Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “BOCAH-BOCAH BERSERAGAM BIRU LAUT” KARYA PUTHUT EA

Foto SIHALOHOLISTICK

Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin selamanya.

Ruang teduh, ruang nyaman. Ruang tunggu dengan warna pastel. Lubang-lubang ventilasi kecil di dekat langit-langit tinggi itu membawa bocoran harum yang mungkin berasal dari beranda surga. Ratusan kepala bocah yang ada di dalamnya menekuri lantai, ratusan yang lain terlentang menatap langit-langit ruang. Aku mengitari mereka perlahan-lahan, sebagaimana seekor kupu-kupu mencari hinggapan. Kepala-kepala itu masih penuh cerita. Kepala-kepala itu masih penuh derita. Yang membuat lega hanyalah ketika malaikat penjaga neraka menolak mereka. ”Tempat ini bukan untuk anak-anak manis seperti kalian. Pergilah ke ruang tunggu yang nyaman itu. Tunggulah sejenak, sebentar lagi surga akan dibuka tepat pada saat di mana kalian merasa mengantuk.”

Bocah-bocah itu berseragam biru laut. Dari tubuh mereka menguar bau harum taman di pagi hari. Tapi jangan bayangkan bahwa kulit mereka lembut dan bantat seperti donat. Mereka belum sempat bermimpi mempunyai rambut lurus di tengah kewajaran rambut bergelombang, mereka belum sempat bermimpi mempunyai kulit putih di tengah kegaliban warna kulit coklat matang.

Kepala mereka memancarkan warna ungu yang sedih. Sebagian dari kepala mereka menunduk, menekuni lantai, mungkin ingin kembali membaca masa lalu, sebuah masa di mana kisah sedih digelar oleh waktu. Sebagian menatap kosong langit-langit ruang, mungkin ingin membaca masa lalu, sebuah masa di mana rasa sakit berpilin dengan nelangsa. Ada masa memang, seluruh anak diciptakan hanya untuk bersedih dan menderita. Ada kurun waktu di mana kelak akan tercatat, anak-anak terlahir untuk menangis sepanjang waktu.

Aku masih mengitari mereka seperti kupu-kupu. Aku ingin hinggap dan menyadap kisah. Tapi selalu dan selalu, ada jarak yang terentang jauh antara si penyadap dan yang disadap. Senantiasa ada pintu-pintu terkunci, halaman-halaman tak terbaca, antara aku yang hanya membaca dan mendengar, dengan mereka yang mengalami sendiri.

Tubuh mereka seperti dilindungi oleh arus deras yang tidak terlihat. Ada semacam badai lembut yang membalut tubuh mereka. Sehingga setiap kali aku mencoba hinggap, aku terlempar. Percobaan yang selalu aku ulang. Sekali dua, sempat aku hinggap, sebelum kemudian kembali terlempar jauh, dengan hanya membawa sari-sari kisah yang tidak cukup sah untuk kurangkai.

Lalu aku akan terbang agak tinggi, mendekati lubang ventilasi, mencoba bernapas lebih lapang dengan bocoran harum yang bertiup dari beranda surga. Setelah cukup tenaga, kembali aku mengitari mereka, mendaratkan diri di antara ratusan bocah yang menekuri lantai. Tapi seperti mata yang menghadang cahaya matahari, seperti laron yang mencoba mendekati unggunan api, aku lebih sering terpelanting. Hanya sesekali, ada sari-sari kisah yang cacat peristiwa, bisa kubawa pergi. Dan aku terus mencoba lagi, setelah mendapatkan tenaga dari lubang ventilasi.

Demikianlah, setelah beribu kali aku melalukan percobaan tolol itu, kuberanikan diri untuk merangkainya. Dan aku seperti kupu-kupu yang terjerembab di tanah berdebu. Mengepak pelan, melemparkan rangkaian kisah yang cacat peristiwa. Hanya bermodal harap dan cita, siapa tahu memang ada suatu masa di mana seluruh bocah datang hanya untuk berbahagia.

***

Dua bocah itu berpelukan di sebuah sudut. Dua kakak beradik, beradu kepala, dan saling melingkarkan lengan, berpelukan. Aku mencium sari kisah yang terbakar. Mereka mati dibalut api. Ibu mereka terlalu bersedih. Kemiskinan mungkin masih berani dihadapinya. Tapi satu di antara mereka, menderita sakit yang tak mungkin ditanggulangi. Uang mereka tidak cukup untuk membiayai. Si ibu mengambil seliter minyak tanah. Dua orang yang masih lelap, mencoba diselamatkan oleh sepasang tangan yang menggigil. Tangan ibu mereka sendiri. ”Nak, penderitaan ini tidak akan sanggup kita hadapi. Hanya kematian yang bisa menyelamatkan kita.” Dan api berkobar. Mereka bertiga meregang. Mereka bertiga berpelukan, seakan masih ada janji yang belum selesai ditunaikan, berharap ada dunia di seberang yang bisa membuat mereka berkumpul untuk makan bersama di pagi yang cerah.

Aku mampir pada segerombol bocah yang lain. Bocah-bocah itu seperti berjongkok, membuat lingkaran besar dengan posisi saling berhadapan. Tangan-tangan mereka terkait satu sama lain, membuat rantai lingkaran yang kokoh. Kaki-kaki mereka mengecil. Kaki-kaki mereka bengkok. ”Ada yang salah dengan tubuh kami. Kami tidak ingin berjalan empat kaki seperti sapi. Mereka membangun rumah sakit bergedung tinggi. Mereka menganggap rumah sakit adalah hiasan kota yang membuat para pelancong merasa nyaman dan senang. Mereka ingin mengatakan pada dunia, inilah kota kami yang indah dan makmur. Mereka seperti sepasang keluarga yang memajang potret pernikahan di ruang tamu, untuk memastikan pada seluruh orang yang berkunjung bahwa pernikahan dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tapi mereka membiarkan kami seperti ini.”

Di samping lingkaran besar itu, tubuh-tubuh kecil berbaring. Tubuh mereka mengecil dengan mata terbelalak membesar. Mulut mereka sangat lemah. Bumi seperti menyedot seluruh daya mereka lewat punggung yang tertempel di lantai. Satu di antaranya berkata, ”Ibu membawaku pulang dari rumah sakit. Ibuku tahu aku akan mati. Ibuku sudah tidak punya air mata. Ibuku kalah dalam menagih janji. Mereka bilang biaya perawatan gratis. Mereka bohong. Mereka membiarkan aku mati, dan membiarkan perasaan ibuku bolong. Mereka mencoba membunuhku dua kali. Pertama membiarkanku tidak punya gizi, kedua membiarkanku pulang karena ingkar terhadap janji.”

”Aku pulang ketika bel istirahat pertama berbunyi.” Si anak yang berkata, bermata alum. Suaranya serak. ”Orangtuaku tidak ada di rumah. Aku pergi ke lemari pakaian ibuku yang sudah tidak ada kuncinya lagi. Aku mengambil selendang milik ibu, selendang yang baunya selalu membuatku rindu padanya dan pada masa ketika aku sering digendongnya. Sudah dua bulan SPP-ku tidak terbayar. Aku juga masih belum membayar uang Lembar Kegiatan Siswa. Aku tidak enak dengan ibu guru, aku malu dengan teman-temanku. Aku membuat tali menggantung dari selendang ibuku. Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Tapi di hari itu, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa di luar sana, uang tidak bisa diganti dengan rasa sayang.”

Pintu masuk ruang tunggu itu terbuka, sebaris anak-anak berseragam biru laut masuk. Sebagian dari mereka mengambil posisi duduk melingkar, sebagian lagi terlentang menatap langit-langit ruang tunggu yang begitu tinggi. Seluruhnya anak-anak yang seharusnya berpakaian putih dan merah.

Aku mengitari sesosok tubuh yang menyandarkan tubuhnya di dinding. Kepalanya menyorotkan sinar ungu. Arus kuat menderas ketika aku hendak hinggap. Kembali aku hampir terpelanting, kembali aku harus menuju ke lubang ventilasi, lalu pada kali ketiga aku berhasil hinggap di kepalanya, menyadap sari ce- rita, sebelum kembali terlempar jauh.

”Kami belum ingin surga. Kami ingin dunia. Kami ingin belajar menjadi manusia. Tapi kami tidak sanggup berada di dunia yang dulu. Dunia yang pahit. Dunia yang tidak kunjung kami mengerti. Kami ingin bermain layang-layang dan bersepeda. Kami ingin bernyanyi dan berlari. Kami ingin bermain air dan bermain api. Kami tidak ingin di sini. Kami belum ingin ke sini. Tapi mereka memaksa kami. Mereka mendorong kami. Kami tahu dunia adalah tempat orang bersedih, tapi kami tahu dunia adalah tempat orang bergembira. Hanya kami sungguh tidak mengerti, ada celah di dunia sana, begitu bayi terlahirkan, dia harus menanggung nista dan sengsara. Mereka tahu kami akan mati. Mereka tahu kami mati. Mereka tahu, dan mereka diam saja!”

Seorang gadis kecil di sampingnya ikut berkata, ”Aku telah jadi mayat ketika bapak menggendongku naik kereta. Aku mati karena muntaber. Mati karena tidak cepat mendapat pertolongan. Bapakku tidak kuat menyewa ambulans untuk mengangkut mayatku. Aku digendong naik kereta. Bahkan, bapakku sempat bingung dan tidak tahu di mana bisa memakamkan mayatku. Bagi orang miskin seperti kami, mati pun masih menyisakan masalah.”

Aku hinggap lagi. Aku terlempar lagi. Kembali, hanya serpih sari-sari kisah yang bisa kusadap. Dan tibalah satu sentakan besar. Sangat besar dan kuat. Aku ditabrak warna hitam. Aku ditabrak warna putih. Aku seperti hancur. Seperti hilang.

***

Aku masih seperti kupu-kupu di dunia ini. Dengan sepasang mata yang rabun dan perih. Kupu-kupu yang berharap bisa terbang mendekati fiksi, tapi malah terperangkap dalam kawat-kawat besi. Mungkin sampai mati.

Aku hanya seperti kupu-kupu. Hanya seperti. Tidak lebih. Karena aku melewati masa kecil tanpa ancaman busung lapar, tanpa takut terserang polio, tak pernah berpikir jika sakit dipulangkan oleh petugas rumah sakit. Aku memang pernah berpikir untuk bunuh diri di waktu kecil, tapi itu karena uang jajanku tidak ditambah. Aku hanya seperti kupu-kupu. Berharap mendekati dan mengerti penderitaan mereka hanya lewat kabar dari koran dan berita dari televisi. Seekor kupu-kupu yang berlagak bisa memilin fakta dan fiksi, namun yang terjadi selalu masuk dalam dua jebakan besar. Kalau tidak malu-malu dan salah tingkah, pasti masuk ke jebakan serampangan dan genit.

Sementara barisan bocah-bocah berseragam biru laut terus mengalir ke ruang tunggu. Mereka datang dari mana-mana. Sementara banyak orang yang seperti kupu-kupu, beterbangan, berharap menyadap dan menghadirkan kisah, sambil terus menyimpan kenangan tentang masa kecil yang riang sekaligus menyimpan harapan akan masa depan yang nyaman, di tengah- tengah barisan bocah-bocah berseragam biru laut menuju ke ruang tunggu.

”Ah, itu hanya kabar yang berlebihan. Lihatlah, akan selalu lahir generasi-generasi yang lebih baik dari kita.” Mereka berkata sambil terus menggali lubang-lubang utang, meracuni laut, membobol gunung, menebangi hutan. Ya, generasi yang lebih baik. Dengan wajah dan kulit plastik, dengan tangan penuh tombol, dengan tubuh terlilit kabel. Sambil terus mengunyah berita-berita penuh kebohongan, sambil menyeringai dan berkata, ”Hari gini, gitu loogh…”.

Mereka benar. Ada perbedaan memang, bocah-bocah berseragam biru laut mati dengan cepat, kurang gizi, kelaparan, bunuh diri. Sedangkan yang lain mati dengan cara lebih lambat, disorientasi, depresi, keracunan kabar bohong dan bahan makanan.

Mereka benar, dan mungkin sekaligus mereka tolol. Sedangkan aku seperti seekor kupu-kupu yang tidak kalah tololnya. Hari itu, sebuah koran mengabarkan seorang bocah mati bunuh diri karena tidak bisa membeli buku, dan televisi memberi tahu ada seorang bocah mati bunuh diri karena ia merasa terlalu gemuk dan tidak secantik dulu. Mereka berdua sama-sama bertemu di ruang tunggu, memakai seragam biru laut dengan kepala memancarkan warna ungu.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler