Skip to Content

"Sampek Engtay", dari Teater Koma sampai Basiyo

Foto indra

Kali ini merupakan cerita asmara yang dibawa mati dari gadis Giok Eng Tay dengan pria idamannya, Nio Sam Pek. Eng Tay berasal dari kalangan berada dan terpandang, sedangkan Nio Sam Pek datang dari keluarga sederhana.

Ayah Eng Tay akan menjodohkan putrinya dengan Macun, putra orang terpandang. Oleh karena itu, ayah Eng Tay tidak merestui hubungan putrinya dengan Sam Pek.

Sekali peristiwa, Sam Pek meninggal dunia. Sementara itu, Eng Tay dan Macun telah diperjodohkan. Dalam sebuah perjalanan, Eng Tay menengok makam Sam Pek. Eng Tay mendapati makam terbuka dan ia pun melompat masuk ke dalam kubur tersebut. Pasangan itu menjelma menjadi sepasang kupu-kupu yang terbang dengan indahnya. 

 

Merakyat

Jauh sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1931, film Sampek Engtay telah diputar di gedung bioskop di negeri ini. Situs Film Indonesia (filmindonesia.or.id) mencatat, film ini digarap oleh The Teng Chun (1902-1977) sebagai sutradara, penulis, dan produser.

Di ranah seni pertunjukan tradisional, lakon Sampek Engtay juga populer sebagai lakon. Di Bali, Sampek Engtay termasuk lakon yang sering dipentaskan dalam seni pertunjukan tradisional drama gong.

Di Jawa, Sampek Engtay juga menjadi bagian dari lakon favorit dalam pertunjukan ketoprak Jawa. Seniman lawak Yogyakarta, Basiyo (1911-1979), membuat kaset lawak Sampek Engtay.

Basiyo sendiri adalah pemain ketoprak, yang antara lain sering tampil bersama kelompok ketoprak Sapta Mandala, milik Kodam (dulu VII) Diponegoro. Jika Basiyo mengambil Sampek Engtay sebagai bahan berkomedi-lisan, hal itu karena Sampek Engtay memang telah menjadi bagian dari lakon pentas ketoprak yang sangat dikenal oleh masyarakat penikmat ketoprak. Legenda cinta itu sama populernya dengan lakon klasik ketoprak lainnya, seperti kisah cinta Jayaprana-Layonsari atau kisah Roro Mendut-Pronocitro.

Sampai era tahun 2000-an, ketika panggung ketoprak mulai meredup, Sampek Engtay masih bersinar. Dirjo Tambur, tokoh ketoprak Yogyakarta, bersama Marwoto dan Den Baguse Ngarso tahun 2005 memanggungkan lakon Sampek Engtay. 

 

"Menjawa"

Sampek Engtay versi dagelan Basiyo dan ketoprak adalah Sampek Engtay yang sangat Jawa. Bahasa, dialog para pemain, tak ubahnya dengan lakon-lakon ketoprak lain, yaitu menggunakan bahasa Jawa.

Tokoh Sam Pek dan Eng Tay menggunakan bahasa Jawa ngoko atau bahasa percakapan sehari-hari yang digunakan orang dalam posisi setara. Adapun kepada orang yang lebih tua, Sam Pek dan Eng Tay menggunakan bahasa Jawa kromo inggil atau bahasa halus.

Tidak ada upaya untuk men-”china-china-”kan dari Basiyo saat memainkan Sampek Engtay. Sebagai perbandingan, ada upaya pelawak yang menggunakan dialog dan lafal yang dimaksudkan agar terkesan China dan karena itu mungkin dianggap memancing tawa.

Basiyo sebagai Sam Pek adalah Basiyo yang Jawa, seperti lazimnya ia berkomedi sebagai tukang becak dalam lakon Basiyo Mbecak atau maling Kontrang-Kantring.

Sejumlah lakon dalam ketoprak menggunakan sebutan koh untuk memanggil tokoh Sam Pek. Namun, ada pula yang menggunakan kata kang, bahasa Jawa yang artinya kakak.

Begitulah Sampek Engtay telah merasuk menjadi bagian dari khazanah seni pertunjukan. Catatan dari penelaah budaya Jakob Sumardjo menyebut, Sampek Engtay telah tersebar secara lisan terlebih dahulu di lingkungan kaum China peranakan di Indonesia sebelum akhirnya dituliskan dalam sastra.

Disebut oleh Jakob, bacaan paling tua dalam bahasa Melayu Rendah di Indonesia tentang Sampek Engtay muncul pada tahun 1885, yaitu dalam Tjerita Dahoeloe Kala di Negeri Tjina Terpoengoet dari Boekoe Mendjadikan Tjina San Pik Ing Taij. 

 

Teater Koma

Meski telah menjadi seperti legenda rakyat, nasib Sampek Engtay pernah terlunta-lunta di pentas teater. Kelompok Teater Koma pernah dilarang mementaskan Sampek Engtay pada Mei 1989 di Medan, Sumatera Utara.

Alasan Gubernur Sumatera Utara saat itu adalah Sampek Engtay dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Gubernur menyebut Sampek Engtay tidak sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1976 tentang pelaksanaan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.

Padahal, sebelumnya di Jakarta, pada Oktober 1988, Sampek Engtay telah digelar tanpa larangan.

Zaman telah berganti. Teater Koma belakangan telah belasan kali mementaskan Sampek Engtay. Tahun ini merupakan tahun ke-25 N Riantiarno dan kawan-kawan mementaskan Sampek Engtay.

”Ada banyak hal yang membikin kami menemukan hal-hal yang tetap saja baru meski sudah 25 tahun kami pentaskan,” kata N Riantiarno, pendiri, aktor, dan sutradara Teater Koma.

Cerita rakyat, bagi Riantiarno, selalu memiliki kemampuan untuk diterjemahkan asal dalam kondisi yang cocok dan pas.

”Bukan hanya dari China lakon ini berasal, melainkan cara kami menjalin kisahnya sehingga menjadi lakon manusia. Lakon bersumber dari Banten dan Sampek Engtay bersekolah di Betawi. Eng Tay kawin dengan Macun, tetapi mampir di kuburan Sam Pek. Lalu Sam Pek dan Eng Tay menjadi kupu-kupu di Pandeglang,” katanya.

Sampek Engtay disebut Riantiarno sebagai kisah percintaan di mana pun. Kisah kegagalan yang kemudian menyatukan. ”Saya ingin kisah ini membikin kita menghargai kehidupan. Dari mana pun lakon ini berasal,” katanya. (Putu Fajar Arcana/Frans Sartono)


oase.kompas.com, Sabtu, 9 Februari 2013 09:04 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler