Skip to Content

SASTRA, ABDUL HADI WM, DAN ORIENTASI PENCIPTAAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Republika, Minggu, 22 Juni 2008

 

Ahmadun Yosi Herfanda
Redaktur dan pelayan sastra

 

Peran dan keberadaan (eksistensi) Abdul Hadi WM dalam sastra Indonesia sangat paradigmatik. Dia tidak hanya muncul sebagai penyair dan sastrawan ternama, tapi juga membawa konsep estetika penting — puitika sufistik — yang cukup berpengaruh pada perkembangan kesastraan Indonesia pada masanya dan masa sesudahnya.

Jika kebudayaan adalah sistem nilai, dan kesastraan adalah ekspresi terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM — dengan nilai-nilai esoterik Islam yang dikembangkannya melalui sastra itu — adalah paradigma kebudayaan Indonesia. Dia adalah contoh penting dari sedikit sastrawan Indonesia — bersama Kuntowijoyo, dan Emha Ainun Nadjib — yang dengan gigih mencoba membangun tradisi penciptaan (sastra) baru yang lebih mencerahkan.

 

ORIENTASI PENCIPTAAN

Bagaimana sebuah karya sastra dicipta dan bagaimana fungsinya di masyarakat, sangat tergantung pada komitmen estetik, dan orientasi penciptaan pengarangnya. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi.

Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatik. Misalnya saja, sastra untuk pencerahan dan pencerdasan masyarakat, untuk sosialisasi nilai-nilai dan ajaran agama, untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial tertentu guna mendorong proses perubahan sosial.

Dalam bahasa tokoh renaisans Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana, sastra harus memiliki fungsi pencerdasan masyarakat. Dan, karena itu, sastra tidaklah bisa hanya bermewah-mewah dengan keindahan untuk mencapai kepuasan seseorang dalam mencipta, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh pembangunan bangsa. Sastra, harus membuat orang (pembaca) lebih optimis dan menghadapi hidup dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis. Dan, ini dibuktikannya melalui novel Layar Terkambang serta Kalah dan Menang.

Orientasi yang cenderung pragmatik itu juga terlihat pada sajak-sajak patriotik Rabendranat Tagore yang ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris, sajak-sajak Kahlil Gibran yang ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di berbagai negara, atau sajak-sajak cinta tanah air Moh Yamin yang ikut mendorong tumbuhnya rasa cinta tanah air dan kesadaran akan pentingnya memiliki bangsa yang merdeka. Dan, tentu juga terlihat pada sajak-sajak Abdul Hadi WM yang ikut mendorong peningkatan kualitas kesalehan sosial dan spiritual pembacanya.

Sajak berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat berikut ini cukup representatif untuk menggambarkan komitmen dan orientasi estetik Abdul Hadi WM:

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

Bila dibaca sepintas, sajak tersebut di atas terkesan sederhana, hanya menggambarkan kedekatan penyair (Abdul Hadi WM) dengan Tuhannya, dengan metafor api dan panas, kain dan kapas, serta angin dan arahnya. Tapi, kalau dikaji secara intertekstual — dengan metode intertekstualitasnya Julia Christeva — sajak tersebut dapat dikaitkan dengan konsep yang rumit tentang tasawuf.

Menurut Kristeva, intertekstualitas merupakan kunci untuk memahami sebuah teks sastra secara lengkap. Dalam dua bukunya — Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1979) — Kristeva mengingatkan pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam menafsir teks sastra.

Menurutnya, sebuah teks sastra diciptakan di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu, selalu ada relasi antara suatu teks sastra dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks sastra dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.

Puisi memang karya imajinatif — lahir melalui proses penciptaan yang mengandalkan kemampuan pencitraan (imagery) tentang suatu pemikiran atau perasaan tertentu. Tetapi, persoalan yang diangkat akan selalu berkait dengan persoalan yang hidup di ruang dan waktu yang kongkret, yang mempengaruhi pikiran dan perasaan penyairnya, serta keyakinan estetik – bahkan ideologi dan keberagamaan — sang penyair.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler