Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “JEJAK YANG KEKAL” KARYA GUS TF SAKAI

Foto SIHALOHOLISTICK

Sepatu itu, dengan cara begitu rupa, menginjak seekor trilobite, tertahan dalam bongkah batu. Betapa kekal, pikirmu. Di suatu waktu di zaman lain, seperti yang selalu kami yakin, bongkah itu akhirnya pecah. Dan terbukti: kekal adalah kata keliru untuk menyebut bahwa semua cuma sembunyi.

Tetapi trilobite, makhluk yang hidup tak kurang tiga ratus juta tahun lalu, bagaimana bisa dijejak oleh sepatu? Kami lalu membuat kira-cetaknya: panjang 28 cm, lebar 11 cm, lekuk bawah tumit 2 cm. Sepatu lars. Dan itu artinya, sepatu manusia. Adakah manusia pada zaman homo habilis bahkan belum ada?

Kenyataan itu, bagi kami, artinya pula tak lain satu kata: gila. Semua akan hancur. Homo habilis, homo erectus, neanderthal, homo sapiens, segera jadi bohong besar. Teori yang kebenarannya telah mendarah daging dalam diri kami tak lebih hanya omong kosong. Tubuh kami pun mendadak seolah menyerpih, menguap. Adakah hal yang lebih buruk kecuali mendapati dirimu, seluruh waktumu, setiap detik dalam hidupmu, ternyata sia- sia?

Maka sembunyi itu, tak bisa tidak, harus kami bikin tetap sembunyi. Tak ada siapa pun boleh tahu bahwa di Utah pada musim semi 1968 itu, selain fosil antilope, ditemukan juga jejak sepatu. Jejak sepatu celaka, yang persis sama seperti jejak sepatu masa kini, tetapi kenyataannya menginjak seekor trilobite, makhluk yang hidup saat manusia-menurut teori kami-masih berupa kera. Bisakah seekor kera membuat benda semacam sepatu? Sungguh tak lucu.

Betapa kekal jejak itu. Dari satu waktu ke lain waktu, dari satu batu ke lain batu. Dengarlah sepatu berderap, dan waktu melenguh. Jejak melesak di tubuh-tubuh ….

Sepatu itu, dengan bertumpu di bagian tumit, melesak di leher, memanjang ke fragmen tengkorak. Walau belum dipastikan fragmen tengkorak apa, tetapi bongkah pembungkusnya segera kami kenali sebagai batu karbon dari zaman Trias, tak kurang dua ratus juta tahun lalu. Jejak celaka! Bagaimana bisa, sepatu serupa, di zaman homo habilis juga belum ada, ditemukan pula dalam sebuah ngarai di lain benua?

Tetapi, untunglah, fosil itu ditemukan secara tak sengaja oleh seorang geolog yang langsung menghubungi salah seorang arkeolog rekan kami. Jadi, penemuan itu boleh dikata bisa kami “tangani” tanpa kesulitan. Memang muncul berita di koran lokal, tetapi itu biasa. Dengan satu kali jumpa pers, selesai. Akan lain kalau jejak sepatu lars itu lebih dulu sampai ke tangan tim arkeolog lain. Bisa runyam. Bisa heboh. Mungkin pula bisa kembali muncul di majalah Science.

Jejak sepatu di trilobite Utah dulu itu, ketika muncul di Science, membuat kami sungguh kelabakan. Butuh beberapa tulisan dari sejumlah rekan di beberapa edisi sebelum publik yakin jejak itu bukan jejak sepatu, apalagi jejak sepatu yang sama dengan sepatu masa kini. Tulisan yang tentu saja direkayasa, penuh literatur fiktif, dengan foto-foto yang dideformasi. Dan setelah segalanya beres, semua kami musnahkan. Tetapi yang masih mengganggu adalah ucapan seorang rekan yang merasa satu foto asli berkurang. Foto yang dicetak dalam ukuran persis sama dengan si fosil jejak sepatu. Betulkah foto itu hilang? Atau, sebetulnya telah ikut terbakar, tetapi kami lupa?

Tetapi toh, telah hampir sepuluh tahun kini, tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan muncul berkaitan dengan si foto. Artinya, foto itu tak sepatutnya dipikirkan dan telah pantas kami lupakan. Baiklah. Tetapi lalu, kenyataan buruk berikut yang muncul menyusul, yang membuat kami betul-betul bagai akan gila, adalah ketika fragmen tengkorak itu selesai diidentifikasi. Fragmen tengkorak itu, tak lain tak bukan: tengkorak manusia. Homo sapiens! Manusia sempurna! Oh oh, bagaimana bisa?

Jejak melesak di tubuh-tubuh. Menggasak leher, rusuk. Kaudengar pulakah suara seperti mengerang? Lapat-lapat, timbul-hilang, begitu jauh. Menembus ruang, melipat waktu, menjalar lirih ke telingamu….

Sepatu itu, dengan amarah bagai meluah, menerjang, merangsek masuk ke dalam kampus. Mahasiswa berlarian, berhamburan. Pekik, jerit, bertumpang tindih dengan hardik, bentak, gebuk pukulan. Gemuruh derap menggasak koridor, ruang kuliah, perpustakaan. Racau panik, lengking tangis, juga lolongan. Terdengar pula suara seperti letusan. Orang-orang berseragam ini, kenapa mereka menyerbu kampus?

Namun tentu, itu bukan urusan kami. Alasan yang membuat kami muncul di sini adalah foto itu. Kekhawatiran seorang rekan tentang selembar foto yang hilang ternyata benar. Butuh uraian panjang menceritakan bagaimana akhirnya kami tahu. Tetapi yang jelas, telah dua puluh tahun ini (bersama satu generasi baru peneliti), seluruh waktu kami, setiap detik dalam hidup kami, kami gunakan untuk mencari. Takkah aneh bahwa foto itu, kemudian, ternyata ada di sini?

Memang aneh. Dan butuh cerita panjang pula bagaimana akhirnya kami tahu. Tetapi, di sinilah foto itu kini. Di sebuah negara dengan begitu banyak pulau. Pulau-pulau yang terbujur, bagai tertidur- bermimpi tentang demokrasi. Dan lihatlah itu tadi, demonstrasi. Mahasiswa diburu. Kampus diserbu. Dan setelah segalanya selesai, lihatlah kini: kaca-kaca berserakan, kursi-meja berjumpalitan. Labor-ruang praktikum hancur, pun ruang perpustakaan. Dan lihat pula mahasiswa-mahasiswa itu. Bila sebelumnya tampak heroik, kini menjelma jadi kuyu. Beberapa digelandang digiring ke truk, beberapa dilarikan ambulans.

Sungguh situasi yang tak terduga. Dan juga celaka. Di manakah foto itu? Kampus tempat si foto berada telah porak-poranda. Lihatlah seorang dari kami, salah seorang dari generasi baru peneliti (yang juga penduduk negara kepulauan ini), tegak termangu di puncak tangga. Ke arah kiri adalah koridor lantai dua. Ke arah kanan sebuah ruangan luas, entah ruangan apa. Melalui pintu yang ternganga, ruangan itu juga tampak porak-poranda. Dan di lantai, seperti halnya juga tadi di lantai satu, berbaku tindih jejak sepatu. Beberapa tercetak dari darah walau tentu lebih banyak dari lumpur. Dari manakah datangnya lumpur? Padahal, di luar tak ada becek. Tak ada hujan.

Tak ada hujan, tetapi terasa seperti hujan. Tak ada becek, tetapi toh tak hanya becek yang mendatangkan lumpur. Mungkinkah hujan lain, dari hari lain. Dan takkah pula lumpur lain, dari waktu lain? Seperti mungkin kaulihat aku. Dalam lembab, dalam basah, aku bagai melayang. Menembus waktu, menembus ruang. Masuk ke halaman yang kukenal. Rumah yang kukenal.

Di luar rumah sangat banyak orang. Di dalam juga tak kalah sesak. Dan lihatlah lembab itu, basah itu. Ia ada pada setiap wajah yang tunduk, pada setiap kepala yang tepekur. Merembes dalam bisik, meresap dalam senyap. Menetes. Padahal tak ada hujan, bukan? Sesekali terdengar helaan napas. Juga senggukan tertelan. Beberapa kepala pelan terangkat, seperti berat. Menatap ruyup ke tengah ruangan. Ke sesosok tubuh yang terbujur, bagai tertidur. Begitu tenang. Seperti lelap.

Itulah aku. Tubuhku. Kauciumkah bau sesuatu seperti lumpur? Dan bila matamu lebih jeli, atau mencoba melihat menggunakan mataku, akan tampak pula olehmu jejak sepatu. Menghunjam dan melesak, di hampir seluruh bagian tubuh itu. Meremukkan leher, mematahkan rusuk, menggasak setiap tulang yang (pernah) membuat si tubuh tegak. Bagaimana tubuh itu bisa tampak begitu tenang-seperti lelap?

Aku terus melayang, masuk ke sebuah ruangan di beranda kanan. Ruang kerja Ayah. Kulihat Ayah duduk di belakang meja dan aku di seberangnya. Ayah bercerita tentang selembar foto yang tersimpan di kampus, memintaku mencarinya. Tetapi itulah, aku selalu lupa. Dan setiap kali Ayah menagih dan kubilang lupa, aku akan duduk di seberang meja seperti itu: serupa terdakwa. Menerima makian. Gebrakan meja. Sedemikian pentingkah foto itu bagi Ayah, sang arkeolog ini, sehingga ia begitu marah?

Tetapi, kapankah itu? Pastilah di masa lalu. Tetapi, kenapa seingatku tak pernah? Tetapi ah, pernah atau tidak, tak lagi penting. Kini aku bebas ruang. Bebas waktu. Mungkin juga itu orang lain, bukan aku. Mungkin pula itu di masa depan. Siapa tahu. Betapa kekal jejak itu. Dari satu waktu ke lain waktu, dari satu batu ke lain batu. Dengarlah sepatu berderap, dan waktu melenguh. Jejak melesak di tubuh-tubuh. Menggasak leher, rusuk. Kaudengar pulakah suara seperti mengerang? Lapat-lapat, timbul-hilang, begitu jauh. Menembus ruang, melipat waktu, menjalar lirih ke telingamu.

Kembali aku melayang. Menembus dinding, ke lain ruang. Dan inilah ia, kamarku. Kamar yang juga tampak begitu tenang. Begitu lengang. Dan, tahukah engkau? Di salah satu laci di meja belajarku, ada foto itu. Foto yang dengan ganjil bagai tergeletak begitu saja, tak jauh dari tubuhku, ketika aku tengah sekarat di perpustakaan itu.

Dan, ganjilnya pula: di atas foto itu, sebuah jejak baru, tepat menimpa si fosil jejak sepatu. Begitu pas. Sangat serupa. Dan, pikirmu, takkah itu jejak yang sama?

 

Payakumbuh, 4 April 2005

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler