Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "KETIKA SUNYI MENGUSIK SEPI" KARYA WILSON NADEAK

Foto SIHALOHOLISTICK

Satu dua langkah ia berjalan mondar-mandir di depan jendela. Di luar gerimis turun perlahan mengusapkan kabut ke kaca. Sesekali ia menoleh ke kartu undangan kawin yang bertaburan di atas meja dan kemudian ia duduk menghadap meja dan membolak-balik kartu-kartu undangan itu. Bermacam-macam bentuk kartu itu, ada yang berlipat dua, tiga, dan ada pula yang hanya satu halaman saja. Sampulnya aneka ragam berlukisan dua ekor burung, ada yang gambar calon pengantin, ada pula yang bermotif kain batik dan rumah adat dan pakaian adat. Menarik dan indah. Berulang-ulang ia membaca kata-kata yang tertera di dalam kartu undangan itu, di dalamnya terdapat kata-kata yang manis, kutipan dari Kitab Suci, nama yang dihiasi dengan gelar-gelar, teks yang berbahasa Inggris, Indonesia, dan daerah. Kata, kalimat, huruf, merupakan pilihan yang indah, sangat sopan, dan sarat dengan kata klise.

Telah lama ia mengimpikan kartu undangan seperti itu, impian untuk membuatnya, bukan sekadar menerima. Suatu kali ia mengeluh kepada seorang kawannya, “Ah, hidup ini tidak adil. Dalam usia setengah abad ini saya belum pernah mengedarkan undangan, hanya menerima saja. Rasanya, semakin banyak utang saya.”

Kawannya tersenyum dan berkata, “Segala sesuatu ada waktunya, sabarlah.”

“Mereka sudah besar-besar semua. Sudah ada yang tamat dari perguruan tinggi. Tetapi mengapa mereka belum menemukan jodoh?”

“Jodoh dari Tuhan,” sambung kawannya.

“Selalu begitu. Kata-kata itu selalu menggema dari waktu ke waktu. Dari setiap mulut orang. Meluncur begitu saja. Apa tidak ada kata yang lain?”

Dialog terhenti di situ. Kawannya tidak berani melanjutkan karena ia takut tersinggung. Setiap orangtua ingin anak-anaknya menikah setelah dewasa, apalagi sudah mulai berumur. Barangkali itu naluri. Naluri yang menjadi obsesi setiap keluarga.

Sekarang, ia memilih-milih undangan mana yang paling menarik, paling cantik, dan paling mengesankan. Tidak tampak seragam. Hatinya ingin sedikit berbeda dan hendak menciptakan sesuatu yang sederhana namun lain daripada yang lain. Ada bahasa daerahnya, ada bahasa Indonesia, dan tentu saja ada bahasa Inggrisnya. Bukankah pernikahan putrinya akan dilangsungkan di Los Angeles?

Sejak istrinya menunjukkan surat pendek itu kepadanya, hatinya selalu bersyukur, seperti mendapat durian runtuh. Ada sebuah tembok yang runtuh dari dalam dirinya, tembok yang memisahkannya dari masa depan. Dan ke depan, masa depan itu sudah terbuka lebar. Orang-orang tidak akan mencemoohnya lagi, kapan ia akan memberikan undangan karena putra putrinya sudah dewasa dan tamat dari berbagai perguruan tinggi. Dadanya merasa lapang seakan-akan oksigen mengalir dengan lancar, sejuk dan nyaman.

Dari balik kaca meja itu ia mengambil surat pendek dari putrinya.

“Ibu dan Bapa yang kusayangi. Kami berniat menikah tiga bulan di depan. Kami mengharapkan kehadiran Ibu dan Bapa. Tiket akan kami kirimkan dengan segera. Kami akan sangat berbahagia kalau Bapa dan Ibu merestui pernikahan kami. Salam dari ananda, putrimu.”

Pertama kali menerima surat itu ia bertanya kepada istrinya, “Anak kita mau kawin dengan siapa?”

Istrinya menjawab, “Dengan orang kita juga.”

“Marga apa?”

“Ah, pusing amat dengan segala marga. Asal jangan dengan bule saja!”

“Apa salahnya dengan bule?” tanyanya.

“Ya, hilang dong!” jawab istrinya. “Budaya saja sudah menjauhkan kita.”

“O, begitu.”

“Ah, bapa ini bagaimana. Kita harus mensyukurinya.”

Ia perhatikan istrinya sudah mulai sibuk bertanya ke sana ke mari, bagaimana cara mengadakan pesta pernikahan. Apa-apa saja yang harus disediakan.

Berulang-ulang ia membaca surat putrinya. Surat singkat yang sarat dengan harapan hidupnya selama ini. Sekalipun surat itu pendek, itu sangat membahagiakannya. Rasa sunyi selama ini berangsur meredup, bunga-bunga harapan mulai menguncup. Kerinduan untuk memomong cucu sudah lama dipendamnya. Kini harapan itu mulai berbunga-bunga. Orang yang lebih muda dari dia sudah memiliki beberapa cucu, dia belum. Tiap kali orang menanyakan kepadanya kapan akan memiliki cucu, selalu dijawabnya dengan jawaban menghindar, “Akan ada waktunya.” Padahal pertanyaan itu sebenarnya amat menggusarkan hatinya. Selama ini ia senang berkumpul dengan anak-anaknya yang lima orang. Senang melihat mereka semua sehat-sehat dan berambisi mau ini dan itu. Tetapi tiap kali ia menanyakan kepada mereka kapan membentuk keluarga sendiri, selalu dijawab, “Ah, Bapa ini rupanya sudah bosan melihat kami.” Hal ini pun membuatnya merasa sunyi dan lebih banyak berdiam diri soal itu. Lagi pula, sejak mereka belajar di perguruan tinggi dan di luar negeri, ia dan istrinya kembali ke dalam suasana sunyi dari hiruk-pikuk anak-anak. Kembali berdua sejak menikah tiga puluh tahun yang lalu. Benteng kesunyian itu semakin mendalam ketika istrinya ikut anaknya ke Amerika dan tinggal di sana beberapa tahun. Hanya untuk “menjaga” dan memberi kemungkinan “masa depan” anaknya, harus meninggalkannya, seorang diri di rumah, di Tanah Air. Adapun ketika ia menyusulnya, dan tinggal di sana setengah tahun, itu tidak membuat benteng kesunyian itu runtuh atau retak karena ia pun mengingat anak-anaknya yang lain yang tinggal di Tanah Air. Ia kembali seorang diri karena istrinya berharap putrinya tamat dan ada yang melamarnya. Ketika saat penantian itu berlalu, istrinya kembali dan tinggallah mereka berdua di rumah. Hanya ketika musim libur, anak-anak kembali ke rumah.

BAGI yang menikah, perkawinan adalah sebuah tujuan untuk mencari kebahagiaan, memenuhi kodrat sebagai manusia, yang sukar dihindari. Pikiran mereka tertuju kepada hari yang penuh kebahagiaan itu, yang harus diawali dengan upacara sakral sesuai dengan keyakinan, bahwa manusia sesungguhnya menuruti petunjuk Tuhan. Manusia mewarnai jalan menuju upacara ini dengan hal-hal yang rinci, sarat dengan emosi, dan terikat kepada norma, kaidah, dan rambu-rambu lintas budaya yang sukar dilalui. Sejumlah aturan yang sesungguhnya tidak ada kaitan dengan tujuan pernikahan itu muncul ke permukaan, lalu syarat-syarat tertentu saling melengkapi dan harus dipenuhi. Tanpa itu, jangan harapkan pernikahan akan berjalan dengan lancar. Kecuali kedua hati yang muda itu, dengan berani menempuh jalur-jalur jalan berduri dengan “kawin lari” dan yang lain-lain tidak dipedulikan, sekalipun jalan itu membuat rasa malu kepada ayah dan ibunya-karena ayah dan ibunya mengingkari utang yang selama ini mereka terima melalui undangan-undangan dari kenalan-yang tidak “terbayar” olehnya.

Seperangkat pakaian adat dan undangan tercetak dalam tiga bahasa sudah disiapkannya dan dimasukkan ke dalam koper. Ia tidak mau kehilangan momentum yang sangat ditunggu-tunggunya itu. Apa pun biaya dan risikonya, ia mau supaya perhelatan ini sukses. Sukses untuk anak pertama adalah awal yang baik untuk sukses bagi anak-anak berikutnya. Menurut calon besannya, “adat penuh” pun akan dilakukan, sekalipun itu di negeri asing. Adat baginya, adalah bayang-bayang dirinya, sekalipun ia sendiri benci bayang-bayang, yang selama ini jarang diperhatikannya karena Matahari kota membuatnya jarang berjalan di panas terik-dan selalu berada di atas kendaraan pribadi maupun umum. Adat, adalah bagaikan sebuah topi yang harus dikenakan ketika Matahari menggigit ubun-ubun. Manusia yang terlahir di dalam lingkup adat sukar melepaskan diri dari simbol-simbolnya walaupun itu harus dibayar dengan harga mahal. Perkawinan memang sangat bersifat privasi, tetapi melibatkan komunitas dari rumpun marga yang berbeda. Lalu lahirlah pelangi keluarga. Itukah kebahagiaan itu? Akhirnya ia tiba pada kesimpulan bahwa kebahagiaan harus dibayar dengan harga yang mahal!

Upacara adat yang melelahkan berlangsung di Los Angeles (LA) di rumah kerabat dekat yang merelakan tempat, waktu, dan simpati maupun empati, sesuatu yang sangat sulit diperoleh di LA. Ia harus mengorbankan kamar tidur anak-anaknya demi menampung orang-orang yang menghadiri upacara adat sebelum pesta pernikahan itu sendiri dilakukan. Betapa pun singkatnya, betapa pun mereka itu berpikir praktis, toh upacara itu melelahkan. Tapi itu baru pendahuluan. Sesudah resepsi, masih dilanjutkan dengan “adat penuh” yang membuat orang-orang asing tercengang dan geleng-geleng kepala. Mungkin bagi mereka, jenis upacara itu sebuah hal yang amat mistis dan magis. Penuh dengan simbol dan retorika yang sarat repetisi.

Protokol pada upacara pernikahan menguraikan acara pernikahan dengan bahasa Inggris yang transparan bagi kuping orang Timur. Barangkali bagi kuping penduduk pribumi alias bule yang banyak juga hadir pada upacara pernikahan, bahasa Inggris yang demikian adalah bunyi simfoni dialek karena sesekali diselingi dengan pepatah-petitih bahasa leluhur. Mereka mengangguk-angguk, mungkin tanda kagum.

Usai resepsi, upacara adat berlangsung. Kata-kata indah berhamburan dari bibir-bibir yang berbahasa ibu. Tampaknya pengucap kata itu sendiri “hanyut” dalam emosi, mungkin sekali ia rindu tanah air karena suaranya gemetar menimbulkan rasa haru. Uang-uang rupiah berbaur dengan uang dollar. Orang-orang menari dan menari. Ada band yang mengiringi dengan lagu-lagu syahdu, dalam bahasa ibu yang membuat orang-orang Amerika, Filipina, dan China larut dalam mimpi oriental yang magis dan sunyi. Lagu-lagu cinta dalam bahasa ibu dan sesekali lagu cinta dalam bahasa Inggris.

Ayah pengantin perempuan yang paling berbahagia. Ia tersenyum terus menerima salam dari hadirin. Lunaslah sudah utang-undangan-pernikahan yang selama ini selalu diterimanya. Riak-riak kegembiraan yang muncul di wajahnya menandakan sunyi hati yang selama ini terpendam, pudarlah sudah. Ia berharap, beberapa tahun mendatang seorang cucu telah dapat ditimang-timangnya.

Beberapa bulan sesudah pernikahan putrinya yang pertama, ia mendengar kejutan baru dari istrinya.

“Kudengar dari putri kita, mereka tidak ingin cepat-cepat punya anak. Mereka belum siap karena penghasilan mereka belum memadai. Lagi pula, kata mereka, biaya merawat seorang anak cukup mahal. Kalau mereka punya anak, mereka akan keluar dari apartemen ini. Apartemen ini khusus bagi penghuni yang belum punya anak.”

“Bukankah Tuhan akan mencukupkan keperluan hidup mereka? Kalau perlu, kau tinggal di sini dulu, untuk menjaga dan merawat anak mereka,” jawabnya.

“Justru mereka tidak mau merepotkan orangtua, dan tidak mau direpotkan orangtua,” katanya.

“Maksudmu?”

“Mengurus anak itu tidak gampang, Pak. Mantu kita harus bekerja siang hari, putri kita juga. Nanti kalau ada anak, mereka terpaksa harus cari pekerjaan siang dan malam, silih berganti supaya dapat menjaga anak. Untuk itu, mereka belum siap. Begitu menurut mereka.”

Ia manggut-manggut. Harapan yang sudah mulai berbunga-bunga beberapa bulan lalu mulai melayu. Belum membentuk arah pembuahan. Hanya bunga-bunga yang menguncup dan kemudian melayu dan redup, gugur ke tanah.

Berbulan-bulan tembok kesunyian mulai terbangun di dalam dirinya. Ia jarang bertemu dengan orang. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Anak dan mantunya, kalau sudah pulang kerja-yang kadang-kadang larut senja karena lembur-langsung tidur dan pagi-pagi sekali sudah bangun dan berangkat ke tempat kerja. Tidak ada lagi kunjungan ke taman hiburan semisal Disneyland atau Hollywood. Hanya sesekali ke pantai LA atau pertemuan singkat ibadah di gereja. Hidup menjadi monoton antara bangun tidur, makan, nonton TV, jalan-jalan di sekitar rumah. Siklus yang sangat menjemukan.

Setelah lima bulan di LA, kejutan baru muncul dari istrinya.

“Pak, anak kita menanyakan kapan kita akan kembali.”

“Oh ya?” jawabnya. Memang pikiran itu pernah timbul di dalam benaknya. Ketika pertanyaan muncul dari bibir anaknya sendiri, maknanya menjadi lain. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ini karena putrinya dapat mengajuk pikirannya ataukah ungkapan atas rasa ketidaksetujuannya atas kehadiran mereka di sana? Apakah mereka menjadi beban bagi anak dan mantunya?

Ia tidak menjawab istrinya. Tidak juga timbul niat di dalam dirinya untuk bertanya kepada putrinya. Takut kalau-kalau begitulah kenyataan yang sebenarnya. Ia takut menghadapi kenyataan seperti itu. Pikiran yang muncul dalam benaknya ialah, pernikahan itu sudah berlangsung. Rumah tangga anaknya sudah terbentuk. Barangkali tugas mereka sudah selesai sampai di situ. Selebihnya, adalah kerisauan dan gangguan-gangguan hati nurani tidak pantas ditanyakan. Ia ingat burung-burung. Burung yang sudah layak terbang, ya, membentuk sarangnya sendiri. Burung itu sudah menjadi masyarakat burung, tak lagi bergantung kepada induknya. Kita tidak tahu apakah anak burung mengucapkan terima kasih kepada induknya karena telah memeliharanya. Kita juga tidak tahu apakah induknya pernah merasa kecewa.

Pada suatu tengah malam, ketika ia terbangun, ia membangunkan istrinya.

“Besok kita berangkat pulang,” katanya.

Istrinya mengusap-usap matanya dan kemudian berkata, “Apakah saya bermimpi?”

“Tidak,” jawabnya, “Kau tidak bermimpi.”

“Oh ya? Apa kaubilang tadi?”

“Besok kita pulang. Anak-anak di Tanah Air lebih memerlukan perhatian kita.”

“Begitu cepat?”

“Sudah waktunya,” katanya, “rasanya anak dan mantu kita kurang memerlukan kita di sini.”

“Kau terlalu perasa.”

“Mungkin ya, mungkin tidak. Dunia mereka berbeda dari dunia kita. Sebaiknya kita pulang saja.”

Keesokan harinya, anak dan mantunya mengantar mereka ke airport. Setelah pesawat tinggal landas, ia berkata kepada istrinya, “Nah, kau perhatikan tadi, bukan? Ketika kau mengatakan bahwa kita akan pulang, mereka segera konfirmasi pesawat dan sore ini kita berada di dalam pesawat ini? Mereka tidak mengucapkan kata basa-basi mengapa pulang mendadak. Tidak ada kata tanya. Tidak ada kata terima kasih karena kita telah menemani mereka di rumah setelah upacara pernikahan mereka…”

Istrinya mengunjurkan kaki dan menyandarkan punggungnya ke kursi yang dilengkungkan ke belakang. Sambil memejamkan matanya, acuh tak acuh ia menjawab, “Kau terlalu mudah tersinggung. Budaya penduduk negeri ini telah menjadi budaya hidup mereka. Mereka hidup di sini, dan untuk itu, mereka harus menyesuaikan diri dengan situasi. Mereka adalah pekerja keras dan kita patut menghargai mereka.”

Ia mencoba melihat ke awan-awan di luar lewat jendela kaca. Perjalanan panjang menuju Tanah Air sedang berlangsung. Rasa sunyi yang lain mengusik sepi yang mulai melekat dalam lubuk hatinya.

Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia terbangun karena pesawat terasa seperti berjalan di atas batu-batu, seperti pedati. Pramugari memberitahukan bahwa pesawat melintasi perubahan hari-batas siang dan tengah malam yang pekat.

Dan sunyi itu, semakin dalam mengendap dalam perjalanan enam belas jam yang menjemukan.

 

Bandung, 14 Juli 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler