Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “LINTANG” KARYA RIEKE DIAH PITALOKA

Foto SIHALOHOLISTICK

Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan yang diam-diam menyatu dalam sebuah film. Wajahnya seperti embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang perempuan yang merancang sendiri kehidupannya. Sejak remaja ditentukannya apa yang akan ia lakukan, kapan akan menikah, dengan laki-laki seperti apa, akan punya anak berapa, seperti apa akan membesarkan mereka, itu semua sudah ia pikirkan. Perempuan itu menggoreskan sendiri takdirnya.

Saat berusia dua puluh tahun ia jadi ibu dari dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Sebuah peristiwa telah mengubah impiannya, jadi mimpi menyeramkan. Sekolah tempat ia bekerja dibakar. Ayah dan suaminya menghilang entah ke mana. Tinggallah ia bersama ibu, delapan adik, dan dua anak di rumah masa kecilnya. Tak ada yang mau mendekati rumah itu. Beberapa orang bahkan melempari temboknya dengan tinja. Siang hari hanya mereka yang bersepatu lars sesekali terlihat ke luar masuk. Malam hari rumah itu bagai bayangan besar yang pekat, gelap, tak ada terang setitik pun. Pintu dan jendelanya tetap terbuka. Engsel-engselnya menjerit saat angin menyentuh. Tapi perempuan itu tahu kadang ada nafas-nafas lain selain ia, ibu, adik dan anaknya. Mereka, gerombolan bersarung yang siap menggasak apa saja, termasuk nyawa sekalipun. Menurut kabar, mereka telah penggal beratus, bahkan beribu kepala manusia di sepanjang Kali Brantas. Karena itu, setiap kali mereka datang, malam pun jadi sesak. Perempuan itu bersama ibunya akan berjaga-jaga di balik pintu kamar sambil berdoa. Saat semburat pertama mengembang di ufuk timur, perempuan itu menghitung tubuh-tubuh yang berjejal di kolong dipan.

“Delapan, lengkap!”

Anak perempuannya lelap di dekapan ibunya yang pulas di sudut kamar.

“Lengkap….”

Ia pun tertidur sambil memeluk anak laki-lakinya.

Tahun hampir berujung, namun satu interogasi ke interogasi lain seolah tiada akhir. Awalnya perempuan itu menggigil saat pertama kali digiring ke markas. Kali ketiga ia mulai terbiasa, bahkan ia sudah bisa tersenyum saat menjawab pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang sama, yang ia jawab dengan jawaban yang juga selalu sama: tidak tahu! Ia memang sungguh tak tahu di mana ayah dan suaminya berada. Tapi ia sudah tahu takdir kedua lelaki itu, mereka tak mati, tak boleh mati. Dan, ia putuskan untuk melukis pencarian di setiap jengkal kota.

Perempuan itu tahu pasti ayah dan suaminya tak mati. Detak jantung kedua lelaki itu terus memanggil-manggil, mengajaknya melangkah ke penjara Tangerang. Di halamannya yang kering, keduanya hampir tak bisa dibedakan dengan ratusan lelaki lain yang sedang berdiri dalam barisan, kurus dan kumal. Sejak itu, setiap minggu senyum perempuan itu jadi penguat bagi mereka untuk tetap memberi jawaban yang sama pada petugas: tidak tahu!

Satu tahun sudah peristiwa itu berlalu. Perempuan itu masih tinggal di rumah masa kecilnya. Tetap saja, hanya mereka yang bersepatu lars yang datang. Satu adik perempuannya memilih kawin dengan kepala gerombolan yang dulu acapkali porak-porandakan rumah. Hal itu sedikit membawa perubahan, tak ada lagi tamu yang merusak malam. Sisanya tak berubah, teman atau kerabat sama saja, membuang muka saat berpapasan. Penghuni rumah itu dianggap petaka. Orang-orang tahu, seribu mata- mata memasang mata dan telinga untuk menangkap siapa pun yang dianggap mengenal mereka.

Nyanyian jangkrik mengurai sepi. Sepi pun porak bagai kaca pecah ketika anak perempuannya berteriak dari beranda belakang.

“Bapak pulang! Bapak pulang!”

“Suruh anakmu diam!” perintah ibunya panik.

Perempuan itu setengah berlari menghampiri anaknya yang sedang bermain.

“Buu, Bapak pulang!”

“Sst, Maya jangan begitu, diam sayang, nanti dikira orang betul Bapakmu pulang….”

Sosok tipis menghampiri perempuan itu. Tak percaya ia tatap tubuh di balik caping petani yang tutupi tirus pasi.

“Ini aku.”

Perempuan itu lepaskan bekapan di mulut anaknya. Ia peluk lelaki di hadapannya. Dua bulir basahi dada kerontang lelaki itu.

“Bapak bagaimana?”

“Bapak masih di sana. Mereka melepaskanku karena disentri yang semakin parah. Aku disuruh pergi, sebelum mati di penjara.”

Tak ada lagi kata-kata, malam pun berlalu dengan lengang yang tak berbeda. Senyum perempuan itu butakan mata, tulikan telinga para mata-mata. Berhari seperti itu, seolah tak ada yang berarti terjadi. Tak ada yang tahu, bahkan ketika mereka tinggalkan rumah itu, tinggalkan Jakarta.

“Lintang, ajak Suryo pergi dari sini, Ibu sudah siapkan semuanya. Pergilah kalian ke tempat Mang Golibi. Geura indit, geulis, bawa Maya, biar Ibu yang urus Teguh.”

Sebuah kota yang diselimuti kabut menyambut mereka. Tak ada rasa takut sedikit pun di hati perempuan itu. Sekali lagi, ia tentukan takdirnya. Ia akan bertahan bersama suami dan anak perempuannya. Mereka bertiga tak boleh mati!

Mang Golibi, saudara jauh ibunnya, mengantar mereka ke sebuah pondok pesantren. Pemiliknya, Kiai Hanafi, memberikan pengharapan. Tak ada tatap menyelidik, tuturnya sisipkan hangat.

“Ulah asa-asa, anggap saja di rumah sendiri.”

Tapi, Mang Golibi ingatkan mereka untuk tetap tajamkan rasa.

“Sama saja, di dieu oge banyak yang dibui, banyak juga yang dibuang ka pulo, yang mati juga banyak, yang hilang komo deui”.

Meski dipagari gunung, tak urung kebencian yang sama mengalir sampai ke dusun-dusun terpencil. Perempuan itu tahu, tak ada pilihan, si kecil pun harus dibiasakan dengan panggilan baru, mengingat nama baru ayah dan ibunya, dan tentu saja tak boleh bercerita tentang kakek- neneknya kepada orang lain. Perempuan itu sadar, jika ingin hidup, tak ada pilihan, mereka harus kubur semua riwayat.

Tak ada yang berubah dalam diri perempuan itu, walau hari kadang menggigit. Ia tetap berikan senyum pada suaminya yang berubah jadi pemarah, yang sering tanpa sebab, memakinya atau merusak perabotan rumah atau meleleh dalam takut yang sangat. Lelaki itu acapkali terbangun tengah malam ketika sepeda motor melintas di depan rumah. Bukan sekali lelaki itu tiba-tiba lunglai saat mendengar derap kaki orang di dekat rumah.

“Mereka datang, mereka datang. Habislah aku, habislah kita!”

Kalau sudah begitu, perempuan itu akan berikan dekapan hangat, mengusap-usap punggungnya, menenangkannya, hingga lelaki itu kembali bermimpi di bawah elusan senyumnya. Senyum yang sama yang ia berikan saat bumi menjemput hari. Senyum yang sama yang ia bagikan pada waktu yang terus berjalan. Ia pun terus merajut hari dengan kesabaran. Kesabaran yang membalut nyeri di hati suaminya, hingga lelaki itu perlahan mulai bisa pijakkan kaki di bumi.

Begitulah hari merambat. Terkadang hari berjinjit sambil sematkan kabar di pucuk atap. Ibu, dua adik, dan anak lelakinya sudah tak lagi di Jakarta. Adik-adiknya yang lain tinggal berpencar, jadi pembantu di rumah kerabat. Hanya dua adik lelaki dan satu adik perempuan yang masih tinggal di rumah yang sama. Bapak masih ditahan, entah kapan akan pulang, tak tahu kapan bisa bertemu. Surat terakhir mengatakan, Bapak dipindah ke Salemba. Sementara seorang paman menjadi penghuni pulau di timur.

Aku tak pernah bisa berhenti mengenang perempuan itu. Semua cerita tentangnya kukumpulkan remah demi remah. Aku bahkan sengaja mewawancarai orang-orang yang pernah kenal, atau sekadar tahu dirinya. Perempuan itu hidup dalam hidupku. Sebagian kisahnya hidup dalam hidupku.

Orang pasti berpikir perempuan itu karang yang bergeming saat gelombang pasang, tapi tidak bagiku. Aku tahu pasti saat senyumnya luluh ketika pedih terlalu tajam. Tak jarang ia ingin bunuh hari saat hadapi trauma suaminya. Di saat seperti itu biasanya ia kemasi barang-barangnya. Aku masih ingat bagaimana perempuan itu mengangkat koper tua berwarna coklat muda pudar. Sebungkus air mata disembunyikan di bawah senyumnya. Saat itu aku pikir ia akan tinggalkan suaminya dan akan mengajakku kembali ke rumah masa kecilnya. Tapi ternyata ia hanya ingin titipkan pedih pada sebuah makam yang tak jauh dari rumah. Perempuan itu percaya kematian bisa dengarkan kehidupan.

“Aku tak tahu makam siapa ini,” katanya menjawab pertanyaanku, “yang pasti, saat kita mencium wewangian, kita bisa mengadu pada jasad di bawah sana.”

Ia punguti kembang kemboja yang berjatuhan di sekitar makam, lalu ditaruhnya di atas makam itu, lalu lanjutkan kata-katanya.

“Aku sangat ingin bertemu ayah, ibu, dan adik-adikku. Aku juga ingin menimang anak lelakiku. Putingku masih merasa berdosa karena tinggalkan bibirnya. Kau tahu, aku ingin ada seorang yang bisa dengarkan diriku. Tapi, kepada siapa aku bisa bicara, jika tak seorang pun tahu diriku, tak seorang pun tahu namaku.”

Telaga menggenang di kedua matanya, perlahan menetes jadi gerimis yang perih. Saat itu untuk pertama kali aku mengerti arti pedih.

Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan. Masih jelas tergambar saat ia menghitung untung barang-barang yang dikreditkannya pada orang-orang kampung. Masih kuingat saat ia ajari masukkan jamu godokan, racikannya sendiri, ke dalam botol-botol bekas sirup. Saat itu satu botol harganya limaratus rupiah. Aku tak akan lupa hari-hari yang dilewati perempuan itu. Hari ketika seorang tamu datang dan menangis sambil memeluknya.

“Ternyata Zus masih hidup.”

Seperti biasa perempuan itu berikan senyumnya. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kutanya mengapa aku harus memanggil Kiai Hanafi kakek, padahal aku tahu dia bukan kakekku. Senyum yang sama juga diberikannya padaku saat kutanya mengapa ia tak lagi memanggilku Maya.

Senyum perempuan itu memang tak pernah berubah, sama, tetap sama. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kusibak kafan dan kubisikkan kata:

“Akan kutulis di nisanmu namamu, namamu yang sesungguhnya, Lintang, biar mereka tahu siapa dirimu, siapa kita sebenarnya. Selamat jalan, Bunda!”

 

Depok, 021206 ~ 22:22

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler