Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “ABAK” KARYA FARIZAL SIKUMBANG

Foto SIHALOHOLISTICK

Abak kata orang kini seperti telah dibuang. Dibuang oleh mande serta Uni Ida. Memang abak tidak tinggal lagi di rumah kami, semenjak Uni Ida bertengkar dengan abak dua minggu yang lewat, abak kini sudah tidak pulang-pulang. Kata orang-orang di kampung, abak sering tidur di dalam surau, atau kadang kala menumpang di rumah saudaranya. Abak makan terpaksa diberi oleh teman-temannya.

Pertengkaran Uni Ida dengan abak dua minggu yang lalu itu mungkin benar-benar telah menghancurkan hati abak, hingga kemudian membuat abak meninggalkan rumah. Selama ini Uni Ida memang selalu menunjukkan sikap yang kurang suka pada abak lewat tingkah lakunya. Pernah Uni Ida membanting piring plastik hingga menimbulkan suara berdebum ketika abak hendak makan siang, tapi waktu itu abak seperti tidak mempedulikannya. Walaupun saya lihat ada nada duka diraut wajah abak. Nampaknya abak seperti tidak dibutuhkan lagi di rumah ini. Abak hanya seperti menanggung beban di rumah. Abak telah dikucilkan.

Dan mande, apa bedanya dengan Uni Ida? Mande pun saya lihat seperti tidak acuh pada abak. Beliau bersikap dingin dan kadang melontarkan kata-kata yang agak kasar pada abak. Mande tidak seperti dulu lagi. Tidak ada lagi senyum buat abak.

Sudah satu tahun abak memang tidak bekerja, dan tentu semenjak itu pula abak tidak menghasilkan uang untuk keluarga. Dan itulah kunci pertama yang membuat mande bersikap beda pada abak.

Dulu abak bekerja sebagai pengangkut barang di pelabuhan Teluk Bayur. Setiap hari abak berangkat sehabis salat subuh dan pulangnya baru pukul tujuh sampai di rumah. Sesampai di rumah abak akan selalu segera membaringkan tubuh, dan mande, pasti selalu akan memijit-mijit kaki abak.

Dari situ baru aku tahu bahwa pekerjaan abak memang agak berat: mengangkat barang-barang yang beratnya berkilo-kilo yang harus dipikul abak di pundaknya dari pelabuhan ke dalam gudang tempat penyimpanan barang. Mungkin karena bertahun-tahun abak selalu bekerja terlalu keras itulah yang membuat wajah abak terlihat selalu letih.

Dan ketika di umur abak yang katanya telah dijajah angka 48 tahun, abak tidak sanggup lagi bekerja sebagai pengangkat barang di pelabuhan. Belakangan ini abak memang lebih sering terlihat sakit-sakitan, dan dokter Tanjung Duma yang tinggal di samping rumah kami bilang, bahwa abak jangan bekerja terlalu keras lagi. Abak harus banyak istirahat, katanya pada mande suatu hari.

Sejak itu otomatis abak lebih sering di rumah. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga pada mulanya ditanggung mande. Mande bekerja sebagai penanam padi di sawah orang lain, sedangkan Uni Ida baru saja menamatkan sekolahnya di es-em-pe, dan aku yang paling kecil baru duduk di bangku kelas enam es-de.

Namun kini aku sudah es-em-pe, dan Uni Ida sudah satu tahun yang lalu menikah dengan seorang sopir pengangkut pasir di kampung kami.

Rumah kami hanyalah terbuat dari kayu. Rumah panggung dengan kamar dua saja. Kamar yang terletak di dekat ruang tamu semenjak dulu dihuni oleh mande serta abak, sedangkan kamar yang satu lagi kini dihuni oleh Uni Ida bersama suaminya. Dan aku, sedari dulu, lebih sering pula tidur di ruang tamu, tanpa kasur, tanpa bantal, hanya beralaskan tikar pandan saja, tapi setelah Uni Ida menikah dengan Uda Bahar, aku nyaris tidak pernah lagi tidur di rumah.

Kehadiran Uda Bahar di rumah kami membuat aku tidak betah lagi berlama-lama di rumah, layaknya seperti laki-laki Minang lainnya, ada rasa ketidakenakan bila berkumpul satu rumah dengan suami uni. Apalagi rumah kami sangat sederhana, yang hanya terdiri dari dua kamar saja. Jadi, aku lebih sering berada di luar rumah, dan pulang ketika perut terasa lapar saja. Betapa, betapa sungguh sangat berbeda ketika Uni Ida belum menikah. Di masa itu, aku bebas melakukan aktivitas apa pun di rumah. Buka baju sambil makan, atau tidur sembarangan di lantai rumah misalnya. Tapi kini semua itu tidak bisa lagi aku lakukan. Aku enggan. Aku segan pada Uda Bahar, suaminya Uni Ida itu.

Mungkin itu pula yang dirasakan oleh Uni Ida, bahwa keberadaan abak yang selalu di rumah menimbulkan semacam ketidaknyamanan, atau Uni Ida bosan melihat abak yang tidak bekerja. Apalagi, mande pun kini sudah jarang mendapat tawaran untuk menyiang padi di sawah, sebab padi di sawah di kampung kami akhir-akhir ini diserang hama yang mematikan, dan orang-orang yang punya sawah terpaksa banting setir beralih berladang, dan ini tentu membuat mande kehilangan mata pencaharian.

Bila mande tidak bekerja, tentu, tentu tempat bergantung hanyalah pada Uni Ida, bukan-bukan pada Uni Ida tepatnya, tapi pada Uda Bahar, sebab bukankah dia yang mencari uang? Dan dalam pikiran Uni Ida, bayangkan, Uda Bahar harus memberi makan mintuo-nya pula. Uni Ida pasti merasa tidak enak pada Uda Bahar. Atau Uda Bahar sendiri yang menegur Uni Ida dengan mengatakan mengapa ia harus memberi makan mintuo-nya pula. Ah, mungkin saja Uda Bahar pernah berkata demikian. Entah kapan.

Lagian, Uda Bahar pun, setelah beberapa bulan berada di rumah kami, setelah mande tidak bekerja, Uda Bahar telah bersikap dingin pada kami. Tidak seperti dulu-dulu, waktu pertama kali ia berada di rumah kami, Uda Bahar selalu banyak senyum, banyak bicara, banyak bercerita, tapi kini sudah tak ada, yang ada hanyalah kebisuan di mulut Uda Bahar, dan itu membuat rumah yang kutempati sekarang terasa mati, terasa asing sekali.

Dan abak, betapa malang nasibnya kini, abak telah pergi dari rumah kami. Mungkin abak tidak tahan lagi berada di rumah yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun itu. Rumah tempat aku digendongnya sewaktu kecil. Abak seperti telah digusur, digusur oleh orang-orang yang dicintainya.

Setelah abak bertengkar dengan Uni Ida sore itu, malamnya abak keluar dari rumah. Sebelum abak meninggalkan pekarangan rumah, abak sempat menoleh ke arahku. Kulihat abak meneteskan air mata. Aku memandang abak. Detik kemudian abak terus melangkah pergi menembus malam. Sampai dua minggu kemudian, aku tidak pernah lagi berjumpa dengan abak.

Orang-orang di kampung kami yang tahu atas kepergian abak dari rumah menyalahkan mande dan Uni Ida, karena begitu tega menelantarkan abak.

Begitu juga dengan Etek Supiah, adik abak. Beliau sangat marah. Dan ketika aku berjumpa dengan beliau, aku diumpatnya.

“Jadi sama saja wa-ang dengan amak dan kakak wa-ang-tu. Mau jadi anak durhaka wa-ang,” kata Etek Supiah.

“Menteng-mentang dia sudah tua, dan tidak bisa bekerja kalian campakkan dia. Begitu balasan kalian pada orang tua yang telah mengasuh kalian sejak kecil, ha. Tengoklah dia, biar wa-ang baru tahu betapa menderita dirinya,” sambung beliau lagi.

Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Etek Supiah itu. Hingga suatu hari aku menjengguk abak.

Dan ketika aku datang menjenguk abak, beliau seperti terkejut melihat kedatanganku. Beliau cepat-cepat bangkit dari tidurnya. Diusap-usap kedua bola matanya, abak seperti sanksi atas kedatanganku.

“Aku bak,” seruku.

“Kau.”

“Ya,” jawabku lagi.

Abak lalu menggeser tubuhnya. Aku kemudian duduk bersila di depan abak. Beliau menatapku berkaca-kaca.

“Abak sudah makan?” tanyaku sembari menyodorkan sebuah bungkusan padanya.

“Apa ini?”

“Nasi bak. Makanlah, aku tahu abak belum makan siang.”

“Kau membawa nasi dari rumah?”

Aku menganggukkan kepala, mengiyakan kata abak.

“Tidak, kau bawa pulang lagi. Tak sudi aku makan nasi mereka.”

Aku terdiam menatap abak.

“Apa kau tidak sekolah?” tanya Abak.

“Sudah pulang bak.”

“Bagus, rajin-rajinlah sekolah. Biar kau jangan jadi seperti abak kau ini, menderita di hari tuanya.”

Abak kembali menggeser tubuhnya, kali ini beliau menyandarkan tubuhnya itu ke dinding surau yang terbuat dari papan, yang kini seperti sudah dimakan usia. Lalu abak menatapku. Abak seperti ingin bercerita tentang sesuatu hal. Aku hanya menunggu. Abak terus memandangku.

“Ada yang harus kau pahami sekarang, buyung,” kata abak pelan.

“Dalam adat kita di Minangkabau, kau harus tahu, berada dalam posisi sebagai urang sumando itu sangat lemah. Seperti abak kau ini. Abak tak punya kuasa yang kuat untuk bertahan tinggal di rumah, sebab kau tahu, rumah yang kau huni sekarang itu adalah milik turun temurun dari pihak ibumu.”

Lalu abak berhenti berbicara. Dikeluarkannya sebungkus rokok filter dari saku bajunya, dan tidak dihiraukannya sebungkus nasi yang kubawa secara sembunyi dari rumah siang tadi itu.

“Apa yang dapat kau tangkap dari maksud ini buyung?” kata abak sambil menyulut rokoknya. Abak ternyata masih seperti dulu, suka sekali membuat aku mengerutkan kening. Suka sekali membuat aku berpikir. Aku menggelengkan kepala, sebagai ungkapan tidak paham akan maksud abak.

“Itu artinya, bila kau kawin kelak, kau harus terlepas dari minto-mu. Kau harus punya rumah sendiri. Dengan begitu, kau punya kuasa. Bila anak atau istrimu kelak membencimu karena kau tidak lagi bisa bekerja, kau bisa bilang bahwa ini rumahmu, bahkan kau bisa mengusir mereka,” kata abak dengan setengah tersenyum, dan aku, ah, sudah cukup lama tidak melihat abak tertawa seperti itu. Apakah abak telah bahagia? Ah, tidak, kulihat abak masih tetap berduka.

“Oleh sebab itu, kau harus rajin-rajin sekolah. Kau harus punya cita-cita. Abak tak ingin kau nanti menjadi orang miskin.”

Setelah kami berbicara cukup lama, abak kemudian menyuruhku pulang, tapi sebenarnya aku masih ingin bersama abak. Mendengarkan terus-menerus cerita beliau. Sedari dulu, abak entah mengapa suka berbicara berbagai hal denganku. Aku merasa bahwa abak seperti sangat sayang padaku.

Mande dan Uni Ida kulihat seperti tidak mau peduli pada abak. Padahal sudah satu bulan lebih abak tidak pernah pulang ke rumah. Mereka tidak pernah membujuk abak untuk mau pulang ke rumah. Mereka seperti bahagia bila abak tidak ada. Sungguh malang nasib abak. Betullah apa yang dimaksudkan abak, bahwa sewaktu-waktu kita bisa saja dibuang oleh anak serta istri kita sendiri bila kita tak punya kuasa lagi. Aku tiba-tiba membayangkan akan nasibku sendiri.

Dan hari-hari terus bergulir dengan cepatnya. Kehidupan di rumahku itu terus saja terasa asing. Dulu yang berkuasa di rumah kami adalah abak, tapi kini yang berkuasa adalah Uda Bahar. Malah Uda Bahar kini banyak mengambil keputusan terhadap keluarga. Bahkan Uda Bahar sudah mulai merubah tata ruang rumah yang dulu dibentuk abak. Kursi ruang tamu yang dulu ditempatkan di dekat pintu, kini digeser oleh Uda Bahar agak ke tengah. Bahkan tanpa seizin mande, Uda Bahar telah menebang pohon rambutan yang dulu susah payah dirawat abak.

Abak kini tidak bisa lagi dijumpai di surau di kampung kami. Beliau tidak pernah lagi di sana. Abak telah kembali bekerja. Entah bekerja apa. Abak kini telah dirawat oleh pihak bako-ku. Mungkin pihak bako-ku tidak rela melihat nasib abak terlunta seperti itu. Semenjak mande dan Uni Ida menelantarkan abak, hubungan dengan pihak bako-ku sudah renggang. Padahal dalam adat di kampungku, hubungan dengan pihak bako-ku harus tetap dijaga. Tali silaturahmi yang tidak boleh terputus. Tempat aku akan diarak bila menikah kelak.

“Uni Ida tidak rindu abak?” tanyaku saat hujan turun di kampung kami.

“Apa maksud wa-ang, buyung,” tanyanya terheran.

“Abak-kan sudah lama tidak pulang.”

Uni Ida memandangku.

“Kau rindu padanya?”

Aku mengangguk. Uni Ida kembali terdiam.

Tiba-tiba mande berdehem di balik pintu. Beliau ke luar dan lalu memandangku dengan sendu, entah apa yang ada di dalam pikiran mande. Beliau kemudian mendekatiku.

“Kau pernah bertemu dengan abak wa-ang, yung?” tanya mande.

“Iya. Tapi abak kini tidak tinggal lagi di surau itu. Abak telah tinggal di rumah bako mande.”

Mande terdiam.

“Ya. Dia memang telah tinggal di rumah bako-mu, tapi, besok tentu tidak,” kata mande mengundang tanya.

“Maksud mande,” tanya Uni Ida.

“Dia akan tinggal di rumah istri barunya. Dia akan dikawinkan besok.”

“Ha! Apa?”

Aku ternganga. Uni Ida juga. Tiba-tiba mande menangis di balik pintu. Dan Uda Bahar keluar dari dalam kamar keheranan. Hujan terus turun.

 

Padang, 2003-2006

Keterangan

abak=bapak

mande=ibu

bako=pihak keluarga bapak

wa-ang=kamu

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler