Skip to Content

Sudah Saatnya Peningkatan Kerjasama Budaya Indonesia dan Malaysia

Foto ombi

Hubungan budaya antara Indonesia dan Malaysia belakangan ini dalam situasi yang kurang bagus. Masalah budaya makin tertinggal, sedangkan politik dikedepankan sehingga mengurangi kesantunan yang menjadi kekuatan kedua bangsa.

Lembaga dan komunitas budaya yang ada, seperti Sastra Reboan dan E-Sastra bisa melakukan kerjasama untuk membuat solusi bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam suatu program bersama yaitu International Writing Program. Reboan dan E- Sastra

"E-Sastra dan Sastra Reboan perlu memikirkan bagaimana bisa menjadi twin brothers untuk bekerjasama dan berkreativitas baik di Jakarta maupun kota-kota di Malayasia," tegas Dato' Kemala yang juga memuji milis Apresiasi Sastra (Apsas) sebagai wadah komplet karena menampilkan karya-karya klasik dan modern. Milis Apas juga memberi kesempatan bagi kritik-kritik sastra seperti yang diberikan oleh Saut Situmorang dan Hudan Hidayat.

Demikian disampaikan oleh penyair ternama Malaysia, Dato' Dr. Kemala dalam Dialog Sastra di Sastra Reboan, 28 Januari 2009 di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan. Selain menghadirkan Dato' Kemala, acara rutin yang diselenggarakan oleh Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar MaLam) ini juga menghadirkan cerpenis Agus Noor dan Kurnia Effendi.

Dari pengunjung tampak Hudan Hidayat, Zen Hae, Endo Sugondo, Mustapha Ismail, Dianing Widya Yudhistira, moderator Apsas Dorsey Elisabeth Silalahi, Teguh Esha, anggota milis Bunga Matahari, Apresiasi Sastra dan kemudian.com.

Presiden bagi Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia sejak tahun 1993 ini juga mengatakan, kerjasama yang sudah ada selama antara kedua negara umumnya menampilkan sastrawan yang sudah dikenal. Festival-festival yang seremonial harus diminimalkan, diganti dengan tindakan-tindakan yang praktis.

Dibuka dengan sajian tiga lagu dari November Band, acara yang dipandu oleh MC Budhi Setyawan dan Nurul Wardah itu segera bergulir dengan penampilan penyair muda, Mas Wong Agung yang telah menerbitkan buku puisinya "Namaku Kalah". Disusul dengan dialog bersama Dato' Kemala yang membagi pengalaman tentang dunia sastra Malaysia, termasuk panggung bagi sastra di sana.

Dato' Kemala yang pernah meraih SEA Writer Award tahun 1986 juga membawakan tiga puisinya, yang diambil dari bukunya `Syurga Ke Sembilan", yang juga telah dituangkan dalam musikalisasi dengan judul sama. Di album ini Dato' Kemala menyanyikan puisinya "Mundam Birahi".
"Ini pertama dan terakhir kalinya saya menyanyi,' ujarnya ketika lagu itu diputar sebelum ia memembaca.Puisi lainnya yang dibacakan adalah tentang pelukis besar Indonesia, Affandi.

Penyair asal Surabaya yang aktif menulis naskah film, Kirana Kejora tampil dengan dua puisinya "Kesaktian yang Terlambat" dan "Padma Kuning". Puisi, katanya sebelum beraksi, membuat saya jadi pintar melihat berbagai masalah kehidupan.

Selanjutnya Ikranegara, penyair yang juga dramawan dan pemain film tampil membacakan puisinya tentang Washington DC, dan tentang Jakarta.
Puisi pemeran Pak Harfan di film "Laskar Pelangi" ini bercerita tentang kondisi social dan politik dari kedua Negara yang berbeda kondisi ekonominya tetapi masih memiliki ketimpangan sosial yang cukup memprihatinkan.

Pembacaan puisi terus berlanjut. Diah Hadaning, yang masih tetap aktif menulis. membawakan dua buah pantun sebagai sebuah penghormatan terhadap kehadiran Dati' Kemala penyair Malaysia. Dengan gaya teatrikal beliau mampu menyihir penonton dengan suara dan totalitas penghayatan.

Berbeda dengan penyair Slamet Widodo yang membawakan puisinya "Simpenan". Penulis buku `Selingkuh" ini mampu memberikan suasana segar dengan lirik-lirik puisinya yang kocak, sederhana tapi mengena.

Mata acara seputar cerita pendek mini atau cermin yang sudah ditunggu penonton menampilkan Agus Noor dan Kurnia Effendi. Keduanya saling melengkapi dengan contoh seputar cermin ini, dengan Agus Noor yang lebih banyak membawakan beberapa karyanya seperti Revolusi Terakhir, Misteri Mutilasi, Perselingkuhan Pertama, Sebutir Debu, Bayi dan Kisah Seorang Psikopat

Kurnia Effendi, cerpenis ternama yang sudah malang melintang sejak masa majalah Anita Cemerlang mengemukakan, sebagai genre sastra sah-sah saja cerpen mini ini tak ubahnya cerpen, prosa lirik atau cerpen dinding. Tapi sebagai prosa, cermin ini menentang arus, seperti yang terjadi di Malaysia dengan tidak lakunya novel-novel tipis karena tidak memenuhi harapan pembaca.

Penerbitan buku cermin belum tentu laku karena lebih pada bersifat gagasan, dan ini bisa kesepian di masa mendatang karena secara industri tak ada penerbit yang akan tertarik, sehingga akan kehilangan medium, tak ada yang mengelu-elukan. Medium yang ada adalah internet.

Hal ini diamini oleh Agus Noor. Dikatakannya, fiksi mini menemukan ruang publikasi yang cukup signifikan di dunia internet...ketika semua berkelebat begitu cepat, informasi terus bergerak cepat internet, maka fiksi mini seperti menemukan relevansinya: ia cepat dibaca, sekelebat dan cocok dengan ritme internet

Acara akhirnya ditutup dengan penampilan Sahlul Fuad yang membacakan sebuah cerpen mini.
Sastra Reboan mendatang akan hadir di Wapres, Bulungan pada 25 Februari mendatang.


www.artikel-indonesia.co.cc

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler