Skip to Content

kumpulan cerpen:Novi

Foto Novi Rovika

“Catatan yang Hilang”

Oleh Novi Rovika

 

Langit muram, angin yang bertiup menelisik sebagian ruang hati terasa seperti beledu. Suara-suara menelan kesunyian yang sedari tadi membekamnya. Tak ada harapan, seakan ini adalah ahir sebuah pengharapan.

Pintu berderit untuk yang kedua kalinya, menghenyakkan perasaan galau. Dia tersadar akan nasibnya, bukan di ujung tanduk lagi tetapi lebih tepat tinggal menyerah pada kepasrahan. Dia menggenggam selembar kertas lusuh yang tak jelas bertuliskan apa. Tubuhnya berguncang setiap kali terdengar deritan pintu di luar, dalam pikirannya “apakah yang ini?”. Tak kuasa rasanya ia setiap kali memaksakan perasaanya untuk menebak siapa yang datang ke panti asuhan tua itu. Selama itu pula ia coba mengingat setiap perkataan wanita paruh baya yang pernah menghantarkannya ke tempat itu.

Ia tak pernah lupa saat itu ia bermur lima tahun, tidak ingat bagaimana ia hidup sebelum hari itu. Yang ia ingat, saat itu tiba-tiba ia ditinggalkan dan wanita separuh baya datang menghampirinya dengan senyuman penuh keteduhan. Dengan nada rendah dan menenangkan wanita itu mengintrograsinya dengan beberapa pertanyaan. Melihat perawakan si ibu tua, dia merasa bahwa ibu tua itu hanya seorang ibu yang menumpang istirahat sebentar di sebelahnya setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan bingung untuk meneruskan perjalannannya seperti halnya dia yang tengah dirundung ketidak tahuan.

Tidak lebih dari sepuluh menit lamanya, si ibu menepuk-nepuk lembut pundaknya,

“Nak, hidup itu sulit. Tapi jangan dianggap sulit kita itu cuma orang tak berada. Biasa saja, tak usah cemas. Walaupun kita tidak berlebih dalam harta asal kita punya pekerti dan hati yang tulus, orang pasti tak akan menolak kita. Lebih dari lima puluh tahun ibu hidup, dan separuh dari umur itu ibu habiskan sendiri. Ibu tak pernah mengeluh pada Tuhan. Ibu malah mensyukuri setiap apa yang diberikan Tuhan, semua keputusan pasti ada hikmahnya”.

Ibu tua menarik napas sambil tersenyum menutup mata, dan melanjutkan monolognya. Dia hanya bisa mendengarkan walaupun segala pikiran tengah berkecamuk dalam pikirannya.

“Nak lapar tidak? Ibu punya sebungkus roti. Makan ya!”

Dia bahkan tidak mengerti, kalupun si ibu tua benar-benar tidak mengenalinya pasti yang pertama kali ditanyakan dimana atau siapa orang tuanya. Tapi tidak. Dia hanya mengangguk lemah.

Tanpa sedikit pun senyum dari sudut bibirnya yang mungil sebagai tanda terima kasih, ia mengambil roti yang disodorkan si ibu tua dan memakannya. Ibu tua terlihat senang melihatnya. Tiba-tiba ia menengadah dan memendangi wajah ibu tua itu, ternyata si ibu tua tengah menitikan air mata. Ibu tua tersipu malu dan menyeka air mata dengan punggung tangannya, lalu engelus kembali kepala si anak. Dibukanya tas kain yang ia simpan di sebelahnya, dan mengambil sesuatu dari dalam tas tersebut. Ibu itu mengambil selembar kertas, dan menyerahkannya pada anak itu. Anak itu hanya terheran-heran tidak mengerti.

 

“Nak kalau kamu lupa jalan pulang, pergilah ke tempat yang alamatnya tertera di ertas itu. Tanyakan saja pada orang dan serahkan kertas itu” saran ibu tua. Selama anak itu mendengarkan saran ibu tua, ia hanya menatap kertas tersebut tanpa dia sadari ibu tua telah pergi.

Seandainya ia tidak pernah bertemu dengan ibu tua itu, entah apa yang sekarang terjadi padanya. Mungkin saja ia sekedar hidup mengikuti kemana angin bertiup atau membenamkan diri dalam kesendirian dan lenyap di tengah ketidak tahuan.

Dari situlah ia hingga sampai ke panti asuhan tua yang kini ia berteduh. Ia pernah bertanya pada ketua panti asuhan tentang sosok ibu tua yang memberinya alamat itu berikut dengan ciri-cirinya. Ketua panti asuhan membenarkan memang pernah ada seorang ibu yang sempat tinggal di panti asuhan tersebut dan membantunya, tapi itu sudah lama sekali. Dulu ibu tua itu juga pernah menitipkan sebuah catatan kecil tentang suatu hal yang dititipkan pada kepala panti asuhan, namun catatan itu hilang beserta data mengenai setiap penghuni panti asuhan sejak ada renopasi ruangan administrasi di panti asuhan itu.

Ia selalu penasaran mencari tahu siapa sebenarnya sosok ibu tua yang ia temui tujuh tahun lalu. Tiba-tiba suara pintu di luar berderit lagi, sekaligus menyadarkannanya dari lamunan sesaat itu. Dan ternyata benar, dari pembicaraan yang didengarnya antara ketua panti asuhan dengan seseorang di ruangan sebelah, adalah seseorang yang akan menjadikannya anak angkat. Ia hanya tesenyum lemah, dan menangis karena ingat pada ibu tua itu. Seandainya ia sempat bertemu dengannya, maka ia tidak akan urung untuk meninggalkan panti asuhan itu. Dia benar-benar akan mengikuti nasib tanpa kendalinya sendiri, namun kini ia sudah bertuan. Tuan yang tak dikenali sebelumnya. Takkan berhenti mencari ibu tua itu, dari setiap jejak yang ditinggalkannya. Hingga ia menemukan jawaban atas tanda tanya besar dalam hatiny

*****************

 

Bukannya Kritis Malah Kayak Teroris (Gara-gara Puisi)

Oleh Novi Rovika

 

Bener-bener tugas sekolah bikin pusing. Begitu seperti yang sekarang ada di benak Yayan dan Eki.

“Yan, gue da..dapet nih…….” Sembari mulutnya megap-megap mau ngomong tapi gak ada satu kata pun yang ke luar. Biasa kalau saking senengnya penyakit gagap Eki kambuh lagi.

“Dapet apan? Lu kalo ngomong yang jelas dong jangan kayak ayam lagi nelen karet”

“Ii..i..iya, gue dapet gue dapet…………………………..i..ide. lu liat kan barusan si..siapa yang lewat?”

“Kucing!” jawab Yayan dengan wajah polos ala manusia primitif.

“Sa..salah. Yang beb..bener gajah. Gi..gila aja ma..masa di..disekolah ada ga..gajah. Euh……..oon lu”

“Alah mak lama banget sih lu ngomong, ngebeat dikit ke temponya”

“I..iya deh”

Seketika penyakit gagap Eki yang udah ‘pasrah’ alias penyakit akut stadium parah-nya hilang. Dengan penuh kesabaran dan ketabahan sepenuh hati Yayan menanti lanjutan kata-kata yang akan di ucapkan Eki.

“Gue dapet ide boy, hm..otak gue emang kinclong he..hee…” sambil nyengir mirip kaya kuda kebelet.

“Kinclong emang kepala botak kinclong, udah cepet bilang aja lu dapet ide apa ? jangan kelamaan ntar ilang lagi idenya”

“Tenang boy segala sesuatu itu perlu waktu dan proses”

“Alah..gitu ja ribet banget, udah keburu habis nih waktunya. Liat tuh yang lain kayaknya udah pada bikin masa kita udah beberapa kali pindah tempat masih juga belum dapet satu kata pun buat ditulis”

“Oke. Jadi gini ya gue dapet ide, gimana kalau kita bikin puisi tentang guru. Ya..temanya guru, kebetulan tadi Pak Kasman lewat sambil bawa buku banyak banget nah dari situ gue dapet kesimpulan kalau kita bikin aja puisi tentang guru”

“Ah, gimana kalo yang lain udah ada yang make tema ntu?”

“Iya juga ya. Woy ada yang tema puisinya guru kagak?” teriak Eki ke arah teman-temannya yang lain.

Salah satu teman perempuan sekelasnya ada yang menjawab

“Eki, lu gak kreatif banget sih masa lu mau ikut-ikutan gue pake tema guru. Lu ngintip pikiran gue ya?! ”

“Gile, eh neng emang gue Papa Lauren bisa baca pikiran orang”

“Mama Lauren kali. Uuh…….dasar kribo lu, ganggu konsentrasi orang aja!” teriak teman-teman yang lain yang sedang serius nyelesain tugas mengarang puisinya.

“Tuh kan, gue bilang juga apa. Udah deh gimana kalau temanya yang agamis gitu Ki, ya… biar kita sambil nginget Tuhan gitu. Ya nggak?”

“Ogah ah, susah kata-katanya ribet yang lain aja” saran Eki, emang Eki paling males kalau udah disuruh bikin puisi yang temanya religius. Rada macet dia masalah kata-kata agamis, tapi bukan berarti dia kafirun wal jinnun yang ogah banget sama agama.

“Dasar manusia laknat lu, di suruh bikin puisi temanya tentang keagamaan aja gak mau”

“Parah lu Yan,kalo ngomong pake otak donk…”

“Elu yang parah kribo, masa ngomong pake otak ya pake mulut lah..”

Tiba-tiba Dini anak kelas X-A lewat di depan mereka berdua. Dini terkenal di kalangan siswa laki-laki karena wajahnya yang cantik dan sedikit indo. Kata teman-temannya Dini memang Indo, Indo Garut-Belanda. Makanya setiap mata pasti meliriknya. Dan tanpa sengaja timbullah penyakit usil Eki untuk mengganggu sang gadis indo.

“Hey Dini, twiwit…”

Sontak Dini kaget mendengar ada yang memanggil namanya. Eki tidak tahu kalau Dini sedang kedatangan penyakit bulanannya, otomatis kalau cewek sedang kedatangan tamu sifat yang aslinya selembut sutra bisa berubah jadi keras dan kasar sekasar tumit kakai nenek gue yang banyak patahan-patahannya.

“Sialan siapa yang barusan manggil-manggil nama gue, emang gue cewek panggilan apa. Mau nyobain gue bogem kali ya ni orang”

Saat Dini hendak mendekati Eki dengan tatapan seperti seekor macan yang hendak menerkam mangsanya, matanya melotot, nafasnya cepet, hidungnya berkembang-kempis, tangannya mengepal seperti yang siap menonjok, Pak Halim guru Sastra yang menugaskan anak-anak kelas XI-Bahasa datang mendekati anak-anak yang sedang berkerumun di depan taman sekolah dan terheran-heran melihat ada keributan diantara kerumunan tersebut. Untung karena Pak Halim langsung menerobos ke dalam kerumunan tersebut Dini yang hendak melayangkan tinjunya ke wajah Eki terhenti. Namun karena sudah ketakutan duluan, Eki yang sedang duduk di atas bangku taman di sebelah Yayan jatuh ke belakang denga posisi terlentang. Anak-anak yang ada di sekeliling serentak tertawa melihat Eki jatuh dengan posisi kayak model lagi diambil pose buat majalah flora dan fauna rubric moyet narsis.

Pak Halim pun ikut tertawa kecil dengan cekikikan khasnya yang mirip ckikikan Miss Kunti. Ih..serremm!!!.

Setelah sedikit hilang rasa takutnya terhadap Dini baru Eki bisa mengeluarkan sedikit kata penyesalan sekaligus kata-kata terakhir. Emang Eki mau mati?.

“Y..yah… e..emang h..hari ii..ni gu..gue si..si..si…..”

Tiba-tiba Yayan menimpali,

“Si? apa sikut lu sakit Ki?”

“Bu..bu..bukan.. ma..mak..sud gu..gu..”

Baru Eki mau ngeberesin kata-katanya e.. anak-anak yang udah kesel bin gak sabar ngedenger eki ngomong lola BGT pada teriak gak karuan.

Yayan yang mengaku sebagai sohib terbaiknya Eki yang selalu siap siaga bak bidan siaga mengatakan sesuatu.

“Maksudnya Eki gunung Guntur bntar lagi mu meletus, makanya lu semua kudu cepet-cepet pada insyaf!”

“Si Eki tuh yang mestinya buru-biru insyaf, sekarang aja kejadian gara-gara banyak usil ma orang makanya dia kena azab” kata Nuri anak yang paling gak suka sama kelakuan Eki yang udah ngebuat kacau seantero sekolah.

“Betul tuh!!” sahut anak-anak lain yang berada diantara kerumunan itu.

Ahirnya Eki Cuma bisa nyengir kuda sambil mengelus-elus pantatnya yang masih nyut-nyutan gara-gara jatuh dari bangku taman tadi. Dasar, nasib-nasib…

**********************

 

_Pengharapan Semu_

Oleh Novi Rovika

Ini bukan sebuah kebetulan atau apa, tapi ini adalah kisahku. Aku dan Ryu sudah berteman sejak kecil kira-kira dari usiaku 6 tahun aku mengenal Ryu. Ryu sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Setiap hari aku selalu menghabiskan waktu dengan Ryu. Mungkin bukan itu saja yang membuat kami dekat, ayah-ibuku dan ayah-ibu Ryu adalah teman akrab.

Kami sekarang sudah beranjak dewasa. Aku sekarang duduk di kelas 2 SMA, sedangkan Ryu yang menyebalkan dan menjengkelkan sudah lulus dan akan melanjutkan kuliah. Ryu memang pintar dan selalu mujur, buktinya sekarang ia diterima di salah satu universitas negeri di Bandung. Kabarnya Ryu juga termasuk salah satu mahasiswa baru yang akan dikirim ke jepang dalam rangka pertukaran pelajar Indoesia-Jepang.

 

“Ryu, benar kau akan pergi ke Jepang? Huh! Aku tidak percaya memangnya kau sepintar apa sih?,

“Setahuku selama aku mengenalmu dari kecil, kau tidak begitu hebat. Memang sih aku akui kau memang selalu meraih juara satu dari sejak SD. Tapi, apa hebatnya sih sampai-sampai kau bisa kuliah di Jepang…. ” suaraku terputus dan urung untuk melanjutkannya.

Ryu tertawa dengan lantangnya sesaat setelah mendengar ucapanku,

“Hei Bocil, kau itu selalu saja iri pada ku. Aku memang selalu beruntung. Kenapa kau ingin pergi ke Jepang juga hah? ” ucapnya dengan nada mengiming-imingi.

“Jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu lagi. Apa, iri padamu?!. Tidak usah ya, memangnya apa sih hebatnya bisa pergi ke Jepang. Kalau kau bisa pergi ke semua tempat di dunia baru aku akan merasa iri”. Dengan kesal aku seketika merenggut, padahal didalam hatiku aku tidak mau Ryu pergi ke Jepang. Nanti aku sendiri di sini, tidak ada teman pasti membosankan. Walaupun kami sering bertengkar.

Ryu juga terdiam, aku pikir dia akan langsung menyambar pernyataanku dengan kata-kata yang akan membuatku marasa kalah. Tapi, memang begitulah sikapnya dewasa dia lebih tua tiga tahun dariku pantas saja kalau aku berhadapan dengannya aku selalu marasa menjadi adiknya dan dia berlagak sok seperti kakak yang bijak. Tapi aku suka. Dia kakakku, walaupun bukan terlahir dari ayah atau ibu yang sama. Aku sangat senang ada dia, sebab aku kehilangan sosok laki-laki yang selalu mengayomiku. Ayah ayah telah tiada.

Sejenak aku terbang ke dalam ingatanku yang tidak menyenangkan itu.

Ryu masih terdiam saat duduk disampingku. Mungkin saja dia sedang melamun tengah berada di Jepang. Ku perhatikan raut wajahnya yang tenang dan terasa tidak asing bagiku, dia manis ya itu menurutku tapi menurut anak-anak perempuan yang lain Ryu itu pangeran dengan sejuta kelebihan, kulitnya tidak lebih putih dari aku, badannya tinggi proforsional rambutnya ala shagy tapi pendek dan rapi. Kalau aku perhatikan dia sangat supel dan mudah bergaul dengan semu orang. Pantas saja banyak yang suka padanya.

Suaranya memecah keheningan yang sejenak hadir diantara kami.

“Han, bagaimana kalau nanti kau ikut saja ke Jepang dengan ku?” sembari ia memalingkan mukanya padaku. Ucapannya membuatku kaget.

“Hahahaha..mau apa, kenapa aku harus ikut ke Jepang? Pergi saja sendiri. Kau mau mengajakku ke Jepang karena kau mau menjadikanku pembantumu di sana. Ya kan?!” setengah hati aku melontarkan kata-kata itu.

Ryu hanya terbujur kaku di tempatnya. Andai saja dia membalas ucapanku, tapi tidak lagi. Tiba-tiba angin membawaku pergi dan beranjak meninggalkannya tanpa pamit.

Malam itu aku gelisah dan bingung, entah kenapa. Padahal aku baik-baik saja. Hanya sedikit harapan, semoga Ryu tidak jadi pergi ke Jepang supaya aku tidak kesepian di sini. Tak terasa mataku mulai mengatup perlahan.

 

Pagi itu berjalan seperti biasanya, hanya saja Ryu tidak berangkat bersamaku. Hari ini Ryu mengurusi segala macam yang berhuungan dengan studi pertukaran pelajar ke Jepang yang ia ceritakan kemarin.

Bel istirahat berbunyi. Tak biasanya aku merasa semalas ini padahal setiap mendekati waktu istirahatlah yang paling aku sukai. Tentu saja untuk menyerbu kantin dan menjejali perut yang kosong karena belum sempat terisi. Aku memilih berdiam diri saja di dalam kelas sambil mendengarkan musik. Begitupun saat bel pulang, sama sekali terasa melelahkan dan enggan sekali untuk melangkahkan kaki.

Sejak hari itu aku tak pernah bertemu Ryu lagi, mungkin sudah hampir tiga hari. Bahkan mengirim e-mail pun tidak. Batang hidungnya pun tak kelihatan.

“Hah, membosankan juga. Kenapa ya dia tidak mengirim e-mail padaku sudah lupa mungkin. Kalau aku yang kirim e-mail duluan, ah gengsi nanti dia kegeeran lagi”. Rasanya ada yang kurang saat tak berkomunikasi dengan Ryu, tapi aku juga tidak berani mencari tahu kenapa. Aku takut dia sedang sibuk, dan nanti malah mengganggunya.

Hari ke lima tak bertemu dengan Ryu. Ibu tergesa-gesa menyiapkan sarapan pagi untukku, dan menyodorkan sepucuk surat padaku. Sembari duduk dan melahap sarapan pagi yang disiapkan ibu, perlahan-lahan ku buka surat tersebut dan ku baca kata demi kata. Ternyata pengirimnya Ryu. Aneh sekali rasanya, Ryu mengirimkan surat padaku karena sebelumnya tidak pernah.

Untuk Hanna

Hanhan kamu pasti aneh kenapa belakangan ini aku jarang main ke rumah kamu atau kirim e-mail, aku lagi sibuk nih Han. Eh kapan-kapan kita ke bukit lagi ya. Sampai jumpa.

Dari

Ryu

Rasanya aneh setelah membaca surat dari Ryu. Kata-katanya seperti yang tidak akan berjumpa dalam waktu yang tak tentu. Ah, mungkin Cuma perasaan ku saja. Hanya itu yang terlintas dalam benakku.

Baru saja aku selesai mandi, rasanya segar sekali setelah seharian bermandi keringat. Ku rebahkan badan di atas kasur. Selintas terbayang wajah Ryu, dan ada sedikit penyesalan karena sore itu aku berpisah dengan Ryu hingga surat ini datang aku dan Ryu belum baikan atas pertengkaran kecil itu.

 

Sore yang melelahkan seperti biasanya. Baru saja ku langkahkan kakiku dari pintu ruang tamu ibu terlihat buru-buru, entah ada apa lagi seperti tadi pagi.

“Han, itu di atas meja belajar kamu ada titipan dari Ryu, ibu mau ke rumah sakit. Bu Jojo barusan kecelakaan. Ganti baju langsung makan ya, sudah ibu siapkan di meja makan. Kamu di rumah saja ya, ibu juga baru tahu kabar ini barusan.”

“Innalillahi. Oh, iya” aku hanya bengong mendengar pesan ibu.

Ibu langsung meninggalkanku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku kaget sekali dengan berita kecelakaan Bu Jojo tetangga kami, kemarin saat aku berangkat ke sekolah sempat berpapasan dengannya di perempatan jalan. Aku langsung teringat dengan pesan ibu,

ibu bilang di atas meja belajarku ada titipan dari Ryu. Aku penasaran sekali. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari ke kamar hendak memburunya, ternyata sepucuk surat lagi. Tapi tidak, di sebelahnya ada sebuah bungkusan berukuran sedang. Aneh sekali rasanya bila Ryu mengirimkan hadiah kepadaku, memangnya sekarang hari apa. Hari ulang tahunku kan masih lama. Aneh.

Kulemparkan tas ke atas kasur seraya aku duduk dan membuka surat tersebut. Ku baca dengan seksama, ternyata tujuan Ryu mengirim surat tersebut adalah ingin menyampaikan salam perpisahan karena ia telah berangkat ke Jepang tadi siang. Aku tidak percaya, kenapa Ryu tidak menyampaikannya secara langsung. Apa benar-benar tidak sempat, sekedar untuk menemui teman lama saja. Tapi di ahir kalimat surat tersebut ia menulis,

‘Han, maaf ya. Tunggu aku sampai aku lulus studi di sana. Aku janji setelah kembali nanti kita akan terus sama-sama lagi. Ryu sayang dan akan kangen sekali sama Hanhan Bocil ^_^. Sampai jumpa.’

Benar-benar lucu, Ryu menulis kata-kata seperti itu. Tak sadar, ternyata air mataku meleleh. Apa sebenarnya yang terjadi, mengapa Ryu begini. Rasanya ada sesuatu yang hilang, dan tangisku pun meledak. Ingin sekali ku kejar dia, tapi ia sudah berada di negeri matahari terbit nun jauh disana. Rasanya seperti terimpit sesuatu dalam ruangan yang sempit, dada ini sesak sekali.

Aku pun tidak sempat memberikan kenang-kengangan untuknya. Tapi dia memberiku sesuatu. Ku sobek bungkusan hadiah itu, ternyata sebuah buku panduan praktis percakapan bahasa Jepang sehari-hari dan foto ku bersama Ryu ketika kami berlibur ke Taman Safari tahun lalu. Ku peluk buku dan foto itu erat-erat, tangis ini tak terhenti.

Pagi itu adalah hari minggu yang paling kelabu, dan aku masih merasa sedih atas keberangkatan Ryu ke Jepang. Aku hanya termenung sambil memandangi buku dan foto pemberiannya. Apa maksudnya ini, aku tidak mengerti.

Tiba-tiba hp-ku berdering. Ada e-mail dari Ryu, rasanya senag sekali.

“Ohayou, Hanhan chan. Han matahari pagi di sini indah sekali lho, apalagi kalau sedang sunset. Han, buku itu buat kamu pelajari, biar nanti kalau kamu ku ajak ke Jepang sudah bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang trus kita lihat sunset sama-sama. Dan foto itu biar kamu ingat terus sama aku ya. ;I ”.

Jadi itu maksudnya memberiku buku panduan percakapan, aku senang bukan kepalang. Dan langsung saja pikiranku melayang, dimana saat aku tengah berada di Jepang bersama Ryu sambil berjalan-jalan di negeri sakura yang indah itu, memandang sunset yang indah.

 

Dua tahun sudah berlalu, sekarang aku sudah duduk di bangku universitas. Hingga kini, tapi Ryu belum memberiku kabar sama sekali. Setiap hari kupelajari buku itu, dan sekarang aku sudah cukup mahir untuk berbicara dalam bahasa Jepang walaupun masih sederhana. Pernah juga aku mengalami hal memalukan, saat mata kuliah sejarah nasional di dalam kelas dosen sedang memberi kuliah tapi saking seriusnya mempelajari percakapan bahasa Jepang dari buku pemberian Ryu, sampai-sampai aku lupa akan keberadaannya. Kontan saja dosen itu marah bukan main padaku dan mengusirku dari kelas, aku benar-benar malu sekali sampai di usir seperti itu. Aku hanya tersenyum sendiri saat mengenangnya, seandainya ku ceritakan pada Ryu, dia pasti akan menertawakanku dan mengejekku habis-habisan. Sudah menginjak tahun kedua Ryu belajar di Jepang, padahal setahuku pertukaran pelajar ini hanya dua tahun. Saat masih pagi buta, Ryu mengirimkan e-mail, katanya ia pulang ke Indonesia hari ini. Betapa senag sekali saat mendengar kabar tersebut, aku pun berlari menghampiri ibu dan memberitahukan kabar kepulangan Ryu. Aku dan ibu sibuk mempersiapkan segala macam untuk menyambut kedatangan Ryu. Mungkin berlebihan, seperti yang mau kedatangan tamu agung saja. Ibu beres-beres rumah setelah menyiapkan beberapa masakan, sedangkan aku sedang mencoba membuat masakan kesukaan Ryu yang ku buat dengan tanganku sendiri.rasanya menyenagkan sekali dan ku harap Ryu akan suka dengan masakan buatanku ini. Tanpa sadar, aku tersenyum sendiri dan ibu melihatku dari ambang pintu dapur. Aku jadi malu karenanya.

Sore itu aku dan ibu sudah siap untuk menyambut kedatangan Ryu, seisi ruangan di rumah sudah tertata rapi, masakan sudah siap. Dan yang terpikirkan oleh ku, Ryu pasti senang sekali di sambut dengan cara seperti ini dan iti artinya usaha ku dan ibu tidak sia-sia. Ternyata elum ada kabar lagi, bosan juga menunggu terlalu lama. Aku duduk di sofa dan ibu menyalakan televise.seperti biasa ibu langsung mengarahkan remot dan memindahkannya ke hanel kesayangannya. Ternyata di chanel itu sedaang ada Hadeline News, dan..tiba-tiba seperti ada halilintar yang menyambar kepalaku, tubuhku tegang dan rasanya akan rubuh dari posisiku yang sedang berdiri ini. Tubuhku mematung kaku, air mata terus meleleh dengan derasnya. Ibu hanya memeluk, dengan wajah bersimbah air mata. Kenyataan ini terlalu pahit dan aku tak bisa menerimanya. Ryu meninggal dalam kecelakaan pesawat yang hendak membawanya kembali ke Indonesia.

Aku tak kuasa menahan kesediahan ini. Bagaimana keluarganya, bagaimana aku. Aku belum sempat melihat wajahnya untuk terahir kali. Belum sempat ia tahu bahwa aku sudah pandai berbicara bahasa Jepang. Bagaimana janjinya untuk membawaku ke sana dan berjalan-jalan bersamanya. Semuanya hancur dan selesai. Tidak ada lagi yang bias kutunggu dan kuharapkan. Dan aku tak sempat menyampaikan perasaan itu.

Tiba-tiba ibu meraih tangan dan menyentuh wajahku dengan pilu, ia menyerahkan selembar kertas yang sama persis dengan kertas surat yang Ryu berikan bersama buku dan foto dua tahun yang lalu. Sepertinya ibu sengaja menyembunyikannya dariku, atau memang itu hanya ditujukan untuk ibu. Isi surat itu,

“Tante, maaf sebelumnya. Rasanya ini aneh. Tapi beginilah yang sebenarnya terjadi. Ryu tidak hanya menganggap Hana sebagai adik tapi ada sesuatu yang lebih. Bolehkah Ryu menyayangi Hana lebih dari sebagai adik. Ryu ingin meminta izin terlebih dahulu pada tante, sebelum Ryu mengungkapkannya sendiri pada Hana. Ryu janji akan menjaga Hana, walaupun belum bisa menggantikan posisi ayah untuk Hana, tapi rasanya selalu ada kontak batin yang terjalin antara kami. Ryu minta do’a juga pada tante supaya Ryu lancar kuliah di Jepang. Maaf tante Ryu sudah lancang bicara seperti ini. Wassalam.”

16 februari’10

Untuk setiap harapan dan kasih sayang.

 

 

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto Anonymous

Assalamu'alaikum....... boleh

Assalamu'alaikum.......
boleh share kan???????????

Foto admin

re: Assalamu'alaikum....... boleh

wa'alaikumsalam....

silahkan, tampaknya sang penulis tidak melarangnya :)

http://www.jendelasastra.com/ketentuan-pengguna

Foto Anonymous

cerpen catatan yang hilang

mba tolong dunk jabarkan unsur-unsur intrinsik yang ada di cerpen catatan yang hilang...

Foto Anonymous

wow... aku suka cerpen

wow... aku suka cerpen _pengharapan semu_ ceritanya nyentuh bangettttt

Foto Anonymous

thanks bro

thanks bro

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler