Skip to Content

Simpang di Jalan Pintas : Antara Proses dan Hasil

Foto Deni eko santoso

“....walau hidup kadang tak adil ...”

                                    Nidji – Laskar Pelangi

Kadang hidup memang seperti itu, terasa tak adil bagi seorang manusia. Ketidak adilan ini – yang notabene adalah asumsi, memaksa manusia melakukan sesuatu yang diluar kehendaknya, diluar dogma-dogma yang ia pegang teguh. Reaksi seperti itu tak bisa sepenuhnya disalahkan, karena memang naluri bawaan manusia adalah bergerak mencari zona nyaman. Jika memang keadaan ini terus-menerus berulang, berarti ada yang salah.

Semua orang pasti sepakat kalau menggunakan jalan pintas akan mempermudah proses menuju hasil. Semua orang juga pasti sepakat kalau ternyata tidak semua jalan pintas itu pantas ditempuh, karena ada norma anti kecurangan yang berlaku. Namun meski aturan norma ini sudah disepakati, ada saja orang yang tidak mengindahkan norma dan menggunakan jalan pintas untuk mencapai tujuan. Kembali ke awal, hal ini dilakukan karena ketidak adilan yang mereka alami.

Ambilah contoh yang paling mudah, mencontek. Mencontek bisa dianggap sebagai usaha seorang siswa melarikan diri dari ketidak adilan yang mereka rasakan. Dunia pendidikan sedikit demi sedikit mulai terasa seperti dunia industri, dimana hasil menjadi begitu diperhitungkan. Hasil ini pun dituntut untuk didapatkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sehingga muncul istilah siswa unggulan. Semakin cepat si anak menjadi pintar dan memiliki nilai yang bagus, semakin bangga orang tua.

Yang kadang menjadi masalah adalah tidak semua anak diberkati kecerdasan yang sama. Dengan pendekatan pendidikan yang seragam, anak-anak beruntung yang diberkati kecerdasan tentu akan tampak lebih pintar dan lebih menonjol. Nilai mereka lebih bagus dari siswa yang lain. Pertanyaan ibu bapak guru akan mereka jawab secara sempurna. Mereka akan dielu-elukan di sekolah oleh para guru, dan diarak orang tua dengan rasa bangga. Di sinilah rasa ketidak adilan muncul di sanubari siswa-siswa yang kebetulan tidak diberkati kecerdasan yang sama.

Para siswa (yang tidak diberkati kecerdasan) ini akan mengalami kehidupan yang menyedihkan. Di sekolah mereka akan dicerca oleh bapak ibu guru, sedangkan di rumah mereka akan dimarahi orang tua. Kehidupan yang menyedihkan ini sangat kontras dengan siswa cerdas, dan akan terus berulang hingga mereka diakui menjadi siswa pintar. Bagaimana caranya ? Betul, mendapatkan nilai 100 di kertas ujian.

Pepatah mengatakan kalau orang cerdas akan kalah dengan pekerja keras, dan itu benar adanya. Mengakui ketidak cerdasan mereka dan belajar dengan sungguh-sungguh menjadi skenario terbaik bagi para siswa yang tidak cerdas ini. Sebagai antitesis, skenario terburuknya adalah mereka memutuskan menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan nilai 100 karena tidak tahan dengan ketidak adilan yang mereka rasakan. Dalam bahasa yang lebih mudah, mereka memilih mengerjakan ujian dengan cara yang curang demi mendapat nilai 100, entah dengan mencontek atau cara-cara lainya yang tidak bisa dibenarkan secara moral. Disinilah letak dimana simpang jalan pintas itu ditemukan, antara proses atau hasil, antara idealisme dengan realitas. Dalam keadaan ideal, tentu jalan pintas tidak akan dipilih dengan alasan moral. Namun dalam keadaan penuh tekanan dan ketidak adilan, jalan pintas adalah opsi yang menjanjikan.

Ingat, dulu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau perusahaan dagang India Timur yang merupakan perusahaan terbesar di dunia, akhirnya hancur dan dijadikan bahan olok-olok di negara asalnya, Belanda. Singkatan VOC disatirkan menjadi Vergaan Onder Corruptive yang berarti “hancur dibawah korupsi”. Kehancuran ini bukan tanpa sebab, para pegawainya banyak yang terpaksa menggunakan jalan pintas demi menutupi mahar modal menjadi pegawai VOC. 

Pak Karno dulu tak pernah bosan mengingatkan kita tentang Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan Sejarah. Jika VOC yang begitu kuat saja bisa hancur akibat kesalahan memilih di simpang jalan pintas, bagaimana dengan siswa-siswa pendidikan saat ini ? Mencontek, bermain curang, dan lain sebagainya yang diklasifikasikan sebagai jalan pintas harus dibuang jauh-jauh dari pikiran para siswa. Jangan jadikan nilai sebagai dewa, jangan biarkan ketidak adilan merajalela. Semua anak dilahirkan sebagai maestro dalam jutaan cabang ilmu yang ada di dunia. Biarkan para siswa lebih mencintai proses belajar yang menyenangkan daripada mencintai puja puji karena nilai 100 di kertas ujianya. Cintai prosesnya, bukan hasil. Proses akan menempa diri, sedangkan hasil hanya fatamorgana. Mencintai

Karena pada akhirnya, syair lagu Nidji – Laskar Pelangi diawal akan lengkap jika dituliskan sebagai berikut.

“....walau hidup kadang tak adil, tapi cinta lengkapi kita”

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler