleksikan dan bandingkan kembali dengan doktrin dan dogma yang telah dia pelajari dan aminkan selama ini. Nyatanya ada lebih dari satu “kontra” antara pilihan teologinya dengan realitas yang ada didepan matanya. Mulai dari persoalan tentang hantu yang ditakuti oleh penduduk, yang mayoritas beragama kristen; dukun sakti yang lebih disegani dan dianggap berkuasa dibanding dengan pastor atau malah kuasa Tuhan sendiri; tempat yang dikeramatkan penduduk desanya; juga paradoks Tuhan; sampai dengan persoalan sosial tentang budaya kristen ala kolonial, sampai dengan segala asesoriesnya.
Meski dalam hal ini penulis buku tersebut mencoba memikirkan tentang sesuatu yang tak masuk diakalnya, bahkan lebih cenderung menggugatnya dengan nalar rasional, namun ada satu point positif yang layak diacungi jempol. Yaitu, dalam menuliskan refleksinya tentang realitas sosial dan religiositas, penulis sadar betul bahwa dia bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan entitas Tuhan dengan segala karya agung-Nya yang tengah dipikirkannya. Ia sadar betul kalau dirinya adalah ciptaan yang penuh dengan segala keterbatasan, sedangkan yang coba dia selidiki adalah Sang pencipta, yang segala sesuatunya serba maha, dan tak mungkin masuk diakalnya, karena memang supra-akali (melampaui) akal.
Karena itulah penulis tadi mengambil sikap melakukan “pembiaran” segala sesuatu yang diluar akalnya. Maksudnya adalah, penulis tersebut mencoba meletakkan segala sesuatu pada porsinya. Tak lagi mencoba mengutak atik segala hal yang tersembunyi dan membiarkannya tetap menjadi misteri ilahi. Dan bila Allah berkenan membukakan bagi hamba-Nya, maka segala sesuatunya kan segera tersingkap dengan sendirinya. Memahami, memikirkan, menyelidiki dan mencoba mencari tahu tentang Tuhan itu adalah satu hal yang positif. Ini merupakan satu bentuk iman yang terekspresi, bukan satu iman yang buta – layaknya berjalan dalam keadaan gelap – tapi iman yang “mengerti”, iman yang berpenjelasan, iman yang mampu dipertanggungjawabkan.
Namun demikian memikirkan Tuhan pun juga harus dengan prasuposisi yang pas. Prasuposisi yang beranjak dari pengakuan iman bahwa Yesus adalah Tuhan. Dan iman itu sendiri merupakan anugrah ilahi yang begitu besar bagi orang yang dipilih-Nya. Dengan beranjak dari prasuposisi ini maka pencarian dan penyelidikan kita akan realitas Tuhan tetap selaras dengan rel yang sudah ditentukan. Dan tatkala menemukan satu hal yang tak terpecahkan, seperti yang dialami penulis tadi, maka segala sesuatunya sudah selayaknya dikembalikan kepada Sang empunya. Dan segala sesuatu yang misteri bagi Allah, biarlah itu tetap menjadi misteri-Nya. Sebab tatkala manusia mampu memecahkan semua misteri Ilahi, maka manusia secara kualitas sudah melebihi Tuhan. Dan itu merupakan kemustahilan. Dengan meletakkan iman dan ekspresi iman kita tetap terarah pada jalurnya, maka kita akan terus bergantung pada-Nya. Dengan terus bergantung pada-Nya niscaya kita kan diberkati dengan sukacita dan sensifitas rohani yang lebih. Bukankah ini yang kita harapkan bersama? Slamet Wiyono
Komentar
Tulis komentar baru