Skip to Content

SETELAH RAHARDI GAGAL TAMPILKAN WTS DI TIM

Foto SIHALOHOLISTICK

Toety Heraty : “Solidaritas Sesama Kaum Wanita Saja” ; HB. Yasin : “Apakah Penonton TIM Sudah Siap Menerima Kehadiran WTS” ; Wahyu Sihombing : “Menampilkan WTS, dengan Maksud Promosi” ; Imam Dhipo : “DKJ Tidak Mendidik”.

Surat yang datang dari Toety Heraty, dewan kerja harian DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) untuk penyair F. Rahardi cukup mengejutkan. Bahkan surat yang bernomor 270/DPH/R/VIII/1984 itu dianggapnya bagai petir disiang hari bolong. Isinya Frans Rahardi yang ingin membacakan sajak-sajaknya di TIM bersama beberapa WTS (Wanita Tuna Susila) ibukota dilarang tampil. Akibatnya pembacaan sajak 31 Juli 1984 di TIM itu peran WTS digantikan penuh oleh anak-anak kecil dari teater Adinda.

Selain datangnya larangan menampilkan WTS secara mendadak, juga isinya banyak dianggap oleh para pengamat kesenian sebagai satu penghambatan. Malahan cenderung dianggap tidak mendidik bagi seniman muda yang lagi tumbuh dengan kreatifitasnya sendiri.

Mula Rahardi yang dikenal sebagai wartawan, coba-coba menjadi penyair dan siap membawakan karyanya dengan beberapa WTS. Ada beberapa puisinya yang khusus membahas masalah WTS. Untuk menunjang topik utama itupun ia telah mengamati dan mempersiapkan jauh-jauh hari. Tapi dengan adanya larangan itu maksud ideal menampilkan para WTS jadi kacau balau. Yang disayangkan lagi anak-anak teater Adinda yang mendampingi Rahardi, jadi menggantikan peran WTS. Sehingga timbul kesan jelek kepada ketua harian DKJ itu. Keterlibatan anak-anak dalam pembacaan sajak, khususnya membacakan sumpah WTS sangat disayangkan oleh HB. Yasin yang juga punya kaitan banyak dengan DKJ ini. Begitupun dengan T. Mulya Lubis, bekas penyair yang juga pengacara menyayangkan sikap Rahardi. Dengan larangan itu, seharusnya ia tidak tampil saja. Daripada ia tampil tidak dengan tema pokok yang telah di gembar-gemborkan, atau tidak sesuai dengan apa yang telah diamatinya. “Pembatalan pembacaan itu lebih baik daripada Rahardi tampil setengah-setengah,” ujar T. Mulya Lubis.

Dengan adanya larangan tampilnya WTS yang akan membacakan sumpah WTS-nya, Rahardi-pun melemparkan tuntutan ganti rugi. Serba mendadaknya larangan tampilnya WTS ini, Rahardi mengajukan tuntutan sebesar Rp 1.563.000,- (satu juta limaratus enampuluh tigaribu rupiah) sebagai ganti kerugian dana pengamatan ke beberapa lokalisasi WTS. Nah, disitulah awalnya jadi ramai, karena mengundang berbagai tanggapan seperti yang dikumpulkan oleh “MM” berikut ini.

Toety Heraty, menanggapi keberatan-keberatan surat yang telah ditandatanganinya mengatakan prinsipnya pada solidaritas sesama kaum wanita saja. Sebagai sesama wanita ia merasa keberatan WTS tampil di TIM. Karena hal itu bisa mengakibatkan terjadinya komersialisasi seni sekaligus komersialisasi WTS. Oleh karena itu katanya, tampilnya WTS di Pusat Kesenian Jakarta ini akan menimbulkan anggapan yang kurang baik terhadap WTS itu sendiri. Apalagi dalam rencana pembacaan puisi itu mereka akan ditampilkan dalam posisi punggung kearah penonton. “Sebagai seorang wanita saya merasa begini. Bukankah ini rencana pengeksploitasi WTS?” tanya Toeti lagi.

Khusus menanggapi tuntutan dari Rahardi, Toeti dengan tenang mengatakan gugatan itu menunjukkan keangkuhan seorang penyair. Namun begitu biar bagaimanapun pembatalan ini jadi tanggungjawab penyair dan DKJ sendiri.

HB. Yasin, memang mendukung sepenuhnya, jika pembacaan “Sumpah WTS”nya Rahardi dibacakan oleh para WTS. Hanya saja sastrawan ini masih ragu, apakah penonton sudah siap menerima kedatangan para WTS. Apakah penonton di TIM sudah dewasa semua. Artinya, jika WTS naik pentas justru tidak menjadi hinaan para penonton sendiri. “Saya kira para penonton inilah sebelumnya yang harus dipikirkan masak-masak oleh Rahardi. Sebab, kalau tidak bisa saja para WTS, yang maksudnya Rahardi baik, justru akan menjadi hinaan, kata HB. Yasin.

Wahyu Sihombing, bekas anggota dewan yang kini dosen IKJ (Institute Kesenian Jakarta) ini mengomentari masalah tuntutan Rahardi kepada DKJ. “Sayapun keberatan kalau WTS tampil di panggung sastra,” katanya. Dianggap oleh Wahyu, hal itu hanya sensasi dengan maksud-maksud promosi saja. Dan hal itu merupakan satu tindakan yang tidak wajar dengan melibatkan para WTS berarti juga merusak citra kesenian yang indah ini.

“Kalau Rahardi menuntut DKJ sekian juta rupiah dan bermaksud menyelesaikannya ke meja pengadilan untuk membantu dewan,” ujarnya. Menurut Sihombing, Rahardi adalah penyair angkuh dan sombong, sedang penyair WS Rendra saja tampil di TIM membacakan puisinya berjudul “bersatulah pelacur-pelacur Ibukota” tidak harus dengan sensasi. Tapi cukup dengan sikap dan kemampuannya sebagai seorang penyair.

Hardi, pelukis yang senang akan kritik sosial ini menganggap larangan DKJ tidak beradab dan tidak manusiawi. Untuk materinya sendiri, menurut Hardi jarang sekali orang seperti Rahardi. Sebab katanya kita kekurangan penyair yang senang kritik sosial. Mungkin saja ia bisa menggantikan kedudukan Rendra kelak. Karena dulu juga Rendra telah menyentuh pelacur melalui puisi-puisinya. Oleh karena itu saat ini Rahardi tampil berarti angin baru dan angin segar.

Imam Dhipo Winoto, pelukis ini merasa tidak aneh dengan sikap-sikap Dewan Kesenian Jakarta seperti itu. “Dari dulu sampai sekarang memang begitulah Dewan Kesenian Jakarta itu,” katanya. Lebih banyak tidak mendikte daripada membinanya.

Dianggap oleh pelukis ekspresionisme ini DKJ terlihat terlalu mengada-ada dengan pelarangan terhadap WTS tampil di TIM. Apa salahnya mengajak kebenaran kepada WTS yang dikenal “tidak baik” itu, bukankah tugas seniman diantaranya memberikan nilai-nilai keindahan dan ideal.

Oleh karena itu Dhipo menghimbau DKJ untuk melepaskan sok penguasanya. Lagi pula batasan-batasan bagi seniman-seniman yang ingin disponsori DKJ tidak jelas kriterianya. Lebih banyak menunjukkan sistim “klik” atau kelompok. Sebab yang sering disponsori kebanyakan orang-orang itu lagi. Mau barulah atau bertingkah macam apapun asal orang dari kelompoknya tidak banyak mendapat hambatan dari DKJ. “Ini musti dihapuskan karena DKJ dibiayai oleh rakyat. Dan pertanggungjawabannya harus kepada rakyat,” tegasnya. (M. Ismail/Agus)

Sumber : Merdeka, Minggu 12 Agustus 1984

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler