Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “SEBUAH MAKAM DI PUCUK BUKIT” KARYA MARTIN ALEIDA

Foto SIHALOHOLISTICK

“Dul, bawalah aku pulang…,” sekonyong-konyong Ibu merajuk di seberang meja makan. “Kebun kelapaku…,” sambungnya menuai kata-kata. “Sudah sebulan kutinggalkan. Ilalang pasti sudah menyemak.” Bagai daun kekeringan, matanya benar-benar memohon.

Perlahan, aku menelentangkan sendok di tengah- tengah piring, menawarkan sekulum senyum, dan menyambut tatapan mata Ibu di seberang meja. Khayalku mengapung seketika. Alangkah senangnya perasaan Ibu kemarin, ketika berjalan kaki seperti beradu bahu denganku mengelilingi kompleks perumahan. Di pekarangan tetangga daun kelapa mendesau di pucuknya. Tentulah kibasan angin pagi yang menenteramkan di pucuk-pucuk daun itu yang telah membuat ingatan Ibu seperti diterbangkan kembali ke kampung halaman. “Bah ..,” cetusnya seraya menghentikan langkah saat itu. “Tak kusangka di Jawa ini ada pohon kelapa. Rendah dan lebat pula…,” katanya dengan mata terpesona.

Ibu diterbangkan Abangku ke Jakarta setelah diketahui pengobatan yang dijalaninya di Sumatera tidak menolong. Pembuluh darah di kaki kirinya semakin menyempit, membuat otot di situ kaku dan dia jadi sulit bergerak. Aku segera membawanya kepada seorang dokter kenalan.

Tiga puluh tahun lebih aku meninggalkannya. Dan sekarang, terbaring di atas tempat tidur dokter itu, Ibu sudah bukan seorang perempuan yang kokoh, pada haribaan siapa, ketika masih kecil, aku sering merebahkan kepala, menelusuk di bawah teteknya, merengek-rengek uang receh bakal jajan. Waktu telah membuat bahunya ringkih seperti memikul beban abadi. Waktu juga yang telah memahatkan sungai kecil bercabang-cabang seujung rambut di pojok matanya yang redup. Leher di mana aku dulu suka menggelayut, kini dibalut kulit yang menggelambir. Ubannya yang dulu dia minta kucabuti satu-satu dengan menggunakan sebulir padi, sekarang terhampar tipis di sekujur kepalanya. Hubunganku yang begitu rapat dengannya ketika masih kecil sampai pun aku beranjak dewasa, kini seperti terulang kembali. Tak lama setelah dokter kenalanku itu menyuntikkan sejenis obat perangsang pembuluh darah, Ibu melambaikan tangan ke arahku, membujukku supaya lebih mendekat. Dan dia memegangi lenganku.

Di ujung senyumnya dia berujar: “Ah…, Dul, sekujur tubuhku terasa gatal. Kakiku ini terutama. Seperti ada yang menggamit-gamit di dalam.”

Kupegang, kubelai kaki kirinya. Menenteramkan perasaannya. Membuat dia tidak merasa sendirian menghadapi gejala yang membuatnya seperti kena gelitik itu.

Aku senyum memandang matanya, mencium keningnya. “Tenanglah Ibu, itu pertanda baik, kupikir. Menggelitik seperti ketam, karena obatnya mulai bekerja, memperbesar pembuluh darah. Kalau darah bebas mengalir, Ibu akan biasa dengan leluasa bergerak.”

“Hm….”

Dalam beberapa hari, obat dari dokter kenalan itu membawa kemajuan yang berarti. Ibu mulai menemukan kembali keleluasaan untuk menggerakkan kaki kirinya. Sesuai anjuran dokter, dengan kutemani tentu, saban pagi dia melatih kakinya itu dengan berjalan mengelilingi perumahan. Sampai akhirnya lambaian pucuk kelapa memanggilnya pulang. Dan tak bisa ditahan. Katanya, selama hampir setahun dia mengupah seseorang untuk menebas menyiangi kebun kelapanya.

Dari seberang meja makan kembali dia membujuk: “Kau bilang sudah lebih dari sekilo yang kita jalani setiap pagi. Panjang kebunku tak sampai segitu. Aku sudah sehat, kuat, kalau begitu. Aku bersyukur karena kau,” katanya melepaskan tatapan pada mataku. “Tapi, Dul…, tolong, bawalah aku pulang.”

Tak ada lagi yang lebih menggugah buatku daripada kata-katanya itu. Tak ada lagi yang lebih penting daripada memuaskan keinginannya itu. Ada gelora yang harus didamaikan. Sehingga perasaannya lapang sedatar laut. Dan kupikir, kalau perasaannya terbebas dari keinginan pulang, yang membuat dia begitu mengharap, maka pada akhirnya pembuluh darah di kakinya itu pun tak akan menyiksanya lagi.

“Baiklah, Bu. Besok akan kutemui dokter, dan akan kubilang Ibu rindu kampung. Ingin pulang. Sudah terlalu lama di sini.”

Di seberang meja makan kulihat wajah Ibu menjadi tenteram.

Keesokan harinya, aku menemui dokter kenalan itu. Dia menuliskan resep yang pernah dituliskannya untuk Ibu beberapa kali. Katanya, kalau masih memerlukannya nanti, dia akan menuliskannya lagi. Minta tolonglah kepada perawat untuk menyuntikkannya, katanya. Inilah yang kemudian menjadi masalah. Abangku tidak punya kenalan perawat yang bersedia menyuntikkan obat itu. Semua orang yang dihubungi, katanya, takut kalau-kalau terjadi apa-apa. Dan belakangan baru aku ketahui penyakit Ibu kambuh lagi. Ia tak bisa bergerak. Hendak dibawa kembali ke Jakarta, dia menolak. Dia memilih bertahan dengan kakinya yang harus dia seret-seret daripada harus meninggalkan kebun kelapanya berbulan-bulan. Dan di tempat jauh dia disiksa pula oleh lambaian pucuk daun kelapa.

Pada suatu subuh, setahun kemudian, telepon berdering. Dengan menahan perasaan dan terbata-bata Abangku mengabarkan: Ibu meninggal….

Aku mengepal tinju, menghantamkannya ke meja. Buru-buru aku ke bandar udara, mengejar pesawat terbang dalam kesempatan pertama. Sesampai di kota tujuan, dengan mencarter taksi, satu setengah jam kemudian aku sudah melangkahi bendul pintu rumah yang sedang dirundung duka. Aku membiarkan saja Abang dan keluarga terdekat memeluki aku. Aku terus menyibak, meminta jalan dibukakan untukku menuju jasad Ibu yang sedang dimandikan di ruang belakang. Dia tergolek kaku, kuning membiru. Tidak kusangka tubuhnya menciut seperti itu. Tak peduli basah, aku lantas memeluknya, mencium pipinya, memagut ujung kakinya. Ketika kuangkat, tubuhnya begitu enteng. Di bawah tatapan puluhan pasang mata yang menangis, kuelus-elus kaki kirinya. Sembari tersengguk-sengguk aku memegangi kaki kirinya yang tak bisa diluruskan. Kentara sekali kaki itu lebih kecil dari pasangannya. Kupegang lagi kaki yang malang itu, kucium, dan aku tak kuasa menahan tangis sambil sesenggukan.

Di dalam hati, aku menyesali Abangku, dan siapa saja yang tidak becus meminta bantuan pada seseorang, perawat atau dokter, untuk menyuntikkan obat. Aku juga menyesali mengapa Ibu tak mau melunak barang sedikit, meninggalkan kebunnya barang satu atau dua bulan dan tinggal bersamaku sampai kakinya pulih seperti dulu.

Setelah dimandikan, jenazah diletakkan di ruang tengah. Sanak saudara, tetangga, handai tolan, mengerubung. Surat Yasin mendengung dengan takzim, dibacakan pelayat bergantian. Pemakaman akan dilangsungkan selepas lohor. Aku menanyakan kepada Abangku, bagaimana prosesi akan berlangsung. Di Jakarta, aku tak habis pikir menyaksikan iring-iringan yang selalu dilarikan seperti dikejar setan oleh para pengiring dengan mengibar-ngibarkan bendera kuning, memaksa orang menyingkir. Mirip sirkus harimau yang hendak lewat. Dan seakan-akan yang akan dimakamkan adalah seseorang yang penuh dosa, yang harus dilarikan cepat-cepat ke liang kubur supaya dosanya, seperti wabah yang mematikan, tidak menulari orang.

Ibuku bukan seorang pendosa! Dan aku tidak sudi dia diperlakukan seperti itu. Abang mengatakan Ibu akan dimasukkan ke mobil jenazah yang akan bergerak dengan ligat mengikuti pengendara motor yang mengibas-ngibaskan bendera merah.

“Merah?! Apa dia seorang komunis? Aku menyaksikan Marsekal Tito dimakamkan. Tak ada bendera merah. Apa-apaan ini?!”

“Itu kebiasaan di sini. Sama seperti kebiasaan di Jakarta, dengan bendera kuning.”

“Tapi, yang akan dimakamkan adalah Ibu kita, mengapa kebiasaan itu harus kita turuti. Itu toh bukan anjuran agama?”

“Mh….”

“Jadi, Ibu akan dilarikan cepat-cepat ke pemakaman? Padahal ini kota kecil, tak ada masalah lalu litas di sini. Mengapa Ibu harus diperlakukan seperti itu? Ibu dikenal banyak orang. Dia punya banyak teman. Perempuan terlarang untuk mengantarnya ke pemakaman. Jadi, mengapa teman-temannya tidak diberi kesempatan untuk membuka pintu atau jendela, untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya?”

“Ini sudah adat kebiasaan. Tak baik dilanggar….”

Uhh….

Aku terdiam. Baiklah. Aku meremas-remas tinju.

Ketika jenazah tiba di pemakaman, hatiku yang dari tadi terluka karena kehilangan Ibu tiba-tiba jadi marah meradang. Taman pemakaman ini rupanya sudah sejak lama terendam. Sungai yang mengalir tak jauh dari situ meluap karena pembalakan hutan yang berlangsung bertahun-tahun. Pabrik bubur kertas di hulu meracuni batang sungai. Kota yang dulu tak pernah banjir kini harus menanggungkan rendaman air yang berbau busuk. Tak terkecuali tempat persinggahan terakhir warga yang bernama pekuburan ini. Dan Ibuku akan dimakamkan di sini.

Para penggali liang kubur bersimbah lumpur. Dengan menggunakan beberapa ember, mereka berusaha untuk mengeringkan liang lahat. Tetapi, air terus saja menumpahi lubang itu. Lemas lututku, dan sepertinya aku ingin berteriak memprotes ketika Ibu bersama kerandanya dibenamkan ke dalam lubang yang penuh air berbau busuk itu. Dan dengan paksa lagi. Ibu lantas buru-buru ditimbuni. “Pemakaman macam apa ini?!” Aku tidak saja menangis. Juga murka melihat bagaimana jasad Ibu memasuki dunianya yang akan kekal. Aku merasakan betapa hina yang harus dia tanggungkan di kuburan yang tak pantas ini.

“Aku tak bisa menerima apa yang kau lakukan terhadap Ibuku ini,” kataku dengan geram kepada Abang ketika pelayat sudah menjauh. “Mengapa Ibu tidak dimakamkan di pemakaman keluarga di seberang sungai? Tempat ayah dimakamkan?”

“Sia-sia. Menurut perencanaan kota, pemakaman itu tak lama lagi akan digusur. Kau sendiri tahu, sejak zaman Belanda sudah ada rencana membangun jembatan menghubungkan kota dengan kampung di seberang. Pemakaman keluarga kita itu harus dipindahkan.”

Aku gusar dibuat keterangannya itu. “Mengapa kau tak pernah menceritakan semua ini kepadaku?”

“Kau jauh.”

“Sejauh apa? Kan bisa kau telepon. Aku tak bisa menerima Ibu diperlakukan seperti ini.”

“Aku juga,” katanya menantang.

Kurenggut kerah bajunya. Dia menggeliat. Sambil menangis, kuhunjamkan tinjuku kuat-kuat ke mulutnya. Dia menangkis dan balik menghajar bagian belakang kepalaku. Aku terjerembab. Mukaku tertelungkup ke dalam kubangan lumpur. Bukan hitam kelam yang kulihat, tetapi kuning membanjir. Aku tenggelam dalam lautan yang kuning. Lantas, dengan cepat kuning yang berayun-ayun dalam penglihatanku itu melenyap, berganti dengan hitam. Sungguh pekat. Ribuan kunang-kunang bersayap putih mengerlap-ngerlip menyongsong dari kejauhan. Bertambah dekat, dalam jumlah ribuan, barangkali, mereka datang seraya mengusung kafan putih. Aku tahu persis itu adalah Ibuku. Aku ingat simpul di ujung kakinya, karena akulah yang diam-diam memegangi pojok kafan dan membelitkannya ketika dia sudah tenggelam dalam balutan putih. Ribuan kunang-kunang itu menghamparkan jenazah Ibu di pangkuanku. “Lakukanlah yang sepantasnya untuk dia,” suara mereka menderu, namun dalam irama yang sejuk membujuk.

Aku tegak menyambut dan memegangi Ibu. Ditayangkan angin, aku dan Ibu kembali ke rumah. Dari situ, dengan Ibu dalam gendonganku, sambil terisak-tangis, perlahan kumelangkah menyusuri kota. Dan kulihat Ibu Salmah, guru mengaji Ibuku dulu, membukakan pintu, mengucapkan doa. Jendela-jendela rumah di seluruh kota kecil kami terbuka. Syahdunya perempuan-perempuan berdiri memegangi bendul jendela, menundukkan kepala, bibir bergetar mengalunkan Yasin.

Ketika prosesi itu sampai di tepi kota, dadaku terasa seperti dijepit.

“Mau ke mana kau makamkan?” Aku tak bisa membalik ke belakang. Yang terasa hanya pelukan yang kuat tetapi lembut melingkari dadaku.

“Dengan izinmu, akan kumakamkan di Pucuk Bukit, dari mana Ibu akan selalu bisa memuaskan hati menatap ladang kelapanya,” kujawab dengan bibir gemetar.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler