Skip to Content

Sastra Selfie, Apa Itu?

Foto Hikmat
files/user/4/sastra-selfie-senjakala-ruang-sastra-di-media-massa.jpg
Diskusi Sastra 'Senjakala Ruang Sastra di Media Massa' di Gedung Olveh, Kota Tua, Jakarta, Kamis (28/4/2016)

Dunia sastra Indonesia sekarang tengah gagap karena perkembangan teknologi. Bila di media sosial muncul istilah selfie, demikian pula di dunia sastra.

Sastrawan Triyanto Tiwikromo menilai saat ini sastra Indonesia cenderung menjadi sastra selfie. "Sastra selfie itu, sastra yang pengarangnya memuji diri sendiri. Sastra kita hari ini seperti itu," kata Triyanto dalam diskusi 'Senjakala Ruang Sastra di Media Massa' di Gedung Olveh, Kota Tua, Jakarta, Kamis (28/4/2016).

Pembicara diskusi ini selain Triyanto adalah Djenar Maesa Ayu (penulis, aktris dan sutradara film), Agus Noor (penulis, sutradara teater), dan Putu Fajar Arcana (penulis dan redaktur budaya dan sastra Harian Kompas).

Sastra selfie juga bisa disebut sebagai sastra narsistik karena pengarangnya jatuh cinta pada dirinya sendiri sehingga nyaris tidak membutuhkan kritik.

Sastra Indonesia sekarang menjadi Sastra Selfie, urai Triyanto, sebab ketiadaan kritik atas sastra. Kritik atas sastra baik puisi ataupun cerpen tidak pernah ada lagi di koran-koran yang menerbitkan karya sastra.

Sementara itu koran masih mempertahankan karya sastra meskipun ruang yang diberikan terus berkurang. Saat ini diakui Triyanto dan Arcana tengah terjadi senjakala ruang sastra di media. Triyanto menuturkan, Suara Merdeka, koran terbitan Semarang tempatnya bekerja, misalnya, yang sebelumnya memberikan 4 halaman untuk karya sastra kini telah memangkasnya hanya menjadi satu halaman.

Putu Fajar Arcana mengungkap selama ini sastra harus bersaing dengan berita dan reklame untuk mendapatkan ruang di harian. "Kalau seperti ini terus, sastra dalam posisi rentan untuk dikalahkan," kata Arcana.

Agus Noor optimistis sastra akan tetap berumur panjang meskipun media massa berubah. Apapun perubahan yang terjadi akibat teknologi, orang akan mencari subtansi kemanusiaan dan itu diberikan oleh sastra.

"Dulu Sapardi Djoko Damono menerbitkan 300 buku susah sekali menjualnya. Sekarang setelah ada dunia digital malah laris. Contoh lain kafe-kafe yang mengundang Joko Pinurbo untuk tampil juga selalu penuh," kata Agus Noor.


Sumber: detik.com, Jumat, 29 April 2016 07:50 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler