Karya sastra Indonesia banyak bertebaran dengan jumlah penulis produktif yang cukup melimpah. Soal kualitas, karya sastra lokal tak kalah dengan karya sastra negara tetangga. Itu bisa dibuktikan dari sejumlah karya penulis Indonesia yang diganjar penghargaan dari dalam maupun luar negeri. Sayangnya, kualitas dari karya-karya sastra yang baik itu belum bergaung di panggung dunia.
Apa kendalanya? Salah satunya karena tak banyak karya sastra lokal yang diterjemahkan dalam bahasa asing, terutama dalam bahasa Inggris sehingga tak banyak dibaca oleh masyarakat dunia. Problematika sastra Indonesia tersebut merupakan pembahasan dalam diskusi Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia yang digelar Kamis (19/5), di Canteen Plaza Indonesia. Putu Wijaya, Dewi Lestari, John McGlynn, dan Mira Lesmana didapuk sebagai pembicara dalam kegiatan itu dengan Tina Talisa sebagai moderator.
Selain diskusi, acara tersebut sekaligus menjadi ajang peluncuran Seri Modern Library of Indonesia. Seri tersebut merupakan karya-karya sastra Indonesia yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Karya tersebut merupakan karya sastra lokal yang dianggap penting serta berharga dalam menyuarakan zamannya, dimulai dari periode awal sastra Indonesia yang dianggap modern, yaitu tahun 1920-an hingga karya sastra terkini.
Peluncuran seri yang digagas Yayasan Lontar bekerja sama dengan Djarum Foundation tersebut saat ini telah mencakup sepuluh judul pertama. Di antaranya Telegram karya Putu Wijaya, Supernova, karya Dewi Lestari, Never the Twain (Salah Asuhan) karya Abdoel Moeis, The Pilgrim (Ziarah) karya Iwan Simatupang dan Shackles (Belenggu) karya Armijn Pan "Dalam kurun tiga hingga lima tahun mendatang diharapkan terbit 50 judul agar dunia dapat mengenal dan mendokumentasikan sejarah perkembangan masyarakat Indonesia melalui sastra," ujar John McGlynn, penyunting seri Modern Library.
Dikatakan John, kegiatan penerjemahan di Indonesia memang boleh dikatakan terlambat dibanding negara tetangga. Tak dimungkiri, biaya yang menjadi salah satu kendalanya. Sekarang kegiatan tersebut bisa digalakkan berkat kecanggihan teknologi percetakan. Dengan sistem yang canggih, karya yang telah diterjemahkan bisa dikirimkan dengan mudah ke percetakan yang ada di penjuru Eropa hingga Amerika Serikat. "Untuk membeli, tinggal memesan secara online saja," ujar John yang belajar bahasa Indonesia 40 tahun silam.
Putu Wijaya tak menyangkal bahwa sastra Indonesia kurang dikenal di luar negeri. "Saat saya menghadiri festival sastra Horisonte di Berlin, seorang penyair Amerika terkejut begitu tahu saya berasal dari Indonesia. Dia tak menyangka, di Indonesia ada pengarang. Setahunya Indonesia hanya ada seni pertunjukan tradisional saja," ungkap pria asal Bali tersebut.
Dewi "Dee" Lestari pun mengaku miris dengan minimnya kegiatan penerjemahan karya sastra lokal dalam bahasa Inggris. Sebagai pengarang, dia cukup merugi dengan kondisi tersebut. "Ketika menghadiri sebuah festival sastra di Australia, saya cukup malu karena tak dapat menunjukkan karya saya yang telah diterjemahkan," katanya.
Dewi menambahkan, penerjemahan karya sastra merupakan kegiatan yang cukup penting Mengingat, sastra bukan sekadar cerita. Sastra merupakan cerminan dari bangsa dan bisa menjadi duta bangsa yang cukup penting di kancah internasional. "Sastra yang baik akan menjadi public relation yang baik pula di dunia international," imbuh mantan personel Rida Sita Dewi tersebut. (ign/Jawa Pos)
Rendah, Penerjemahan Karya Sastra
- 12688 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru