Skip to Content

PROSES KREATIF SASTRAWAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: MUHAMMAD SUBHAN

 

Di Rumah Puisi, ada sebuah meja yang posisinya sedikit serong (miring) menghadap ke luar jendela. Itu adalah meja kerja Taufiq Ismail, penyair Indonesia, pendiri Rumah Puisi. Saya pernah bertanya, kenapa meja itu ditempatkan di sana, dan beliau menjawab, “agar dapat memandang secara leluasa panorama Gunung Singgalang”.

Benarlah, dari posisi meja itu, bila melemparkan pandangan ke luar, terhampar panorama Gunung Singgalang yang sewaktu-waktu diselimuti kabut. Di kaki gunung itu, terhampar pemukiman penduduk, namanya Pandaisikek. Di situ kampung ibu Taufiq Ismail. Dari cerita-cerita beliau—ketika saya masih bekerja di Rumah Puisi (2009-2012)—semasa zaman bergejolak, Taufiq Ismail kecil ikut mengungsi bersama ayahnya ke puncak Singgalang. Belanda sering masuk ke Pandaisikek, berpatroli dan tak jarang menembak penduduk, khususnya laki-laki. Seorang remaja yang masih saudara dekat Taufiq Ismail, ketika sedang berada di sawah, ikut menjadi korban penembakan tentara Belanda itu. 

Di saat mengungsi ke puncak Singgalang yang banyak ditumbuhi tebu, Taufiq Ismail kecil melihat panorama alam yang begitu indah; hamparan rumah penduduk, jalan, danau, gunung, bukit-bukit, sawah, sungai, dan segala keindahan alam lainnya. Dari ketinggian itu pula, Taufiq Ismail kecil menatap kampungnya yang sepi. Kobaran api menyala-nyala sebab banyak rumah penduduk dibakar tentara Belanda. Di saat beliau bercerita, sesekali saya saksikan ia menyeka air mata dengan sapu tangan, membayangkan peristiwa pembakaran kampungnya. Cerita itu disampaikan berulang-ulang, terutama ketika beliau menyambut tamu-tamu yang datang ke Rumah Puisi.

Pengalaman masa kecil itu, menjadi bagian dari proses kreatif Penyair Taufiq Ismail melahirkan karya-karyanya. Di periode awal kepenyairannya (1953-1960) puisi-puisi Taufiq Ismail banyak bercerita tentang alam dengan segala peristiwanya. Realitas sosial di masa kanak-kanak yang ia lihat dengan mata kepala ia tuangkan menjadi realitas sastra di dalam puisi-puisinya. Bisa kita baca pada puisinya berjudul “Membajak Kembali”: /Di punggung bukit-bukit awan hujan bergantung biru/ pepohonan di desa mulai dipukul angin beruap lembab/ tangkai-tangkai besi bajak dan penyawah-penyawah berselubung/ harap di jantung/ kerbau-kerbau di-hee, yaaaah! Hee yaaah!/. Begitu juga, dalam puisi berjudul “Di Desa Bangkirai”, Taufiq Ismail menggambarkan kemarau terjadi di kampungnya: /Malam Ramadan dinginnya menusuk ke hulu tubuh/Kemarin tengah hari udara meleleh di Padang Panjang/ Kerbau si sati, kambing coklat mengah-ngah/ Kilangan berputar deriknya ngilu tebu begitu kurus-kurus/.

Dua kutipan puisi Taufiq Ismail di atas menjelaskan betapa dekatnya sang penyair dengan alam. Ini yang menjadi alasan kenapa banyak karya sastra sastrawan Minangkabau periode awal seperti karya-karya Abdoel Moeis, Marah Rusli, Nur Sutan Sati, Nur Sutan Iskandar, Hamka, AA. Navis dan lainnya banyak berasyik-masyuk dengan keindahan alam Minangkabau yang menjadi latar cerita. Dan, adalah fakta bahwa Minangkabau (Sumatera Barat) memang kaya dengan keindahan alam.

Walau di periode awal Taufiq Ismail banyak bercerita tentang alam, namun di periode berikutnya ia dapat mengembangkan tema-tema sosial yang terjadi di zamannya. Zaman yang penuh gejolak dan konflik. Puisi-puisi itu dapat dibaca di buku Tirani (1966), Benteng (1968), serta Sajak Ladang Jagung (1974), Perkenalkan, Saya Hewan (1976), Puisi-puisi Langit (1990) dan Malu Aku Jadi Orang Indonesia (2005).

Di usianya yang senja, puisi-puisi Taufiq Ismail cenderung mengarah ke tema-tema religius (ke-Ilahian). Dengan demikian, puisi pun menjadi alat (media) dakwah bagi Taufiq Ismail dan memberikan dampak luas bagi pembacanya. Kepada Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail mengatakan bahwa menulis puisi baginya merupakan sebuah ibadah, gerak hidup jiwa untuk senantiasa mengingat asma-Nya (zikir). Bagi pembaca yang agak asing dengan ajaran agama Islam, pernyataan semacam itu mungkin dirasakan sebagai sesuatu yang dibuat-buat. Tetapi tidak demikian bagi seorang muslim yang taat dan penyair lain yang hidup dalam tradisi keagamaan yang kuat seperti Taufiq Ismail.

Begitulah proses kreatif kepenyairan Taufiq Ismail yang sebagiannya saya amati langsung. Ia selalu mengatakan, banyak-banyak membaca buku lalu tulislah karangan. Ia sering mengibaratkan, membaca buku dan menulis bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Seorang pembaca buku memiliki kekayaan ilmu dan kekayaan itu harus dibagikan, tidak menjadi hak individual semata. Cara membaginya adalah lewat menulis; menulis apa saja. Dan tentu juga, katanya, harus selalu rendah hati dan tidak sombong.

Berbeda Jalan Satu Tujuan

Bagaimana proses kreatif sastrawan Indonesia dan sastrawan dunia lainnya? Kita baca proses kreatif sastrawan Linus Suryadi Ag dan beberapa sastrawan yang proses kreatif mereka diabadikan dalam buku Mengapa & Bagaimana Saya Mengarang susunan Pamusuk Aneste (1986). Linus mengatakan, proses kreatifnya melahirkan puisi selalu dimulai dari rumah. Entah rumah sendiri, entah di rumah pacar, entah di rumah sahabat. Dia membutuhkan waktu yang tenang menulis puisi, tidak boleh berisik atau ada gangguan-gangguan lainnya. Kalau mendapat ide di suatu tempat, atau di perjalanan, ia mengingat-ingat untuk kemudian sesampai di rumah ia kembangkan. Linus mengatakan, “Saya tak bisa membaca atau menulis di dalam bus atau kereta api. Di perjalanan, angan-angan saya pun gentayangan atau saya terlibat ke dalam pengamatan dan pengalaman langsung. Atau, tidur. Di perjalanan saya mudah sekali tertidur. Kalau mencoba membaca atau menulis, kepala cepat terserang pusing. Mana ada penulis dapat mengarang waktu pusing?”

Linus juga mengaku bahwa puisi-puisinya banyak lahir berkat wanita. Wanita dengan “w” huruf kecil dan Wanita dengan “W” huruf kapital. Ibu, adik-adik, pacar, sahabat, atau wanita yang tidak dia kenal secara akrab. Dari makhluk hawa ini ia banyak belajar dan menulis berbagai tema puisi: cinta kasih dan kasih sayang, gairah, hasrat, asmara, kesadaran dan keinsafan, penyerahan diri dan pengabdian, keluwesan dan keuletannya, sampai pada sikap-sikap pasrah dan kejuligan menghadapi derita kehidupan sehari-hari.

Titis Basino P.I, di awal menciptakan cerpen-cerpennya ia tidak memedulikan tata bahasa. Dia mengaku mengetik tanpa aturan, seenaknya dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Tanpa spasi. Setelah cerpen itu dikoreksi, baru ia panggil tukang ketik yang ia ajari bagaimana menulis sesuai kemauannya, dan tukang ketik itulah yang bertugas merapikan tulisannya kemudian. Setelah itu, biasanya ia periksa sekali lagi tanpa mengubah apa pun.

Penyair Rendra, di awal proses kreatif menulis puisi sangat senang menonton pertunjukan wayang kulit. Dia mendalami seluk-beluk sang dalang, dan juga dekat kepada teknik dan bentuk tembang dolanan anak-anak Jawa yang penuh dengan imajinasi. Dari wayang itu dia belajar mengembangkan imajinasi yang dia tuangkan lewat sajak. Dia juga mendalami “bentuk seni” Angkatan 45 yang liris-ekspresif atau realistis-ekspresif, yang ketika itu sedang dominan dan dia kagumi. Di kemudian hari, bentuk seni demikian memengaruhinya melahirkan sajak-sajaknya yang terlihat dalam kumpulan sajak Ballada Orang-orang Tercinta, Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Duabelas Perak, dan Malam Stanza.

Sastrawan B. Soelarto, yang di awal menulis cerpen-cerpennya diawali keinginan untuk lebih banyak tahu soal percintaan. Memang, banyak orang yang tiba-tiba menjadi penyair hebat ketika ia sedang jatuh cinta atau putus cinta. Toeti Heraty, menulis karena didorong oleh semangat “keharusan” (baca: kewajiban) selain menekuninya sebagai sebuah “usaha”. Sementara Y.B. Mangunwijaya, proses kreatifnya dimulai sejak kanak-kanak. Menurut Mangunwijaya, pendidikan orangtua, dunia keliling dan khususnya suasana pendidikan di sekolah dan sebagainya merupakan dunia perangsang kreasi dan pembina karya yang tidak boleh diabaikan daya dampaknya bagi seorang penulis.

Hilman Hariwijaya, pengarang yang terkenal dengan serial populer Lupus dan Olga mengungapkan, untuk menjadi seorang pengarang, Anda tak perlu menjadi orang hebat dulu. Dia menceritakan pengalaman pertamanya menulis di tahun 1980. Saat itu Hilman hanya seorang pelajar SMP yang tidak punya bakat apa-apa. Nilai pelajaran sekolahnya pas-pasan; setiap ikut main bola di lapangan, ia tidak pernah dapat bola, sampai akhirnya ia harus selalu duduk di bangku pemain cadangan. Akhirnya ia suka mengurung diri di perpustakaan, membaca banyak buku. Dari hobi membaca itu, Hilman menulis dan di kemudian hari memengaruhi jalan hidupnya dan menghasilkan banyak karya tulis, khususnya novel-novel populer.

Helvy Tiana Rossa dalam pengantarnya di buku Berguru kepada Sastrawan Dunia menceritakan proses kreatif sastrawan Josip Novakovic (Kroasia). Novakovic memulai karir menulisnya dengan menulis ratusan halaman apa pun yang dia pikirkan serta bayangkan, tanpa peduli apakah tulisannya runut, indah, terstruktur, atau tidak. Lama kelamaan dia bisa mengembangkan karakter, latar, plot, dan akhirnya menyusun keseluruhan cerita dengan baik.

Banyak cerita menarik lainnya tentang proses kreatif para sastrawan. Proses kreatif itu berbeda-beda antara satu sastrawan dengan sastrawan lainnya. Walau demikian, pada dasarnya mereka memiliki tujuan yang sama; yaitu sama-sama berusaha melahirkan karya sastra “bermutu” sehingga dapat dinikmati khalayak pembaca. Proses kreatif, sederhananya, adalah “jalan”, sementara hasilnya (karya sastra) adalah “tujuan”. Anda pun, ketika memutuskan menulis, akan menjalani proses kreatif yang berbeda dari penulis lainnya.[]

Diterbitkan di:
KORAN HARIAN SINGGALANG EDISI MINGGU, 10 AGUSTUS 2014

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler