Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004: “TAMU” KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM

Foto SIHALOHOLISTICK

Januari 1965.

Tahun itu, aku berusia delapan tahun, dan namaku Dara. Aku punya dua adik laki-laki, yang menurut Mama harus lebih diperhatikan karena mereka masih kecil (sepulang sekolah aku harus ikut menjaganya). Sementara Mama merawat anggrek, yang bergelantungan di pohon belakang rumah. (Mama berharap anggrek ini, kelak bisa menambah biaya sekolah kami. Menurut Mama, Papa cuma pegawai negeri sipil yang gajinya hanya cukup untuk sebulan).

Ada sisi lain sepulang dari kerja, Papa cuma mengganti-ganti gelombang radio dan berkata dengan sangat kesal, “Brengsek siaran radio apa ini, mendengar musik Elvis dan The Beatles dilarang. Padahal, aku tidak suka dengan siaran di radio itu, yang isinya cuma propaganda.”

Senja itu, aku sedang mencabuti uban Papa dengan bayaran 50 sen untuk setiap uban. Tiba-tiba telepon berdering. Papa menjawabnya dengan berteriak-teriak (waktu itu hubungan jarak jauh memang tidak begitu jelas). Kemudian, secara bergegas Papa ke halaman belakang menemui Mama yang sedang belepotan dengan anggrek-anggreknya. “Daryo sudah berada di Surabaya. Minggu depan, dia akan mengunjungi kita. Bapaknya kan sakit, dia akan mengajukan cuti besar. Dan kabar lainnya, dia membawakan pesananmu, parfum yang bermerek Maya.”

Kemudian Mama berbicara kepadaku, “Om Daryo, sepupu papamu. Dia Simbat, si pelaut. Kita sudah tidak bertemu selama lima tahun. Teddy Bear yang kau terima lima tahun yang lampau adalah kirimannya. Dia bisa keliling Eropa tidak seperti papamu yang cuma pegawai negeri. Seandainya dia di sana terus kala kau sudah tamat SMA, belajar saja di negeri Belanda atau Eropa.”

“Aku tidak suka sekolah di negeri Belanda. Kalau aku besar aku akan pergi jauh dan jauh sekali.”

Mama tidak menanggapi omonganku. Kembali aku harus mengawasi kedua adikku yang sore ini bukan main rewelnya.

Pesiapan menyambut Om Daryo seperti kala menyambut Lebaran saja. Ada ketupat lengkap dan Mama memakai gaun merah muda yang cantik sekali (dia kelihatan cantik sore ini) ketika Simbat si pelaut datang. Kami sekeluarga mendapat oleh-oleh, Mama mendapat parfum, Papa mendapat arloji yang bagus, dan saya terlonjak, Om Daryo memberi saya boneka Barbie bersama pacarnya, Ken.

Malam-malam sesudah itu, pada satu kesempatan Mama berkata kepada Papa, “Papa, sudah ketemu teman yang asyik kan? Buktinya Papa betah meladeni omongan Daryo sampai malam.”

“Entahlah, yang diomongkan buku-buku politik. Padahal, aku tidak suka. Dengar di radio saja aku sudah muak. Tetapi, asyik juga mendengar obrolannya.”

Hampir tertelan olehku roti ini dan kutanyakan agak bergegas, “Pa, buku politik itu apa? Saya tidak suka karena tidak ada gambarnya.”

Mama menyela, “Aku juga tidak suka buku-buku seperti itu, yang aku suka duit.”

Papa tertawa dan di teras muka sudah terlihat Om Daryo melambai-lambaikan tangannya sambil membawa beberapa buku lagi.

Papa sedang di kamar mandi, saya tanyakan kepada Om Daryo, “Mengapa Om dan Papa suka buku itu, apa sih isinya? Padahal tidak ada gambarnya.”

“Kalau aku kembali ke Eropa, buku-buku ini akan kutinggal di sini agar kelak kalau kamu dewasa kamu biasa membacanya. Zaman itu, kau sudah tidak lagi menyukai boneka.”

“Aku selalu akan suka boneka sampai dewasa. Kalau aku pergi dari rumah ini, Barbie dan Ken akan bersamaku.”

Om Daryo tertawa dan malam itu aku merasa gembira karena aku tidak diusir oleh Mama kala mendengarkan percakapan kedua orang lelaki itu. Tanpa terasa, aku kemudian tertidur.

Besoknya, Mama ngomel karena hari itu aku tertidur di muka tamu.

“Makanya, jangan suka nguping obrolan orang dewasa. Kan lebih baik kamu belajar agar kelak naik kelas dengan peringkat yang bagus.”

Tapi Papa berpendapat lain, “Biarkan Dara menguping ia akan mendapat pelajaran dari buku-buku yang kami diskusikan.”

“Diskusi apa? Buatku Dara dan adik-adiknya harus belajar pelajaran di sekolah.”

Memang, suasana rumah rasanya lain kalau Om Daryo hadir di tengah kami. Sekalipun Mama jarang ikut nimbrung sampai malam, kentara sekali Mama tidak pernah membenci percakapan dari tamu kita yaitu, Om Daryo.

Kami memang jarang menerima tamu dan dari yang jarang itu kadang-kadang Mama tidak suka kepada tamu Papa. Papa juga tidak terlalu suka kepada tamu atau teman Mama. Tetapi, kelihatan sekali mereka berdua suka dengan Om Daryo, sekalipun kadang-kadang Papa sering mengatakan kepada Mama, “Daryo itu aneh menyukai buku-buku seperti itu.”

“Dari dulu kan Daryo eksentrik,” kata Mama telak.

Papa tidak berkometar dan seandainya Om Daryo tidak datang sehari saja suasana rumah seperti semula. Papa akan mengotak-atik radio sedangkan Mama belepotan dengan anggreknya dan saya akan disuruh mama menjaga adik-adik.

Suatu kali, ketika Om Daryo datang lagi dan sedang asyik ngobrol dengan Papa di ruang tamu, saya ingin Papa mengajariku matematik. Kali ini yang mengajari Om Daryo. Sedang Papa asyik membaca buku-buku itu kemudian selesailah PR matematik.

Ketika saya lihat Mama sudah tertidur bersama adik-adik, saya keluar lagi ke ruang tamu ini, melihat keasyikan mereka ngobrol kadang-kadang berdebat dan menunjuk-nunjuk alinea dalam buku. Mereka kadang-kadang tertawa bersama. Saya cuma mendengarkan tanpa mengerti, tetapi asyik sekali rasanya. Memang sejak kehadiran Om Daryo rumah kami seperti anggrek yang kena siram, terus-menerus segar dan tegar. Kalau kami sekeluarga kumpul, Om Daryo akan bercerita tentang laut, bajak laut, dan Eropa. Saya seperti terpesona kalau mendengar ceritanya tentang bajak laut yang menghadang kapalnya.

Mama sering bertanya tentang Eropa dan matanya seperti bermimpi kalau mendengar cerita tentang Eropa. Pada saat seperti itu Papa bilang, “Aku selalu bermimpi anak-anak bisa sekolah di sana, suhu politik semakin tidak menentu banyak orang bilang bahwa negeri kita akan dikuasai komunis. Dari siaran luar negeri beritanya terbalik-balik, bahwa ada kekuatan lain yang ingin menumbangkan Presiden Soekarno.”

Kalau sudah berbiacara hal itu suasana jadi hening. Mama berkata pelan-pelan, “Sebagai pegawai negeri Papa akan mendapat jaminan di masa tua. Kalau Papa ingin imigran ke sana apakah harus mulai dari nol, sedangkan usia Papa sudah 37 tahun. Bagimana menurut Mas Daryo?”

“Aku sebetulnya sepakat dengan pendapat Masmu, kehidupan di negeri ini semakin tidak menentu. Asal mau jadi tukang cuci piring di restoran, aku bisa mengusahakan. Aku punya teman pemilik restoran yang butuh tukang cuci piring.”

Mama terdiam agak lama kemudian berkata, “Kalau begitu, biarlah kita lihat-lihat dulu suasana di sini. Saya lebih suka di Kota Malang, kalau tidak terpaksa pindah buat apa kita pindah.”

Kemudian Om Daryo menyela, “Aku mungkin tidak bisa kembali ke Indonesia. Istriku, Margareta, pasti tidak bisa hidup di Indonesia. Dia sudah bahagia menjadi karyawan di radio dan bukankah saya harus membantu kebahagiannya? Apalagi dua anak laki-laki kami tidak mau serumah lagi.”

“Maksudmu tidak tinggal serumah dengan kalian lagi, bukankah Ricard dan Bangun masih berusia 17 dan 20 tahun,” kata Mama.

Om Daryo bilang, “Anak-anak di negeri Belanda tidak bisa ditahan di rumah kalau sudah usia segitu. Karena mereka bisa mandiri dalam artian bisa mencari uang sendiri.”

“Aku kalau begitu mau di negeri Belanda, biar bisa cari uang sendiri.”

Om Daryo tertawa. Tentu saja aku tidak meneruskan ucapanku yang seperti ini, aku lebih suka hidup bersama Barbie dan Ken karena kalau aku hidup sendiri, Mama tidak akan menyuruhku menjaga adik-adikku yang rewel.

Kemudian Papa memotong pikiranku, “Walaupun aku di sini sudah menjadi Kabag, aku rela menjadi tukang cuci piring di negeri orang, asal anak-anak bisa sekolah dengan teratur. Saya dengar di radio-radio luar negeri, negeri ini sudah seperti api di dalam sekam, aku khawatirkan pendidikan anak-anak.”

“Ya, aku bisa merasakan keprihatinanmu. Kalau Bapak sudah sembuh, kau bisa pikirkan ikut bersamaku.”

Begitulah Om Daryo, mungkin kegembiraan kami kalau dia datang karena bisa memberi atensi kepada kami bahkan sampai ke adik bayiku. Rasanya semakin lama aku semakin betah untuk duduk mendengarkan omongan mereka, tanpa aku mengerti mereka bicara apa.

Jadi, kami merasa sore hari tidak lengkap jika Om Daryo tidak datang. Kami memastikan kalau dia datang akan bisa menghabiskan malam-malam yang rasanya pekat. Suatu ketika Om Daryo bercerita kepada kami, dia mendapat bagian merawat bapaknya dari pagi sampai magrib. Kalau adik-adiknya pulang kerja, baru adik-adiknya yang menggantikan untuk merawat bapaknya dan Mama sering memuji sikap Om Daryo, “Lihatlah Dara, Om Daryo mau berhenti bekerja hanya untuk merawat bapaknya yang sudah tua. Semoga kau dan adik-adikmu bisa melakukan hal yang sama kalau kami sudah tua.”

“Tentu saja aku akan mencarikan Mama suster.”

“Om Daryo bisa melakukan hal itu kalau dia mau, tetapi dia memutuskan untuk merawatnya sendiri, Dara.”

Bulan-bulan berikutnya Om Daryo jarang datang ke rumah. Menurut Mama, bapak Om Daryo semakin sakit keras. Dengan wajah muram, Papa sering berkata, “Apakah kau bisa menghubungi sepupumu yang di Malaysia itu? Saya ingin kau dan anak-anak pergi ke sana terlebih dahulu.”

“Papa itu omong apa? Kan Papa Kabag, tidak mempunyai partai politik atau aktif di partai mana pun. Selama ini yang Papa lakukan dengan Mas Daryo cuma sebatas wacana saja kan? Tidak pernah dengan orang lain.”

“Entahlah, kedudukanku sebagai Kabag membuat banyak orang iri, lebih-lebih mereka yang merasa orang partai.”

September 1965.

Beberapa hari yang lampau kami sekeluarga takziah ke rumah Om Daryo dan Om Daryo berkata, “Setelah tujuh hari meninggalnya Bapak, saya akan kembali ke Eropa. Mulai sekarang Mas harus mengurus paspor dan saya usahakan untuk mendapat visa kerja. Temanku mau memberi surat untuk bertanggung jawab kepada sampeyan selama berada di negeri itu.”

Mama kelihatan mengiyakan dengan cepat.

Perpisahan dengan Om Daryo sungguh mengharukan. Sambil memelukku, dia bilang kepada Papa, “Aku tidak tahu kapan bisa kembali ke Indonesia. Mudah-mudahan urusan Mas cepat selesai dan kemudian istri dan anak-anakmu lekas bisa menyusul.”

7 Oktober 1965.

Malam itu saya terbangun, orangtua saya membakar buku-buku itu. Ketika melihat saya Mama berkata, “Jangan bilang pada orang lain Nduk kita pernah membakar buku-buku ini agar Papamu tidak dianggap PKI.”

Waktu itu saya baru saja berusia delapan tahun. Tetapi, mendengar omongan Mama saya bayangkan sebuah kesedihan akan datang kepada kami.

Ketika saya tercenung begitu, Papa memelukku, “Dara, semuanya akan beres. Kau harus ingat kata-kataku ini.”

Amsterdam April 2004.

Dalam suatu seminar di negeri ini, saya sempatkan bertemu dengan Om Daryo dan Tante Margareta. Mereka sudah berusia sekitar 76 (seusia Papa), namun mereka berdua kelihatan masih sehat dan bahagia! Ketika mereka berdua memelukku, saya menangis. Dan malamnya saya bermimpi bertemu Papa yang berkata demikian, “Dara semuanya akan beres. Kau harus ingat kata-kata ini.”

Saya terbangun dari mimpi tadi, masih di Amsterdam. Dan saya ingat 7 November 1967 beberapa orang membawa pergi Papa. Sejak itu, Papa tidak ada kabarnya, sampai hari ini!

 

Malang, 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler