Skip to Content

KUMPULAN PUISI KARYA JOKO PINURBO 2000

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/jokpin3.jpg
jokpin3.jpg

KUCING HITAM 

Kucing hitam yang ia pelihara dengan kasih sayang
kini sudah besar dan buas.
Tiap malam dihisapnya darah lelaki perkasa itu
seperti mangsa yang pelan-pelan harus dihabiskan.

“Jangan anggap lagi aku si manis yang mudah terbuai
oleh belaianmu, hai lelaki malang.
Sekarang akulah yang berkuasa di ranjang.”

Lelaki perkasa itu sudah renta dan sakit-sakitan.
Tubuhnya makin hari makin kurus, sementara kucing hitam
yang bertahun-tahun disayangnya makin gemuk saja
dan sekarang sudah sebesar singa dan ngeongnya
sungguh sangat mengerikan.

Si tua yang penyabar itu lama-lama geram juga.
Tiap malam si hitam gemuk mengobrak-abrik ranjangnya
dan melukai tidurnya.

“Sebaiknya kita duel saja,” si kurus menantang.
“Boleh,” jawab si gemuk hitam. “Nanti
tulang-belulangmu kulahap sekalian.”

“Ayo kita tempur!”
“Ayo kita hancur!
“Jahanam besar kau!”
“Jerangkong hidup kau!”

Parah. Tubuh lelaki itu telah berwarna merah,
wajahnya bersimbah darah. Gemetaran ia berdiri
dan diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi.
“Hore, aku menang!” teriaknya lantang, lalu disepaknya
bangkai kucing maut itu berulang-ulang. “Jahanam besar kau!”
(2000)

 

PEREMPUAN SENJA

Perempuan itu telah berjanji bertemu senja di kuburan.
Ia terlambat datang. Senja baru saja pergi dan hanya
meninggalkan dedaunan kering dan kotoran burung di atas nisan.

Ia melamun saja, mencari-cari wajah senja di cakrawala.
“Senja telah menyerahkanmu ke pelukanku,” tiba-tiba malam
menepuk punggungnya dan hendak menciumnya.

Perempuan itu menjerit dan serta merta ditepisnya tangan malam
yang hendak merebut wajahnya. Ia bergegas pulang dan malam
menguntitnya terus dengan gerimisnya yang cerewet dan nakal.

Pagi mendapatkan tubuhnya yang telanjang di ranjang.
“Malam telah kubunuh di kuburan. Kau milikku sekarang.”
Tapi perempuan itu masih nyenyak tidurnya:
mungkin ia sedang bermimpi dicium senja di makam.
(2000)

 

SAKRAMEN

Tubuhmu kandang hewan
tempat seorang perempuan singgah
melahirkan anaknya yang malang.

Tubuhmu bukit tandus
tempat kausalibkan Kristus
dan kaubiarkan ia mengalahkan ajal
sendirian.

Tubuhmu gua batu
tempat jasadnya kaumakamkan
dan kauwartakan:
“Di tubuhku Tuhan bersemayam.”

Kau lama tak tahu, tak juga paham
pada hari ketiga kuburnya sudah kosong
dan tubuhmu telah ia tinggalkan.

Kau kini sibuk mencari ia di luar badan.
(2000)

 

KAIN KAFAN

Kugelar tubuhku di atas ranjang
seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.

Siapa yang tidur di atas kain putih ini semalam?
Kutemukan bercak-bercak darah: gambar wajah
yang kesakitan dan luka lambung yang belum disembuhkan.

Kulipat tubuhku di atas ranjang
seperti kulipat kain kafan yang kaujadikan selimut tadi malam.
(2000)

 

LUAS

Semalam sehektar ranjang.
Setahun sejengkal badan.

Kutempuh kau di hektar-hektar mimpi.
Di hektar-hektar sakit kau kujelajahi.

Tubuhmu jauh, menikung, curam.
Tubuhmu lebih luas dari ranjang.
(2000)

 

PEREMPUAN JAKARTA

Memang tampak cantik ia
dengan celana merah menyala.
Senja berduyun-duyun
mengejar petang mengejar malam.
Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan
dengan airmata yang disembunyikan.

Di jalanan para demonstran pesta pora
mengibarkan kata mengibarkan celana.
“Ayo kita sergap dia!”
“Ayo tangkap saya!” ia menantang
sambil ia pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.

“Rebutlah aku!” ia merayu
dan mereka siap menyerbu.

Perempuan pengembara.
Aku telah lihat ia punya rahasia.
Aku telah lihat tailalat kecil di teteknya,
tailalat besar di pantatnya.
Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal
di sentral tubuhnya.

Memang tambah cantik ia
dengan anggur darah di tangannya.
Kota akan kehilangan dia bila ia tak lagi di sana.
(2000)

 

MEI

: Jakarta, 1998

Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.

Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.

Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei

Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur
dan lebur dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(2000)

 

DOA SEBELUM MANDI

Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.

Kalau saya buka tubuh saya nanti,
mayat yang saya sembunyikan
akan bangun dan berkeliaran.

Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
untuk menculik dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.

Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.
(2000)

 

DI SEBUAH MANDI

Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu.
“Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil.

Tubuhmu makin montok saja.
“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan.”
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang.
“Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi
dan nanti mungkin numpang mati.”

Kutelusuri peta tubuhmu yang baru dan kuhafal ulang
nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
“Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka di tilas tubuhmu
dan aku bilang: “Semuanya tinggal kenangan.”

Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu.
Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu.
(2000)

 

MEDITASI

Celana tak kuat lagi menampung pantat
yang goyang terus memburu engkau.

Pantat tak tahan lagi menampung goyang
yang kencang terus menjangkau engkau.

Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
yang kejang terus mencengkram engkau.

Telanjang tak mampu lagi melepas,
menghalau Engkau.
(2000)

 

SEHABIS TIDUR

Sehabis tidur lahan tubuh kita terus berkurang.
Kita belum sempat bikin rumah atau tempat perlindungan,
diam-diam sudah banyak yang merambah masuk, bermukim
di jalur-jalur darah,
di kapling-kapling daging,
di bukit-bukit sakit,
di ceruk-ceruk kenangan,
di kuburan-kuburan mimpi,
di jurang-jurang ingatan,
di gua-gua kata,
di sumber-sumber igauan.
Berdesakan, berebut ruang, sampai kita kehabisan tempat,
sampai harus mengungsi ke luar badan.
(2000)

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto SIHALOHOLISTICK

SEKEDAR

Sekedar berbagi untuk teman-teman yang mungkin fans pada Joko Pinurbo atau mungkin sebagai bentuk pelestarian

Salam Sastra....

=@Sihaloholistick=

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler