Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “SUMUR” KARYA GUS TF SAKAI

Foto SIHALOHOLISTICK

Lima tahun setelah hari ini, gadis itu akan sering berada di depan televisi. Menatap kosong ke layar kaca yang hampir semua siarannya lima tahun lalu sangat ia benci. Tentu ia tak ingat nama-nama siarannya. Tetapi itulah tayangan yang saat ia lihat langsung membuatnya mual di detik pertama: darah, darah, selalu darah. Mengalir, dari perut yang belah. Menggenang dari kepala yang rengkah. Lalu meluncur, masuk ke dalam sumur.

Lima tahun setelah hari ini, tentu pula, ia tak ingat bagaimana sumur itu ada. Kenapa sumur bisa nyembul dari televisi? Tetapi ah, saat itu semua tak penting lagi. Ia toh juga telah tak percaya kepada mata, sang khianat yang tak lebih tipu-tipu belaka. Ayahnya sendiri bukankah juga. Dan kalaupun sumur itu memang muncul-melesak dari televisi, ia pikir itu bisa saja. Lihatlah semua ditelan dan masuk ke dalamnya: bual kosong, janji palsu, omong sok tahu. Tangis dibuat-buat, tawa diejan, akting murahan. Tidakkah mereka memang menggali, rakus, jadi budak rating dan iklan?

Tetapi, entah kenapa (dan juga entah bagaimana awalnya), ia percaya suatu ketika akan melihat tayangan berbeda. Dan, saat itu, temannya akan berkata, “Itu ayahmu, duh tampannya.” Timpal teman lain, “Gagah, awet muda, kaya.” Masih akan ia dengar berbagai decak kagum, “Dermawan,” “Terkenal,” sebelum kemudian ditutup, “Betapa beruntungnya kamu ….” Beruntung? Hmh, tentu saja, kalau memang demikian adanya. Karena, entah sampai kapan, yang terjadi adalah sebaliknya: lelaki itu, si ayah, tak lebih seorang dungu. Digelandang dari ruang sidang melambai-lambaikan tangan seperti itu. Mengangguk-angguk, melempar senyum kiri-kanan, cengengesan. Di depan kamera, sodoran mike, julur perekam, oh sungguh tak tahu malu.

“Dua belas tahun putusan ringan, kenapa Anda naik banding?!”

“Betulkah Anda punya slip transfer ke rekening sejumlah hakim?!”

Tak ada jawaban, tentu. Senyum, angguk sopan—keramahan itu, kalau saja wartawan tahu. Bahkan kepadanya, kepada dirinya, si ayah … ah, sumur, sumur itu, mungkin memang tak nyembul hanya dari televisi. Mungkin ia memang harus percaya sejumlah sumur, walau samar (bagai dari alam bawah sadar), pernah muncul dalam hidupnya. Ketika bocah … beberapa wajah tak jelas, lelaki, entah meneriakkan apa dengan tangan memegang entah cambuk entah ikat pinggang, di awal remaja … wajah seseorang yang kadang bersalin rupa jadi wajah ibunya yang seolah merintih, mengerang-erang, ataupun ketika ibu-ibu tetangga mulai berisik menyebut-nyebut kata itu … korupsi, sebuah lubang seperti sumur bagai muncul, nyembul-melesak, berputar-putar bagai melayang.

Melayang? Adakah sumur bisa muncul, menjelma ada, dengan melayang? Ah, peduli apa. Begitu Anda tak lagi percaya kepada mata, keganjilan seperti apa pun segera jadi biasa. Dan begitulah ia, lama-lama, kadang ingat kadang tiada, mendapati sumur di mana-mana: nyembul-melesak, berputar-berpusing (sehingga juga tampak seperti gasing), lantas melesat. Melesat? Ya. Terangkat, lenyap tiba-tiba, ke angkasa. Ke angkasa? Bagaimana, atau seperti apakah, sebuah sumur melesat berpusing berputar-putar melayang di angkasa? Membuat ia kadang juga berpikir, ke manakah sumur-sumur itu sebenarnya pergi? Dan kadang pula, entah kenapa, ia teringat black-hole, lubang hitam di jagat raya.

Black-hole. Black-hole. Dan suatu hari, saat gadis itu kian sering berpikir tentang black-hole, ia pun memutuskan untuk terjun—masuk ke sumur itu.

Lima puluh tahun lalu, di tempat berbeda—ribuan mil jaraknya—sebuah sumur nyembul-melesak dari lubang geronggang mata. Aaa! Tanak (sihir)! Begitulah perempuan itu terkejut, berteriak, serta-merta duduk, beringsut menjauh menarik tubuh dari si tengkorak. Tengkorak suaminya. Tengkorak yang sampai kapan pun kelak akan menjadi bantal, pengganjal kepala: tanda kasih dan cinta.

Betulkah itu sumur (mereka menyebutnya mbede)—melesak membesar, meruang merongga, dalam cangkang geronggang mata? Masih membayang geletir air, samar pantul wajah, dan tubuhnya yang gamang mau jatuh. Serasa disedot. Disedot? Hati-hati, takut-takut, perempuan itu kembali beringsut mendekati si tengkorak. Merangkak (rambut keriting, kulit hitam, tubuh membuncit dengan tetek terjulai, membuat sosoknya tampak seperti induk hewan entah apa dalam remang sore yang terkepung hutan), menjulurkan leher lambat-lambat, dan kembali terkejut: burung hitam! Lambang pengayau kepala! Aaaa….

Ia berdiri, membalikkan tubuh dan berlari, tetapi mendadak segera terhenti: tengkorak itu, tengkorak suaminya, akan ia tinggalkan? O, tidak. Damero (dukun) telah mengatakan hal-hal ganjil bakal terjadi. Maka semua ini, sumur melesak dari rongga mata, burung hitam (mereka menyebutnya keluwang) melesat terbang dari dalamnya, tentu bukanlah tanak, melainkan—seperti kata damero—dunia arwah (mereka menyebutnya demir ow) yang terganggu. Beginilah kiranya: untuk tengkorak orang-orang dicinta yang tak diperoleh dari musuh melalui perang; melainkan dengan mencuri, ia akan menanggungkan dunia tak nyata. Tetapi itu, seperti kata damero juga, akan hilang sendiri setelah ia berkelana di hutan, tak boleh bertemu dengan siapa pun, tak muncul atau pulang ke kampung dalam jangka waktu tertentu.

Berkelana di hutan, jelas tak masalah. Itu biasa bagi mereka. Apalagi ia putri cesema cowut (perempuan ketua adat) yang sejak kecil telah terlatih. Kadal, ular, tikus hutan, ia tahu cara mendapatkan. Juga berbagai buah, dedaun, umbi-umbian yang bisa dimakan, semua akan ia peroleh dengan mudah; bahkan saat bekalnya—ulat dan bola-bola sagu—masih bersisa. Tetapi … itu, yang disebut jangka waktu tertentu, sampai kapankah? Sebuah pertanyaan yang sejak awal selalu mengganggu benaknya. Dan yang kini, dengan muncul melesaknya sumur dalam rongga mata, juga burung hitam—hal ganjil dan tak nyata, telah menemukan jawab. Tidakkah mestinya ia gembira?

Gembira? Ya. Maka, dengan menegarkan dada, ia kembali melangkah, mendekati tengkorak suaminya. Merendahkan tubuh, lalu merangkak, pelan-pelan menjulurkan leher. Sumur, sumur itu … tampak begitu jelas, lebar dan luas, di kedalaman geronggang mata. Riak kecil, geletir air, goyang pantul wajah. Manakah ia si burung hitam? Mungkin telah pergi. Tubuh yang seakan disedot? Juga tak lagi terasa. Tapi hanya sebentar. Beberapa saat sesudahnya, mulanya samar dan kemudian jelas, semakin jelas, ia lihat pemandangan itu: seseorang, di dalam rumah panjang (mereka menyebutnya je), khusuk menabuh tifa. Di sekelilingnya berserakan patung-patung kayu. Tabuhan yang ganjil. Tak pernah ia melihat jenis pukulan seperti itu. Suaranya tak hanya mengentak, tetapi juga mendayu. Bagaimana bisa pukulan tifa terdengar jadi mendayu? Dan hei, patung-patung itu, patung-patung kayu yang berserakan rebah, duduk, dan tersandar ke dinding, pelan-pelan bergerak. Hidup? Ya, tiba-tiba hidup, lalu menari—mengikuti irama tetabuhan tifa. Oh, apakah … apakah ia Fumeripits?

Fumeripits! Sang Pencipta! Perempuan itu terbelalak, dan tubuhnya bergetar. Jadi inilah ia: Fumeripits, Sang Pencipta, yang menjadikan nenek moyang mereka dari pohon, dari kayu-kayu. Dijulurkannya kepala lebih dalam ke mulut sumur, ingin melihat sosok Fumeripits lebih jelas. Tetapi pemandangan di dalam sumur tiba-tiba mengabur, pelan menghilang, lalu berganti dengan pemandangan lain. Pemandangan yang mulanya juga samar, dan kemudian menjelas. Semakin jelas. Dua sosok? Dua orang? Ya, yang seorang seperti memberi isyarat agar seorang yang lain melakukan sesuatu. Orang yang diberi isyarat tampak seperti menolak dan seolah ragu. Tetapi si pemberi isyarat kelihatan memaksa, dan si penerima isyarat—meski tampak enggan—akhirnya melakukan. Oh, apa yang ia lakukan? Mengayau kepala! Mengayau kepala si pemberi isyarat! Tetapi oh, walau kepala si pemberi isyarat telah terpisah dari badan, ia masih bisa bicara dan seperti minta agar si penerima isyarat kembali menebas bagian tubuhnya yang lain. Oh! Apakah, apakah mereka … Desoipits dan Biwiripits?

Ya, Desoipits dan Biwiripits, dua orang kakak beradik yang menurut cerita orang-orangtua mengawali tradisi pengayauan kepala. Dan kini, di dalam sumur yang melesak dari geronggang mata tengkorak suaminya, kejadian yang entah kapan itu terpampang jelas di depan mata. Ayun tangan, kelebat kapak, cras, leher tertebas. Lagi, crass, pundak lepas. Lagi, crass, dada. Crass, perut … oh, darah, darah menyembur, menyembur-nyembur memualkannya. Tetapi, pemandangan ini tentu juga akan hilang. Tetapi ternyata tidak. Sampai lama. Darah, darah, oh …. tanpa sadar, dijulurkannya kaki ke dalam sumur. O, nyata! Sumur ini nyata! Kakinya bisa terjulur masuk ke dalam sumur. Kenapa bisa? Bukankah damero mengatakan semua hal ganjil yang akan ia alami adalah tak nyata?

Desoipits, Biwiripits, nyata? Darah, darah yang memancur, menyembur-nyembur, nyata? Dan tiba-tiba, rasa mual itu, pusing yang kemudian menyusul, membuat ia limbung, lalu rebah, jatuh meluncur (ataukah disedot?) ke dalam sumur.

Lima hari sebelum Selasa Kliwon, seperti nasihat gurunya, lelaki empat puluhan tahun itu kembali datang ke lokasi. Tak berbeda dengan tiga hari lalu saat ia datang pertama kali, walau sudah senja, orang masih berseliweran di sana-sini. Dengan hari Kamis ini, tepat sudah dua minggu sejak 3 guci berisi emas-perak 13 kg yang menghebohkan itu ditemukan oleh seorang petani dan dua hari sesudahnya Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala provinsi melakukan ekskavasi.

Ia lewat di belakang bekas penggalian yang sudah semakin lebar yang masih dijaga beberapa orang entah siapa itu dengan tolehan sekilas. Juga ada sekilas senyum di bibirnya yang tersembunyi, yang akan sukar tertangkap oleh siapa pun karena ditutupi kumis tebal lebat yang nyaris mencapai bilah bibir bagian bawah. Senyum seperti mencemooh, seperti meremehkan, karena ia dan gurunya tahu—sang guru telah mendapat wangsit—bukan di tanah gimbal (angker yang tandus) itu peninggalan lainnya terbenam, melainkan di bawah pohon awer-awer di pinggir sawah kira-kira tigapuluhan meter dari situ.

Ada perasaan lega ketika ia sampai di pohon awer-awer itu dan tak menemukan seorang pun tengah nenepi (semedi). Telah didengarnya kabar kian hari kian banyak orang-orang datang untuk nenepi, tirakatan semalam suntuk nglakoni, bahkan beberapa penepi konon ada yang sudah mendapatkan akik, batu merah delima, atau jarum emas. Ah, itu bohong. Kecuali 3 guci yang tak sengaja ditemukan si petani, ia dan gurunya kini tahu tak ada benda lain di lokasi selain sebuah guci besar—4 kali lebih besar—di dalam tanah di bawah pohon awer-awer berisikan tak hanya emas-perak berupa manik-manik, cincin, mata rantai, mangkok, hiasan mahkota atau entah apa, tetapi yang lebih penting adalah beberapa “kiai” (keris) yang bagi dirinya dan Sang Guru lebih berharga dibanding apa pun itu semua.

Hari telah malam, dan dingin, ketika waktunya tiba. Disiapkannya semua sesaji: kembang telon, rujak degan, minyak bondet, dupa china. Ia pun dedekep, mulai nenepi. Sepuluh menit, 30 menit, 1 jam. Dua jam, 3 jam, ujung dini hari. Dan ketika waktu beranjak mendekati subuh, saat itulah: di dalam keterpejaman mata, dalam rongga luas yang bagai semesta, sesosok benda cemerlang bagai melayang kian mendekat. Semakin dekat. Guci itu! Berada dalam semacam lubang seperti sumur. Guci yang persis seperti digambarkan sang guru: tutupnya berhias stiliran binatang, dan dindingnya—melingkar searah jarum jam—berhiaskan relief berupa cerita.

Tubuh lelaki itu bergetar, sejenak. Lalu pelan, dibukanya mata. Hela napas lega. Senyum lebar yang bagai tertawa. Lalu gumam, “Aku berhasil, Guru. Lima hari lagi, Selasa Kliwon….”

Ya, Selasa Kliwon, lima hari lagi. Itulah hari yang menurut Sang Guru merupakan waktu tepat untuk mengambil, “mengangkat” si guci dari sumur, tentu saja dengan syarat dalam nenepi malam ini ia berhasil melihatnya, tanda si guci mau (tak menolak) ber-“jodoh” dengan mereka. “Selasa Kliwon. Lima hari lagi….”

Ya, lima hari lagi. Tetapi nanti, Selasa Kliwon itu, akankah ia juga selega ini? Lubang seperti sumur memang akan tetap nyembul. Tetapi, yang namanya guci, takkan tampak sama sekali. Apa yang ia dan gurunya lihat: seorang gadis termangu, menatap kosong ke televisi. Dan seorang lagi, perempuan juga, berambut keriting berkulit hitam tetek terjulai, berteriak-teriak ke suatu arah seperti gila. Menajamkan mata, mereka ikuti arah teriakan perempuan kedua. Dan di sana, jauh dan kecil, mereka lihat pemandangan lain: dua orang pemuda, suku terasing juga. Sedang mengapa? Tentu saja mereka tak tahu. Desoipits-Biwiripits. Crass, leher putus. Crass, pundak lepas. Crass .… Darah. Darah. Darah. Memancur-mancur. Menyembur-nyembur….

 

Payakumbuh, Maret 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler