Skip to Content

PUITIKA RUMAH SAKIT JIWA DALAM SAJAK-SAJAK F. RAHARDI

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh : Afrizal Malna

BEBERAPA kali F. Rahardi mengatakan kepada saya bahwa sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Soempah WTS (Puisi Indonesia 1983), ia buat dengan main-main. Tidak jelas apa yang ia maksud dengan “main-main”. Apakah ia merupakan suatu cara dalam menulis sajak, yaitu cara main-main. Atau keseluruhan dari sajak-sajaknya adalah merupakan suatu permainan, suatu yang main-main, sesuatu yang tidak serius, yang tidak memiliki usaha terhadap pendalaman, suatu yang bernilai hanya sebagai suatu permainan. Dan apabila ini diteruskan akan menjadi : main-main merupakan salah satu gaya penulisan sajak.

Apa yang telah dikatakan oleh F. Rahardi mengenai “main-main” ini telah membuat saya harus lebih hati-hati dalam membaca sajak-sajaknya dalam kumpulan tersebut. Karena pertama sekali persoalan yang saya hadapi adalah : kalau ia hendak menampilkan sebuah permainan dalam sajak-sajaknya, permainan apakah yang hendak ia ajukan?

Benda dalam puisi

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya harus mengatakan bahwa tulisan ini tidak untuk membuktikan sejauhmana sajak-sajak F. Rahardi sebagai hasil dari suatu usaha yang main-main, yang hanya berhenti sebagai “yang main-main”. Tetapi bagaimanakah suatu “cara main-main” menjadi suatu kerja kreatif dalam penulisan sajak. Karena menulis sajak ia berarti bagaimana penyair memperlakukan dan bersikap terhadap realitas dan pengalamannya sendiri dengan cara puisi yang membedakannya dengan cara yang bukan puisi. Walaupun ia dapat mempergunakan cara lain menjadi kekuatan bagi puisi-puisinya sebagai usaha kreatif penyair. Tetapi tetap ia tidak sedang menulis sesuatu yang bukan puisi.

Sajak pertama yang saya ajukan dalam tulisan ini (“Ulangtahun Sabun” : kamarmandi berlumur coklat/ lilin digumul handuk/ detik ini sabun berulangtahun/ busa wanginya sampai ke/ hidung astronout/ tuhan menjabat badannya/ selamat panjang segala-galanya, katanya/ sabun tersipu/ sabun terpeleset/ masuk/ toilet), nyaris seperti hendak membuktikan bahwa ia sedang bermain-main terhadap suatu hal yang sebenarnya tidak main-main.

Kamar mandi yang biasanya berfungsi sebagai tempat pembersi bagi segala yang kotor, dalam sajak ini telah berubah menjadi ruang upacara, ruang pesta bagi sabun. Sabun sebagai alat pembersih (bagaimanapun harumnya, nasibnya selalu akan ditentukan oleh apa yang akan ia bersihkan : masuk keselokan bersama-sama dengan segala apa yang bernasib sebagai kotoran), dalam sajak ini sedang berulangtahun, sedang berada dalam sebuah upacara di kamar mandi berlumur coklat.

Bahwa apa yang terjadi dalam sajak tersebut, kalau ia kita biarkan bicara dengan bebas dalam tulisan ini, ia akan berkata : “Apakah yang bisa diperjuangkan oleh sesuatu yang bernasib sebagai sabun, bagaimanapun harumnya ia”. Suatu upacara kesia-siaan : upacara menuju “toilet”.

Sajak tersebut, seperti juga dengan sajak-sajak F. Rahardi lainnya yang terkumul dalam Soempah WTS, memiliki kecenderungan yang kuat untuk menghadirkan sajak-sajaknya melalui imaji-imaji kongkrit. Benda-benda bermain dengan berani dalam sajak-sajaknya. Sehingga sajak-sajaknya tidak memiliki “daya lambung”, tetapi lebih kepada “daya tindak” yang secara indrawi ia langsung menyesuaikan diri : kamarmandi, coklat, lilin, handuk, busa, hidung astronout, badan, sabun, toilet, hampir seluruh dari sajak Ulangtahun sabun tersebut dipenuhi oleh imaji kongkrit. Bahkan Tuhan yang juga turut hadir dalam sajak tersebut, muncul sebagai sesuatu yang bersifat personal yang dapat menjabat tangan sehingga ia terbuang sebagai yang memiliki dimensi ragawi.

Pada sajak yang lain kesan tersebut semakin terasa, Ciliwung : buat siluman kwitang/ fosil cair/ sekarat/ mabuk tinja/ hansip dan jendral/ angkat tangan/ tukang becak/ terberak-berak/ di becaknya/ gubernur muntah/ monas terjungkal/ jakarta/ lemas/ nyusul/ jadi fosil.

Imaji-imaji kongkrit bermunculan begitu saja dalam sajak tersebut. Suatu cara melihat Jakarta dengan mengangkat sesuatu yang kongkrit yang bertebaran di sekitarnya sebagai cara ia menulis puisi. F. Rahardi nyaris tidak berhubungan sama sekali dengan abstraksi-abstraksi. Pelukisan dalam puisinya blok-per-blok dengan sosok-sosok yang nyata. Sehingga dalam puisi-puisinya kita nyaris hanya berhadapan dengan benda-benda yang diletakkan secara aneh, dengan cara yang sakit. Untuk itu boleh dikatakan kalau seorang anak hendak menunjukkan akan perutnya yang sakit, tidak dengan mengatakan bahwa perutnya sedang sakit (“sakit” sebagai sesuatu yang abstrak karena orang lain tidak dapat langsung turut merasakan atau melihat dengan kongkrit bahwa orang itu benar-benar sedang sakit perut), tetapi langsung dengan cara yang aneh dan kongkrit ia memukuli perutnya agar penyakitnya berhenti atau agar orang lain menjadi tahu bahwa ia sedang sakit perut. Atau dengan cara F. Rahardi menjadi : “perut terjungkal ke dalam toilet”. Sehingga menimbulkan interpretasi yang surealis.

Hal tersebut secara keseluruhan telah menjadi ciri utama dari sajak-sajaknya dalam kumpulan Puisi ini. Sajak hampir sepenuhnya ia hadapkan kepada imaji-imaji kongkrit yang ia mainkan semaksimal mungkin tanpa pretensi terhadap keindahan formal seperti dalam tradisi penulisan puisi konvensional.

Puisi dan senirupa

Pengajuan imaji-imaji kongkrit dalam sajak F. Rahardi ini telah mengingatkan saya kepada Gerakan Senirupa Baru yang pernah muncul tahun-tahun 70-an yang banyak menampilkan imaji-imaji kongkrit dalam karya-karya 3 dimensi. Seperti patung Ken Dedes yang memakai celana bloe-jien dengan kancing celana yang terbuka dan buah dada telanjang karya Jim Supangkat, atau bantal dan guling yang diikat dengan rantai besi di atas kasur karya Harsono.

Kata-kata yang biasanya bersifat verbal dalam sajal-sajak Rahardi menjadi bersifat visual. Sekaligus apa yang telah terjadi dengan sajak-sajak Rahardi ini telah mendamaikan beberapa persoalan yang pernah muncul dari beberapa mahasiswa senirupa ITB yang tergabung dalam kelompok Puisi Bebas GAS ITB. Mereka membuat puisi dengan menggabungkan unsur gambar dengan kata. Persoalan yang mereka bawa berkata : “… suatu kali kami yang akrab dengan sastra dan senirupa mengalami getaran puisi yang lain. Diterjemahkan alam media verbal nggak pas, diungkapkan dalam media visual nggak klop. Bagaimana ini? dan dicobalah media overlap dari dua media di atas, lahir puisi-puisi bebas jenis  puisi-kata-rupa….” (Eddy Soet, Puisi Bebas GAS ITB, Seloka, No. 4 Th. II. 1979).

Dalam sajak-sajak Rahardi, puisi dibebaskan dari abstraksi, dan ia langsung bertindak terhadap hal-hal yang kongkrit dan praktis. Puisi dijauhkan dari abstraksi dan didekatkan kepada tindakan. Dengan kata lain Rahardi tidak meletakkan puisinya melambung ke tinggi langit, tetapi langsung berguling di atas tanah secara kongkrit.

Apa yang terjadi dengan sajak-sajaknya ini, jejaknya juga dapat kita telusuri dengan Puisi Mbeling (sebutan lain : puisi awam dan puisi lugu) yang juga pernah muncul pada tahun-tahun 70-an dengan corongnya : Remy Sylado, Sanento Juliman, Suriaatmadja, Jeihan dan lain-lain. Salah satu puisi mereka misalnya : “saya ada dalam puisi/ saya ada dalam cerpen/ saya ada dalam novel/ saya ada dalam roman/ saya ada dalam kritik/ saya ada dalam esei/ saya ada dalam w.c./ siapakah saya?/ jawab : h.b. jassin” (Mahawan, Teka-teki, Aktuil, no. 182, 1975). Sedangkan mengenai tifografi sajak-sajak Rahardi, jejaknya dapat ditelusuri kepada sajak-sajaknya Sutardji Caloum Bachri dengan nafas yang berbeda.

Memasuki kamar tikus

Memasuki sajak-sajak Sutardji kita lebih banyak memasuki pengalaman-pengalaman metafisik maupun pengalaman eksistensial mengenai maut, sakit, sepi, waktu dan seterusnya. Akan tetapi memasuki sajak-sajak Rahardi saya seperti memasuki “rumahsakit jiwa”. Fungsi-fungsi benda menjadi jungkir-balik secara indrawi di hadapan kesadaran yang juga terjungkir. Sehingga lalu-lintas realitas, pengalaman dan logika menjadi kacau dalam sajak-sajaknya. Apa yang terjadi dengan sajak-sajaknya seakan-akan telah mempergunakan logika orang berpenyakit jiwa. Tetapi dengan cara itulah ia membawa sajak-sajaknya dalam menyimpulkan gejala-gejala sosial yang sakit ke dalam sajak-sajaknya.

Salah satu sajaknya yang mengatakan tentang itu misalnya, “Doktorandus Tikus I : selusin toga/ me/ nga/ nga/ seratus tikus berkampus/ di atasnya// dosen dijerat/ profesor diracun/ kucing/ kawin/ dan bunting// dengan predikat/ sangat memuaskan”.

Ia menerobos begitu saja aturan sopan-santun berbahasa. Kata-kata yang dianggap tabu ia pergunakan begitu saja seperti misalnya : pantat, berak, hot, kawin, dipeluk hostes, tai, BH, berzinah, kentut, kencing, kolor, beberapa nama tempat pelacuran, dan bunting; yang sesungguhnya juga sering kita temui dalam hubungan sehari-hari. Selain itu juga kita sering mendapatkan kata-kata seperti : babi, anjing, kecoa, dan sebagainya. Sehingga memasuki sajak-sajak Rahari saya juga seperti sedang memasuki kamar atau kandang yang jorok dan ganjil.

Kalau sajak-sajaknya yang terkumpul dalam kumpulan Soempah WTS ini kita hadapkan kepada sajaknya sebelum kumpulan ini, jauh berbeda. Seperti misalnya dalam sajaknya “Kemudian Tertidurlah Aku” ini: “ketika kantuk menyeret-nyeret sandal/ mendekati ranjang: aduh/ nikmatnya penat seharian/ seperti terlolosi sumsum tulangku// sementara dingin menyusup-nyusup ke selimut/ cerita-cerita itu lagi di halaman rumput/ pot-pot bunga bisik-bisik cemara/ tentang manusia-manusia saling berbunuhan// di tangan sebilah pedang/ di mana-mana tanah dan darah bergelimangan/ perkosaan lagi/ pembunuhan lagi/ maka pelan-pelan Tuhan pun meninggalkan kami” (Suara Karya, Minggu, 13 Mei 1973).

Dalam Soempah WTS, Rahardi lebih cenderung menghasilkan “shock-shock puitik” yang hanya bertugas menjungkirkan kehidupan manusiawi kita sehari-hari ataupun gejala-gejala sosial dengan permainannya yang berani. Dalam judul-judul sajaknya saja sudah kelihatan seperti : Thermobabi, Boxer, Sepotong Paha Tikus Dokterandus Tikus, Ulangtahun Sabun, Jas Anti Korupsi, Negeri Mangga, Komik Silat, Permen Batu, Selamat Wafat, Silsilah Kangkung, dan seterusnya.

Bahasa dan penyair

Apa yang telah dilakukan Rahardi dengan sajak-sajaknya itu, menjadi berarti karena usahanya dalam menggumuli Bahasa yang tumbuh dan ditawarkan oleh gejala-gejala sosial yang mengakibatkan terjadinya bergeseran-pergeseran nilai-nilai moral, reliji, etika yang menjadi sumber kreatifitasnya.

“Bahasa” di sini harus dibaca tidak sebagai kata-kata dalam komunikasi verbal antar manusia. Akan tetapi bahasa dalam pengandaian bahwa setiap gejala, setiap realitas, setiap keadaan, memiliki atau menghasilkan bahasa dan manusia yang masing-masing relatif berbeda pada setiap keadaan. Atau dapat saya katakan apabila penyair Amir Hamzah masih hidup sampai sekarang ini, ia memiliki kemungkinan besar akan menemukan bahasa kepenyairannya yang berbedengan sajak-sajak sebelumnya dimana pantun masih kuat hidup dalam sajak-sajaknya, karena setting sosialnya yang berbeda antara masa kini dengan semasa ia hidup.

Dan sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya merasa perlu unuk menambahkan bahwa bahasa yang saya maksudkan di sini tidak sebagai teknik atau bentuk penulisan sajak, tetapi lebih sebagai persepsi, sebagai wawasan dan sikap posisi kepenyairan seorang penyair. Sehingga di tengah-tengah persoalan-persoalan sosial-budaya, spesialisasi di bidang-bidang ilmu dan kerja yang terus saja semakin kompleks, penyair memerlukan peralatan-peralatan dari bidang-bidang lain untuk mempertajam peralatan-peralatan estetis dan kepekaan sosialnya. ***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler