Skip to Content

EKSPRESI KARYA SASTRA (1): EKSPRESI PUISI

Foto SIHALOHOLISTICK

EKSPRESI PUISI

 

A.    Menulis Puisi

Ekspresi tulis puisi adalah segala kegiatan yang memungkinkan kita mendapatkan pengalaman artistik dalam menulis puisi. Pada saat Anda menemukan peristiwa yang luar biasa, misalnya jatuhnya pesawat terbang, gerhana matahari total, atau gelapnya siang hari karena letusan sebuah gunung berapi, perasaan apa yang ingin Anda ungkapkan? Apabila Anda mendapatkan hadiah undian ratusan juta rupiah atau bertemu dengan saudara yang telah beberapa tahun menghilang, perasaan apa yang akan Anda luapkan? Sedih, gembira, bahagia, atau campuran dari semuanya? Pengalaman tersebut merupakan bahan berharga apabila diekspresikan melalui puisi.

Barangkali kita tidak dengan sengaja menulisnya sebagai puisi karena hanya menuangkannya, misalnya, ke dalam buku harian. Cobalah buka kembali buku harian Anda. Mungkin Anda akan terkejut karena di sana Anda telah menguntai kata dan kalimat secara emotif. Hal itu tidak saja karena Anda telah mengekspresikan diri Anda sendiri, namun kondisi manusia sebagai homo ludens ‘makhluk bermain’ dan homo fabulans ‘makhluk bersastra’ mendorong kita untuk melakukan semua itu.

Apabila kegiatan menulis buku harian itu kita lakukan sebagai pengisi waktu luang, kini kita akan mencoba berekspresi secara khusus, yaitu dengan menulis puisi lama dan modern. Kegiatan ini, meskipun khusus menulis puisi, hendaknya jangan dianggap terlalu serius. Yang penting adalah mengembangkan imajinasi dan emosi kreatif kita dengan sarana puisi yang sudah kita kenal, yaitu puisi lama dan puisi modern.

  1. Menulis Puisi Lama

Puisi lama merupakan puisi yang terikat oleh syarat-syarat, seperti jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima dan irama, serta muatan setiap bait. Silakan Anda perhatikan puisi lama berikut:

dari mana datangnya lintah

dari sawah turun ke kali

dari mana datangnya cinta

dari mata turun ke hati.

Puisi di atas adalah salah satu bait puisi lama dalam bentuk pantun. Apabila Anda akan menulis puisi lama dengan bentuk demikian, syarat-syarat yang harus Anda patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus berjumlah empat, jumlah suku kata dalam setiap lariknya harus antara delapan dan dua belas, rimanya mesti berpola a-b-a-b (larik ke-1 dan larik ke-3 mesti sama, demikian juga larik ke-2 dan larik ke-4), dan dua larik pertama mesti memuat sampiran, sedangkan dua larik terakhir mesti memuat isi, makna, amanat, atau pesan pantun.

Penyebutan puisi lama disebabkan adanya fenomena puisi setelahnya yang dianggap baru. Namun, yang lebih perlu Anda pahami adalah bahwa puisi lama merupakan pancaran masyarakat lama atau warisan budaya nenek moyang kita yang masih hidup dalam tradisi lisan. Karena tradisi ini menuntut orang mengingat dan menghafal, maka wajar saja jika dalam puisi lama terkandung syarat-syarat tertentu. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut karena dijadikan sarana dalam berekspresi secara berulang-ulang, maka jadilah formula atau kaidah tetap yang menjadi ciri setiap bentuk puisi. Bentuk lainnya yang juga termasuk puisi lama adalah bidal, gazal, gurindam, mantra, masnawi, nazam, kithah, rubai, seloka, syair, talibun, dan teromba.

Meskipun bentuk puisi lama cukup banyak, kita akan menekuninya sebagian saja, terutama yang masih memengaruhi penulisan puisi modern, yaitu pantun, syair, dan mantra.

Pantun 

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pantun merupakan ragam puisi lama. Baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap larik biasanya terdiri atas empat kata atau delapan sampai dengan 12 suku kata dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu merupakan kiasan atau sampiran, sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat dalam larik ketiga dan keempat. Berdasarkan struktur dan persyaratannya, pantun dapat terbagi ke dalam pantun biasa, pantun kilat atau karmina, dan pantun berkait.

Pantun biasa adalah pantun seperti kita kenal lazimnya dan rincian persyaratannya telah kita singgung di atas, namun dengan tambahan, isinya berisi curahan perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa. Pantun biasa pun dapat selesai hanya dengan satu bait. Perhatikanlah pantun berikut, yang termasuk pantun biasa dan cukup populer karena dijadikan lirik sebuah lagu oleh Rhoma Irama:

Berakit-rakit ke hulu

berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu

bersenang-senang kemudian.

Pantun kilat atau karmina memiliki syarat-syarat serupa dengan pantun biasa. Perbedaan terjadi karena karmina sangat singkat, yaitu baitnya hanya terdiri atas dua larik sehingga sampiran dan isi terletak pada larik pertama dan kedua. Perhatikanlah beberapa karmina berikut:

Ada ubi ada talas,

Ada budi ada balas.

Anak ayam pulang ke kandang,

Jangan lupa akan sembahyang.

Satu dua tiga dan empat,

Siapa cepat tentu dapat.

Pantun berkait, kadang-kadang juga disebut dengan pantun berantai, merupakan pantun yang sambung-bersambung antara bait satu dan bait berikutnya. Dengan catatan, larik kedua dan keempat setiap bait pantun akan muncul kembali pada larik pertama dan ketiga pada bait berikutnya:

Tanam melati di rumah-rumah

ubur-ubur sampingan dua

Kalau mati kita bersama

Satu kubur kita berdua.

Ubur-ubur sampingan dua

Tanam melati bersusun bangkai

Satu kubur kita berdua

Kalau boleh besusun bangkai

Meskipun pantun merupakan puisi lama, tidak ada yang akan melarang apabila kita memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam mayarakat lampau kita tidak terpisahkan di dalamnya. Contoh pantun di atas dapatlah dijadikan sebagian bukti.

Apabila kata-kata dalam contoh pantun tersebut dianggap terlalu arkais dan kemelayu-melayuan, kita dapat menggantinya dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Tentunya, semua kita lakukan dengan tetap mengikuti formula dan syarat-syarat sebuah pantun. Misalnya, dalam acara hiburan di salah satu televisi swasta, pantun yang bersifat humor telah menjadi paket acara tersendiri. Dalam acara rekreasi ke tempat objek wisata, ulang tahun, atau perpisahan, berbalas pantun melalui iringan gitar dapat pula dijadikan kegiatan pelepas lelah dan media berkenalan. Dengan pantun kita pun dapat memanfaatkan kelebihan dan kekurangan orang lain atau diri sendiri sebagai bahan gelak tawa, lelucon, dan banyolan yang dapat menyegarkan suasana. Di sela-sela kesibukan kuliah pun kita dapat membuat pantun, seperti berikut ini:

silau lentera di dalam tenda

tikus sawah di atap bambu

walau usia masihlah muda

lulus ujian tetaplah perlu.

burung perkutut di atas galah

kayu cendana dibuat bangku

tuntut ilmu tiada lelah

jadi sarjana cita-citaku

Apabila formula pantun di atas dianggap cukup panjang, kita dapat memanfaatkan karmina sebagai alat pergaulan. Biasanya para remaja menuliskan catatan tambahan dalam surat yang dituliskannya kepada seorang teman dengan karmina berikut:

empat kali empat enam betas,

sempat tidak sempat harus dibalas.

Seorang ketua tingkat dapat pula menempelkan secarik kertas di papan pengumuman dengan karmina berikut:

makan kupat disiram kuah,

jangan lupa kita kuliah.

Syair

Syair bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13, seiring dengan masuknya agama Islam ke nusantara. Seperti halnya pantun, syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik terdiri atas empat kata atau antara delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak pernah menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut. perbedaan pantun dan syair terletak juga pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka syair berpola a-a-a-a.

Karena bait syair terdiri atas isi semata, maka antara bait yang satu dan bait lainnya biasanya terangkai sebuah cerita. Jadi, apabila orang akan bercerita, syair adalah pilihan yang tepat. Cerita yang dikemas dalam bentuk syair biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau dapat juga rekaan semata dari pengarangnya. Syair yang cukup terkenal yang merupakan khazanah sastra nusantara, misalnya Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Syair Bidasari, Syair Abdul Muluk, Syair Ken Tambunan, Syair Burung Pungguk, dan Syair Yatim Nestapa. Marilah kita sejenak memperhatikan beberapa bait pengantar Syair Burung Pungguk:

Bismillah itu mulia dikata

Limpah rahmat terang cuaca

Berkat Mohammad penghulu kita

Ialah penghulu alam pendeta

Al rahman itu sifat yang sani

Maknanya murah amat mengasihani

Kepada mumin hati nurani

Di situlah tempat mengasihani

Al rahim itu pengasihan kita

Kepada Allah puji semata

Itulah Tuhan yang amat nyata

Memberi hambanya berkata-kata

Dengarkan tuan suatu rencana

Dikarang oleh dagang yang hina

Sajaknya janggal banyak tak kena

Dari pada akal belum sempurna

Mantra

Mantra adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama. Masyarakat zaman dulu percaya bahwa mantra itu mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan gaib lainnya. Namun, hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang diucapkan oleh seorang pawang dalam keadaan trance 'kerasukan'. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang bersifat sugestif.

Karakteristik mantra memang sangat unik. Karena keunikannya itulah kita tidak dapat membandingkan bentuknya dengan puisi yang telah kita singgung sebelumnya, baik dengan pantun maupun syair. Terlebih-lebih, mantra hanya dapat dilontarkan oleh orang yang dianggap telah memiliki syarat-syarat tertentu. Namun, untuk kepentingan ekspresi, tidak ada salahnya apabila kita mencoba untuk membuat mantra. Meskipun formula mantra tidak sekaku pantun dan syair, kita perlu juga mengetahuinya sehingga memudahkan kita untuk menyusunnya. Menurut Umar Junus (1983: 135), ciri­-ciri mantra adalah sebagai berikut:

  1. di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah;
  2. mantra mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi;
  3. mantra menggunakan kesatuan pengucapan;
  4. mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui bagian-bagiannya;
  5. mantra merupakan sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia karena merupakan sesuatu yang serius;
  6. dalam mantra terdapat kecenderungan esoteris (khusus) dari kata-katanya.

Sebagai contoh marilah kita perhatikan mantra berikut ini, yang biasa diucapkan pawang ketika mengusir anjing galak.

Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,

Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,

Pulanglah engkau kepada gunung guntung,

Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,

Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,

Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,

Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.

Kita belajar untuk membuat mantra bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya sebab anggapan seperti itu hanya terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kita kini mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam penulisan puisi. Terlebih-lebih, puisi modern yang akan kita bicarakan nanti masih memanfaatkan puisi lama, khususnya pantun dan mantra, sebagai alat ucap puitiknya.

2. Menulis Puisi Modern

Puisi modern dianggap berbeda dengan puisi lama sehingga ada yang menyebutnya dengan "puisi baru". Karena puisi modern tidak terikat lagi oleh syarat-syarat seperti pantun, syair, dan mantra, maka ada juga orang yang menyebutnya dengan "puisi bebas" dan karena puisi modern adalah puisi yang ditulis kini dan ada di sekitar kita kini, maka ada juga yang menyebutnya dengan "puisi mutakhir" dan "puisi kontemporer".

Puisi lama dengan puisi modern, meskipun berbeda, tidaklah bertolak belakang sepenuhnya. Dalam pertumbuhan awal puisi modern, kita masih dapat melihat pengaruh puisi lama di dalamnya, seperti tampak dalam puisi Sanusi Pane berikut:

DIBAWA GELOMBANG

Alun membawa bidukku perlahan,

Dalam kesunyian malam waktu,

Tidak berpawang, tidak berkawan,

Entah ke mana aku tak tahu.

Jauh di atas bintang kemilau,

Seperti sudah berabad-abad,

Dengan damai mereka meninjau,

Kehidupan bumi, yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara,

Seperti bisikan angin di daun;

Suaraku hilang dalam udara,

Dalam laut yang beralun-alun.

Alun membawa bidukku perlahan,

Dalam kesunyian malam waktu,

Tidak berpawang, tdak berkawan,

Entah ke mana aku tak tahu.

Puisi di atas terdiri atas empat larik setiap baitnya, per larik lebih kurang empat kata atau delapan sampai dengan dua belas suku kata dan berpola rima akhir a-b-a-b. Apabila kita perhatikan selintas, puisi tersebut sama dengan pantun. Namun, apabila kita telaah lebih lanjut, ternyata di dalamnya tidak terdapat sampiran. Apakah puisi ini berbentuk syair? Syair memang tidak memiliki sampiran, akan tetapi rima akhirnya mesti berpola a-a-a-a. Selain itu, isi puisi di atas bukanlah cerita, melainkan tumpahan rasa sebagai manusia yang tengah terombang-ambing sendirian di atas perahu dan di laut lepas. Gambaran manusia seperti itu tampaknya bukanlah khusus ditujukan kepada pengarangnya sendiri, melainkan untuk manusia pada umumnya. Dengan demikian, puisi ini memang menggambarkan manusia secara konkret, namun justru untuk menunjukkan keadaannya yang abstrak. Dengan kata lain, puisi ini menyimbolkan hidup manusia. Kecanggihan semacam ini tampaknya tidak pernah terdapat dalam puisi lama, baik pantun maupun syair.

Di samping itu, ada juga penyair modern yang menunjukkan pembaharuan puisi dengan sarana estetika puisi lama. Hal itu dapat dianggap sebagai ironi atau kritik terhadap puisi lama, seperti tampak dalam puisi Rustam Effendi berikut

BUKAN BETA BIJAK BERPERI

Bukan beta bijak berperi,

Pandai menggubah madahan syair,

Bukan beta budak Negeri,

musti merantut undangan mair.

Sarat saraf saya mungkiri

Untai rangkaian seloka lama,

beta buang beta singkiri,

sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan,

degup-degupan di dalam kalbu,

Lemah laun lagu dengungan,

matnya digamat rasaian waktu.

Sering saya susah sesaat,

sebab madahan tidak nak datang,

Sering saya sulit menekat,

sebab terkurang lukisan mamang.

Bukan beta bijak berlagu,

dapat melemah bingkaian pantun,

Bukan beta berbuat baru,

hanya mendengar bisikan alun.

Sanusi Pane dan Rustam Effendi adalah sastrawan yang tergolong ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini hidup sekitar tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 40-an. Akan tetapi, pengaruh puisi lama terhadap puisi modern tidaklah berhenti pada angkatan tersebut. Para penyair setelahnya, seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Sitor Situmorang pun masih menampakkan pengaruh itu, seperti tampak pada puisi "Beta Patti Rajawane”. “Mantera", dan "Lagu Gadis Itali". Bahkan, dalam puisi-puisi mutakhir kini, seperti karya Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar unsur-unsur lama itu tampak sekali. Semua itu dapat membuktikan bahwa para penyair modern tidak membuang begitu saja warisan para pendahulunya, melainkan menjadikannya sebagai sarana, bahan pengalaman artistik dan estetik, serta titik tolak penciptaan puisinya. Dengan kata lain, mereka masih tetap mempertimbangkan tradisi para pendahulunya.

Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa untuk sampai pada pemahaman puisi modern, kita dapat bertolak dari puisi lama. Demikian pula, untuk sampai pada penulisan puisi modern, kita dapat memulainya dengan menulis puisi lama. Jadi, tidaklah sia-sia kreativitas yang telah kita lakukan. Sekarang marilah kita mempersiapkan diri untuk membuat puisi modern. Namun, sebelum sampai pada proses kreatif penciptaan yang bersifat idividual, kita akan bersama-sama mencoaba untuk melatih imajinasi dan daya kreatif kita dengan mengikuti latihan berikut.

a)      Mendeskripsikan Objek Konkret secara Emotif

Objek konkret yang kita inderai, seperti kucing peliharaan, bunga melati, gunung, laut, dan air terjun dapat menjadi bahan pokok puisi kita. Penyair Abdul Hadi W.M. (dalam Eneste, ed,. 1984) pernah berujar, "Saya paling suka menulis puisi jika hujan sedang turun, atau sambil melihat kolam air yang memantulkan bayang-bayang benda di atasnya atau langit". Jika penyair saja menyukai objek yang kasatmata sebagai ilham bagi puisi-puisinya, apalagi kita yang baru mau belajar. Cara yang mudah adalah dengan mendeskripsikan seluk-beluk objek tersebut. Akan tetapi, karena kita tengah berlatih menulis puisi, deskripsi kita hendaknya dibangun dengan menggunakan bahasa yang bersifat emotif. Misalnya, ketika tengadah ke langit malam hari, seseorang takjub pada ribuan bintang yang tertebar di atas langit. Kemudian, ia mendeskripsikannya melalui puisi berikut.

Bintang

kemerlap jauh di atas sana

tertebar di langit hitam

Bintang

bertebaran ribuan jumlah

berhamburan melimpah ruah

Bintang, bintang, bintang!

Kapan kau terhampar di tanah

agar manusia tak kehilangan arah.

1972

b)      Mengurai Nama Diri

Nama adalah identitas pokok diri kita. Manusia dapat saling mengenal dan menyapa karena memiliki nama. Betapa kecewanya seseorang saat namanya tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mengikuti ujian. Saat mendapatkan ratusan nama yang berhak mendapatkan hadiah undian sebuah produk sabun di sebuah surat kabar, tentu Anda tidak bergembira karena nama Anda tidak tercantum di dalamnya. Sebaliknya, Anda berteriak kegirangan manakala huruf A sejajar dengan nama Anda dalam sebuah daftar nilai ujian. Semua membuktikan bahwa kita sangat peduli dengan nama kita sendiri.

Kepedulian terhadap nama diri dapat dimanfaatkan untuk belajar menulis puisi. Caranya, yaitu dengan menderetkan nama kita secara vertikal. Misalnya, orang yang bernama Rizal dapat mengurai namanya seperti berikut

R

I

Z

A

L

Kemudian, kembangkanlah imajinasi dan kreativitas Anda untuk melanjutkan setiap inisial atau huruf awal tersebut. Yang paling mudah adalah menguraikan keadaan atau pengalaman diri sendiri. Anggap saja, misalnya Rizal adalah seorang remaja yang sedang melamun untuk sampai pada hari ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ia menulis namanya di buku harian dengan mengurainya menjadi sebuah puisi.

Riangnya hati ketika datang suatu hari

ltulah ulang tahun yang telah lama dinanti

Zikir dan syukur kepada-Nya

Adalah tindakan yang paling utama

Lalu, aku undang semua teman dan saudara 

c)      Menulis Puisi Berdasarkan Tokoh dalam Sejarah, Mitologi, atau dalam Karya Sastra

Karya sastra, apakah cerpen, novel/roman, drama, atau puisi yang telah kita baca, dapat juga dijadikan media dalam belajar menulis puisi. Apabila Anda menyenangi tokoh tertentu dalam sebuah novel, Anda dapat saja menulis puisi berdasarkan tokoh tersebut. Puisi tersebut dapat merupakan suara tokoh tersebut (tokoh menjadi aku lirik), atau komentar kita mengenai tokoh tersebut. Selain karya sastra, tokoh dalam sejarah, wayang, atau mitologi dapat juga kita jadikan bahan penulisan puisi. Sebagian besar di antara kita tentu sudah mengetahui bahwa salah satu puisi Chairil Anwar yang berjudul "Diponegoro" atau puisi Amir Hamzah yang berjudul "Hang Tuah" bersumber dari mitos pahlawan. Perhatikanlah puisi berikut, yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi tersebut bersumber dari cerita wayang, yaitu Arjuna Sasrabahu atau Sumantri Ngenger:

PESAN

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencintai, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.

Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan.... 

d)     Mengkonkretkan Puisi dengan Bantuan Gambar

Kadang-kadang orang yang memiliki bakat lebih dari satu seni tidak akan pernah puas ketika dia membuat sebuah karya seni. Ada sebagian penyair yang mengkonkretkan puisi dengan tambahan gambar atau membentuk tipografi puisi sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, ada juga pelukis yang menambahkan kata-kata ke dalam lukisannya, seperti yang terjadi pada Zaini atau Herry Dim. Untuk puisi, kita dapat menyebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah seorang penyair puisi konkret. Kemudian, apa yang terbayang dalam benak kita ketika membaca puisi Akhudiat berikut ini:

( ( (plung) ) )

Puisi yang dikonkretkan melalui gambar, yang dikenal dengan puisi konkret, memang bukan hal yang baru. Di Amerika penyair E.E. Cummings pernah melakukannya, demikian pula penyair Appolonaire di Prancis. Apabila kita kini belajar menulis puisi konkret, tentu tujuannya bukan untuk membuat pembaharuan, melainkan untuk merangsang dan mengembangkan imajinasi. Hal ini dapat kita mulai, misalnya dengan membuat puisi tentang bunga, rumah, atau benda konkret lainnya, kemudian tipografi dan kaligrafinya kita susun sehingga serupa dengan objek yang kita jadikan bahan penulisan puisi.

e)      Menulis Puisi Berdasarkan Pengalaman Diri

Kita sering kali mendengar kata-kata, "Orang dapat menulis puisi ketika sedang jatuh cinta", atau "Kesedihan akan berkurang apabila dituangkan melalui puisi". Kata-kata tersebut, meskipun belum tentu menghasilkan puisi yang bermutu dari segi estetik, dapat Anda manfaatkan sebagai bahan berlatih dalam menulis puisi. Terlebih-lebih, manusia sebagai makhluk hidup tidak akan luput dari pengalaman, baik yang menyedihkan maupun yang membahagiakan. Pengalaman itu tidak perlu Anda tunggu sampai datang karena Anda dapat menghadirkan kembali pengalaman yang telah lampau. Ketika Chairil Anwar ditinggal nenek yang dicintainya, ia sangat sedih. Namun, kesedihan itu ia konpensasikan menjadi kegiatan kreatif sehingga ia mampu menciptakan sajak berikut:

 

NISAN

untuk neneknda

bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

Beberapa cara latihan di atas tampaknya masih umum sebab tujuannya sekedar merangsang imajinasi agar dapat berkreasi dengan menulis puisi. Namun, manfaatnya tak dapat diragukan sebab untuk belajar menulis puisi tidak ada jawaban lain, seperti kata Saini K.M., kecuali..."Tulis!"

 

B.     Membaca Puisi

 Istilah "baca puisi" (poetry reading) sudah akrab di telinga kita. Untuk meluncurkan antologi puisinya, penyair sering kali mengadakan acara baca puisi sebelum kritikus mengulasnya. Acara hari-hari besar, seperti HUT RI, Hari Pahlawan, atau acara penarik simpati dan solidaritas terkadang juga diisi dengan baca puisi. Selain itu, acara khusus yang bersifat kompetisi pun sering kali diselenggarakan.

Akan tetapi, perdebatan acap kali muncul manakala baca puisi dikaitkan dengan istilah lainnya, yaitu "deklamasi". Kedua istilah itu ada yang membedakannya secara hitam putih sehingga muncul fenomena yang aneh: baca puisi adalah berdiri mematung dengan teks puisi di tangan serta berusaha tidak bergerak dan deklamasi adalah membaca puisi yang telah dihafal dengan tambahan gerak artifisial. Apakah pembedaan itu memang demikian?

Memang harus kita akui, pemahaman orang terhadap kedua istilah tersebut belumlah sama. Mursal Esten (1987) dan Erizal Gani (1989) menganggap deklamasi dan baca puisi merupakan fenomena seni yang berbeda.

Dalam membedakan kedua istilah itu, biasanya orang langsung menghubungkan dengan kiprah Rendra sepulang dari Amerika. Baca puisi, katanya, merupakan oleh-oleh Rendra dari Negeri Paman Sam, yang langsung menggilas tradisi deklamasi di tanah air. Padahal, Rendra sendiri tidak membedakan kedua istilah itu. Bahkan, di Barat pembedaan baca puisi tidak dihubungkan dengan, deklamasi, melainkan dikontraskan dengan puisi oral (oral poetry). Menurut Preminger (1974:967--970), baca puisi merupakan tradisi baru, yaitu tradisi masyarakat yang telah mengenal dunia baca-tulis atau keberaksaraan, sementara puisi oral sebaliknya, yaitu tradisi masyarakat yang masih berada dalam dunia keniraksaraan.

  1. Dasar-Dasar dan Petunjuk dalam Membaca Puisi

Apabila kita menyaksikan orang membaca puisi, adegan itu sebenarnya hanya merupakan tahap akhir yang tampak ke permukaan. Kualitas tahap akhir ini bergantung pada tahap-tahap sebelumnya yang dapat kita sebut tahap dasar. Menurut Aritonang (1990), dasar-dasar baca puisi itu mencakup olah vokal, olah musikal, olah sukma, olah mimik, olah gerak, dan wawasan kesastraan. Apabila dasar-dasar ini telah kita kuasai, selanjutnya kita akan sampai pada proses pembacaan. Dalam proses pembacaan inilah kita berusaha mencapai kualitas baca puisi secara optimal. Hal itu dapat dimungkinkan apabila kita mengikuti tahap pembacaan sebagai berikut:

  1. membaca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi secara penuh);
  2. membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya vokal, tempo, timbre, interpolasi, rima, irama, dan diksi),
  3. membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan sebelumnya: segi-segi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya);
  4. membaca puitis.

Untuk sampai pada pembacaan puisi yang kita idam-idamkan, yaitu membaca puitis, kita dapat juga mengikuti petunjuk yang disarankan oleh Mursal Esten (1987):

  1. perhatikanlah judul puisi;
  2. lihatlah kata-kata yang dominan;
  3. selamilah makna konotatif;
  4. dalam mencari dan menemukan makna, yang benar adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa;
  5. tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya;
  6. jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip;
  7. temukanlah pertalian makna tiap unit puisi (kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait);
  8. carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi;
  9. perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis, religius, liris, atau epik?);
  10. tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan kepada teks puisi itu sendiri.

Rampak Puisi

Istilah rampak puisi tampaknya hanya dikenal di daerah Jawa Barat sebab merupakan analogi dari rampak kendang. Barangkali istilah ini sepadan dengan istilah yang digunakan oleh Rusyana (1982), yaitu "paduan baca" puisi.

Rampak puisi dapat dianggap sebagai varian dari baca puisi sebab pembacanya masih mengandalkan teks puisi. Perbedaannya, apabila baca biasa dilakukan oleh seorang pembaca, rampak puisi lazimnya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Selain itu, rampak puisi memiliki beberapa keuntungan. Misalnya, dalam membaca puisi epik atau naratif, pembaca puisi tunggal harus dapat membedakan narasi dan karakter tokoh, sedangkkan dalam rampak puisi,hal itu merupakan tugas bersama. Dalam membaca puisi, sebut saja, "Penangkapan Sukra" secara rampak, kita tinggal menyesuaikan para pembaca dengan karakter tokoh: siapa yang menjadi narator, Sukra, Putra Mahkota, perempuan yang menjerit, dan kelompok koor. Sebagian pembaca dapat juga bertugas memberi efek suara tertentu, seperti suara serigala, kuda, tombak yang dihentakkan, suara batin Sukra. atau suara keramaian orang.

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, rampak puisi tidak perlu memanfaatkan pentas secara optimal. Pembaca puisi hanya berusaha agar pembacaannya puitis dan agar tidak mengganggu pandangan penonton, para pembaca mestilah mengatur posisi bacanya sehingga "enak" dipandang.

Dramatisasi Puisi

Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan Panuti Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah "dramaan". Batasan kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya sastra, baik puisi, cerpen, dan lainnya menjadi drama. Dengan demikian, dramatisasi puisi dapat berarti "mendramakan puisi". Dalam hal ini, puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama. Misalnya, apabila dalam konvensi drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk pengarang dan wawancang/dialog/cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun demikian. Pendeknya, jika kita akan menampilkan dramatisasi puisi di atas pentas, syarat utama yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu konvensi drama pentas sehingga kita mesti menguasai penataan pentas (skeneri), blocking dan acting yang benar.

Dramatisasi puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan tetapi, agar puisi itu sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah apabila puisi tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam drama.

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan demikian, antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan. Sepintas memang tidak terdapat perbedaan antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi musik. Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik lagu biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun, dapat juga pemusik menciptakan musik dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G. Ade biasa membuat syair terlebih dahulu sebelum menyusun partitur musiknya. Meskipun demikian, tidak ada keharusan bagi pemusik untuk tunduk kepada lirik lagu. Jika perlu, untuk menyelaraskan lirik dengan musik dapat saja kita mengubah atau mengganti kata-kata syair tersebut. Dalam musikalisasi puisi tidaklah demikian. Hal itu disebabkan puisinya sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu karya sastra. Dengan demikian, dalam musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah puisi. Puisi harus tetap utuh. Di sinilah kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap karakter puisi yang digubah. Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan sedih selayaknyalah apabila ditampilkan dalam nada dan irama musik yang bernuansa muram dan sedih pula.

Contoh konkret musikalisasi puisi sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya, grup Bimbo pernah menyanyikan lagu "Salju" yang bersumber dari puisi Wing Karjo atau "Sajadah Panjang" yang bersumber dari puisi Taufik Ismail. Akan tetapi, grup Bimbo tidak pernah mengkhususkan diri pada musikalisasi puisi. Puisi-puisi yang mereka gubah barangkali karena dianggap sesuai dengan karakter musik mereka. Contoh yang sangat tepat untuk musikalisasi adalah album kaset Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi yang diproduksi oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini memang khusus direkam untuk kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono.

Untuk kepentingan apresiasi puisi, memusikalisasi puisi dapat dijadikan kegiatan penguatan (reinforcement). Yang penting, Anda memiliki kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan karakter musik dengan puisi yang kita pilih sebagai lirik lagunya. Kita pun tidak perlu terpaku pada musikalisasi puisi yang telah ada. Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba musikalisasi puisi, materi lomba tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi karena ini akan menimbulkan pemajalan daya kreativitas. Biarkanlah peserta lomba berkreativitas untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang dimainkan. Alat musik pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat musik modern lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana, rebab, kecapi, gamelan, gong, dan gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat menarik pementasan musikalisasi puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila kita hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, bukankah unsur-unsur etnik atau warna lokal juga merupakan bagian senyawa yang tak terpisahkan?

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler