Skip to Content

CAKRAWALA PUISI 1985

Foto SIHALOHOLISTICK

Rendra, Protesnya Tak Terdengar Ampuh

Jakarta. Dalam usianya yang sudah 50 tahun, Rendra memperoleh kembali kebebasannya membacakan sajak. Penampilannya Senin malam di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), adalah isyarat resmi, bahwa kebebasannya tak lagi tergadai. Bahwa dia, mulai malam itu, boleh tampil sebanyak dia mau. Penyelenggara acara Drs. Soeparmo dan Hardi menyatakan dengan jelas semalam, bahwa TIM, membuka lebar pintunya bagi Rendra.

“Tapi saya tidak bisa dipaksa dong,” kata Rendra kepada “SH” sambil melanjutkan, “Idealnya tiap ada inspirasi untuk pentas saja. Sekedar tampil dan hura-hura di panggung apa untungnya?”

Selain tergantung ispirasi, penyair dan dramawan berkaliber dunia ini juga sekarang senang menetapkan bayaran. Misalnya saja penampilannya secara tunggal di TIM, 10 dan 11 Desember mendatang (terakhir dia baca sajak tunggal di TIM tahun 1979), pihak TIM akhirnya mengalah soal bayaran.

“Saya mau Rp 3 juta, tidak bisa kurang. Sah atau tidak sah harus dibayar segitu. Saya sadar betul kok. Lho, saya kan butuh makan, bayar listrik, bayar kontrak rumah. Lagipula apa artinya Rp 3 juta? Bukankah bagi seseorang merupakan ongkos jalan-jalan semalam saja?” tambahnya.

Tidak saja baca sajak, TIM pun berselera benar agar Rendra mau menggebrak dengan teaternya. Rendra oke-oke saja, tapi kini justru TIM yang mikir-mikir, sebab sang dramawan minta Rp 35 juta …!

Jaman telah berubah, katanya. Sekarang jaman industri, bukan jaman pertanian. “Jadi pengelola bayaran seniman juga ala industri dong,” katanya.

Selain honor, ia juga mengajukan syarat, penampilannya harus merupakan perwujudan ekspresi diri secara buas dan jujur. “Dari dulu saya bukan orang kompromistis,” ujarnya.

Pemilihan sajak yang dibaca malam itu dikatakan tak ada penyensoran. Ada sajak “Pamflet Penyair”, “Bersatulan Pelacur-Pelacur Ibukota” dan “Suto Mencari Bapa”.

Penampilannya malam itu, dalam beberapa hal masih tetap Renda yang dulu. Dia memang seorang aktor. Lihat ketika dengan gaya mendongeng mengisahkan “Suto Mencari Bapa”, sepanjang 18 lembar. Ia ekspresif dan memikat.

Yang Hilang

Tapi juga seolah ada yang hilang dari dirinya. Ketika membaca “Pamflet Penyair” umpamanya, tak lagi ada greget. sosial yang ditudingkannya, tak lagi terdengar ampuh. Gelegar suaranya tak lagi selantang dulu-dulu. Ini bisa dimaklumi. Kevakuman sekian lama, barangkali membuatnya lelah ….

Penampilan penyair F. Rahardi, dalam sajak-sajak sejenis Rendra, cukup menarik. Bahasa kemasannya amat rapi dalam kekocakan dan serba simbolis. Beberapa sajaknya yang diambil dari kumpulan “Catatan Harian Sang Koruptor” di antaranya; “Tentang Peristiwa Priok”; “Tentang Rakyat”; “Kuitansi”, dan lain-lain.

“Cakrawala Puisi 1985″, selama dua hari, diselenggarakan sebagai salah satu rangkaian acara merayakan HUT TIM ke-17. Biarpun yang tampil Rendra, harga karcis termahal selama ini, Rp 2.000 dan hari kedua itu bangku-bangku hampir penuh terisi, bukan berarti mencatat sukses.

Selain Rendra, yang terbaik di antara yang jelek adalah penampilan F. Rahardi, Leon Agusta, dan Renny Jayusman. Selebihnya benar-benar tak bermutu. Hal ini menampakkan kesan penyelenggaraan yang asal-asalan, teramat longgar menyeleksi penyair-penyair yang tampil.

Barangkali wajar jika bakal tak memukau, sebab, beberapa hari sebelumnya, sudah muncul berbagai kasak-kusuk yang merupakan rentetan akibat kacaunya persoalan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan TIM. Beberapa penyair yang diharapkan muncul malam itu seperti Yudhistira dan Noorca ANM, Massardi, Kurniawan Junaidi Seno Gumira, Arifin C. Noer, Sandi Tyas, Motinggo Busye, tak muncul.

Sementara mereka yang malam itu tampil, mengesankan barisan sakit hati, yang selama ini merasa tak digubris DKJ. Tengok Eka Budianta, yang membawa acara, selalu mencari-cari kesempatan membakar-bakar keretakan hubungan DKJ-TIM.

Yang sayang, yang malang adalah bintang film Soraya Perucha hari pertama dia tampil, dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Dia membaca saat penonton tak banyak, dan nampaknya harus belajar selukbeluk baca puisi. Tak seekspresif Renny Jayusman, namun toh, penonton pasti terhibur dengan kemolekan wajahnya. (GT/B-6)

Sumber : Sinar Harapan, Rabu 13 November 1985

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler