Skip to Content

Wawancara Gerson Poyk: Melarat Jika tak Menjilat

Foto Hikmat
files/user/4/gerson-poyk.jpg
Sastrawan Gerson Poyk. ©2016 merdeka.com

Seorang laki-laki tua keluar dari sebuah rumah berukuran sedang di Jalan Raden Saleh, Depok. Kepala dan janggutnya sudah berwarna putih. Langkahnya lamban dan sedikit mengerutkan dahi melihat tamu yang tak dikenal menyambangi kediamannya.

"Saya Gerson Poyk," katanya sembari membetulkan kancing bajunya ketika merdeka.com menyalaminya usai menanyakan seorang bocah perempuan yang tak lain adalah cucunya sendiri. Gerson Poyk adalah salah satu sastrawan Indonesia yang cukup terkenal. Sejak ia berkarya tahun 1950, 100 judul buku berupa antologi puisi, cerpen dan novel sudah dihasilkannya.

Gerson Poyk menjadi potret suram sastrawan Indonesia yang hidup dari karya tulisnya. Dengan idealisme tinggi untuk terus menghasilkan karya sastra bermutu, Gerson seperti tak peduli dengan tubuh ringkih dan sakit asam urat yang menyerang lututnya. Gerson terus menulis meski upahnya tak cukup untuk masa tuanya.

"Ini dompet orang miskin," kata penerima Anugerah Southeast Asia Write Award 1982 ini berseloroh ketika mengambil uang untuk membeli teh botol. Gerson tak kaya, bahkan tetap bersahaja hingga usianya yang ke-85.

Menurut pria asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur itu, menjadi sastrawan di Indonesia susah secara ekonomi. Selain karena kurangnya perhatian pemerintah, karya-karya sastra yang dihasilkan di Indonesia kurang dihargai. Ini berbeda sekali jika dibandingkan di luar negeri. Miris.

Berikut petikan wawancara Marselinus Gual dari merdeka.com dengan Gerson Poyk di kediamannya, Kamis (28/4): 

 

Kebanyakan sastrawan kita hidupnya sangat bersahaja, bahkan boleh dikatakan miskin secara ekonomi. Pendapat anda?

Sastrawan itu miskin ya (tertawa). Ya, karena mungkin mereka tidak mau bergabung dengan lembaga ekstraktif itu tadi. Dia tidak penjilat. Ada sastrawan yang penjilat, menulis tentang orang kaya lalu jadi buku, dapat uang banyak dan bisa beli mobil dan sebagainya. Dia penjilat ke atas tegang ke bawah. 

 

Mungkin bisa diperjelas lagi?

Ada sastrawan kita yang masih dengan idealismenya tapi ada juga yang menjilat. Orientasinya ekonomi bukan sebuah humanisme universal. 

 

Kecenderungan itu di Indonesia semakin kuat atau bagaimana?

Ya masih ada beberapa teman saya, tetapi tidak semua. Kalau bergandengan dengan orang kaya ya artinya mereka dapat uang banyak.  

 

Nasib secara umum sastrawan Indonesia itu seperti apa?

Hidupnya susah, ada yang mati muda, umur pendek karena hidup susah. Tapi saya, walaupun saya menganggur dari tahun 70-an, tapi saya melihat lubang-lubang kecil di koran, saya manfaatkan untuk tulis cerpen, lalu wesel datang. Saya masih bisa menguliahkan anak-anak. Jadi harus ada pandangan jitu.

Di majalah anak-anak saya tulis sampai 10 cerpen lalu uang datang dan malah saya bisa bantu teman-teman. Saya pencari lubang-lubang tikus untuk dapat makanan. 

 

Benarkan sastrawan kurang mendapat perhatian pemerintah?

Sudah ada sejak Soeharto, ada Inpres untuk proyek sastra. Saya pernah dapat untuk novel saya. Tapi sejak saat itu sangat kurang, bahkan di era Jokowi.  

 

Artinya pemerintah belum menjamin sepenuhnya kehidupan sastrawan di Indonesia?

Belum. Belum tercerahkan. Padahal sebuah karya sastra yang lahir dari sebuah negara adalah harta yang bisa dipakai secara universal. Seperti di Jerman misalnya, karya-karya sastra itu dipakai untuk kehidupan mereka. Di India ada karya-karya besar dan sebagainya.  

 

Apakah faktor yang membuat penulis muda takut untuk menjadi sastrawan?

Mengkhawatirkan kalau hal itu terjadi ya. Tapi kita menolak hal itu terjadi di Indonesia.


Sumber: merdeka.com, Jumat, 29 April 2016 08:35 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler