Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “CARONANG” KARYA EKA KURNIAWAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Kami membawa pulang satu ekor, untuk dipelihara. Baby, bayi kami yang empat tahun itu sangat menyukainya. Bagaimana tidak, ia menyerupai boneka benar, dan hidup pula. Dan lebih jinak dari jenis anjing mana pun. Yang kami khawatirkan hanyalah orang segera tahu bahwa binatang ini bukanlah anjing biasa. Di tempat asalnya ia disebut caronang, cirinya yang paling spesifik adalah bahwa ia berjalan dengan dua kaki.

Awalnya kupikir ia sejenis beruang yang bisa mengangkat tubuhnya untuk menyerang. Tapi ternyata tidak. Tubuhnya bahkan lebih kecil dari anjing kebanyakan, seukuran pudel. Ia nyaris tak pernah lagi merangkak, tapi berdiri tegak. Anatomi tubuhnya telah jauh berkembang yang memungkinkannya berjalan dengan dua kaki: lihat, pahanya memanjang sehingga lututnya semakin turun ke bawah, tak lagi menempel di perut; kemudian betisnya juga memanjang sehingga tumitnya turun ke tanah (tumit ini sering dikira lutut pada anjing biasa, padahal lutut selalu menyiku ke depan, dan tumit menyiku ke belakang); bagian telapak kakinya memendek, dan sepenuhnya rata dengan tanah. Jari-jarinya memang menyerupai beruang, atau kucing, tapi dalam buku Flora dan Fauna Jawa Masa Lalu yang kubaca, ia sekeluarga dengan anjing. Mereka menyebutnya dalam bahasa Latin sebagai Lupus erectus. Dalam bahasa Indonesia ia tak bernama, juga dalam bahasa Inggris. Buku itu menyebutkan caronang telah punah jauh lebih dulu daripada harimau jawa; mereka tak tahu di rumahku ada satu ekor.

Bagaimanapun ia masih mewarisi bentuk nenek moyangnya: kepalanya serupa betul dengan kepala anjing, meski di bagian-bagian tertentu lebih mengingatkanku kepada kelelawar. Lonjong dan ramping seperti anjing jenis Borzoi, dengan bulu lebat putih berbercak-bercak hitam. Ia juga menggonggong, dan di malam hari kadang-kadang melolong.

Kami tak pernah memberinya kesempatan keluar rumah, dan menyembunyikannya jika tamu datang. Satu-satunya orang yang tahu kami memelihara caronang adalah seorang teman lama yang memperkenalkanku dengan binatang ini di habitatnya. Tapi binatangnya sendiri cepat belajar bahwa itu baik bagi dirinya sendiri, dan jika orang lain tahu keberadaannya, kehidupan damainya akan segera berakhir.

Waktu itu kami belum tahu justru kehidupan damai kamilah yang akan berakhir. Kami tahu hal menyenangkan dari seekor anjing adalah kita bisa mengajarinya hal-hal tak bermutu bagi seekor anjing. Istriku melatihnya mengambil koran dari bawah pintu, mengambil sepatuku di pagi hari, sebelum kami menyadari ia bisa diajari lebih banyak daripada seekor anjing biasa. Saat itulah kami terpesona melihatnya duduk bersama Baby dan memulas-mulas pensil warna di buku gambar. Belakangan hari ia pergi mandi sendiri, memberi sampo ke tubuhnya, meskipun tentu saja dengan kesembronoan yang menggelikan. Seandainya ia bukan seekor caronang, dan tak lebih dari seekor pudel cerdas, kami bakalan kaya raya dengan membawanya ke sirkus.

Segalanya serba menyenangkan sebelum pagi yang mengerikan itu. Tanpa kami ketahui kapan ia mempelajarinya, ia telah menenteng senapan berburu, mengisi peluru, dan menarik pelatuknya. Tak hanya tahu bagaimana mempergunakan, namun juga mengerti untuk apa benda seperti itu.

Semuanya berawal dari Don Jarot, teman lamaku itu. Pada umur delapan belas tahun ia datang ke Yogya untuk menjadi seniman, tapi malahan kuliah filsafat. Ia hanya bertahan tiga tahun, dikeluarkan dengan sangat tidak terhormat, karena membunuh seorang lelaki gara-gara rebutan perempuan. Ia menghabiskan tiga tahun di penjara Wirogunan, membunuh seorang jeger dalam perkelahian, dan segera dipindahkan ke Nusa Kambangan.

Seperti siapa pun yang tinggal di sana, ia segera menjadi tak betah. Sebuah pelarian segera dipersiapkan. Bukan benteng kuat dan penjaga galak yang harus ia hadapi, tapi sungai buas selebar anak samudra dengan buaya hidup di dasarnya. Orang setempat menyebut muara sungai itu sebagai Sagara Anakan, laut beranak, dan ia harus menyeberanginya, bersembunyi dari satu delta ke delta lain yang penuh dengan binatang-binatang pemangsa manusia. Tapi itulah yang ia lakukan. Ia berenang separuh malam, nyaris mati tertabrak kapal minyak yang hendak mendarat, tenggelam dan terbawa arus sebelum menemukan kekuatannya kembali, dan terdampar di sebuah delta kecil berupa rawa penuh ilalang.

“Makanan pertamaku adalah lintah yang menempel di tubuh,” katanya.

Selama berminggu-minggu ia bersembunyi di delta-delta itu, berenang menyeberangi selat-selat kecil, berendam di rawa-rawa, sementara satu pasukan militer mencari-carinya. Ia berhasil terbebas dari perangkap delta-delta itu, berjalan menuju hulu sungai, dan lenyap di kampung-kampung serta kota-kota. Satu-satunya hal tolol yang ia lakukan adalah, ia merindukan kekasihnya. Ke sanalah ia pergi di suatu hari, dan di sanalah mereka menangkapnya kembali. Ia harus menyelesaikan sisa hukumannya dengan rasa lelah dan tak percaya diri.

Semua pengalaman gilanya telah dibuat film tak lama setelah pembebasannya, ia sendiri memerankan dirinya. Meskipun film itu demikian terkenal, ia tak pernah membintangi film apa pun lagi, dan lebih suka kawin dengan kekasihnya serta berjualan batu-batuan dengan sedikit bualan filsafat. Filmnya sungguh-sungguh berdasarkan kisah nyata, kecuali satu bagian yang hanya ia ceritakan kepada kami:

Suatu hari, barangkali terserang demam malaria, ia jatuh sakit dalam persembunyian di delta-delta Sagara Anakan. Ia pikir dirinya nyaris mati, dan segera tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, ia menemukan dirinya di semacam kandang babi, rumpun belukar yang dibuat menyerupai gua, dikelilingi anjing-anjing kecil. Waktu itu ia berpikir tengah menghadapi gambaran salah mengenai malaikat, namun ketika mereka menyodorkan ikan-ikan kecil untuk dimakannya mentah-mentah, ia segera menyadarinya sebagai si binatang legenda caronang.

Jauh sebelum ini kami pernah mendiskusikan soal binatang-binatang punah. Kami mengumpulkan ensiklopedi dan catatan perjalanan serta cerita-cerita rakyat dan sama-sama mengambil kesimpulan barangkali mereka belum sungguh-sungguh punah. Kami berencana melakukan satu petualangan gila-gilaan untuk mencari harimau jawa, dan tentu saja juga caronang, sebelum Don Jarot harus masuk tahanan dan tahun-tahun kemudian berlalu.

Tak lama setelah pemutaran perdana filmnya, Don Jarot datang kepadaku dan menceritakan soal pertemuannya dengan caronang itu. Idenya untuk menemui mereka kembali sungguh-sungguh menggairahkanku, maka kami pun berangkat.

Binatang ini sangat endemik, hanya ada di beberapa delta sekitar Sagara Anakan. Di masa lalu barangkali mereka berkeliaran di hutan-hutan Jawa sebelum terdesak ke sana.

Kami berangkat pukul tujuh pagi dari pelabuhan Cilacap, dengan kapal feri yang dipenuhi petani dan pedagang, serta guru-guru yang mengajar di bagian pedalaman, bergerak melawan arus sungai Citanduy. Panoramanya sangat mengagumkan: keluar dari kepungan kapal-kapal minyak dan kargo, dengan laju yang perlahan, kami terapung-apung di muara yang mahaluas itu. Bangau beterbangan dan monyet bergelantungan di dahan bakau. Ada sampan-sampan nelayan yang bergerak malas.

Aku membawa perkakas berkemah dan alat berburu dalam satu carrier besar, meskipun tak ada niat untuk memburu apa pun kecuali persiapan kecil menghadapi binatang-binatang buas. Don Jarot tengah sibuk dengan handycam dan buku catatan, sejak dari pelabuhan ia terus merekam apa pun. Kami telah merencanakan dokumentasi ini sejak awal keberangkatan: barangkali bisa membuat video bagus untuk Discovery Channel atau National Geographic. Tadinya aku berpikir untuk menyewa seorang penunjuk jalan, tapi Don Jarot meyakinkanku bahwa ia mengenal tempat ini seperti mengenal ujung hidungnya sendiri. Lagipula ia tak ingin orang lain tahu masih ada caronang hidup di delta-delta, sebab bahkan penduduk setempat hanya mengenal namanya dan mengira itu hanya binatang mitologis belaka.

Kami berhenti di tempat yang sangat aneh: di perbatasan antara laut dan sungai. Don Jarot menunjukkan garis pemisahnya, kecoklatan dan membentang ke kiri-ke kanan, tak hilang oleh riak air. Aku berpikir seseorang membentangkan pita coklat di dasar sungai, tapi Don Jarot menegaskanku bahwa garis itu sungguh-sungguh alami, semesta sendiri yang menciptakannya. Karena di sekitar tempat itu tak ada dermaga untuk berlabuh, kami dijemput perahu kayu tanpa kitir yang mengerikan, dan diturunkan di satu pulau terdekat dengan penghuni hanya tiga keluarga nelayan.

Perahunya kami sewa untuk masuk ke daerah pedalaman. Aku sebenarnya agak mengeluh dan bertanya apakah tidak ada baiknya menyewa perahu berkitir. Don Jarot hanya tertawa, menjelaskan bahwa perahu berkitir hanya dibutuhkan untuk menghadapi gelombang-gelombang besar. Di sungai tak ada gelombang, katanya. Lagipula kemudian kami masuk ke anak-anak sungai yang sempit, dengan permukaan air yang tertutup hamparan lumut dan pakis. Selama perjalanan, sementara ia mendayung, aku dilanda kepanikan tertentu. Meskipun memang benar perahunya tampak stabil, fakta bahwa di dasar sungai buaya dan biawak masih hidup sungguh-sungguh tak membuat perjalanan ini menyenangkan.

“Tunggulah, keajaiban segera datang,” kata Don Jarot.

Itu benar. Hal-hal ajaib segera menunggu kami begitu menerobos daerah pedalaman berawa-rawa. Aku melihat seekor ikan sebesar telapak tangan berjalan di lumpur, dengan sirip yang sungguh-sungguh telah menyerupai kaki. Kemudian di sebuah lubuk, aku menemukan ikan hiu kecil. Sangat kecil, hanya sebesar pergelangan, dan hidup di air tawar. Dengan penuh sukacita Don Jarot merekam semuanya sambil berteriak-teriak, eureka, inilah keajaiban evolusi, demi Dewa Darwin! Ada keajaiban-keajaiban lain yang membuatku lupa kepada buaya, sebelum bertemu keajaiban sesungguhnya: caronang.

Selama hari-hari tanpa kerja, aku sering bermalas-malasan di halaman rumah untuk melumasi senapan berburuku-yang tak pernah dipakai. Kadang-kadang aku membuang-buang peluru ke langit, sambil berpikir itu bisa membuat awan mencair dan menurunkan hujan di udara yang panas. Barangkali saat-saat seperti itulah, tanpa aku sadari, caronang kami mengintip dari kaca jendela dan melihat bagaimana aku memperlakukan senapan tersebut. Lagipula ia pernah melihatku menembak tikus besar di dapur, setelah serangannya yang menjengkelkan di malam-malam terakhir.

Semalam caronang itu bertengkar hebat dengan Baby untuk hal yang membingungkan. “Mereka berebut selimut,” kata istriku.

Memang benar, keduanya tidur satu ranjang sejak kami membawa binatang itu ke rumah. Pertengkaran itu, di mana Baby menjerit-jerit dan si caronang menggonggong, berakhir dengan ditendangnya caronang oleh Baby dari tempat tidur. Caronang lari ke kamar istriku, bersembunyi di ketiaknya, dan kami menemukannya tengah menangis. Itu hal yang tak mengejutkan. Beberapa waktu lalu kami pernah memelihara seekor lutung dengan perilaku yang serupa itu: cengeng dan gampang menangis. Barangkali karena ia masih begitu muda.

Aku berhasil membawanya setelah Don Jarot membius satu gerombolan keluarga caronang, sebab jika tidak bisa dipastikan mereka tak akan membiarkan kami membawa seekor di antara mereka. Demikianlah kemudian bagaimana hari paling malang dalam hidup kami datang. Pagi-pagi sekali binatang itu telah turun dari tempat tidur istriku, mengambil senapan dan pelurunya di gudang, lalu mengetuk pintu kamar Baby. Baby belum juga terbebas dari tidurnya, masih terduduk dengan kebingungan, sebelum senapan meletus dan mengakhiri hidupnya. Ia hendak masuk taman kanak-kanak dua bulan ke depan, mati dalam dua tembakan seekor caronang.

Bahkan di tengah-tengah kesedihan yang begitu rupa, tak mungkin bagiku untuk menceritakan fakta tersebut. Tidak juga istriku. Maka setelah pemakaman yang juga dihadiri Don Jarot (ia mencoba menghiburku dengan sia-sia), polisi segera menahanku. Kepada mereka aku tak membantah apa pun, dan membenarkan semua tuduhan terhadapku. Bersama polisi, kami membangun kisah fiktif yang meyakinkan ini:

Di ujung malam aku mendengar suara-suara mencurigakan dan segera berpikir ada seorang pencuri. Aku mengambil senapan berburuku dan mengira suara itu datang dari kamar Baby. Aku memanggil-manggil namanya, tapi Baby tak juga menjawab. Aku mendobrak pintu dan melihat sosok besar di hadapanku. Sebenarnya itu Baby yang berdiri di atas tempat tidur, tapi aku telanjur menembaknya, dua kali dalam rasa terkejut. Pengadilannya berjalan tanpa kerumitan apa pun. Istriku bersaksi memang begitulah kejadiannya. Mereka menghukumku tiga tahun, disebabkan perilakuku yang baik, belum pernah ditahan, masih muda, dan sangat menyesal. Selama itu, satu-satunya yang aku inginkan adalah pulang dan membunuh sendiri caronang itu.

“Tak perlu,” kata istriku, “Don Jarot telah membunuhnya, disembelih dan dijual ke warung sate anjing.” Itu lebih baik. Bagaimanapun sangatlah berbahaya membiarkan mereka terus hidup, terutama membiarkan mereka semakin cerdas, hingga suatu ketika bisa memanggil diri mereka sendiri Lupus sapien.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler