Skip to Content

MENENGOK TIGA PENYAIR BANDUNG

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ACEP ZAMZAM NOOR

 

SAYA pertama kali mengenal puisi-puisi Atasi Amin pada jurnal Renung yang terbit beberapa tahun lalu, itu pun hanya selintas. Lalu saya sempat menyaksikan ia membacakan puisi-puisinya pada acara “Pesta Sastra 1999” di Tasikmalaya. Dari perkenalan yang selintas itu saya menangkap kesan bahwa sajak-sajak Atasi Amin berada pada tradisi sastra mbeling yang dipelopori oleh Remy Sylado dan Jeihan Sukmantoro. Meskipun dulu saya tak banyak mengenal puisi-puisi para dedengkot mbeling, tapi kebetulan saya banyak membaca puisi-puisi Yudhistira Ardi Noegraha, Noorca Marendra dan Adi Darmadji Woko, yang merupakan para penerus yang sukses dari tradisi yang dirintis Remy Sylado dan Jeihan itu. Waktu itu akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980-an, saya sangat terkesan oleh puisi-puisi tiga penyair ini terutama karena kesederhanaannya, baik tema, bentuk, maupun cara pengucapannya.

Mereka mengangkat hal-hal yang sepele, yang sehari-hari dengan cara yang cerdas dan sudut pandang yang khas. Sudut pandang inilah, menurut saya, yang menjadi kekuatan puisi-puisi mereka. Jika para penyair serius banyak memandang kehidupan sebagai tragedi, maka para penyair mbeling ini memandang kehidupan sebagai komedi. Puisi menjadi lebih santai, main-main, ceplas-ceplos tapi tidak murahan, dan tentu saja menghibur. Seperti ucapan-ucapan Gus Dur dulu, sebelum jadi presiden. Jika membaca puisi-puisi penyair serius kita akan dibuat merinding, maka membaca puisi-puisi penyair mbeling ini kita akan dibuat tersenyum. Inilah yang membedakan Soeharto dengan Gus Dur. Soeharto yang serius membuat kita merinding, sedangkan Gus Dur yang mbeling membuat kita terkencing-kencing.

Puisi-puisi Atasi Amin kini terbit dalam sebuah antologi yang berjudul Laut Merah bersama Soni Farid Maulana dan Diro Aritonang. Puisi-puisi Atasi Amin nampak berusaha untuk menjadi puisi-puisi yang santai, main-main, ceplas-ceplos tapi juga cerdas dan menghibur. Santai karena tema-tema yang diangkat kebanyakan hal-hal sederhana dan sehari-hari. Juga berita-berita yang biasa didengar di radio, dilihat di TV atau dibaca di koran. Kadang-kadang ada juga tema-tema serius, semisal IMF, partai, kebakaran hutan atau paristiwa kerusuhan, tapi ia ungkapkan dengan santai. Bermain-main menjadi hal penting dalam sebagian besar puisi Atasi. Ia bermain-main dengan susunan hurup, dengan bunyi dan juga logika. Hurup ia mainkan bukan hanya sebagai unsur rupa, tapi juga mencapai untuk efek-efek tertentu. Bunyi ia mainkan bukan sekedar mengejar irama seperti halnya dalam pantun, tapi juga untuk memplesetkan imaji dan asosiasi (misalnya AC dengan ACC atau Bank dengan Bangkrut). Ia juga banyak bermain-main dengan logika (misalnya puisi “Maaf” atau “Tegur Ibu Kepada Anak-anaknya”).

Atasi Amin punya modal untuk melaju di jalur puisi-puisi seperti ini. Ia punya sudut pandang yang khas dalam memandang kehidupan. Ia juga punya rasa humor dan kesimpulan yang mengagetkan. Puisi “Maaf” (1992) yang merupakan puisi yang paling tua usianya dalam antologi ini, menurut saya merupakan puisi yang berhasil. Ia bercerita tentang rasa dahaga ketika berpuasa, yang membuatnya terpaksa meneguk segelas jus buah yang diambil dari kulkas. Di luar dugaan ia mengakhiri sajak ini dengan: maafkan, ternyata dosa itu segar. Tentu saja sikap bermain-main yang dilakukan Atasi dalam puisi ini punya makna serius, bahkan religius. Reaksi pembaca pasti akan tersipu tapi kemudian terus berpikir. Puisi ini mengingatkan saya pada sebuah lagu lawas karya Rhoma Irama yang berjudul “Haram”. Bedanya, Raden Haji Oma Irama yang religius dan berjenggot ini kurang punya rasa humor, sehingga kata-kata yang didendangkannya membuat kita merinding, meski tanpa terasa pinggul kita tetap bergoyang juga setiap mendengarnya.

Rasa humor, barangkali ini juga harus selalu dipelihara oleh Atasi Amin jika ingin terus melaju di jalur yang dipilihnya ini. Bukan berarti harus menulis puisi-puisi lucu, atau menulis hal-hal aneh yang akan membuat orang tertawa. Melucu bukanlah satu-satunya cara dalam menulis puisi mbeling. Rasa humor yang saya maksud adalah sikap atau cara pandang seseorang dalam mengungkapkan sesuatu. Tidak kaku, tidak formal dan selalu di luar dugaan. Rasa humor tidak selalu berhubungan dengan keinginan melawak, tapi justru dengan kecerdasan dan kecanggihan memainkan kata-kata. Seseorang yang mempunyai rasa humor itu santai, tidak tegang, cuek, main-main, nakal tapi juga cerdas dan religius. Bagi saya, puisi “Maaf”, “Kalimantan” dan beberapa puisi lainnya sudah cukup menggelitik pembaca. Atasi berhasil menemukan perbandingan yang tepat dan kena:

 

Kureguk laut

Sampai kering

Lalu aku kencing

Untuk hutanku

Yang terbakar

 

Barangkali Atasi Amin masih perlu menyelami kehidupan ini lebih dalam lagi, lebih menyuruk lagi ke sudut-sudut yang belum terjamah dan tidak merasa puas hanya menjadi pendengar atau penonton di pinggir lapangan. Komedi kehidupan tidak hanya ada di lapangan sepakbola, di pasar atau di panti pijat saja, tapi juga di gedung parlemen, istana, masjid, gereja, klenteng, candi, pura, kuburan, posko partai, kantor polisi atau tempat-tempat lain yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Untuk tetap memelihara kepekaan dan rasa humor, saya menyarankan sering-seringlah berziarah ke kuburan.

***

Saya mengenal Diro Aritonang sebagai penyair sudah cukup lama, sejak awal 1980-an. Tapi sudah cukup lama juga saya tidak membaca puisi-puisi terbarunya. Kesadaran (1980) adalah kumpulan puisi pertamanya yang berisi puisi-puisi liris tentang alam, cinta dan juga keberadaan dirinya sebagai manusia. Kumpulan ini cukup menjanjikan dan mendapat tanggapan yang baik dari para kritisi di Bandung. Tapi pada kumpulan berikutnya Penyair Bawah Tanah (1981), Diro melakukan lompatan yang sangat drastis. Puisi-puisinya penuh dengan tanda pentung. Diro yang liris dan romantis tiba-tiba berubah menjadi seorang yang ketus dan pemarah. Diro banyak menggugat dan menuding. Perubahan drastis ini bukan hanya pada tema tapi juga pada bentuk puisinya. Meski masih tetap memelihara irama dengan mengadakan pengulangan-pengulangan atau menyeragamkan unsur bunyi seperti dalam pantun atau bahkan mantera, kata-kata yang dipakai Diro sangat verbal, telanjang dan langsung. Puisi-puisinya kemudian menjadi sangat lisan dan memiliki banyak peluang untuk dipentaskan, selain enak untuk dibacakan di panggung juga sangat cocok untuk dipakai ngamen di bis kota, atau bahkan diteriakkan mahasiswa saat demo di DPR.

Tahun 1996 terbit kumpulan puisinya Akar Rumputan, kemudian Airmata Tanah Air (2000), dan disusul Catatan Airmata yang menjadi bagian dalam antologi Laut Merah ini. Puisi-puisinya dalam ketiga buku ini masih merupakan kelanjutan dari kumpulan sebelumnya, Penyair Bawah Tanah. Puisi-puisinya masih bernada ketus, dengan semangat menggugat dan menuding. Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari puisi-puisi penyair indo Batak-Sunda kelahiran Kalianda ini. Nampaknya bagi Diro Aritonang puisi adalah media untuk menyampaikan unek-uneknya, di mana unsur pikiran menjadi sangat dominan ketimbang perasaan. Begitu juga soal komunikasi dengan pembaca atau pemirsa, hingga ia memilih bahasa yang tidak berlapis-lapis. Tentu saja hal ini sah adanya, mengingat para sufi pun memperlakukan puisi sebagai media untuk menyampaikan renungan-renungan atau pengalaman-pengalaman spiritualnya.

Sebagai penyair Diro Aritonang sudah mempunyai jam terbang yang cukup hingga tidak punya banyak masalah dengan bahasa, sesuatu yang sering menjadi kendala bagi penyair-penyair muda yang ingin langsung berprotes ria lewat puisi. Diro berusaha mengoptimalkan unsur pantun dan mantera untuk menyampaikan pikiran, tanggapan, gugatan atau tudingannya dalam bentuk puisi. Dalam puisi-puisinya Diro mempunyai perhatian yang besar pada mereka yang tertindas atau yang menjadi korban, khususnya korban pembangunan. Puisi-puisi Diro bukan saja peduli tapi juga sangat menampakan keberpihakannya. Karena keberpihakan ini dalam beberapa puisinya Diro tak bisa menghindar dari pandangan yang hitam-putih sehingga suaranya menjadi mirip pejuang atau aktifis politik.

Maka tak heran jika kebanyakan puisi-puisinya terasa ketus dan menyesakkan dada, seperti ketusnya pernyataan-pernyataan Amien Rais di media massa. Simaklah puisi-puisi “Arus Bawah”, “Puisi Gamang”, “Genderang Irian”, “Dunia Sabung Nyawa”, “Nyanyian Biru”, “Beri Cinta Buat Aceh” dan masih banyak lagi. Pandangan hitam-putih ini juga muncul dalam puisi-puisi religiusnya seperti “Catatan Airmata”, “Zhong Dian Fang Huo Dan Wei”, “Shalat Jumat Di Mesjid Niu Jie”, “Baitul-Mukaddas”, atau “Panorama Konstantinopel”. Diro memandang komunis di Cina, yahudi di Palestina dan sakularisme di Turki sebagai sesuatu yang harus dilawan. Saya kutip salah satunya:

 

hatiku menitikkan airmata

di tengah alunan suara Kiai Syahid

memfirmankan ayat-ayatMu

di dalam ruangan yang berkipas

di tengah keluguan saudara-saudaraku

yang hidup di negeri komunis

di negeri yang tak peduli pada agama

 

Bagi saya, puisi-puisi sosial-politik Diro Aritonang sebenarnya akan menjadi lebih menarik jika ia memasukkan unsur humor seperti yang nampak tersirat pada “Noktah Kerusuhan Mei 1998”, “Mantera Pembangunan”, “Interupsi Pembangunan”, ”Aku Tak Mengerti” atau “Sense Of Crisis”. Meski tidak mengundang tawa, puisi-puisi tersebut terasa menggelitik tanpa kehilangan makna yang ingin disampaikannya. Puisi-puisi tersebut juga memberikan sedikit ruang (untuk bernafas, merenung atau tersenyum) bagi pembaca sehingga tidak merasa terlalu dibombardir pernyataan dan gugatan. Tapi yang lebih penting dari itu semua, puisi-puisi tersebut lebih menampakkan sudut pandangnya sebagai seorang penyair ketimbang aktivis. Sudut pandang yang tidak terlalu hitam-putih. Berbicara soal rasa humor, saya ingat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa seorang penyair janganlah bercita-cita menjadi presiden. Sebab menjadi presiden, lebih-lebih presiden RI, akan membuat seseorang kehilangan rasa humor yang dimilikinya. Apalagi jika presiden itu digempur terus-terusan tanpa kenal ampun oleh anggota DPR.

***

Soni Farid Maulana adalah penyair yang subur dan makmur. Subur, karena ia sangat produktif dalam menulis puisi. Apapun yang ada di tangannya bisa menjelma puisi. Mulai dari masalah sosial, kriminal, ajal, hingga perempuan yang bertubuh sintal. Ia pun menguasai sejumlah jurus penulisan, mulai dari yang liris, manis, melankolis sampai yang kritis dan bombastis. Soni pun bisa dibilang makmur, selain tubuhnya yang memang gembur, hampir semua puisi yang pernah ditulisnya terbit menjadi buku dan konon laku, hingga beberapa buku sempat dicetak ulang. Memang ia produktif bukan hanya dalam menulis puisi tapi juga dalam hal menerbitkan. Baginya bukan sesuatu yang luar biasa jika dalam setahun tiga buah kumpulan puisi terbit.

Dalam hitungan saya sebagai kawan yang selalu mengikuti perkembangannya, sejak 1982 sudah puluhan kumpulan puisi yang diterbitkan sebagai buku. Belum lagi sejumlah manuskrif berupa stensil dan fotocopi. Di antara yang saya ingat adalah Bunga Kecubung, Dunia Tanpa Peta, Krematorium Matahari, Dalam lagu, Para Peziarah, Panorama Kegelapan, Matahari Berkabut, Impian Depan Cermin, Guguran Debu, Sehabis Hujan, Kalakay Mega, Cermin Alam, Orang Malam, Di Luar Mimpi, Kita Lahir Sebagai Dongengan, Anak Kabut dan masih beberapa lagi yang saya lupa judulnya -- hingga Bulan Separuh Bayang, yang menjadi bagian dari antologi Laut Merah yang kita dibicarakan ini.

Kemakmuran Soni Farid Maulana sebagai penyair semakin lengkap karena sejumlah puisi terbaiknya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Ia pun pernah membacakan puisinya di Manila, Den Haag dan Paris, selain di Taman Ismail Marzuki tentunya. Soni pun termasuk murid kesayangan Saini K.M., Abdul Hadi W.M., Rendra, Arifin C. Noer, Wing Kardjo dan Teguh Karya, di samping itu ia pun berkawan dengan pelukis-pelukis yang kaya raya seperti Barli, Jeihan, Sunaryo, Rudy Pranajaya dan Heyi Ma’mun. Adakah hubungan antara kesuburan, kemakmuran dan produktivitas?

Hubungannya, paling tidak dengan perut kenyang Soni bisa lebih tenang menulis puisi. Penghasilannya sebagai redaktur budaya sebuah media terkemuka di Jawa Barat, tentunya membuat Soni cukup nyaman dan tenteram hidupnya. Tantangan besar bagi penyair lulusan ASTI Bandung ini bukan lagi bagaimana mencari uang, karena masalah itu sudah lama terlampaui. Hal yang paling menantangnya kini, saya kira, adalah bagaimana ia bisa terus menulis dan menulis. Kemudian menerbitkannya. Dan nampaknya, hal ini pun bukan sesuatu yang terlalu sulit bagi Soni. Buku demi buku masih terus lahir dari tangannya.

Saya sengaja menyentuh sedikit sisi biografi Soni Farid Maulana sebelum memasuki puisi-puisinya. Biografi seorang penyair tak bisa dipisahkan begitu saja dari puisi-puisinya. Begitu juga puisi-puisi Soni dalam kumpulan ini tak lain merupakan refleksi dari kondisi kehidupannya sekarang. Bulan Separuh Bayang memang bukan kumpulan puisi-puisi terbaru Soni Farid Maulana, tapi semacam seleksi dari puisi-puisi terbaiknya yang pernah muncul di beberapa buku sebelumnya. Kesan yang kuat dari puisi-puisinya ini adalah kehidupan yang tenang, hening, indah dan merdu.

Soni bercerita tentang perasaan cintanya (tentunya cinta yang halal), tentang anak dan istrinya, tentang rumah tangganya, tentang lingkungannya, juga apresiasinya terhadap alam sekitar. Harus diakui puisi-puisi semacam inilah yang merupakan kekuatan Soni. Puisi “Instrumentalia”, “Bulan Kaliurang”, “Langgam Bulan”, “ Surat” dan “Dibangunkan Hujan” adalah puisi-puisi lirisnya yang berhasil. Tema yang biasa, dengan pengungkapan sederhana namun efektif, simbol-simbol alam yang menyaran merupakan kunci keberhasilan Soni:

 

Saat kau bernyanyi pagi itu

Burung-burung dari sejuta pohon

Mengucap salam. Angin mengalir

Dan mendesir. Rumputan bergetaran

 

Dalam kumpulan ini juga terdapat beberapa puisi yang merupakan tanggapan Soni terhadap lingkungan sosialnya. “Ladies Night” misalnya, puisi yang bercerita tentang suasana di sebuah diskotik. Tema yang kontekstual ini sebenarnya bisa sangat menarik, tapi di tangan Soni malah menjadi artifisial. Tidak seperti halnya suasana malam dengan angin dan bulan di Kaliurang, suasana diskotik yang penuh asap rokok tidak merasuk ke dalam jiwa Soni. Kesannya penyair hanya sekedar bercerita, bahwa ia pun pernah pergi ke diskotik meski tidak sempat minum bir. Kesan semacam ini juga terjadi pada beberapa puisi sosialnya yang terdapat dalam kumpulan puisinya yang lain.

Secara teknis rasanya tak banyak yang perlu dimasalahkan dari puisi-puisi Soni Farid Maulana, terutama puisi-puisinya yang pastoral. Ia sangat terampil memilih kata, memainkan irama, membangun imaji dan suasana. Ia pun pandai memanfaatkan anasir-anasir alam untuk memperkaya penggambarannya. Kurang apa lagi? Tapi sebagai kawan saya ingin mengingatkan, bahwa dengan keterampilan semacam ini bukan berarti semua hal bisa ditulis menjadi puisi dan hasilnya bagus. Hal ini barangkali yang harus segera disadari oleh Soni. Selain itu, sejumlah kata-kata yang selama ini menjadi favorit Soni seperti kelam dan dalam, daya hidup, amis darah, yang mawar, yang cempaka dan beberapa lagi nampaknya perlu mulai dipertimbangkan kwantitas pemakaiannya. Kata-kata favorit ini bukan hanya sering muncul dalam sebagian besar puisi-puisi Soni, tapi juga dalam esei, artikel dan bahkan wawancara. Seringnya menggunakan kata-kata tersebut bisa saja dimaksudkan sebagai ciri khas, tapi juga sangat mungkin orang menganggapnya sebagai kelatahan yang mengganggu.

 

(2001)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler